[Trivia] #4 Doom At Your Service

 


Dulu, semasa saya masih aktif menulis fiksi, hal utama yang terpikirkan di kepala saya ketika hendak menggarap satu cerita adalah pesan apa yang ingin saya sampaikan melalui cerita saya, apa yang bisa diambil pembaca dari cerita yang saya tulis itu. Saya tidak pintar mencari judul, sering kesulitan menulis opening, saya juga kerap kebingungan menamai karakter-karakter dalam cerita yang saya tulis, adakalanya saya berlama-lama menatap keyboard laptop, memilah-milah huruf-huruf apa saja yang akan saya pilih menjadi nama. Namun, bila saya telah berhasil membulatkan pesan yang ingin saya sampaikan, kendala-kendala tersebut bisa saya selesaikan satu-persatu. Bagi saya, pesan dalam cerita yang saya tulis sangatlah penting. Ia seperti pilot yang mengarahkan tulisan-tulisan saya. Pesan berjalan bersama konflik, dua unsur ini menjadi kawan dekat yang sulit dipisahkan dalam proses menulis fiksi saya. Berpegang pada pesan, saya bisa melihat ke mana cerita yang saya tulis mengarah, bagaimana watak-watak tokohnya, apa saja yang perlu menjadi bagian dialog-dialognya, hingga kemudian mengerucut pada klimaks konflik dan penyelesaian. Saya tidak pernah menulis cerita yang belum saya selesaikan di dalam kepala saya. Selalu ada simulasi sebelum saya mulai paragraf pertama. Bahkan dengan persiapan seperti ini saya tetap saja seorang penulis amateur. 


Mungkin, sebab kebiasaan inilah, ketika menonton film/drama, fokus saya di episode pilot adalah ini drama mau nyeritain apa? Apa yang ingin disampaikan kepada penontonnya? Pesan dan konflik biasanya melekat pada karakterisasi tokoh. Jika sejak awal karakterisasi tokohnya tidak kuat, saya tidak akan betah. Saya merasa perlu tahu apa yang diinginkan si drama ini. Biasanya juga di episode pilot sudah bisa terlihat gambaran konflik ke depannya akan seperti apa meski belum sempurna. Ibaratnya, cetak biru-nya sudah keliatan (semoga saya tidak keliru memilih analogi). Itulah sebabnya bagi sebagian penikmat drama (termasuk saya), dua episode perdana sebuah drama sangatlah penting. Tidak selalu terjadi seperti ini, memang. Pada beberapa drama, saya pernah mencoba bersabar hingga 6-8 episode karena berkeyakinan dramanya bagus. Hanya berdasarkan feeling saja. Tetapi memang drama-drama favorit saya lebih banyak berhasil menggoda saya di episode pilot, melalui karakterisasi tokohnya. Aneh ya? Ya... begitulah seni-nya menjadi penonton. Kita selalu punya alasan sendiri-sendiri tentang mengapa kita jatuh suka pada apa yang kita nonton.



Yang baca bertanya-tanya untuk apa saya menulis intro sepanjang ini di bawah tag Doom At Your Service? 


Jadi begini, setelah menonton 14 episode Doom at Your Service, satu kesadaran utuh muncul di kepala saya; Im Me-ari sejak awal sudah membulatkan pesan apa yang ia sampaikan melalui drama ini. Ke-konsisten-an itu ada. Saya paham betul apa maunya DAYS, dan untuk alasan inilah saya tidak sedikitpun berniat men-drop dramanya, tetapi setelah episode 14, saya akhirnya bisa tersenyum puas dan tanpa sadar bergumam sendiri, "wah".  



Semua direncanakan dengan baik. Tentang bagaimana ceritanya akan menjadi, tanpa berniat menggurui. 

