Deokseon dan para peserta pengisi pembukaan Olimpiade Seoul berada di lapangan sebuah stadion. Sementara sebagian mengambil istirahat, sebagian lainnya latihan. Tampilan scene-nya komikal. Gak ada dialog, tapi lucu gitu.
Meanwhile, tiga dara-nya Ssangmun-dong duduk di bale-bale sambil membersihkan ikan (?). Muncul Sun Woo, baru pulang dari sekolah dia. Eh, adek Jin Joo, kepalanya dibungkus  handuk juga, mengikuti tiga dara. Abis keramas masal kah? ㅋㅋ
“Bu, apakah kaki ibu sakit?” tanya Sun Woo setelah duduk di dekat ibunya. Sakit sekali, sahut ibunya. Sun Woo dengan penuh sayang memijit kaki ibunya. [Ehm, yang kayak Sun Woo ini masih available gak? *prayhard*]
Sun Young—di antara senyum senangnya, masih terselip sisa tanya yang yang belum tuntas. Tentang luka di pipi kiri bagian bawah anaknya. Duh!
Mi Ran menampakkan happy face nya tatkala dilihatnya Jung Hwan di kejauhan, berjalan memasuki lorong. “Nak!” serunya.
Jung Hwan hanya membungkuk hormat sejenak lalu masuk ke gerbang rumahnya. Tidak ada itu berhenti sekian detik, atau membalas senyum ibunya. Nothing. Pantaslah Mi Ran kecewa, bila tidak ingin dibilang sedih.
Deokseon dan rekan-rekan memolesi paras ayu mereka dengan make up ketika petugas medis berlari kencang di hadapan mereka sehingga menimbulkan badai angin yang menyapu wajah-wajah mereka. Bye bye make up. HAHAHA. Beberapa saat kemudian, petugas medis lewat kembali. Kali ini membawa orang berkostum harimau (Hodori, maskot olimpiade Seoul) di atas tandu. Salah seorang picket girls langsung bangkit mengejar. Oppa-nya... Ooh. Kayaknya sih dehidrasi. Abis puanas buangettt.
Next day, Tiga Dara feat Jin Joo (lagi-lagi) ngumpul di bale, diselingin minum-minum entah minuman apalah itu. Sun Woo pulang sekolah. Ia singgah menyapa lalu menggendong masuk adiknya ke rumah. ♥
Hal kontras terjadi sewaktu Jung Hwan pulang. Hanya mendung yang menggantung di wajah Mi Ran. Jung Hwan tidak ada mirip-mirip-nya dengan Sun Woo—dalam urusan menyenangkan hati ibunya. Mi Ran menelan ludah pahit.
Deokseon yang sedang berada dalam suasana hati cerah, secerah siang itu—menelepon ibunya. Mengabarkan bahwa dia latihan di Jamshil Olimpic Stadium sekarang ini. Stadiumnya sangat besar, maskotnya (Hodori) juga besar, katanya penuh semangat.
Sun Young masih belum move up  juga dari topik “ada apa di balik luka di pipi Sun Woo?
Diutarakannya kembali kegusarannya mengenai Sun Woo. Mi Ran menenangkannya, itu bukan apa-apa.
“Dia berada pada usia di mana dia memiliki pikirannya sendiri dan menyimpan beberapa rahasia. Kau tak bisa membuatnya berada di bawah pengawasanmu selamanya.” Begitu kata Mi Ran.
Oh. Rupanya ketiganya bergotong-royong membantu mandu untuk peringatan kematian ayah Sun Woo. Omong-omong soal sajian, Sun Young meminta pinjaman uang ke Mi Ran—yang segera di-iyakan tanpa ragu. Il Hwa teringat tak lama lagi ulang tahun Sun Woo, ia berbagi hari kelahiran yang sama dengan Deokseon.
“Apa kalian melakukannya di hari yang sama?” tanya Mi Ran. [Perasaan saya mulai gak enak nih.]
Sun Young dan Il Hwa berseru malu-malu. Kalau Jin Joo dengar bagaimana? Tapi sedetik kemudian, Sun Young beralih ke Il Hwa, “hari apa kau melakukannya? Kalau aku, hari itu hari terakhir Desember.”
[HHH. Please.... staph. Jin Joo will hear. Poor my innocent soul. Innocent soul, Azz? Really? Um, yes? I’m still young. Still young, ok?]
Topik kapan kau melakukannya berlalu cepat, secepat perubahan arah angin. Jika diperhatikan seksama, obrolan Tiga Dara memang tidak pernah benar-benar fokus ke satu hal. Awal-awal bahas A, akhirnya bahas A+ (-B). Demikianlah.
