“I will become the rain above your ocean, so that I can always come down to you, and hug you close...” –Hoppipolla, Ocean


Tanggal 20 kemarin, selepas Maghrib, pukul enam sore lewat tigapuluh menit saya sudah harus berada di dalam ruangan, bertatap muka dengan murid-murid saya. Saya punya jadwal mengajar setiap Senin dan Rabu malam. Itu adalah pertama kalinya saya keluar rumah setelah jatuh sakit sepekan penuh. Dua sekolah tempat saya mengajar diliburkan terkait Covid-19, tetapi tidak di tempat lain di mana saya (juga) turut melibatkan diri sebagai tenaga pengajar. Tentu saja protokol kesehatan tetap dijalankan.


Saya ingat, mini album kedua Hoppipolla dirilis hari itu. Bisa dipastikan saya tidak akan on time mengikuti perilisan album yang diberi judul And Then There Was Us itu. Tidak apa. Sepulang ngajar saja.


Tentang kambeknya Hoppipolla kali ini, saya sengaja menghindari spoiler dalam bentuk apa pun. Kalo pun kebetulan lewat di feed IG, saya cepet-cepetin biar tidak terbaca atau terdengar telinga saya. Lucu. Saya berharap dengan melakukan itu, saya akan mendapatkan efek surprise yang luar biasa dari lagu-lagu baru Hoppipolla nantinya. Iya, saya se-niat itu. Karena Hoppipolla spesial di mata saya, karena saya lebih dari percaya Hoppipolla tidak akan mengecewakan harapan saya.


Saya nih nunggu banget kambek-nya tapi di sisi lain mati-matian enggak mau tau gimana step by step menuju rilis album. Dasar aneh ya saya ㅋㅋㅋ


Saya ingin mendapatkan reaksi yang pure dari mendengarkan lagu-lagu dari mini album kedua Hoppipolla ini, anggaplah saya sedang mencoba untuk semakin menguatkan pendapat saya bahwa lagu-lagunya Hoppipolla adalah magic, adalah kunci-kunci yang bisa membuka pintu-pintu ruangan yang menyimpan rahasia-rahasia terdalam kita. Bahwa kita tidak mesti harus menjadi fans untuk mengakui sebagus itu lagu-lagu band yang terbentuk melalui ajang Superband jtbc ini.


Oh iya, saya sempet (enggak sengaja) kena cipratan audio snippet track nomor 2, The Love. Nggak pake ba bi bu, hanya beberapa detik potongan The Love sudah berhasil bikin saya pengen nangis. Padahal tau liriknya aja kagak, hanya bermodal  suara memelasnya Hyunsang diiringi petikan gitarnya Young-so. .


Pukul sembilan malam, saya tiba di rumah. Setengah bergegas mencari spot jaringan bagus. FYI, rumah saya terletak di satu kecamatan nun jauh di salah satu kabupaten di pulau berbentuk K, Sulawesi. Kecamatan yang menjadi bagian satu pulau kecil yang hanya berbentuk satu titik kecil di peta Indonesia. Kondisi jaringan internet di sini sangat mengharukan (baca; sekarat). Untuk di rumah saya, tangkapan jaringan yang bagus hanya ada di titik tertentu. Jadiiii, saya butuh perjuangan maksimal agar bisa mendengarkan full mini album Hoppipolla HAHAHAHA.


Dan ketemulah saya dengan 너의 바다(Ocean) yang menjadi track utama album And Then There Was Us.



Bagaimana rasanya?


....


      rasanya....


Rasanya seperti bertemu teman lama. Teman yang sudah lama membersamaimu, yang acapkali kamu lupakan keberadaannya, tetapi dia tetap di sana, mengawasimu, mendoakanmu, memelukmu dalam hening yang suara-nya hanya bisa dipahami oleh kalian berdua.


Teman itu, dirimu sendiri.


Saya menangis. Diam-diam. Sendirian.


Ocean terdengar sangat personal di telinga saya. Ada kesedihan yang begitu intim dan sendu. Tetapi ini bukan sejenis patah hati.


Pernah nggak sih ngerasain sedih dan menangis tapi itu nggak bikin kamu terlihat seperti orang depresi? Lebih ke yang merasa lega aja. Karena menangis tidak melulu bergandengan hal-hal yang menyakitkan, iya kan?


Itulah first impression saya terhadap Ocean.




And Then There Was Us yang merupakan mini album kedua Hoppipolla terdiri dari 8 track. Saya nih bingung mau bahas album secara keseluruhan atau per track nya? Oiya, saya bahasinnya lagi-lagi enggak pake term of music ya—saya nggak tau apa-apa soal itu. Saya menulis ini dari sudut pandang pendengar lagu-nya Hoppipolla saja. So, bear with me, ok?


track 1, Where Is


Saya merinding denger track pembuka album ini. Aransemen dan liriknya—dua-duanya bikin merinding.


“... we are face without desire.” 


Bagian ini! Moga aja saya ga salah nangkep lirik.. Yang saya tangkap adalah ungkapan frustasi, tentang hal-hal yang sudah terjadi, yang tidak bisa di ctrl + Z dan ditulis ulang. Apakah ini ada hubungannya dengan judul albumnya? ... there was us. Was. Past tense.


track 2, The Love


Pertama kali mendengar lagunya, saya hanya mengetahui beberapa potong arti lirik lagunya. Kontradiksi. Itulah yang terbayang di kepala saya. Lalu setelah mengetahui arti lirik lagunya. Tiba-tiba saja saya merasa lagu ini menjadi sangat personal bagi saya. ada satu baris liriknya yang membuat saya teringat satu sosok yang pernah mengisi puncak list orang yang paling saya benci di hidup saya.


“In order to hate you, how many excuses did we look for?”


