Semua akan baik-baik saja saat kamu memasuki usia tigapuluh.
Pesan itulah yang coba disampaikan drama Korea Be Melodramatic kepada penontonnya. Kutipan di atas di ambil dari judul drama yang menjadi bagian cerita Be Melodramatic. Saya nggak akan ngebahas dramanya, saya akan membahasnya di postingan lain. Saya tertarik mengajukan pertanyaan lain kepada diri saya setelah menonton drama tersebut. Jika usia duapuluh dianggap sebagi gerbang peralihan dari remaja menuju kedewasaan, maka tigapuluh adalah angka di mana seseorang telah dianggap mapan. Memasuki bilangan angka ini, seseorang tak boleh lagi terlalu banyak main-main, pilihan-pilihan menyoal hidup sudah tak seramai ketika kamu masih belasan atau dua puluhan. Dan bagi perempuan, seringkali oleh lingkungan sosial angka ini dijadikan patokan mengenai keberhasilan baik itu menyangkut perkara pekerjaan dan urusan pribadi. Saya tumbuh dan besar di lingkungan yang memandang terlambat menikah di usia tiga puluh adalah sebuah persoalan besar. Orang-orang menaruh keingintahuan yang terlalu besar tentang mengapa perempuan yang bersangkutan belum menikah dan kapan kiranya?

Apakah semuanya benar-benar akan baik saja?
Saya bertanya kepada diri saya sendiri.

Kurang dari dua bulan lagi, saya akan memasuki akhir dari usia dupuluhan saya. Tak banyak yang berubah. Beberapa dari sedikit perubahan yang saya alami, misalnya kemampuan saya mengelola emosi yang sudah jauh lebih baik selama lima tahun terakhir, serta upaya saya agar lebih terbuka kepada orang lain dengan meninggalkan lingkup antisosial saya yang parah, perlahan membuahkan hasil. Saya tidak se-introvert seperti yang saya sangka.
Dan saya sudah banyak tertawa.

Saya masih belum yakin, apakah perubahan-perubahan ini menandakan saya sudah sepenuhnya sembuh dari trauma masa lalu. Karena seringnya, pada satu keadaan tertentu saya secara sadar kembali kepada melankoli kesedihan yang familiar—ingatan-ingatan masa lalu yang terang benderang tentang kesakitan dan ketidakmampuan menikmati apa itu namanya kelegaan. Barangkali selama ini bukan kesedihan-kesedihan yang tidak ingin pergi, namun alam bawah sadar sayalah yang menahannya agar tetap tinggal.

Mungkin memang benar adanya. Hidup ada perjuangan melawan serentetan kesedihan yang datang dari berbagai penjuru.

Ketika memasuki usia tertentu, biasanya orang-orang dengan semangatnya membuat target-target yang ingin dicapai, dulu saya juga turut mengamininya—ingin menikah di usia 23 tahun, berkeluarga dan hidup bahagia. Lalu targetnya dimajukan di angka 26 karena beberapa alasan hingga akhirnya saya menyerah dengan target itu sendiri. Akhir-akhir ini, banyak sekali tekanan berupa pertanyaan-pertanyaan yang beruntun datang kepada saya dan ini erat kaitannya dengan bilangan usia saya.

Kapan menikah?
Kenapa belum menikah?

Ah. I don’t think everything will be fine when I’m turning 30...

Pertanyaan kapan menikah akan semakin tidak terelakkan jika kamu telah melewati angka-angka krusial usiamu dan terihat (seolah) masih betah sendiri. Kamu juga tidak akan berdaya untuk sekadar menyalahkan se-siapa yang bertanya, terlebih bila kamu tinggal di lingkungan yang orang-orangnya bersepakat belum menikah di usia 30 adalah sebuah bencana.
Sigh.