Il Hwa dan Sun Young saling menanyakan kira-kira hadiah apa yang mereka berikan untuk ulang tahun anak mereka nanti.
“Yah... apa yang akan kalian berikan pada anak-anak ketika mereka tumbuh dewasa.” Mi Ran ikut berpikir.
“Kau bisa membelikan anakmu sepatu sneaker yang lain.”
Mi Ran mengangkat wajah, menatap Sun Young.
“Kau tak tahu kan? Iya, kan?” kejar Sun Young.
Ekspresi bingung Mi Ran menjawab semuanya.
“Sepatu sneaker Jung Hwan dicuri.”
“Omaya! Kapan? Siapa yang mencurinya?” Il Hwa kaget.
“Siapa lagi? Tentu saja preman.”
Mi Ran ternganga. [Sedih pastinya mendengar masalah yang dialami anaknya dari mulut orang lain .]
Seperti ingin menabah-nabahkan hati Mi Ran, Sun Young mengatakan sepertinya Jung Hwan tak ingin ibunya khawatir sebab itu dia tidak bercerita padanya. Baru saja nama Jung Hwan disebut-sebut, orangnya sudah nongol.
“Omaya... tampaknya anak itu tidak bisa menjadi Yangban*” celetuk Sun Young. [*Yangban adalah panggilan/sebutan untuk orang-orang terhormat. Di masa lalu, hanya budak yang akan serta merta muncul begitu namanya dipanggil, Yangban tidak. Ada semacam apa ya namanya—um, ungkapan versi Korea(?) kayak gini, “Speak of devil” diterjemahkan/diubah menjadi “this person can’t be a nobleman”. Semoga penjelasan saya tidak kedengaran ngalor-ngidul.]
Annyeong haseyo...” Jung Hwan menyapa pendek, membungkuk sebentar—tanpa berhenti dan masuk ke dalam gerbang rumahnya. Tatapan Mi Ran menyentuh sepatu yang dikenakkan anaknya. Sepatu kucel dan tidak bermerek. Dan kekecilan.
Mi Ran kepikiran itu terus. Malamnya menjelang makan malam, tidak ada apa pun di atas meja. Jung Bong dan Jung Hwan sudah duduk bersiap makan malam. Menurut ibunya, ayah mereka akan membeli ayam. Du Ma Ri. Raut wajah Mi Ran datar saja. Jung Bong ber-yess ria. Lalu tiba-tiba membuka buku tebalnya mencari sesuatu. Jung Hwan mengernyit, “Tak akan ada Tong Dak di sana. Siapa yang akan punya nama bodoh begitu?”
Tapi Jung Bong bilang bukan itu yang dia cari. “Du Ma Ri. Aku mencari seseorang dengan nama itu.”
Jung Hwan speechless. [Oke Jung Bong, OKE! FAIIIIIIIIIN, do what do you want! *tarik rambut*]
Terdengar bunyi bel pintu depan. Jung Bong bangkit dan menyongsong ayahnya, meninggalkan Mi Ran dan Jung Hwan. Hening membentang lebar di antara mereka. Mi Ran menatap Jung Hwan yang diam saja melipat tangan di dada dengan mata tertutup. Ia baru membuka mata saat ibunya tak juga membuka suara setelah memanggil namanya. Mi Ran kemudian bertanya tidak ada sesuatu yang terjadi belakangan ini, kan? Jung Hwan mengangguk. Tidak ada. Mendengar itu, Mi Ran ikut mengangguk-anggukan kepala. Tapi mendung di wajahnya belum pergi.
Jung Bong datang, diikuti ayahnya.
“Aigooo, Ra Sajang!” Suara Kim Appa melengking. Ia berdiri tepat di depan meja makan seraya mengangkat satu tangan. Pasti nyomot adegan lawak di tipi nih. “Kau harusnya bilang, ‘aigoooo, Kim Sajang!’ pulaang,” susulnya melihat Mi Ran diam saja.
“Kau mau cerai?” Mi Ran menyela, dingin.
Kim Appa membeku di tempat. Suara si mbek menjadi background. Akhirnya ia meneruskan gerakan tangannya menjadi gerakan olahraga. Tidak (berani) mengucapkan apa-apa lagi. HAHAHA.
Kim Appa bertemu lawan main yang tepat di halaman depan rumah. Ada Deokseon yang sementara latihan—Aigooo, Sung Sajaaang!
“Aigoooo, Kim Sajaaang!” Deokseon pun tak ragu-ragu menyambut sapaan Kim Appa.
Banggap guman, banggawoyo! [Penulisan ejaannya salah ya! Males nyari hangulnya.]