Lirik The Love poetic sekali menurut saya. Maknanya tersirat dan dalam, yang artinya apa yang dimaksud penulis liriknya bisa saja dimaknai berbeda setelah tiba di kepala pendengar lagu lainnya.


Coba deh perhatiin...

[Hyunsang] There are traces of people passing by in my heart

There is a rusty mirror which is about to break

In that dried-up riverside, I see a dirty child

[I’ll] Just some steps of returning back slightly

On the roadside, there is a shiny mirror which I’ve always wanted

By that riverside where the water overflows

I see a child who resembles me.


Bagaimana kalau tokoh utama yang dimaksud penulis lirik The Love adalah dirinya sendiri? A Rusty Mirror, Dirty Child...


A shiny mirror which I’ve always wanted...


Asli, ini lagu punya makna yang dalam sekali. Sedih.


Klimaks lagunya menurut saya dimulai di menit ke 02.07 hingga menuju akhir lagunya. Monolog-nya Hyunsang (CMIIW) dan suara-suara orang seperti berdebat (sibuk menyalahkan entah?) yang menjadi latar belakang melengkapi intensitas konflik lagunya. Cara mengakhiri lagunya juga dramatis. Seperti ada yang tidak selesai. Ini track paling dramatis dan intens dari album And Then There Was Us, setelah Where Is.


Plis, saya kepo pengen tahu suara orang-orang di belakang lagi ngomongin apa? Ada yang tahu?


track 3, 너의 바다(Ocean)



“Shall we go to the ocean?”


Saya membayangkan laut dan langit biru di hadapan saya.

Tapi ocean yang dimaksud dalam lagu ini bisa saja merujuk ke hal lain. Bukan dalam arti sesungguhnya. Sebuah metafora. Bisa saja.


“You were walking in ocean depth alone.”


Saya nangis di sini.

Ada dua tokoh utama di lagu ini. Si Aku dan dia yang menghabiskan waktunya sendiri, yang berjuang melewati hari-harinya sendirian. Sambil mendengarkan lagu ini, saya membayangkan dua orang berjalan (tidak) bersisian di pinggir pantai. Satu di belakang, sedang satunya lagi agak mendahului di depan. Orang yang berjalan di belakang begitu lekat menatap punggung orang yang berjalan di depannya. Punggung yang sanggup berbicara tentang banyak hal, tentang apa-apa saja yang telah dilewati pemiliknya, tentang rahasia-rahasia yang disimpan untuk dirinya sendiri.


“Finally, at last, I can see your ocean.”


Pas di sini, di MV-nya ada pintu yang menggulung, membuka. Lirik dan scene Mv-nya berjalan beriringan.


Lalu masuklah pada klimaks lagunya di menit ke 03.18. Gitarnya Young-so dan Cello-nya Jin-ho tidak saling bersahutan tapi bersama-sama menciptakan klimaks. NANGISSSS. Lirik yang mengisi part ini menurut saya menjadi highlight Ocean. Inti lagunya.


“I will become the rain above your ocean,

so that I can always come down to you, and hug you close.”

.


Saya tidak tahu apakah ini hanya perasaan saya saja, ‘Shall we go to the ocean’ di pembuka dan penutup mempunyai tone yang berbeda. Atau mungkin karena nada piano yang mengikuti setelahnya berbeda, sehingga suasananya pun menjadi sangat jauh berbeda. Di pembuka lagu, shall we go to the ocean—seseorang menawarkan dan disambut. Sedang shall we go to the ocean yang menutup lagunya hanya berakhir pada tanda tanya. Shall we go to the ocean?


Yang paling sulit adalah menjelaskan perasaan yang kita miliki dalam bentuk kata-kata, menjadi sekumpulan kalimat yang senada dengan perasaan itu sendiri. Seringkali kata-kata dan kalimat tidak bisa sepenuhnya mampu mewakili perasaan kita dengan utuh. Itulah yang terjadi pada saya ketika mencoba menguraikan perasaan saat saya mendengarkan Ocean.


... shall we go to the ocean?


Ocean bisa mewakili siapa saja. Maknanya universal. Inilah yang menjadi kekuatan luar biasa Hoppipolla. Lagu-lagunya berubah menjadi sangat personal, tergantung pada kondisi psikologis dan perspektif orang yang mendengarkannya. Seperti halnya saya dan first impressions saya terhadap Ocean yang berubah setelah saya mencoba memahami lirik lagunya memakasi POV orang yang berada di luar lingkaran cerita. Di waktu lain, saya atau siapa pun bisa leluasa memilih menjadi tokoh utama lagunya. Dan rasakan perbedaan garis-garis emosinya. Satu yang pasti, mustahil melarikan diri jebakan emosi yang diciptakan nada-nada lagu Hoppipolla.


Tentang Ocean, ini adalah puisi yang mengisahkan satu tempat paling rahasia yang selalu dimiliki setiap manusia. Ocean adalah puisi yang diberi nada. Kalem. Kaya akan emosi. Dan rahasia.


Eh, coba deh dengarkan Our Song dan Ocean secara berurutan. Dua perjalanan warna emosi yang saling beririsan. Sesungguhnya, emosi-emosi manusia tidak pernah berdiri sendiri. Ia tidak tunggal. :’)


track 4, Unnatural


Ini adalah lagu yang paling mudah saya pahami. Jika saya diminta membayangkan pemandangan apa yang saya lihat di hadapan saya saat mendengarkan Unnatural, inilah yang muncul :


Malam hari. Kamu berjalan seorang diri, melintasi trotoar jalan yang tidak lengang tetapi tidak terlalu ramai juga. Lalu kamu memilih duduk di tempat di mana kamu merasa bisa leluasa mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Kamu dan isi kepalamu.