Sejujurnya, pertanyaan kapan menikah tidak membuat saya alergi. Saya berusaha semampu saya untuk mengambil sisi postifnya. Saya anggap mereka secara tidak langsung sedang mendoakan agar saya lekas bertemu pasangan sehidup semati saya meski dengan cara yang tidak terlalu menyenangkan. Namun di sisi lain, saya lelah disodori pertanyaan yang saya sendiri pun tidak tahu bagaimana jawaban pastinya. Lalu tanpa disadari efek dari pertanyaan itu telah berkelindan memenuhi ruang-ruang berpikir saya. Saya—seperti orang-orang itu—diam-diam dalam diam rajin menggumamkan pertanyaan kepada diri saya sendiri; kenapa ya saya belum menikah? Jodoh saya di mana? Apa yang sedang dia lakukan? Apakah dia sedang bersama orang lain, hingga datang begitu terlambat kepada saya? Ataukah ia pun juga sedang berusaha mencari saya di belantara waktu? Atau yang lebih sedihnya—kata temen saya sambil bercanda—jangan-jangan jodoh saya belum lahir?

Saya tidak tahu rupa-rupa jawabannya, dan tidak tahu mesti ke mana mencari jawabannya. Satu-satunya yang bisa menjawab hanya Tuhan. Mungkin saja selama ini Tuhan sudah memberikan jawaban-jawaban kepada saya, namun saya yang hatinya sedemikian kerdil dan seringkali alpa ini tak lihai membaca tanda.  Entahlah.

Memasuki usia 30, saya tidak bisa menampik ragam ketakutan dan kekhawatiran yang sudah menunggu. Tak terelakkan. Banyak mimpi-mimpi saya masih membeku di tempat di mana ia dirumuskan. Dan seujujurnya—tanpa saya sadari—menikah tidak pernah menjadi prioritas utama saya. Namun menjadi (sok) cuek dan bermasa bodoh dalam situasi seperti ini bukanlah pilihan yang tepat. Jika hanya berpijak pada diri sendiri, saya bisa saja bersikap nothing to lose—menikah bukan sebuah beban, bukan pula sebuah target yang mesti dikejar sampai dapat. Adalah sosok ibu—mamah saya, yang meski tak begitu nampak, tapi beliau jelas menyimpan kekhawatiran dan kegelisahan yang teramat sangat menyangkut kehidupan masa depan saya. Saya pikir ibu mana pun akan bereaksi seperti Mamah. Terlebih bila selama hampir sepuluh tahun terakhir anak perempuan sulungnya tidak pernah terlihat dekat dengan seorang lelaki.

Lucu mengingat betapa dulu, semasa sekolah, Mamah mewanti-wanti—jika tak mau disebut melarang—agar saya tidak menyeriusi pacaran. Sekolah dulu yang bener, kalau sudah sudah sukses, nanti jodohnya dateng sendiri. Kata mamah saya begitu.

Bukan tersebab larangan Mamah hingga pengalaman pacaran saya cuman seuprit—satu-satunya yang saya anggap serius hanya cinta pertama saya HAHAHAHAH DEMI APAAAAHHHH. Ya begitulah. Seringnya, inisial-inisial nama yang inginnya dengan mereka saya serius—tak pernah benar-benar menyentuh isi cerita, sebatas rumusan yang gagal. Mengenai tipe ideal, saya tidak pernah memasang standar tinggi—untuk apa coba? Mengutip dari Novel Aditya Mulya, Sabtu Bersama Bapak, “membangun sebuah hubungan butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan.”

Saya ingin bertemu laki-laki seperti yang dikatakan tokoh Saka itu.

Hhhhhhhh. Saya tidak bisa egois mementalkan begitu saja ekspresi penuh harap Mamah setiap kali—bila secara tak sengaja—obrolan kami menyerempet ke urusan nikah. Ditambah makin mengecilnya jumlah teman seangkatan saya yang sudah mengakhiri masa lajangnya. Wajar bila Mamah khawatir. Anak perempuannya masih sendiri di usia di mana beliau dulu telah memiliki saya dan kedua adik saya (si bungsu lahir saat mamah saya 35 tahun).

“Banyakin doa. Mendekat sama Allah. Minta sama Allah supaya didekatkan jodohnya. Tahajud. Shalat,” ucap Mamah di akhir kalimatnya. Pesannya tidak pernah berubah. Selalu seperti itu.