Keduanya bersalaman sambil berdiri dan duduk secara bergantian. [Kebayang gak sih andai Deokseon menjadi menantu Kim Appa? Apa yang akan terjadi pada Ra Mi Ran dan Jung Hwan? Apa yang terjadi di rumah itu—hampir setiap hari? ㅋㅋ]
Deokseon diberi ayam oleh Kim Appa. Dikatakannya agar Deokseon jangan memberikan bagian paling enaknya ke orang lain. Deokseon mengangguk senang.

Yang terjadi adalah...
Paha ayamnya diberikan ibunya kepada Bo Ra dan No Eul, sedangkan Deokseon kebagian sayapnya saja. Tapi dia tidak berkomentar apa-apa .
Saat itu di tivi sedang ditayangkan liputan mengenai Olimpiade yang kan digelar empat hari lagi. Seorang picket girls yang membawa papan Uni Soviet diwawancarai. No Eul bertanya kenapa Deokseon tidak pernah diwawancarai? Bo Ra menyela kalau itu tidak mungkin terjadi. Hanya mereka yang cantik yang dipilih wawancara. Ayahnya bilang Deokseon punya peluang—karena baginya Deokseon cantik. Lagipula hanya ada tiga siswa SMA di sana. Deokseon membenarkan. Dia memang akan melakukan itu—wawancara—besok. Semua kaget. No Eul dan Dong Il berpandangan.
“Benarkah?”
“Dasar pembohong,” desis Bo Ra kasar.
“Memang benar kok!” balas Deokseon dengan nada tinggi.
Ayahnya menegur Bo Ra kenapa memanggil adiknya dengan panggilan kasar begitu. Bo Ra bersikeras kalau Deokseon berbohong. This crazy bit*h, katanya. [Tsk tsk tsk... Just shut up your mouth, please!]
Dong Il memberikan gesture hendak memukul Bo Ra. Gadis itu protes kenapa ayahnya selalu melakukan itu padanya? [Selalu? Lah, bukannya Deokseon yang selalu diperlakukan tidak adil?]
“Itu karena kau aneh...” dengus Deokseon.
Bo Ra tidak bisa mengontrol emosinya mendengar ucapan banmal adiknya. Ia menarik rambut Deokseon. Deokseon berteriak kesakitan. Tapi tidak ada yang berusaha menolongnya. No Eul dan Dong Il sibuk mengunyah dengan tatapan terpaku di tivi. Ibunya... sigh.
Olimpiade Seoul 1988. H-3
Deokseon benar-benar diwawancarai. Ia terlihat gugup. Cara menjawabnya kaku dan... dan lucu Tapi sayangnya wawancara kali itu bukanlah sesuatu yang bagus. Si pewawancara memberitahunya kalau Madagascar tidak akan ikut Olimpiade tahun itu. Wajah Deokseon berubah, campuran kaget, sedih, kecewa, dan marah?
“Aku rasa kau sepertinya masih kaget mendengarnya. Meski begitu, tidakkah kau menderita di bawah terik matahari selama setengah tahun, untuk ini?”
Deokseon masih tak menjawab. Ia berusaha keras menahan tangis.
“Ini memang mengecewakan, tapi... terakhir, apa yang ingin kau sampaikan kepada seluruh warga Korea?”
Deokseon menghapus air matanya yang memaksa jatuh.
“Meski aku tak bisa ikut dalam Olimpiade tahun ini, aku akan berdoa dan bersemangat lebih dari siapa pun agar Olimpiade Seoul 1988 berhasil. Dunia bagi Seoul, dan Seoul bagi dunia. Hwaiting!” Suaranya terbata dan basah.
Deokseon-nya sedih. [Aku juga.]
Dia duduk sendirian di ruang istirahat. Di belakangnya suara tivi mengabarkan perihal pembatalan kehadiran Madagascar yang dikarenakan hubungan buruk Korea Selatan dengan Korea Utara. Ini merupakan bentuk pergerakan politik negara tersebut sebagai tindak lanjut atas permintaan Korea Utara. Hm.
Deokseon menangis tanpa suara.

Sun Young menyiapkan segala sesuatu menyambut peringatan kematian suaminya. Ia meminta Sun Woo membelikannya minyak namun tak ada jawaban. Ia lalu mencari Sun Woo ke kamarnya, tapi tak ada. Kata Jin Joo, kakaknya sedang keluar.
Sun Young memasuki kamar Sun Woo. Memeriksa semua barang-barang Sun Woo. Tidak ada yang aneh. Rapi dan bersih. Namun langkah Sun Young yang hendak ke luar kamar tertahan, matanya bersirobok dengan sesuatu yang mencurigakan di bawah meja.