Unnatural adalah tentang manusia yang mempertanyakan manusia lainnya. Ia yang tidak menyadari bahwa ia pun tidak kalah aneh-nya dari orang-orang yang dipertanyakannya itu. HAHAHAHA.


Bohong besar kalau kita nggak pernah duduk kayak orang bego, dengan isi kepala sibuk bertanya-tanya mengenai manusia dan keanehan-keanehannya.


“I thought we were on the same path,

We’re just walking to different places and gradually separate from each other.”


track 5, Mom


“I do. I do. I do.”

Baru masuk pembukaan lagu, belum masuk ke lirik, hanya alunan piano dan cello, saya udah nangis duluan. Efek judul ternyata membawa pengaruh besar. Mom, track kelima ini judulnya Mom. Mama. Ibu. Emak. Makanya begitu piano dan cello terdengar pertama kali, bayangan ibu saya seketika mendatangi saya.


“In the view of her back which I’ve been looking at,

I can see she has too much burden...”


Ibu saya ibarat rentetan kisah-kisah hidup paling sedih yang pernah saya baca. Ibu saya, perempuan paling kuat yang pernah saya kenal. Ia menyerupai kesedihan yang sudah melupakan wajahnya sendiri. Karena ia sudah terlalu akrab, sudah terlalu terbiasa dengan kesedihan, sebab itulah ia memilih melepaskan kemampuannya mengingat seperti apa rasanya.


Air mata saya mengalir deras. Saya tidak bisa berhenti menangis bahkan setelah lagunya selesai.


Perasaan seperti apa yang muncul ketika mendengarkan Mom akan berbeda bagi saya dan orang lain, tergantung bagaimana kita mengingat ibu kita masing-masing, atau tergantung pada imej sosok ibu yang menempati ingatan kita selama ini. Tetapi saya cukup yakin soal ini, mendengarkan Mom membuat kita ingin berlari dan memeluk erat ibu kita saat itu juga seraya mengucap terima kasih dan maaf.


“I hope the countless days which we spend together were a journey of happiness.”


Dan kita memiliki harapan yang sama.

Selain pada judul, tidak ada satupun lirik lagu ini yang memasukkan kata mom. Tapi saya rasa siapun dia yang mendengarkan lagu ini akan bersepakat betapa kuat guncangan emosi yang diakibatkan oleh lagunya.


Sudah tidak terhitung berapa kali saya mendengarkan Mom dan saya tetap saja bisa dibuat menangis. .


track 6,  유랑 (Wander)


WAAAAHHHH. Track 6 ini kayak pengen bilang ke saya ‘SURPRISE!!!’ HAHAHAHA. Wander adalah harta karun tersembunyi di album ini.


Tau nggak apa yang muncul di kepala saya pas saya dengerin instrumen ini? Suasana pedesaan Korea Selatan di musim gugur dan musim dingin. DAAAAAN ada satu drama yang tiba-tiba nongol gitu aja, refleks. When The Weather is Fine!! OMOOOO. Sumpah, instrumen Wander ngeklik banget dengan nuansanya When The Weather is Fine. Saya langsung kepengen rewatch lagiiii. Wander tuh berasa lagi ngajakin nostalgia .


Serasa ada unsur musik tradisonal Korea-nya, tebakan saya bener ga sih? Cello-nya Jin-ho nim itu lohhh. Sukak banget track 6.


track 7, And Then There Was Us (Hidden Track)


Misterius.

Ada yang bisa ngasih tau saya tentang track ketujuh yang menjadi hidden track sekaligus menjadi judul albumnya Hoppipolla ini? Di awal instrumen ada suara orang seperti melakukan sesuatu. Lalu ada yang nyanyi Hyunsang atau I’ll itu...


track 8, 너의 바다 (inst)


Kkeut.



Saya tidak bisa memilih track favorit saya. Saya suka semuanya. Mendengarkan 8 track album ini masing-masing telah memberikan pengalaman perjalanan emosi yang berbeda tetapi menjadi utuh dan tidak terpisahkan satu sama lain.


Saya senang sekali, setelah eksplorasi emosi yang luar biasa, Wander hadir. Posisi Wander mirip dengan Sorang dari Spring to Spring.


Mini album kedua Hoppipolla terasa jauh lebih personal dan intim bagi saya. Eksplorasi emosi yang coba dilakukan sangat mengejutkan. Dengan atau tanpa lirik pun saya tetap bisa dibuat mengharu biru. Secara keseluruhan tone albumnya sangat melankolik.


Entah mengapa saya merasa album ini seperti bermaksud mengajak saya mengkilas balik hari-hari yang sudah pernah saya lewati, beberapa ingatan di antaranya sudah hampir saya lupakan—terlupakan


Past tense.

Album And Then There Was Us sangat cocok menemani kita ber-kontemplasi.


Mungkin kamu bisa memilih satu hari, di antara sekian hari-hari yang (acapkali) terlalu melelahkan untuk bisa dilalui, kamu duduk seorang diri. Diam saja, tidak melakukan apa-apa. lalu cobalah dengarkan album And Then There Was Us.


Mungkin, setelahnya kamu akan berkeinginan sangat kuat untuk memeluk dirimu sendiri.  Karena itulah yang terjadi pada saya.


Ada yang pernah bilang, masa lalu jangan diungkit lagi, masa lalu cukup ditinggalkan di belakang tidak perlu ditengok lagi. Tapi, bagaimana jika di penghujung hari yang tidak terlalu menggembirakan kamu tidak sengaja mengingat-ngingat masa lalu dan kamu tersadar betapa jauh hidup telah membawamu pergi, kamu pernah melewati hari-hari paling kelam dan berat dan kamu masih bisa berdiri di hari itu.