Kalau sudah seperti itu, sodokan rasa bersalah seketika menyentuh ulu hati saya. Mamah seperti bisa membaca kelakuan saya. Saya tidak mau berbohong. Trauma masa lalu masih menggenapi hari-hari saya. Sama seperti perempuan kebanyakan, saya pun ingin menikah. Tapi di di bagian lain hati saya, masih kental ketakutan untuk menjalani kehidupan bersama orang lain di bawah satu atap. Kepada sahabat, saya pernah terang-terangan mengungkapkan ketakutan saya untuk menikah. Saya takut bertemu orang yang salah. Saya takut memori-memori menyakitkan masa kecil hingga remaja saya yang terekam di otak akan direka ulang dengan saya sebagai pelakon utamanya. Saya benar-benar takut. Maka di ujung pergolakan batin itu, saya hanya bisa mendesah pasrah. Dan lagi-lagi saya gagal pro aktif mengetuk pintunya Allah.

Kata sahabat saya, saya harus banyakin Istigfar. Minta maaf sama Allah. Mungkin dulu saya pernah melontarkan kata-kata yang tidak bagus, dan tentu saja setiap kata yang kita keluarkan telah mewujud doa, sudi atau tidak sudi.

Kadang kepikiran, melihat anak-anak, mengakrabi mereka, mendengar celoteh bebas mereka, saya membatin akan seperti apa rasanya bila saya bermain dengan anak-anak saya sendiri? Menyaksikan mereka tumbuh berkembang.... Luar biasa mengingat betapa dulu saya enggan bersinggungan dengan anak-anak, dan sekarang justru sebaliknya, anak-anak menjadi magnet kuat yang selalu berhasil menarik perhatian saya—kecintaan saya kepada mereka begitu dalam di hati saya. Juga, sering ada waktu-waktu di mana saya tak sadar berharap ada seseorang di samping saya yang akan dengan sabar menanggapi lompatan-lompatan pikiran saya mulai dari hal-hal remeh hingga yang topiknya serius. Tampaknya, tubuh dan pikiran saya mengikuti porsinya secara alamiah.

Well, saya tidak ingin menjadikan urusan menikah ini sebagai beban. Alih-alih memikirkannya sampai kepala sakit, saya akan membiarkannya mengalir begitu saja, nggak mau ngoyo, seraya—tentu saja memperbaiki niat dan kualitas diri saya.
Saya tidak tahu apakah saya akan baik-baik saja ketika memasuki usia tiga puluh saya. Saya ingin baik-baik saja, senantiasa sehat dan bahagia. Saya ingin menikmati hidup saya.