Bungkusan rokok. Sun Young mengambil dan meremasnya. Hatinya remuk. Seperti bungkusan rokok di dalam genggamannya.
Deokseon pulang ke rumah dengan langkah gontai. Tak punya semangat. No Eul tampak menyusul di belakang. Ia menenteng sesuatu di dalam kantung plastik hitam. No Eul berlari menghampiri Deokseon, diraihnya tangannya sambil mengajaknya cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Ia menggerutu kenapa Deokseon lama sekali pulangnya. Ia sudah kelaparan.
Ah! Perayaan ulang tahun. Deokseon tanpak tak senang. Semula ia mengira itu hanya ulang tahun Bo Ra. Tapi seusai Bo Ra meniup lilinnya, ayahnya menarik dua batang lilin dari atas kue lalu membakar lagi sisanya. Melihat itu, kemarahan mengembang di mata Deokseon. Ia sudah bilang tidak menginginkan ulang tahunnya dirayakan bersama kakaknya, tapi tak ada yang peduli. Belum habis kesedihan akibat pembatalan keikutsertaan Madagascar yang berimbas pada posisinya sebagai picket girl—lalu ditambah perayaan ulang tahun yang tak sesuai keinginannya. Lengkap sudah, tinggal menunggu bom kemarahannya meledak.
Semua mulai menyanyikan lagu ulang tahun ketika Deokseon berteriak keras.
“Hentikan!”
Bom di hatinya meledak.
Semua kaget.
“Sudah kubilang kan? Aku tidak mau melakukan ini dengannya!” Suara Deokseon sangat keras, ia mulai menangis. Bo Ra menopang dagu di atas meja, tak antusias.
“Kenapa kalian tidak pernah mendengarkan aku? Sudah kubilang, ayah.. ibu, aku tidak mau melakukannya dengan dia (Bo Ra)!”
“Kita akan melakukannya secara terpisah mulai tahun depan,” rayu ibunya.
“Ibu juga mengatakan seperti itu tahun lalu, dan tahun sebelum itu! Kenapa kalian selalu melakukan ini padaku? Apakah aku hanya lelucon bagi kalian? Apakah aku hanya seseorang yang bisa kalian perlakukan seenaknya?”
... ruang serba guna itu seketika hening.
“... bagaimana bisa ibu tidak pernah membuatkan telur goreng untukku? Aku juga suka telur goreng. Ibu hanya memberikan kacang hitam setiap waktu. Aku benci kacang hitam! Dan juga, kenapa ayah hanya membelikan No Eul es krim piala dunia?”
“Dan ayamnya!! Ajeossi memberikan itu padaku untuk dimakan! Dan ibu memberikan pahanya kepada kakak dan No Eul... dan aku hanya dapat sayapnya... aku juga tahu caranya makan pada ayam!”
“Deokseon-ah...” panggil ayahnya se-lembut mungkin.
“Kenapa hanya aku yang dinamai Deokseon?!” Suara Deokseon semakin meninggi dan tak terkendali. “Mengapa kau memberiku nama sejelek itu? Nama kakak, Bo Ra, dan dia—No Eul, mengapa hanya namaku yang jelek? Mengapa namaku Deokseon?!”
Habis menumpahkan kemarahan yang sudah lama dipendamnya, Deokseon keluar rumah. Bo Ra tak tergerak sama sekali. Ia megambil sumpit dan bersiap makan.  Di saat itulah pengumuman ketidakikutsertaan Madagascar muncul di tivi... [asli ya, saya selalu ikut nangis bareng Deokseon setiap kali menonton adegan ini. Nyesek banget.]
Deokseon berjalan menyusuri lorong Ssangmun-dong yang lengang sambil menangis. Ia berhenti di bale, depan sebuah warung kelontong. Duduk di sana seorang diri, dengan air mata yang terus mengalir.
Hari ini bukanlah hari spesial itu. Kesedihan menjadi anak kedua selalu seperti ini, setiap waktu. Seperti anak tengah di seluruh dunia tahu—bagi yang tertua, itu karena mereka yang tertua. Dan bagi yang termuda, itu karena mereka yang termuda, hingga aku harus selalu mengalah demi mereka. Walau begitu, aku berpikir ayah dan ibuku menyadari betapa besar pengorbananku. Tetapi, bukan itu yang terjadi.
Kadang, keluarga kita sendiri-lah yang paling tidak sadar.
Sun Young masih di kamar Sun Woo ketika puteranya itu kembali. Sun Woo bertanya apa yang dilakukan ibunya di kamarnya. “Bu, apakah sesuatu terjadi?”