Masa lalu bisa menjadi bukti, kamu kuat. Semoga kamu tidak memilih menyerah setelah melewati hari-hari yang sulit, meski sendirian.


“Hoppipolla is unfamiliar word in Korea. I wish people would imagine scenery and get comfort by listening to our music without knowing the meaning of the word.” –I’ll




Terima kasih Hoppipolla telah menjadi pelukan yang hangat, sekali lagi, untuk saya. I am a fan of you, guys! Kalian amazing!


Tabik,

Azz

#JanuariNgeblog2021

ditulis sambil masak

“The so-called Familiarity Breeding Fondness is all just love at first sight that we don’t recognize.” –Forever Love, Ep 1


Forever Love merupakan drama yang diadaptasi dari novel berjudul Bai Nian Zhi Hao, Yi Yan Wei Ding karya Su Guang Tong. Drama berjumlah28 episode dengan durasi 45 menit per episodenya ini telah selesai ditayangkan melalui Wetv, original network-nya dipegang oleh Tencent. Mengisahkan tentang Xia Lin Xi, seorang siswa kelas 12 SMA yang dikenal cerdas dan selalu menduduki peringkat satu di sekolahnya. Lin Xi adalah potret ideal anak yang lurus-lurus saja hidupnya—mematuhi orang tua dan gurunya. Suatu hari, sebagai perwakilan kelas, Lin Xi ditugaskan wali kelas untuk membawa Jiang Zheng Han ke sekolah, si murid pindahan yang belum pernah kelihatan batang hidungnya. Namanya juga anak yang patuh sama guru, dikasih tugas seperti itu, Lin Xi memaksimalkan usahanya agar Zheng Han mau ke sekolah. Memaksimalkan di sini maksudnya adalah Lin Xi bersedia melakukan apa pun itu—sepanjang tidak melanggar aturan—agar bisa menyeret Jiang Zheng Han ke sekolah.


Pendek cerita, ada beberapa insiden kecil yang membuat Zheng Han dan Lin Xi, mau tidak mau, selalu berinteraksi (debat muluuuu kayak kucing sama tikus wkwk) hingga kemudian Zheng Han, tanpa sepengetahuan Lin Xi (ternyata) menjadi tutor pelajaran matematikanya atas rekomendasi dari ibunya. Pada saat itu, ibunya Lin Xi tidak tahu identitas asli Zheng Han yang masih berstatus sebagai siswa sekolah menegah.


Di mata Lin Xi, Zheng Han tak lebih seperti anak-kebanyakan anak laki-laki lain seumurannya—mengabaikan sekolah demi mencari kesenangan, mencari uang. Zheng Han tuh dikit-dikit duit, apa aja yang dilakuin yang membutuhkan tenaga-nya, bayar-nya pake duit, makanya Lin Xi kesel dan nggak bisa nolong dirinya sendiri untuk nggak nge-judge Zheng Han sebagai cowok mata duitan wkwk. Kesan pertama begitu membekas. ㅋㅋㅋㅋ


Belakangan Xia Lin Xi mengetahui fakta mengejutkan mengenai kehidupan Zheng Han, anak cowok yang kerja di warnet itu, yang dituduhnya mata duitan....


Sebelum pindah ke sekolahnya Lin Xi, Zheng Han termasuk siswa berbakat di sekolah terdahulunya. Namun satu kejadian yang menimpa keluarganya memaksa Zheng Han harus pindah sekolah. Pabrik tempat ayahnya bekerja mengalami kebakaran, banyak korban jatuh, keluarganya pun bangkrut. Atas nama tanggung jawab (dibaluri rasa bersalah yang dalam), Zheng Han masih membantu keluarga korban dari peristiwa tersebut. Jadi, uang yang dihasilkannya selama ini bukan digunakan untuk keperluan pribadinya seperti yang disangkakan Lin Xi, melainkan untuk membantu keluarga korban. Anak baik.


Usai mengetahui hal tersebut, Lin Xi merevisi kembali sudut pandang yang sudah terlanjut terbentuk di kepalanya tentang sosok Zheng Han.


Begitulah awal mula kedekatan Lin Xi dan Zheng Han.


Secara ringkas, Forever Love mengisahkan perjalanan hidup Lin Xi dan Zheng Han sejak di bangku SMA, kuliah, lalu menikah. Drama tipikal yang klise yang sudah sangat banyak—oke, sudah terlalu banyak cerita seperti ini di drama Cina. Tapi saya berani bilang, dengan pengalaman ngedrama Cina saya yang baru seumur jagung ini, Forever Love adalah salah satu drama Cina favorit saya yang tidak akan pernah bosan saya nonton ulang. Drama dengan cerita yang biasa saja, klise, akan tetapi berhasil menjaga saya supaya tetap setia menonton 28 episodenya tanpa sedikit pun merasa sudah membuang-buang waktu. Tidak banyak drama romantis Cina yang bisa membuat saya seperti ini. Rasanya seperti sedang menonton kisah nyata pasangan muda yang berjuang bersama-sama, memulai semuanya dari nol, yang tidak hanya bermodalkan cinta semata, tetapi juga dengan tanggung jawab yang setara. Realistis, sedikit drama, dan menginspirasi.