Im Me-ari meletakkan firasat untuk perkembangan episode-episode mendatang pada dialog-dialog antartokoh. Lantas terciptalah mirror-ing dan paralel scene. DAYS adalah ketika dialog-dialog dramanya berhasil memberikan dua feeling yang bertolak belakang di saat bersamaan; bercabang; harapan (optimisme) dan kekhawatiran. Harapan bahwa akan ada hal-hal baik untuk karakter-karakter yang saya sayangi, Myul-mang dan Dong-kyung. Kekhawatiran kalau-kalau apa yang tersirat dalam dialognya hanya akan berakhir sebatas harapan karena takdir sudah menjatuhkan vonis-nya. That uncertain feeling


Saya yakin ada sebagian penonton DAYS yang meskipun sudah merasa ending dramanya akan sedih, tapi tetap berharap ada happy ending. Saya termasuk kategori yang sebagian itu.


Sampai sekarang saya belum tahu standar naskah drama yang baik, sempurna atau bagus itu seperti apa. Namun jika saya memakai standar saya sebagai penonton, bagi saya naskah DAYS bagus. Naskah yang sedari awal sudah tahu ke mana atau apa tujuannya ia dibuat, yang konsisten berpegang pada itu. Drama yang dianggap klise oleh beberapa orang ini, yang beberapa dari mereka menonton karena alasan aktor atau aktrisnya, mereka yang sudah menonton 14 episode tetapi belum juga paham konflik atau mau dramanya apa, DAYS nyatanya telah dengan terang-terangan menyampaikan maksud-nya di episode pilotnya. Hanya saja, bila kita terlampau fokus pada part romance atau fantasi-nya maka kita kehilangan kesempatan mengenali drama ini. Mengharapkan apa yang tidak pernah dijanjikan DAYS sejak awal. Begitulah kira-kira gambarannya.



Setelah 14 episode DAYS, saya akhirnya mengerti arti dari feeling bagus yang saya rasakan sejak episode pilotnya. Saya tidak keliru dengan rasa percaya diri saya terhadap DAYS. Simpati yang terbit dengan mudahnya untuk Tak Dong-kyung, yang semakin menguat seiring bertambahnya episode adalah salah satu bukti bahwa storyline, plot, dan konflik DAYS bekerja pada saya dengan efektif. Untuk setiap scene dan dialog-nya, saya mengerti mengapa mereka perlu ada di situ


Pesan dramanya kuat sekali. Konsisten. Tidak berubah hingga 14 episode ini, dan saya yakin sekali sisa 2 episode pekan depan akan semakin melengkapi. Melalui Dong-kyung, kita diberi pelajaran yang banyak sekali di DAYS ini. Banyak sekali. 


Sebagai penonton, ketika sebuah drama sanggup membuat saya enjoy mengikutinya dengan antusiasme yang tidak maju-mundur, itulah konsep drama bagus di mata saya. Jika sudah seperti ini, saya tidak sempat lagi menyisakan ruang untuk hal-hal yang dianggap sebagai kekurangan dramanya. Di titik inilah objektifitas saya pamit undur diri. Hehe.


Highlight Episode 14



Episode 14 yang luar biasa sedihnya itu seperti episode pamungkas bagi DAYS. Puncak konflik, baik cerita utama maupun cerita sampingan-nya. Seolah-olah episode 1-12 sengaja disiapkan untuk ini. Everything happens for reason. Dialog-dialog DAYS yang penuh metafora dan terdengar filosofis ini nih kayak puzzle. Kalimat satu menjawab kalimat lainnya. 


Di episode ini, tidak lagi kita jumpai Myul-mang yang sinis dan dingin, dan Dong-kyung yang mati-matian berusaha agar Myul-mang bisa mencintainya. Pertanyaan-pertanyaan yang dilempar di episode-episode sebelumnya akhirnya mendapatkan jawaban di sini. Banyak yang ingin saya highlight dari episode 14 ini. Tapi pertama-tama biarkan saya menulis betapa keren luar biasanya akting Seo In-guk dan Park Bo-young di episode 14 ini. Sangat detail. 