Sun Young mengeluarkan bungkusan rokok yang ditemukannya. “Kau merokok?”
Sun Woo kaget.
“Kau merokok, kan?” desak ibunya.
“Tidak. Apa maksud ibu?”
“Katakan pada ibu, sejak kapan kau mulai merokok?”
Sun Young tetap mendesak meski Sun Woo berkali-kali mengatakan tidak. Ia bahkan menuduh Sun Woo bergaul dengan anak-anak tidak beres. Sun Young membawa-bawa nama ayah Sun Woo—ia bilang Sun Woo berulah karena ayahnya sudah tidak ada.
Saat itulah Sun Woo mengaku kalau luka itu ia dapatkan gara-gara pisau cukur. Mendengar pengakuan anaknya—tangis Sun Young pun pecah. Sun Woo segera memeluk ibunya. Sun Young merasa bersalah telah mencurigai anaknya dengan tudingan yang tidak masuk akal. Sun Woo meminta maaf karena telah berteriak pada ibunya. [Duh, adegan ini juga. Sedihnya gak kira-kira. Belum lagi musik latarnya.Banjir. Banjiiiiiiiiiir.]
Peringatan kematian ayah Sun Woo. Sun Woo dan Jin Joo memberikan penghormatan, sementara Sun Young masih belum selesai dengan tangisnya.
♪ Try to catch the days that are gone...
But my empty hands get sad
So I should just let them go, I should turn away
That’s how time passes...
I can forgive you who left me
But not the time that leaves me
I have no place to rest, and my empty heart
That keeps looking for the olden days ♪ - Kim Feel-Youth

17 September 1988. Olimpiade ke-24 di Seoul, Korea Selatan
No Eul berlari cepat menuju rumah. Di depan tivi, ayah dan ibunya sudah duduk menonton. Bo Ra menolak ikut menonton. Il Hwa menelpon Mi Ran—mengingatkan supaya jangan lupa merekam acara tersebut.
Mi Ran dan Kim Appa sudah stand by. Ia bertanya bukankah negara yang diwakili Deokseon batal ikut? Jung Hwan bilang Deokseon pasti menemui panitia acara dan mengomeli mereka makanya dia diikutkan kembali. Tapi... benarkah itu?
Nyatanya bukan. Dari Sun Woo, Sun Young tahu, Deokseon menggantikan seseorang yang dipecat. Deokseon sangat beruntung. [Lihatlah bagaimana Jung Hwan dan Sun Woo memperlakukan Deokseon.]
“Kegigihannya tidak main-main,” ucap Sun Woo.
“Tidak. Ini bukan keberuntungan. Deokseon berlatih keras, itu sebabnya mereka mengurusnya dengan baik. Kudengar dia tak pernah telat sekali pun,” kata Sun Young.
“Jika dia belajar dengan tekad sekuat itu, dia pasti akan mendapatkan peringkat satu,”  sela Sun Woo.
“Ngomong-ngomong, negara mana yang diwakilinya sekarang?” tanya Sun Young.
... di rumah keluarga Kim, Mi Ran bertanya hal yang sama kepada Jung Hwan. Jung Hwan mengangkat satu kakinya di atas kursi, “Ibu akan melihatnya nanti...” begitu saja jawabannya, tanpa ekspresi, dengan tatapan mata masih terarah ke televisi.
Negara yang diwakili Deokseon diawali huruf U. Il Hwa berteriak, apakah Bo Ra benar-benar tidak mau menonton adiknya?
Lihat apa yang dilakukan Bo Ra... HAHAHAHA Tsundere oh tsundere.
Uganda. Itulah negara yang diwakili Deokseon. Semua bersorak melihat kemuculan Deokseon di tivi. [Di tahun 1988, gadis yang mewakili Madagascar berusia 18 tahun, siswa tingkat 2. Dia juga menjadi award presenter medali emas  untuk Korea dari cabang Wrestling.]

Di saat semuanya bergembira, di saat semuanya mengeluarkan selebrasi masing-masing demi Deokseon—Jung Hwan masih duduk melipat tangan, seraya menyunggingkan senyum singkat yang... yang entah apa maksudnya.

Telepon berdering di rumah keluarga Sung. Il Hwa yang mengangkat. Rupanya dari temannya yang juga melihat penampilan Deokseon di televisi. Il Hwa sangat bangga.