Pertemuan saya dengan Forever Love terjadi ketika saya menyelesaikan Meeting You dan The Best of You in My Mind—dua drama dengan genre serupa, lalu saya merasa kelimpungan nyari tontonan drama Cina baru. Sebelum itu, saya sudah pernah menonton satu klip Forever Love yang lewat di feed IG, tapi saya abaikan. Beberapa waktu berlalu, di twitter menfess drama Cina ada yang mosting klip drama, jadi di situ ada satu cowok yang sedang mengutarakan perasaannya ke cewek yang disukainya, dramatis, dan melo parah—aslik, aktingnya bagus banget. Directing-nya juga. Saya kok kayak pernah lihat ya cowoknya, gitu batin saya. Voila, itu Wang An Yu—cowok yang main di Forever Love! Setelah saya baca-baca komentar di bawahnya, rupanya itu drama-nya Wang An Yu yang lain, dan sudah selesai tayang, bukan Forever Love. Nah, abis itu saya mulai penasaran sama Forever Love. Seperti biasa, saya cek ke MyDramaList dulu, mau baca review orang-orang yang sudah nonton. Dari page satu sampe page terakhir, bisa dibilang positif semua isinya. Wah, saya yang tadinya mulai penasaran langsung naik level-nya ke KEPO PARAH. Sebagus apa sih drama Cina yang mengusung genre Youth Drama ini?


Dah. Cussss donlot 28 episode. HAHAHAHAHA. Azz mah anaknya paling nggak bisa dipancing.... Iya, pokoknya jangan dipancing deh. Kalo udah terlanjur dipancing ya... gitu.


Dan saya ngelarin 28 episode Forever Love hanya dalam 3 hari. Karena dramanya ringan? Tentu itu salah satu alasan yang membuat saya enggan menangguhkan Forever Love. Alasan lainnya karena dramanya asik, bikin saya keterusan nonton. Setip ada waktu luang yang dinonton lanjutan Forever love.


Apa aja sih yang bikin saya se-suka itu dengan Forever Love? Yang bikin saya nggak bosen-bosen nonton ulang lagi dan lagi? Coba ya saya tulis satu-satu... semoga nggak ada yang ketinggalan.


Karakter Utama Cowok dan Cewek-nya Setrong!!

Xia Lin Xi

“We are interdependent yet so independent. I love you. I hope that we are boyfriend and girlfriend who grow up together. I don’t need my boyfriend to protect me all the time. I don’t need him to be a nanny, or another parent to me.” –Xia Lin Xi


Saya belum lama nyemplung di drama Cina, belum cukup setaun, tapi list drama romance yang sudah saya nonton sudah bejibun, ada kali dua puluhan judul HAHAHAHA. Jadi saya punya sedikit pengalaman menonton drama romantis Cina. Setidaknya, saya sudah punya gambaran umum karakter utama cowo dan cewe-nya yang sudah biasa dipake di drama. Sangat jarang saya temukan di drama romantis Cina yang menokohkan karakter perempuan utama dengan adil, tidak dibayang-bayangi sosok maskulin si tokoh pria—no, saya nggak bermaksud menyeret topik ini ke perbedebatan soal gender. Saya hanya bilang kalau penokohan karakter utama perempuan di drama romantis kelewat tipikal drama, cenderung powerless. Kalau udah keseringan nonton drama romantis made in China pasti udah paham banget maksud saya. Terlebih lagi jika memasuki genre drama coming of age, youthful drama, atau drama-drama yang mengambil latar sekolah atau perkuliahan, kebanyakan karakter utama perempuannya dibikin um... gak pinter, yah seperti yang saya bilang, selalu dibayang-bayangi dominasi si karakter utama pria.


Ketika saya memulai episode 1 Forever Love, saya terkejut mendapati si tokoh utama perempuannya, Xia Lin Xi, diceritakan sebagai anak berprestasi, cerdas, dan mandiri. JARAAANGGG BANGET NEMU YANG KAYAK GINI DI DRAMA ROMANTIS CINA. Semakin banyak episode yang saya nonton, semakin bangga saya dengan Lin Xi. Sejak awal episode hingga episode terakhir, saya menangkap konsistensi pada penggambaran karakter ini. Bagaimana dengan character development-nya? Perkembangan karakternya berjalan dengan baik! Lin Xi yang anak SMA dan Lin Xi yang udah kuliah—grafik perbedaannya terlihat. Lin Xi jauh lebih mature, terlihat dari bagaimana ia meng-handle masalah-masalah yang datang kepadanya. Dan luar biasanya, dia coba selesaikan itu semua sendiri. Dia selalu bilang ke Zheng Han, semacam kalau aku nggak bisa nyelesaiin atau nemu kendala yang nggak bisa aku tangani sendiri, aku bakal ngasih tau kamu. Sikap percaya dirinya bagus. Dan emang bisa dipertanggung jawabkan omongannya. Jadinya sinkron, dia yang diceritakan sebagai anak yang cerdas sepadan dengan tindakan-tindakannya—logika fiksinya jalan di sini. Enggak jomplang, atau bolong-bolong. Seringkali, atas nama dramatisasi untuk menaikkan tensi drama, karakter-karakter utama menjadi korban, di beberapa part karakter-karakter utama seperti kehilangan jati dirinya. Syukurlah Xia Lin Xi tidak mengalami hal tersebut.


Apakah saya jatuh cinta dengan Lin Xi? Yes. No doubt.


Karakternya likeable. Reliable. Dewasa. Strong. Mandiri. Cerdas. Cool. Apa lagi ya... senyumnya manis, ngademin, bikin kita yang liat jadi ikutan senyum juga, nular. Cantik luar dalem. Terhadap karakter lain yang terlibat konflik dengannya, Lin Xi tidak berusaha bertindak menyerang balik, ia menyikapinya dengan proporsional dan kepala dingin. Anaknya enggak menye-menye. Pantesan aja Jiang Zheng Han cinta banget.


Lin Xi berbakti banget sama orangtua. Salah satu yang menjadi motivasinya jadi anak baik adalah supaya orang tuanya tidak saling menyalahkan dan tidak bercerai. Sedih sih pas bagian ini .