Seo In-guk.... WAH... speechless saya. Sungguh. Saya tahu akting In-guk bagus. Saya sudah tahu sejak lama soal ini. Tapi saya masih tetap saja sukses dibuat ber-woah woah takjub sama aktingnya. Mikro ekspresinya GILLAAAK WOIIII. Perpindahan ekspresi yang berbeda-beda bisa dia lakukan dalam rentan waktu yang sangat cepat, dan hanya dengan menggunakan sorot matanya! Wah. Sebenernya udah beberapa kali saya liat ini di episode-episode DAYS sebelumnya, menurut saya di episode 14 detail transisi perubahan ekspresinya kuat sekali. On point. Ibaratnya dia nggak ngomong aja kita yang nonton udah paham. Tau nggak, sambil nonton DAYS, beberapa hari kemarin saya nge rerun The Smile Has Left Your Eyes. Saya masih bisa dibuat merinding ngeliat Kim Moo-young, dan geleng-geleng kepala takjub dengan kekuatan akting In-guk. Cuman bisa bilang gilak banget dah In-guk. Totalitasnya... wah. Bagaimana bisaaa dia membangun karakter Kim Moo-young dan Myul-mang dengan sangat baik? Bagaimana bisaaa?? Dua karakter ini punya detail yang berbeda. Mulai dari perawakan, gestur, cara berbicara, sorot mata, cara berjalan, ampoooon pusing sayah. Sampai-sampai saya tuh pernah mbatin, "ini beneran yang meranin Kim Moo-young dan Myul-mang adalah orang sama?" 


Apa ya... saking speechless-nya saya. Seo In-guk dan totalitasnya dalam berakting. Kapan sih dia nggak bikin yang nonton terpana sama aktingnya? Selalu ya...




Yang bilang aktingnya Park Bo-young nggak bagus kayaknya perlu merumuskan ulang akting bagus tuh seperti apa. Selama menonton aktingnya sebagai Tak Dong-kyung, belum ada satu scene pun yang membuat saya mengernyitkan kening dengan alasan aktingnya off. Mau akting serius, atau lucu menggemaskan, semuanya dapet banget feel-nya. Saya paling suka cara Bo-young berbicara sebagai Dong-kyung, juga monolog-monolognya. Pengucapan dialognya, penekanan-penekanan kalimatnya bagus, intonasinya enak didengar. Ekspresinya tidak ada yang berlebihan. Dong-kyung senyum, saya ikut senyum, Dong-kyung nangis saya ikutan nangis. Untuk urusan akting nangis, Bo-young ahlinya. Ga bikin ilang feeling, yang ada hati ikut babak belur denger tangisannya. 


"... our fate. Let's accept it."

Siapa sangka, justru Myul-mang yang demikian besar hati menerima takdirnya. Myul-mang yang mengumpati takdir, dan bunga-bunga di episode 1. Narasi dan nuansa antara Myul-mang dan Dong-kyung di episode ini sangat berbeda dari yang, setidaknya mereka harapkan sebelum jatuh saling jatuh cinta. Perjanjian terjadi di antara mereka karena yang satu mengharapkan kehancuran dunia dan dirinya sendiri, sedang satunya (akan) diberi kemudahan agar bisa terbebas dari rasa sakit selama 100 hari.


Myul-mang dan Dong-kyung akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan, namun di saat yang sama mereka kehilangan alasan terbesar mereka untuk hidup. Cinta yang saling tumbuh di hati mereka. 


"If you gain something, you lose something. Everything you have gained in life were thanks to things you lost." 


Perih. Pada akhirnya kata-kata itu justru menjadi boomerang. Tetapi, Myul-mang tidak menyesali apa yang sudah terjadi. "I want to mean something to you." Begitu katanya kepada Dong-kyung. Ia sudah memutuskan. 