Im Choon Ae-lah yang membawa obor Olimpiade. Mi Ran yang masih belum menyerah—ingin membuka kedekatan dengan Jung Hwan—bertanya, di cabang olahraga apa Im Choon Ae mendapatkan medali? Jung Hwan menggaruk-garuk telinga bagian bawahnya. Jung Bong lah yang menjawab. Asian Games ke-10, 1986. Dia memenangkan balap 800 meter, 1500 meter, dan 3000 meter. Im Choon Ae yang pertama kali menaklukan tiga gelar di trek dan lapangan saat Asian Games dan terkenal sebagai Ramen Girl. Karena di rumahnya tidak ada beras. Ia hanya makan ramen. Dari situlah julukan Ramen Girl berasal.
“Bagaimanapun juga, sudah terungkap kalau dia juga minum obat herbal. Kejadian ini berlangsung dua tahun silam.” [Penjelasannya Jung Bong. HAHAHAHA. Mukanya datar, suaranya juga.]
Jung Hwan masuk ke kamarnya. Ia minta dipanggil jika sudah saatnya sepakbola. Mi Ran menyusul. Ia bertanya apa yang sedang dilakukan Jung Hwan.
“Belajar.” Jung Hwan menjawab. “Kenapa?”
“Tidak ada apa-apa.”
Jung Hwan menoleh pada ibunya. Ia sepertinya tahu, ada sesuatu yang ingin disampaikan ibunya.
“Jung Hwan-ah...”
“Ya?”
“Kau tak punya sesuatu yang mau kauceritakan pada ibu?”
“Tidak ada.”
“Kudengar kalian ujian.”
“Oh, benar. Kami melakukannya.”
“Bagaimana ujianmu? Lancar?”
“Ya.”
....
Jung Hwan kembali mengalihkan perhatiannya dari buku ke wajah ibunya. “Aku dapat peringkat Satu di kelas.” Aku-nya.
Ada perubahan air muka Mi Ran, sekilas. “Tapi kenapa kau tak cerita?”
“Sepertinya itu tidak begitu penting.”
“Tapi ibumu ingin tahu semuanya. Ceritakanlah hal-hal seperti ini... tahukah kau betapa cemburunya aku dengan ibu Sun Woo? Sun Woo menceritakan semua pada ibunya. Meski tak semuanya. Hanya sedikit saja yang menurutmu layak diceritakan. Ibu merasa malu setiap kali berkumpul dengan ibu-ibu...”
Jung Hwan tersenyum mendengar penuturan (curhatan) ibunya.
“Oke?”
Jung Hwan mengangguk kecil.
“Jawablah..” pinta ibunya.
“Ya.”
“Belajarlah...” Mi Ran memeluk kikuk anaknya sebelum keluar kamar.
“Eomma...” panggil Jung Hwan. Mi Ran menutup pintu kembali.
“Ya?”
“Bolehkah aku minta sepatu baru?”
... ada senyum samar di wajah Mi Ran.
“Sepatuku hilang,” lanjut Jung Hwan.
Benar. Mi Ran tersenyum.... like... finally?
Keesokan paginya...
“Naaak, apakah kau mau membeli sepatu bersama ibu hari ini?” Suara bahagia Mi Ran.
“Tidak. Tidak apa-apa. Berikan saja uangnya.
Anjing mengonggong. Gagal romantis. Suara mbeeek menyusul di belakang.

Sun Young menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Ia menyinggung soal Jung Hwan yang main bola setiap hari tapi tetap bagus di pelajaran.
“Itu karena dia tidak melakukan hal lain selain main sepakbola,” ucap Sun Woo.
“Dia tidak merokok kan?”
“Tentu saja. Dia berbeda dari yang terlihat.”
“Kukira rokok itu punya Jung Hwan, jika bukan punyamu.”
“Bukan, Bu. Jung Hwan tidak merokok.”
“Benarkah? Lantas punya siapa?”
“Aku juga heran punya siapa itu.”

Flashback. Scene ketika tiga dara ngobrolin uang saku. Mi Ran membuka cardigannya lalu meletakkan di pinggir bale. Cardigan itu diambil Jin Joo. Ia masuk bermain di kamar Sun Woo. Rokok itu terjatuh dari kantung baju Mi Ran. Jin Joo mengambil dan membuangnya ke bawah kolong meja dan... yah... begitulah kejadiannya.
Terdengar bunyi bel. Sun Woo bertanya. Mereka tidak sedang menunggu siapa pun. Ia pun bangkit menuju gerbang. Oh, pamannya. Ia diajak ke sauna. Sun Woo kaget. Ternyata ibunya yang meminta. Tak lupa pula mengingatkan agar Sun Woo diajarkan cara mencukur yang benar. Oooh. Itu. 