Banyak banget adegannya Lin Xi yang berkesan. Di episode 4 sewaktu dia ngomelin Zheng Han yang kabur dari sekolah dan terima-terima aja disalahpahami guru-guru. Keren. Coba itu Zheng Han enggak diomelin begitu, cerita masa depannya mungkin akan berbeda.


And you know what? Jika saya sudah sedemikian sayang dan cintanya dengan karakter utama perempuan di satu drama, itu menandakan bahwa saya 200% terpikat dengan dramanya. Saya masih bisa nge drop drama kalau yang saya sukai cowoknya saja, tapi kalau itu karakter utama perempuannya, yang sudah-sudah saya enggak pernah nge-drop.


Jiang Zheng Han


Karakter utama yang laki-laki digambarkan sempurna, tampan, kaya, mendominasi—tipikal—sudah sangat sering ditemukan di drama Cina. Jiang Zheng Han adalah pengecualian. Pertama kali ketemu Zheng Han, seperti Lin Xi, saya juga terlanjur memberikan penilaian sepihak. Awalnya saya enggak respek. Tingkah polahnya yang cuek, slenge’an, dan dingin tidak mengesankan saya. barulah setelah beberapa episode saya tersadar, dia hanya seorang anak laki-laki 18 tahun yang sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya dan harus menahan tekanan beban yang tidak semestinya diemban anak seusianya. Itulah sebabnya ia terlihat begitu tangguh, namun lemah secara psikologis. He is just a little boy.


Dari sikapnya, sepertinya Zheng Han sudah biasa disalahpahami dan ia merasa baik-baik dengan itu. Ia membantu mengamini penilaian orang terhadapnya. Dipikirnya, kenapa mesti susah payah membela diri jika orang-orang hanya memercayai apa yang dilihatnya. Itulah Jiang Zheng Han sebelum Lin Xi muncul dan memaksa Zheng Han mematahkan stereotype yang sudaha dilekatkan orang kepadanya.


Zheng Han pekerja keras, punya sisi humoris juga, dia ini tipe orang yang kalau sudah memutuskan sesuatu pasti all out.


Zheng Han tidak sempurna. Sebagai karakter drama dia cukup manusiawi. Bagi saya ini menjadi nilai plus. Lagi-lagi saya menggunakan list drama romantis Cina saya sebagai acuan. Rasa-rasanya tidak akan sulit bagi saya menemukan sosok Zheng Han di dunia nyata. Laki-laki yang punya mimpi masa depan bersama satu-satunya perempuan (selain ibunya) yang dicintainya seumur hidupnya.


Zheng Han enggak suka mendramatisir. Orangnya logis. Saya berkali-kali dibuat kagum dengan perlakuan Zheng Han kepada Lin Xi. Orang-orang mungkin akan bilang Zheng Han bucin ke Lin Xi, alih-alih ikut menyebutnya demikian saya menganggap itu sebagai wujud penghargaan Zheng Han kepada Lin Xi, sebagai pasangan yang dicintainya.


Zheng Han yang sangat menghargai ibunya Lin Xi, tetap menjaga sopan santun meski ibunya Lin Xi sangat sinis dan memandang sebelah mata dirinya. Sebesar rasa sayang Zheng Han kepada Lin Xi, sebesar itu pula penghormatan yang diberikannya kepada kedua orang tua Lin Xi.


Ada satu adegan ketika Lin Xi menyembunyikan keputusannya bekerja setelah ibunya menghentikan uang bulanannya. Saya bisa memahami mengapa Lin Xi tidak memberi tahu Zheng Han, ia tidak ingin Zheng Han menyalahkan dirinya sendiri. Tapi toh akhirnya Zheng Han tahu juga. Nah di sinilah yang membuat saya ngacungin jempol ke Zheng Han. Dia enggak mengonfrontasi Lin Xi, enggak sok nanya pake nada ngajakin berantem kok kamu nggak bilang sih kerja di bla bla bla, kok kamu nyembunyiin dari aku? Tidak. Zheng Han percaya Lin Xi pasti punya alasan mengapa tidak memberi tahunya. Sebaliknya, Zheng Han justru semakin baik memperlakukan Lin Xi, ia memberikan support-nya dalam wujud lain agar Lin Xi tidak merasa sendiri. Di hari Zheng Han tahu kondisi Lin Xi, ia menunggu Lin Xi pulang. Begitu pintu terbua, Zheng Han melihat kelelahan memancar kuat di wajah Lin Xi. Tanpa mengatakan apa-apa, Zheng Han beranjak menghampiri dan memeluk Lin Xi. Erat sekali. Di sini tuh saya nge-pause beberapa detik. Antara kaget sama terharu. Se-sayang itu Zheng Han sama Lin Xi. Mana abis itu Zheng Han ngomong pelan, “waktu kamu masuk, aku baru sadar muka kamu kurus banget...” Yaa gimana enggak baper cobaaa yang nonton?? ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ




Apa coba namanya kalau bukan karena rasa sayang yang bulat-bulat disertai kepercayaan dan upaya menghargai pasangan? Padahal bisa aja loh ini jadi pemantik mereka berantem dan putus ala drama-drama romantis kebanyakan? Syukurlah Forever Love tidak memilih jalur drama romantis kebanyakan. Di sisi lain, Zheng Han juga mengusahakan agar bisa mencapai kualitas terbaik dirinya hingga kelak ibunya Lin Xi mau menerima dirinya sebagai orang yang mencintai sepenuh hati anak perempuannya satu-satunya. Ia berjuang memantaskan diri.