Myul-mang di episode 14 ini bener-bener berubah. Perubahan yang tidak terjadi tiba-tiba. Reset yang terjadi di ep 12-13 memberikan dampak besar padanya. Ia sadar, Dong-kyung dan dirinya tidak bisa lari takdir yang telah ditetapkan atas hidup mereka.


"You must've been really kind too. Seeing that you ended up meeting my sister."  




Denger Tak Sung-kyung ngomong gini bikin sedih. Dia adalah orang kedua yang mengatakan langsung kepada Myul-mang bahwa dia adalah orang baik. Kalo diingat-ingat lagi, nggak pernah deh ada scene Myul-mang jahatin orang, ngasih pelajaran ke orang jahat yang ada. Selama ini yang memberi imej gelap ke Myul-mang tak lain ya Myul-mang sendiri. Saya suka obrolan heart to heart antara Myul-mang dan Sung-kyung. Ini satu-satunya scene di mana Myul-mang memosisikan dirinya sebagai orang terdekat Dong-kyung, kakaknya Sung-kyung. Sebelumnya kan kalo ketemu Sung-kyung, selalunya dikerjain Myul-mang. Tapi kali ini Myul-mang bener-bener dengerin omongannya Sung-kyung, nggak membantah apalagi menjawab aneh-aneh. Gara-gara diajakin bicara sama Sung-kyung, sekembalinya dari sana Myul-mang tidak bisa lagi menahan diri untuk mengeluarkan kesedihannya. Apa-apa yang dijanjikannya pada Sung-kyung tidak bisa ia tepati. Sedih sekali liat Myul-mang jatuh berlutut dan menangis sendirian. Saya ikutan nangis.


"This school field looks big to me. I guess I didn't grow up at all." 




Saya pernah bilang pada postingan sebelum ini, pasti ada yang ingin disampaikan penulis dari kisah cinta pertamanya Na Ji-na. Sesuatu yang berharga dan bisa menjadi pembelajaran, untuk tokoh-tokoh yang terlibat, dan untuk kita sebagai penonton. Oleh karena itu saya tidak merasa perlu terburu-buru menghakimi Na Ji-na yang belum move on dari Lee Hyun-kyu. Saya sabar nungguin bagaimana Na Ji-na dan Lee Hyun-kyu menemukan closure-nya masing-masing. 


Pada akhirnya baik Na Ji-na dan Lee Hyun-kyu tahu, apa yang missing dari hubungan mereka. Memulai kembali hubungan di atas pondasi yang retak tidak akan berakhir manis. Mereka menyadari ada yang berubah, mereka bukan lagi Hyun-kyu dan Ji-na di usia tujuhbelas atau delapanbelas tahun. Momentum ini memberi masukan bagus bagi perkembangan karakter Hyun-kyu. Ini kisah cinta pertama dari sudut pandang yang lain. Realistis cara penyelesaiannya. Tidak menye-menye. 


Btw, adegan pisahannya Hyun Kyu-Ji Na sedih ya...


"As you live life, you'll realize one day that there was a reason behind everything you went through. You'll find out that it was a happy ending. You can only find out if you stay alive." 


Apa yang diucapkan Sonyeoshin kepada Dong-kyung, rasa-rasanya tidak hanya ditujukan kepada Dong-kyung, tetapi juga kepada mereka, kita yang sedang berjuang tabah menemukan alasan untuk semua kesulitan-kesulitan hidup yang dirasakan. Meski terdengar tidak meyakinkan menyoal happy ending, ucapan Sonyeoshin sedikitnya memberikan kita harapan. Happy ending-nya Myul-mang adalah happy ending-nya Dong-kyung juga. 


Pot yang selalu dibawa Sonyeoshin adalah miliknya. Ketika Myul-mang dan Dong-kyung mendapatkan kembali ingatan mereka, bunga di pot itu tumbuh kembali. Demi pot itu, demi melihat bunga di pot itu mekar sempurna, Sonyeoshin memperpanjang lagi hidupnya di dunia. Semoga firasat baik dari ucapan Sonyeshin mewujud nyata. Myul-mang terlahir kembali, namun kali ini sebagai manusia.