Malam sudah tiba. Deokseon tampak riang gembira memasuki lorong. Akan tetapi gerakan kakiknya terhenti begitu menyadari kehadiran ayahnya di ujung sana, di dekat tangga lorong. Sung Appa dan Deokseon duduk di depan warung langganan orang-orang sekompleks. Awalnya tak ada yang memulai pembicaraan. Kemudian Deokseon mengeluarkan satu persatu oleh-oleh yang dibawanya dari acara pembukaan Olimpiade Seoul.
“Bagaimana kelihatannya, Ayah?” Sebuah kacamata sudah bertengger manis di atas hidungnya, menutupi sepasang mata bulat cemerlangnya.
Ayahnya sedikit keget, tapi tertawa juga. “Dari mana kau mendapatkan itu?”
“Dari seorang atlet Uganda. Keren, buka?”
Menyusul berikutnya kipas dari atlet Korea, topi dari atlet negara Guinea, dan payung dari atlet Denmark.
“Dan...” Deokseon mengambil sesuatu dari tasnya. Seekor merpati yang sudah kaku. Sudah mati . masih ada satu lagi yang sudah hangus terbakar, ia memungutnya di bawah obor Olimpiade. Ayahnya menyeringai ngeri. Ia menyuruh Deokseon menjauhkan merpati itu darinya.
Sung Dong Il menatap hangat puterinya. “Deokseon-ku memang baik... kau seperti malaikat.”
Deokseon tersenyum. Dong Il punya sesuatu yang ingin diberikannya pada putrinya.  Ia lalu masuk ke dalam warung dan keluar membawa kue ulang tahun. Mata Deokseon berkaca-kaca.
“Selamat ulang tahun, Deokseon-ku... coba lihat, 18 lilin! Sejak kapan putriku tumbuh besar begini?”
Ah. My heart... my teary eyes...
“Ayah dan ibu minta maaf. Karena kami tidak tahu. Saat kakakmu lahir, kami khawatir bagaimana mengajarinya. Saat kau lahir, kami khawatir bagaimana membesarkanmu. Dan ketika adikmu lahir, kami khawatir bagaimana kami membentuknya menjadi orang baik. Ayah tidak otomatis menjadi ayah saat kau lahir. Itu pertama kalinya Ayah menjadi ayah juga. Jadi, tolong ikhlaskan kali ini. Kali ini saja.”
Deokseon tersenyum dengan mata basahnya. Ia mengangguk.
“Putriku tumbuh secantik ini... sejak kapan kau jadi gadis secantik ini? Kau bahkan masuk tivi. Terlihat sangat cantik dengan make up...”
“... suatu saat Deokseon-ku akan menikah. Bagaimana aku akan hidup? Aku pasti akan sedih sekali.” Dong Il menghela napas. Sedih.
“Aku tidak mau menikah,” ucap Deokseon di sela air matanya.
“Hush, jangan bicara begitu!” Ayahnya tertawa. Ia pun menyalakan lilin di atas kue dan menyanyikan lagu ulang tahun untuk putrinya.
Deokseon memakan kue ulang tahunnya dengan lahap.
Terkadang, keluarga kita sendirilah yang paling tidak sadar. Tapi apa pentingnya tentang ‘mengetahui’? Karena pada akhirnya, apa yang yang membantumu mengatasi rintangan bukanlah otak, tapi seseorang yang akan menggenggam tanganmu dan takkan melepaskannya. Pada akhirnya, itulah keluarga.
Bahkan bagi pahlawan, tempat kembali pada akhirnya adalah keluarga. Sakit yang membebanimu dari luar pintu itu, dan luka akibat hidup itu sendiri.. dan meski kesedihan yang disebabkan oleh keluarga... yang akan memegang tanganmu dan tetap di sisimu hingga akhir...
Pada akhirnya, adalah keluarga.

Satu Bulan Kemudian...
... dan.. tidak. Meski demikian.. sejarah tetap terulang kembali.
Keluarga Sung keracunan karbon. Il Hwa dan Dong Il sibuk menyelamatkan Bo Ra dan No Eul. Dan mereka melupakan Deokseon. Gadis itu merangkak keluar, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. [Saya bingung mau tertawa atau sedih.]
November, 2015
Deokseon versi dewasa sedang diwawancarai di rumahnya. Ia ditanya kapan ia bertemu pertama kali dengan suaminya. Sudah beberapa dekade sejak mereka bertemu. Mereka besar di kompleks yang sama, tapi ia tak pernah menyangka akhirnya menikah dengannya.
“Aku rasa sesaat aku gila. Sejujurnya, aku paling banyak mengisap karbon monoksida di Ssangmun-dong. Itu terjadi terus menerus. Aku mungkin mengisapnya 20 tahun berturut-turut. Kurasa ada yang terjadi pada kepalaku gara-gara itu. Suamiku beruntung. Di mana lagi dia bisa menemukan istri secantik aku ini?” Deokseon melipat tangan penuh percaya diri.