“In this ignorant stage of life, loving someone is a kind of happiness.’ –Forever Love, ep 4


Setiap kali menemukan couple drama yang logis kayak gini saya langsung keinget ucapannya Saka dalam novel Sabtu Bersama Bapak, yang kurang lebihnya menggaris bawahi bahwa pasangan yang kuat itu bukan yang saling mengisi kekurangan masing-masing. Yang bertugas menangani kekurangan ya masing-masing pihak. Mestinya dua belah pihak harus sama-sama kuat, biar bisa ketemunya di tengah. Biar enggak dikit-dikit berantemin hal-hal yang sebenarnya tidak perlu jadi bahan perdebatan. Maksudnya, sebelum memutuskan bersama, dua belah pihak sudah harus selesai dengan dirinya sendiri—kayak ribet banget ya? Tapi ini penting untuk bisa hidup dan bernapas dalam satu payung bernama KITA.


Zheng Han mengenal Lin Xi, mengenal bagaimana karakternya, sebab itulah ia bisa mengambil sikap dewasa menyikapi problem yang menjalari hubungan mereka berdua. Pola komunikasinya Lin Xi dan Zheng Han tetap jalan. Tidak ada prasangka. Nemu couple kayak gini di drama Cina berasa nemu harta karun. Kayak yang akhirnyaaaa ada juga pasangan dracin yang bisa memenuhi ekspektasi.

Suka banget, di saat Zheng Han hampir-hampir menyerah dengan mimpinya, Lin Xi selalu ada di sisinya.



“When anything happens, you just deal with it all by yourself. I can only be thick skinned enough to stay with you. After all, my abilities are limited. Neither I can save the world, nor the company. So I can only save you, a jobless young man.” –Xia Lin Xi, ep 26.


Melihat Lin Xi menghibur dan menguatkan Zheng Han dengan caranya, saya tidak bisa tidak kagum pada sosok Lin Xi. Perempuan kuat yang berkualitas.


Yang bikin pasangan ini terasa spesial terletak pada cara mereka ngobrol, berdialog, selalu ada poin penting yang didapatkan. Ngobrol-nya santai, enggak ada yang ngotot atau berusaha mendominasi. Ada saling yang membuat mereka bisa melihat satu masalah dengan utuh. Lin Xi atau Zheng Han tidak mendikte pasangannya kamu harusnya gini, bukan kayak gini yang aku mau—tidak sama sekali. Yang terjadi, mereka mengutarakan sudut pandang masing-masing, mencari-cari di mana pandangan mereka bisa bertemu. Pasangan yang kalem, enggak grasa-grusu.

Manis sekali melihat Zheng Han yang sudah memiliki visi misi yang jelas mengenai hubungannya dengan Lin Xi. Zheng Han ga pernah bosen bilang ke Lin Xi kalau dia akan mengusahakan sebaik-baiknya supaya bisa membahagiakan Lin Xi di masa depan. Zheng Han nggak main-main sama Lin Xi.


Chemistry


Saya mencoba mengambil perbandingan, dari 10 drama romantis Cina yang saya nonton, sulit menemukan satu saja drama yang scene romantisnya tidak cringe. Ketika saya mencoba mengingat-ngingat judul Cdrama yang adegan romantis tokoh utamanya tidak bikin saya meringis geli, ada satu yang muncul—Le Coup de Foudre. Setelah ini, Forever Love segera menyusul mengisi list saya sebagai drama romantis Cina yang kualitas adegan romantisnya tidak bikin geli alias natural, tidak lebay.


Saya tuh sampe ragu sendiri, ini anak-anak pada akting apa enggak sih kok bagus banget ya? Kayak ga lagi akting masa. Tatapannya Zheng Han ke Lin Xi tuh bikin meleleeehhh, lembuttt sekaliii .


Saking naturalnya adegan romance-nya saya hampir-hampir terseret nyiperin Wang An Yu dan Xiang Han Zhi. Langkah saya terhenti begitu mengetahui Han Zhi masih 18 tahun. Nope. HAHAHAHA.



An Yu (98) dan Han Zhi (02) masih muda banget dan terhitung rookie, tapi aktingnya udah sebagus dan sejago itu. Peluang untuk terus berkembang di masa depan terbuka lebar. Dan saya nunggu banget project mereka, sambil berdoa yang kenceng semoga nanti mereka bisa se-project bareng lagi. BAGUS BANGET CHEMISTRY-NYAAAAA AAAAAA PUSING SAYAHH.


Selain Lin Xi dan Zheng Han, supporting role yang lain juga bagus-bagus chemistry-nya. Bapak-nya Lin Xi yang sabar dan lucu, teman-teman sekamarnya Zheng Han, sahabatnya Lin Xi, Gu Xiao Man yang cinta mati sama Chen Yi Chuan—sepupunya Lin Xi yang super nyebelin tapi kooperatif ngedukung hubungannya Lin Xi-Zheng Han.


Ending


Untuk ukuran drama romantis Cina, saya cukup bahagia dan senang dengan ending Forever Love. Sebenarnya, melihat pembukaan episode satu yang memperlihatkan pesta pernikahan Zheng Han-Lin Xi, sudah bisa ditebak ending-nya akan seperti apa. Jadi selama 28 episode yang diperlihatkan ya bagaimana dua orang ini memperjuangkan masa depan mereka. Bagaimana Zheng Han membuktikan kepada ibunya Lin Xi bahwa dia adalah orang yang tepat menemani Lin Xi.


Yang membuat saya senang dengan penutupan Forever Love adalah bagaimana setiap karakternya menemukan closure-nya masing-masing. Karakter-karakter yang di separuh episode banyak melakukan tindakan-tindakan tidak baik akhirnya menyadari kesalahannya. Tidak mendetail penyelesaiannya, tapi cukup melegakan.


Saya suka ucapannya Zhuang Fei kepada Shi Ying di ep 26.

“Like is willing to gambke. Love is to admit defeat. I did like Jiang Zheng Han before. While you, senior, fell in love with senior Qin Yue. But who hasn’t been a fool in their youth?”