"Words disappear. I hear them. Even now, hundreds of words are disappearing every second in that corner. Collague. Disport. Indite. Malapert. Peregrinate."


Scene di perpustakaan ini jadi salah satu favorit saya di episode 14. 


Saya merasakan tone suara Myul-mang di sini sangat berbeda dengan kali terakhir ia membawa Dong-kyung ke tempat kerjanya. Ini yang paling membuat saya sedih; Myul-mang terlihat jelas berusaha menenangkan Dong-kyung. Karena terikat perjanjian, ia tidak bisa mendengarkan apa yang dipikirkan Dong-kyung, tapi ia tahu gadis itu sedang berusaha menahan kesedihannya saat mendengar Myul-mang menceritakan kata-kata yang menghilang di pojok perpustakaan itu. Gerakan Dong-kyung yang mengarahkan tatapannya ke luar bisa dibaca Myul-mang sebagai kesedihan. Maka cepat-cepatlah ia menabahkan Dong-kyung dengan mengatakan ada juga kata-kata yang tidak akan pernah menghilang, dan nama Dong-kyung termasuk salah satunya. Sumpah ya, nada suara dan ekspresi Myul-mang bikin nangis. 


Dong-kyung pernah menyuruh Myul-mang agar mengobservasi orang untuk mengetahui apa yang dipikirkan orang tersebut, bukan dengan mendengar isi pikirannya secara langsung. Siapa sangka di hari-hari terakhirnya, Myul-mang berhasil melakukan itu, kepada Dong-kyung.  

"Even words are forgotten."


Lagi-lagi dialog yang terdengar filosofis. Sendu. 


Bagi saya adegan di perpustakaan ini artinya dalem banget. Bukan hanya untuk Myul-mang dan Dong-kyung, tetapi juga untuk saya sebagai penikmat kata-kata. Banyak kata-kata menjadi usang dan menghilang karena tidak pernah lagi digunakan. Atau mereka digantikan kata-kata lain yang dirasa pemakainya lebih efektif. Pemaknaan terhadap dialog di perpustakaan ini bisa mewakili objek lainnya, tidak sebatas kata-kata.


Di episode 14 ini, tone Suara Myul-mang sudah berada di frekuensi yang sama dengan Dong-kyung, bahkan beberapa kali terdengar lebih rendah.  


Puncak kesedihan saya terjadi ketika Myul-mang menenangkan Dong-kyung yang panik. Ia terbangun dan tidak mendapati Myul-mang di sisinya. Ia benar-benar ketakutan kalau-kalau Myul-mang menghilang begitu saja tanpa sepengetahuannya. Adegan ini tuh... huhuhu bikin nangis parah. Saya bisa ngerasain level ketakutannya Dong-kyung hanya dengan mendengar suaranya bergetar, yang tak lama kemudian pecah menjadi tangisan frustasi. Pas Dong-kyung ngomong "I don't have time left. I really don't have much time left...", sambil nangis histeris, di sini saya nyerah, ambyar pertahanan. Udah diulang nonton beberapa kali tetap aja nangis. 😭😭😭😭😭


"Do you remember what I told you last time? Even if it rains, and you are the only one without an umbrella, it's okay. If you run just a little bit, you'll soon be home. 

I want you ro run once I'm gone. Don't look back and just run. Then you'll soon be..."

Home. 

Harusnya itu menjadi ujung kalimat Myul-mang. Harusnya. Tetapi Myul-mang tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, ia menghilang ditelan angin. Patah hati se-patah patahnya. 😭😭😭😭😭

Gimana mau nyampe rumah, rumah-nya Dong-kyung udah ilang. Patah hati masal pun terjadi. Semua pengen Myul-mang balik lagi.