Setelah namatin Put Your Head on My Shoulder beberapa bulan lalu, saya bergerilya nyari-nyari drama China yang kira-kira cocok sama selera saya. Gak gampang nyarinya soalnya selama ini saya fokusnya sama drama Korea aja, gak familiar sama drama China. Untungnya nih, gak susah nyari link donlotan C-Drama, di Youtube banyakkk. Yaa mungkin karena Put Your Head on My Shoulder nancep banget di otak sampe bikin saya gak gampang ngeklik sama drama-drama China yang saya coba nonton—itu tuh saking niatnya, saya bela-belain search di Google drama-drama China populer. Saya donlotin tuh satu-satu, tapi yaaa itu tadi—gara-gara efek Put Your Head On My Shoulder masih nancep kuat di otak, saya kesulitan menikmati drama-drama tersebut.
Trus gimana ceritanya bisa nemu Le Coup De Foudre?
Saya gak sengaja liat twit-nya Ori tentang drama ini. Langsung aja deh penasaran, karena selama ini suka samaan selera ngedrama saya dan Ori—sejak kenal pertama kali melalui Healer (semoga ingatan saya nggak keliru). Gak pake lama saya coba donlot ep 1 Le Coup De Foudre dan SUKA! Dramanya asik, relatable, materi ceritanya memuat aspek-aspek hidup yang kita hadapi sehari-hari—masalah keluarga, hubungan orangtua dan anak, sekolah, besarnya tekanan gimana cara menemui masa depan dengan selamat, jatuh cinta, persahabatan, pandangan mengenai pernikahan. Le Coup De Foudre punya semuanya! Konflik-konflik kehidupan yang selama ini berkelindan dalam pikiran-pikiran kita.
DAAAAAAAAN LEAD MALE-NYA UNIK! ㅋㅋㅋㅋ
Banyak banget yang pengen saya omongin tentang drama Le Coup De Foudre, dan ini juga yang bikin saya kuatir. Jangan sampe review saya gagal menyampaikan kepada pembaca betapa berharga-nya drama berjumlah 35 episode ini. 35 episode bbookk! Jarang banget tuh saya mau nonton drama ber-episode banyak. Anehnya, saya OGAH BANGET ninggalin drama satu ini walaupun storyline-nya hanya berputar di kehidupan Qiao Yi dan Yan Mo serta orang-orang disekitar mereka. Salah satu alasan saya betah ngikutin Le Coup De Foudre adalah tone penceritaannya sederhana tapi gak murahan. Petikan-petikan dialognya nggak kosong. Nggak ada satu pun saya temui wasting scene. Andai aja saya full-time blogger saya nggak akan ragu-ragu bikin review per episodenya. KEREN BANGET SOALNYA. Ceritanya asik, chemistry antar-karakternya luar biasa kuatnya—nggak ada alasan untuk nggak nonton Le Coup De Foudre!
Jadi nih, kalau kamu nyari drama ringan tapi berisi yang manis-nya kayak gula, yang bisa bikin hati berdesir alus seperti ditiupin angin seopi-sepoi pas lagi panas-panasnya, dan drama yang bikin kamu nyusut sudut mata karena terharu, saya rekomendasiin Le Coup De Foudre! Trust me! You won’t regret!
Tau nggak drama apa yang seketika nongol di kepala saya ketika nonton Le Coup De Foudre? Il Gup Palpal! Reply 1988. Saya nggak bilang Le Coup De Foudre niru Reply 1988, tapi kesederhanaan dan kesantunan yang dimiliki Le Coup De Foudre-lah yang ngingetin saya sama Reply 1988. Saya suka drama seperti ini. Tipikal drama yang akan saya inget hingga bertahun-tahun lamanya, dan saya nggak akan sungkan rewatch dramanya. Lagi dan lagi.
Btw, ada satu scene yang nunjukkin Qiao Yi lagi nonton Reply 1988—Qiao Yi masuk tim Junghwan pemirsah wkwk.
Sinopsis
Mengutip dari Wikipedia, Le Coup De Foudre (Love at First Sight) merupakan web drama China yang diangkat berdasarkan Novel berjudul I Don’t Like This World, I Only Like You (我不喜欢这世界,我只喜) yang ditulis Qiao Yi. Drama ini disiarkan pertama kali pada 29 April sampai 5 Juni 2019 melalui Tencent dan Youku. Novel I Don’t Like This World, I Only Like You berisi kisah perjalanan cinta Qiao Yi dan suaminya sejak bangku sekolah, kuliah, hingga akhirnya menikah.