... but who hasn’t been a fool in their youth? Ada benernya kan? Siapa sih yang masa mudanya enggak ngelakuin hal-hal yang memalukkan? Hayoooo ngakuuu HAHAHAHA.


Bagian lain diri saya menginginkan detail dari perkembangan supporting role di Forever Love, tapi bagian diri saya yang lain memaklumi seraya memikirkan kemungkinan lain, barangkali ini cara lain Forever Love menghindari dramatisasi yang bisa jadi menjerumuskan drama ini mengikuti arus drama Romantis Cina kebanyakan yang entah mengapa terlihat sangat menyukai dramatisasi dengan pola yang mudah ditebak. Closure diberikan kepada supporting role tampak mulus-mulus aja, tapi saya rasa pesan yang ingin disampaikan ke viewers cukup jelas bagi sebagian mungkin terkesan muluk dan mudah tapi yah.. begitulah hidup wkwk. Yaaa kalo dibahas semua tar dramanya gagal fokus lagi sama premisnya, btw ini Cdrama yah.... ㅋㅋㅋㅋ


Forever Love tidak terhindarkan dari cinta segi-banyak, tapi untungnya itu tidak menggoyahkan main couple-nya. 100 poin untuk Forever Love.


Sepanjang 27 episode, saya merasa tidak nyaman dengan keras kepalanya ibunya Lin Xi yang sangat memaksa agar Lin Xi meninggalkan Zheng Han. Barulah di ep 28 saya bisa memahami sudut pandang ibunya Lin Xi. Sikap keterlaluannya didasari rasa cinta dan sayang seorang ibu terhadap anak perempuannya. Ibunya Lin Xi hanya ingin Lin Xi bersama orang yang bisa bertanggung jawab, yang bisa menyayangi anaknya tanpa ada tapi di tengah jalan.


 “... Jiang, you are the biggest surprise in my daughter’s life. You take Lin Xi from us. Can you spend your life treasuring her, and taking care of her? And no matter what happens show up in front of her in time, can you?


Ada beberapa yang menjadi kekurangan Forever Love, menurut saya loh ini, jadi nilainya subyektif.

Misalnya, side couplenya kurang dieksplorasi. Saya bukan pendukung karakter cewe yang all out mengejar cinta orang yang dicintainya. Saya termasuk yang tidak setuju Gu Xiao Man menikah dengan Chen Yi Chuan. Atau mungkin begini tepatnya, saya tidak nyaman dengan penggambaran karakter Xiao Man yang hampir separuh dari total episode mengejar-ngejar Yi Chuan. Meskipun Yi Chuan akhirnya kena batunya ya... dan akhirnya dia sadar kalo dia sebenernya sayang sama Xiao Man. Tapi teteep ga sreg sayah HAHAHAHA dasar penonton banyak maunya.


Hal lain, mengenai perusahaan Start Up bagian pemrograman yang dirintis Zheng Han dan sahabat-sahabatnya, pengen banget yang ini dieksplor detailnya, sayangnya pembahasannya hanya di beberapa episode terakhir.


Qin Yue enggak nongol di episode terakhir. Se-sebelnya saya sama karakter ini, saya juga pengen tahu kelanjutan hidupnya seperti apa. Apakah selepas move on dari cinta bertepuk sebelah tangannya pada Lin Xi, dia bisa menemukan cinta sejatinya?


Oiya, saya juga tidak bisa menolerir sikap ibunya Lin Xi pada bapaknya Lin Xi, seperti tidak menghargai suaminya. Nonton sendiri deh biar tau apa yang saya maksud wkwk.


Ehm, sebenernya, ada bagian di ending pas acara pesta pernikahan di sekolahan yang menurut saya mending ga usah diadain. Maksaaaa. Itu loh, yang tiba-tiba acara pestanya ditangguhkan karena ada 

yang mencoba membobol program apa gitu di perusahaannya Zheng Han. Hihi.

RATING


Jika hanya melihat unsur romance main couple saya nggak akan ragu ngasih lima bintang HAHAHAHA, terlanjur ngebias ya gini deh. Tapi enggaklah. Saya realistis aja.

★★½

3,5

Forever Love adalah drama genre youth romance yang ringan dan manis. Klise tapi tidak membosankan. Drama yang tidak kehilangan semangat-nya hingga episode penutup. Kalau kalian butuh tontonan ringan selepas menghabiskan waktu seharian dengan pekerjaan yang bikin mumet, mungkin bisa nyoba nonton drama ini, sambil rebahan.


Tenang, kalian tidak akan menemukan adegan putus yang sering dipake sebagai salah satu alur konflik drama romantis. Banyak banget peluang yang bisa bikin Lin Xi dan Zheng Han renggang atau berantem, tapi enggak kejadian. Makanya nonton Forever Love asiiik, bapernya bukan karena yang sedih-sedih. Hubungannya Lin Xi-Zheng Han masuk kategori healthy relationship, alias nggak toxic. Prinsipnya you are the most important.

Satu kalimat penutup dari Lin Xi kesayangan saya,

“I know that love that is not blessed by parents is not good at all. Only when we become better, we can give each other stable happiness. This is what I should give my parents, as a daughter.”


Terima kasih, Forever love, sudah berhasil bikin saya baperrr. Saya belajar banyak dari Lin Xi dan Zheng Han. Salah satu couple favorit saya dari Cdrama :’)



CANTIIIIK

💝

Tabik,

Azz

#JanuariNgeblog2021

[Review] Forever Love

by on 1/21/2021 08:53:00 PM
ㅡ ditulis sambil masak ㅡ “The so-called Familiarity Breeding Fondness is all just love at first sight that we don’t recognize.” – Forever ...