 "If today was my last day, what would I do?"


Ketika Na Ji-na mengatakan ini pada Hyun-kyu di episode 14, saya nggak sadar menarik napas panjang. Selama mengikuti kisah Dong-kyung, pertanyaan setipe juga sering muncul di kepala saya. Bagaimana bila saya yang berada di posisi Dong-kyung? Akan seperti apakah reaksi saya terhadap hidup? Oh, Minus Myul-mang, tentu saja. Saya tidak berani membayangkan berada di posisinya Dong-kyung. Berat sekali.
 

Dong-kyung adalah pusat cerita DAYS. Dari tokoh Dong-kyung, garis cerita DAYS dimulai. Lalu bagaimanakah nanti akhir cerita DAYS?

Saya teringat ucapan dokter kepada Dong-kyung, "In the end, kindness always wins." Dari cara ngomong pa dokter, saya menebak untuk menuju kemenangan, prosesnya panjang. Sangat paaaanjaaaaang, lebih panjang dari kacang panjang. Saya ingin menganggap apa yang dialami Dong-kyung dan Myul-mang sebagai bagian dari proses yang panjang itu. 


Tidak apa-apa kan berharap happy ending? 


Terima kasih, Nad, untuk kiriman foto ini 😍


"Days like this will continue. 
After you are gone, spring will arive. 
After you disappear, the morning will come. 
And after your life ends, my life will begin. 
So, every year when spring comes, and every time morning is here, I will think of yoy throughout my entire life. Will I be able to endure that? 
How would that kind of life be any different from doom? 


Saya berharap monolog Dong-kyung ini tidak terjadi, jika pun terjadi, tolong jangan terlalu lama. Karena Myul-mang (Doom) telah purna tugas, ia tidak lagi menjadi pihak yang bertanggung jawab atas semua yang menghilang. 


Karena Myul-mang diberi tugas lain, sebagai Kim Saram. Jadi ia bisa pulang pada Dong-kyung. Rumahnya.


Semoga. Aamiin.... 

Tabik,
Azz 💚💚💚

1 comment:

  1. Aku baca ini nangis lagi. Efek episode 14 masih kerasa sampe sekarang.


    Episode 14 bener-bener bikin aku makin yakin kalau Doom at Your Service adalah drama yang sangat sangat bagus. Persetan orang mau ngomong apa. Dan bagiku, ini drama fantasi romansa pertama yang berhasil bikin aku kelojotan sampe kayak gini. DAYS jelas-jelas sangat berbeda dengan drama romance fantasy kebanyakan, sebab ia dibuat dengan tujuan berbeda. Ia dibuat sedemikian rupa, dengan bungkus romance fantasy, dan di dalamnya kita bisa menemukan banyak hal yang jauh lebih rumit daripada itu.


    Sumpah. Aku setuju banget kalau adegan di perpustakaan itu membekas sekali. Adegan sederhana, mereka ngobrol tentang kata-kata yang juga bisa dilupakan, tapi suasana di antara mereka terasa sangat... sepi dan menyedihkan. Harusnya, kalau ini bukan drama DAYS, aku nggak akan merasa sampe kayak gitu. Tapi karena ini DAYS, aku jadi tau apa makna di balik dialog mereka berdua di perpustakaan. Kerasa banget sedih dan nyeseknya.

    Episode 14 sukses bikin aku nangis tiap menit. Bahkan di adegan mereka menjalani hari-hari dengan normal, bahkan di adegan perpisahan Ji-Na dengan Hyun-Kyu, bahkan di adegan Myul-mang menatap Dong-Kyung yang lagi tidur sementara ia tersenyum. 😭😭


    Aku masih sangat berharap untuk happy ending. Aku udah kadung sayang sama Myulmang dan Dongkyung, aku nggak mau mereka hidup tanpa satu sama lain. :""")

    ReplyDelete

Haiii, salam kenal ya. 😊