Kisah tersebut kemudian divisualisasikan kembali ke dalam bentuk drama.
Saat pembagian posisi duduk di kelas, Qiao Yi berada di peringkat dua terakhir. Dia dituduh berbuat curang saat ujian makanya peringkatnya amblas bablas. Nah, saat itu ada aturan, mereka bisa milih tempat duduk berdasarkan peringkat. Yang paling enak sih siswa yang peringkatnya bagus. Qiao Yi yang urutannya berada di ujung antrian terakhir akhirnya hanya punya tiga pilihan dan semuanya (menurut dia) serem-serem; pilihan pertama duduk sama si tukang gombal yang males cuci rambut (TOLONGIN QIAO YI),  pilihan kedua duduk sama Fei Dachuan—cowok yang punya body gede. Siswa pindahan, denger-denger doi dikeluarin dari sekolah sebelumnya karena mukul gurunya (KURANG SEREM GIMANA COBA). Pilihan ketiga, Yan Mo—si ranking satu yang luar biasa dingin­-nya, saklek, irit ngomong, ga punya ati sama sekali pas ulangan. Kalau kamu jadi Qiao Yi, kamu bakal milih yang mana?
Dan Qiao Yi menjatuhkan pilihannya pada Yan Mo, ia duduk di dekat cowok itu. Sontak seluruh warga kelasnya shock gak percaya dengan kenekatannya Qiao Yi. Kurang lebih reaksinya kayak—HAH, BERANI MATI BANGET LO DUDUK DEKET PATUNG ES YANG PUNYA TATAPAN TAJAM SETAJAM GOLOK YANG DIASAH TIAP HARI ITUU?! Kasian banget Qiao Yi, mana sodara kembarnya si Zhao Guanchao ngasih gestur gorok leher pulak! Nggak nolong sama sekali! Horor pisan euy. .
Berawal dari situlah sejarah kehidupannya Qiao Yi dan Yan Mo. Jatuh bangunnya hubungan dua insan berbeda karakter ini. Yang satu cewek ajaib dengan segala macam keriuwehannya, satunya lagi cowok pendiem bin cool, yang minim banget ekspresi wajahnya. Sumpah, pertama kali liat dia pengen saya timpukin pake buku 300 lembar halaman HAHAHAHA. Maafkeun...
Cast dan Characters
Saya nggak familiar dengan artis-artis China. Mon maap.
Wu Qian/Jenice Wu as Zhao Qiaoyi
Gadis baik hati yang memiliki jiwa optimisme yang tinggi. Ceria sekali anaknya, Tapi sayangnya sejak kecil Qiaoyi menderita self-esteem yang rendah, nggak percaya dirinya tinggi banget. Minderan gitu, terlebih dalam hal pelajaran. Dibanding sodara kembarnya yang selalu masuk ranking teratas, Qiao Yi memang selalu tertinggal jauh. Gadis berhati lembut ini bercita-cita menjadi Produser acara televisi. Namun, ketika ia sudah semakin dekat dengan mimpinya itu, Qiao Yi mutusin berhenti demi ngejar Yan Mo. Ia bela-belain pindah ke perusahan yang baru dirintis Yan Mo bareng Fei Dachuan. Qiao Yi nge-fans berat sama Jay Chou. Kek nggak banget ya kedengarannya? Cewek ninggalin pekerjaannya yang menjanjikkan demi seorang cewek—kalau nggak nonton kamu mungkin akan berpikir demikian. Tapi coba deh dinonton dramanya...
Jenice Wu cantik banget. Bening. Senyumnya itu loh.. saya aja yang cewek terpesona. Her smile is contagious.
Zhang Yu Jian as Yan Mo
“You are my soft spot. The only consequence I can’t take.” –Yan Mo to Qiao Yi
Cowok pendiem yang punya tatapan tajam. Si saklek. Pinter, pinter banget. Nggak suka basa-basi. Langganan juara satu di angkatannya—bayangin dari ratusan siswa, dia juara satu mulu. Makanannya sandwich sama aer putih, bajunya kaos putih nggak ada yang lain, selemari isinya itu doang—Ya Allah bosen amat idup lu bang. Ngomong-ngomong Yan Mo cuman makan sandwich tiap hari kok bisa sepinter itu ya? Dan bisa menjulang gitu badannya padahal asupan empat sehat lima sempurnanya nggak terpenuhi, doi udah kek tiang jemuran belakang rumah saya.
Zhao Zhi Wei as Zhao Guangchao
“Yes, you are beautiful, but my sister is my bottomline.” –Guanchao, ep 4
Sodara kembar-nya Zhao Qiao Yi. Cowok terpinter kedua di kelas setelah Yan Mo. Hobi-nya tepe-tepe sama cewek. Genit. Ga bisa diem kalo liat cewek bening, udah bawaan dari kecil gitu—belakangan ketahuan alasan kenapa Guangchao lebih seneng pacaran nggak serius daripada yang menjurus ke nikah. Seneng banget ngegodain dan ngusilin adeknya. Tapi jangan ditanyain level sayangnya ke adek dan keluarganya—its beyond your expectation!  Guangchao nggak tegaan liat adeknya sedih. Apapun bakal dia lakuin supaya adeknya bahagia. Kakaknya Qiao Yi terbaek seluruh dunia.
Jaman sekolah saat ditanya wali kelasnya mau ngambil profesi apa nanti, Guangchao nyebut pilot tanpa ragu-ragu. Ternyata dia malah jadi dokter.
Ma Li as Hao Wu Yi
Sahabat dekatnya Qiao Yi. Satu-satunya di dunia. Tomboi. Nantinya dia jadi seorang penulis novel sukses. Wu Yi sayang sama kakaknya Qiao Yi.
An Ge as Fei Dachuan
Gara-gara body-nya yang gede dan tampangnya yang galak, dia disangkain tukang bully wkwk. Padahal mah tampang doang galak, aslinya pria berhati bunga. Oya, Fei Dachuan ini om-nya Yan Mo.
Zhang Rui Ying as Cheng Youmei
Temen masa kecilnya Yan Mo yang semangat banget ngejar-ngejar Yan Mo, tapi sama Yan Mo-nya nggak digubrisin. Belakangan May jadiannya sama om-nya Yan Mo, Fei Dachuan.
My Two Cents
“Some biases will be changed with time, but some won’t. We misread others and are also misread by others. One who seems to be fierce actually is kind. Smart people work hard in their spare time. The one who is like a cold fish also has a warm heart. In fact, the stupidest guy also tries to work hard. All can be seen are not facts. The truth needs to be proved by time.”  -Qiao Yi, episode 2
Le Coup De Foudre dibuka dengan scene wawancara Qiao Yi dan Yan Mo. Nggak pernah dijelasin dalam rangka apa mereka diwawancara. Namun melalui wawancara tersebut diketahui Qiao Yi dan Yan Mo sudah menikah dan itu adalah tahun keempat pernikahan mereka.
Scene itu bikin saya narik napas lega—setidaknya nggak akan ada aksi main tebak-tebakan siapa nikah sama siapa karena udah ketahuan sejak awal. Mon maap, mbak-nya trauma ㅋㅋㅋ
Pada kebanyakan drama yang saya nonton, episode plot seringnya ninggalin puzzle demi puzzle yang akan terungkap seiring berjalannya waktu *cough*. Alur drama romance nggak akan jauh-juh dari format; kenalan-pedekate-pacaran-putus-baikan-tamat. Le Coup De Foudre tidak seperti itu. Vibe drama ini menenangkan dan menyenangkan—sedihnya ada hepinya ada, saya nggak sadar episode demi episode berlalu, dan di setiap episodenya selalu ada hal-hal positif yang saya temukan. Le Coup De Foudre ber-genre drama romantis, tapi nyatanya isi dramanya nggak melulu fokus pada part romantisnya. Total 35 episodenya memuat perkembangan karakter-karakter-nya tentang perspektif mereka soal hidup, tak terkecuali karakter pendukung. Kayaknya motto drama ini adalah keep moving forward. They are growing up through episode by episode.
Saya sudah bilang di awal tulisan ini kalau saya kuatir tulisan saya gagal menyampaikan bahwa betapa berharga-nya Le Coup De Foudre. Sedih rasanya saat saya nyari review dramanya di Google—masih sedikit dan kebanyakan blog berbahasa Inggris. Saya ingin mereka yang belum menonton drama ini akan memutuskan—setidaknya—nyoba dua-tiga episodenya setelah baca postingan saya, saya ingin mereka membuktikan kalau saya tidak berbohong, bahwa Le Coup De Foudre sayang untuk dilewatkan. Berikut saya sebutin apa saja yang membuat saya muji Le Coup De Foudre setinggi-tingginya.
Nggak ada karakter antagonisnya
Saya ngomong gini bukan berarti drama yang punya karakter antagonis itu jelek. Karena Le Coup De Foudre genre-nya romantis, saya pikir kehadiran tokoh antagonis—orang ketiga, keempat, kelima dst—akan membuat drama ini tak berbeda dari drama romantis kebanyakan. Konflik drama ini udah cukup bagus tanpa orang ketiga. Btw, saya ngerasa l Le Coup De Foudre lebih tepatnya disebut drama keluarga ketimbang drama romance.
Nilai tambah drama ini adalah dengan menjadikan setiap karakter memiliki sisi antagonisnya masing-masing—bukankah tokoh antagonis sesungguhnya memang berasal dari diri kita sendiri?
Bapak tiri rasa kandung
Udah pada tau kan stereotype-nya Bapak Tiri di masyarakat kita? Nggak terlepas dari yang negatif—jahat, kejam bla bla bla... Tapi Bapak Tiri di Le Coup De Foudre ngalahin baeknya bapak kandung sendiri. . 
Qiao Yi dan Guanchao memiliki masa kanak-kanak yang keras dan meninggalkan luka yang mereka bawa hingga dewasa, dan bahkan turut memengaruhi arah berpikir anak kembar ini mengenai gambaran masa depan yang ingin mereka miliki. Kedua orang tua Qiao Yi-Guanchao berpisah saat usia mereka enam tahun. Qiao Yi kerap mendapatkan pelakuan kasar dari ayahnya. Pernah, karena perlakuan kejam bapaknya, gadis itu harus menjalani operasi. Kejadian itulah yang membuat ibunya memilih berpisah. Beberapa tahun kemudian Zhao Suying—ibu Qiao Yi dan Guanchao—bertemu Tian Weimin, seorang polisi baik hati. Pria itu menolong Qiao Yi yang tersesat ketika sedang bermain dengan Guanchao. Tersentuh dengan kebaikan Tian, Suying pun bersedia menikah dengan pria itu meski usia terpaut jauh. Sebuah pilihan tepat, Tian pria yang baik.
Tian Weimin is a funny guy—nginget-nginget tingkahnya aja bisa bikin ketawa ㅋㅋㅋㅋ. Dia sayang banget sama Qiao Yi dan Guanchao—dia siap mempertaruhkan hidupnya demi anak-anaknya. Saya berkali-kali dibuat terharu sama Tian Weimin. Bapak yang penyayang dan selalu ada untuk Qiao Yi dan Guanchao, seringkali jadi sekutu si kembar ini. Ngakak dong liat mereka bisik-bisik ngegocipin Mak Suying di meja makan. Lucu banget liat Tian Weimin yang selalu kedapatan sama istrinya lagi megang botol minuman keras , ia dilarang keras minum HAHAHA. Udah disembunyiin di tempat paling rahasia pun pasti ketahuan. Suying semacam punya mata di mana-mana yang mengintai pergerakan suaminya ㅋㅋㅋㅋ
Kelakuan keluarga Zhao tuh kek nyata banget, bisa kita lihat pada keseharian keluarga-keluarga di sekitar kita. Bukan sesutu yang utopis. Potret keluarga bahagia yang saling melindungi satu sama lain. Lantas apakah mereka tidak pernah terlibat konflik? Pernah. Tapi, seperti katanya Qiao Yi,
“Family is everyone’s weakness. It makes you fragile. But after tears, you will incomparable strong.” –Qiao Yi, ep 8
Keharmonisan keluarga Zhao sangat menginspirasi. I’m not kidding.
Le Coup De Foudre punya Super Mom
Di scene Suying dan Tian ngelepas Qiao Yi yang bakal menetap di Beijing untuk urusan pekerjaan, saya teringat orangtua saya dulu sewaktu melepas saya kuliah ke kota orang, mirip banget. Trus yang scene-nya Qiao Yi merasa terganggu oleh telepon ibunya yang terlampau sering. Padahal ibunya melakukan itu selain karena kangen anaknya, juga karena khawatir. Ibu-nya sampe dijagain berita tivi demi liat ramalan cuaca di Beijing. Makanan juga dikirimin ke tempatnya Qiao Yi  supaya Qiao Yi sering-sering ngajak makan temen-temen kantornya, tapi gadis itu malah salah paham .
“Growing up,  I don’t remember how many things I’ve done to hurt her. Because she is the most intimate person. I always lose my temper over her. My mom is my whole world. She’s the most talkative person but she is the easiest to comfort. Because she loves me more than I love her...” –Qiao Yi, ep 20
Qiao Yi seperti bisa membaca pikiran saya. Apa yang diucapkannya tentang ibunya setelah menyadari kesalahannya, adalah apa yang pernah saya katakan (sambil nangis) kepada diri saya sendiri, tentang mama saya. Di scene itu saya ikut nangis bareng Qiao Yi.
Yan Mo is (not) just an Ordinary Man
Coba deh cari cowok yang udah ditolak berkali-kali tapi masih setia nunggu yang nolak dia sampe bertahun-tahun padahal nggak ada jaminan penantiannya akan berbuah manis. Setia-nya Yan Mo tuh bikin meleleh. Sulit dipercaya. Sampe ponsel Nokia bututnya masih disimpen berikut nomer hpnya—berharap suatu hari Qiao Yi akan menghubungi nomornya. DUH. Tuhan, mau dong yang kayak Yan Mo... #NgarepBangetLoMbak
Yan Mo bukan tipikal lead male tsundere yang biasa kita lihat di drama-drama romantis. Emang sih cool di luar tapi soft di dalem (catet; bukan sok cool ya), tapi Yan Mo-nya nggak kasar sama Qiao Yi atau sok jual mahal. Yan Mo is Yan Mo—cowok ganteng bin pinter yang nggak tau gimana cara menunjukkan perasaannya, kaku, jarang senyum tapi giliran doi bertindak—dunia seakan berubah jadi warna pinkeu-pinkeu, bunga-bunga bertebaran di mana-mana dan yang nonton (wabilkhusus jomlo langsung gigit-gigit ujung bantal) HAHAHAHA. Smooth meeeeeeeeeeen.
Beruntungnya Qiao Yi . SAYA CEMBURU BERKUBIK-KUBIK!!! .
Ada scene Qiao Yi telat pulang, pulangnya udah malem banget. Bukan Qiao Yi namanya kalo nggak bisa nyari alasan, dan bukan Yan Mo namanya kalo dia ngebiarin Qiao Yi lolos gitu aja. Yan Mo dengan tenangnya ngambilin istrinya air minum sambil ngomong pelan—kurang lebih seperti ini, “aku ngelakuin ini bukan berarti kamu dimaafin,”  Marahnya bukan yang kayak gimana-gimana, tetep care sama istrinya. #BAPERNOMOR777
Ngakak liat Yan Mo cemburu, jadi rada-rada absurd gitu mas-nya (melampaui ke-absurdan istrinya) HAHAHAHA. LUCUUUUUU. GEMESIIINNYA PAKE BANGET. Dan siapa yang nggak mesem-mesem otw meleleh ngeliat Yan Mo ngikutin permainan absurd Qiao Yi? Scene di hotel! *KETAWASETAN*
We Love Friendship!
Selain urusan romansa dan keluarga, Le Coup De Foudre juga menyuguhkan ikatan persahabatan yang kental antarkarakter, sebut saja Qiao Yi dan Hao Wu Yi—friendship goals banget. Selalu ada di saat-saat sulit dan bahagia. Sempat berselisih namun itu justru kian mempererat persahabatan mereka.
Nggak boleh dilupa juga, betapa supportif-nya Fei Dachuan terhadap Qiao Yi dan Yan Mo. Fe Dachuan sampe ngomong ke Yan Mo—gue akan brenti nonton drama romantis kalo lo berdua gak jadian! HAHAHAHA
... and of course we got a happy ending!
RATING
★★★★
4/5
Drama ini berhasil mendefiniskan makna keluarga dengan sangat baik. Saya paling suka saat-saat di mana setiap karakter berjuang melewati satu fase krusial yang setelahnya akan kian mendewasakan pola pikir serta memperbaharui sudut pandang mereka. Saya nggak ngebahas gimana Yan Mo menghadapi masalah keluarganya, tapi jujur saja momen-momen tersebut sangat menyentuh.
Saya menutup postingan ini dengan sebuah kutipan favorit saya dari Guanchao,
“Don’t fear. We just meet a red light for a moment.”
Tabik,
Azz (yang lagi patah hati)
HAHAHAHAHA *fake laugh*

[Review C-Drama] Le Coup De Foudre

by on 10/22/2019 03:54:00 AM
Setelah namatin Put Your Head on My Shoulder beberapa bulan lalu, saya bergerilya nyari-nyari drama China yang kira-kira cocok sama se...