[Jadi, maksudnya Deokseon nyalahin karbon monoksida atas cintanya ke suaminya? PWAHAHAHAHA. #pukpuksuaminya]
Personal Opinion
Saya masih ingat ada pembaca yang pernah mengusulkan agar saya menulis recap/sinopsis/re-tell Reply 1988 di Majimak Sarang—melengkapi episode 19 dan 20. Waktu itu, saya menolak dengan alasan sisa sinopsisnya sudah tersedia di blog-nya Hazuki. Dan lagi, saya merasa tidak akan sanggup menulis 18 episode lainnya, melihat kesibukan saya di real life. Saya tidak percaya diri. Menulis sinopsis tidak mudah, butuh kesabaran dan waktu yang tidak pendek. Terlebih untuk Reply 1988—salah satu drama terbaik yang pernah saya tonton. Saya tidak ingin menulis asal-asalan.
Adalah Mbak Desi yang menghidupkan kembali ide itu. Saya terlibat obrolan di twitter dengan beliau. Entah karena mood saya sedang bagus saat itu atau ada hal lain yang membuat saya tergerak untuk menyanggupinya. Right time.

Saya mulai menulis draft sinopsis episode 1 di sela-sela kesibukan. Paling banyak saya menulis malam hari, jam-jam sebelum tidur karena siang saya pake ngajar. Sedikit demi sedikit. Ternyata ada bagusnya juga. Menerjemahkan kembali visual ke bentuk tulisan membuat saya semakin memahami detail Reply 1988. Bukannya bosan, saya malah tambah suka, cinta saya ke drama ini kukuh di tempatnya tersendiri. Saya masih bisa dibikin nangis, lagi dan lagi.

Episode 1 mengenalkan tokoh-tokoh di Reply 1988 dengan cara—um bagaimana ya saya menyebutnya? Karakter-karakter ini datang kepada kita dengan warna masing-masing. Kita—sebagai penonton—yang memegang kuasa untuk menilai. Si ini sifatnya seperti ini, si itu.. begitu seterusnya. Dan inilah yang menyebabkan banyak interpretasi berbeda lahir dan bikin ribut. Sebut saja soal siapa suami Deokseon. Padahal sudah jelas sekali, Shin PD dan Writer Lee sudah mendrop kunci siapa suaminya Deokseon bahkan sejak episode 1.

Rokok. Perhatikan baik-baik percakapan Sun Woo dan ibunya perihal rokok yang ditemukan di kamar Sun Woo. Tidak hanya sekali Sun Woo menampik kecurigaan ibunya bahwa Jung Hwan bukan—dan tidak akan merokok. Saya gunakan logika mereka yang ngotot script Reply 1988 diubah—Jung Hwan suaminya Deokseon-skrip tidak diubah; di episode 1 dijelaskan Jung Hwan tidak merokok, seiring berjalannya waktu dia merokok—meski kakak yang dia sayangi menderita penyakit jantung. Kira-kira kalau seperti ini, masuk akal gak? Sepanjang perjalanan drama ini, saya tidak melihat satuuu saja perkara besar yang bisa membuat Jung Hwan stres dan melarikan diri ke rokok. Kecuali rasa tidak percaya dirinya mengungkapan cinta kepada Deokseon. Lah, masa iya sih Jung Hwan se-cemen itu? Gara-gara frustasi gak bisa confess ke cewek, dia jadi perokok? Kan gak lucu. Perkembangan karakter Jung Hwan jadi tidak logis begini—ini andaikan kita mengikuti pendapat mereka yang bilang skrip diubah.
Choi Taek adalah suami Deokseon sejak episode 1. Tidak terbantahkan. Silakan terima kenyataan. Ok? Berhenti memanipulasi diri sendiri. ^^
Salah satu topik yang juga menarik perhatian saya pada episode 1 ini adalah bagaimana posisi anak dan orang-tua, bagaimana interaksi dua pengisi organisasi bernama keluarga ini. Di Keluarga Sung kita diajak merasakan cobaan sakitnya berada di posisi anak tengah—Sung Deokseon. Di Keluarga Sung yang lain, ada Sun Woo yang memperlakukan ibunya sebaik-baiknya perlakuan (dan ini favorit saya). Lalu di Keluarga Kim, ada Jung Hwan yang tidak tahu bagaimana mendekatkan diri, bagaimana menjadi sosok yang peka terhadap ibunya (dan seluruh orang-orang yang ia kenal). Tiga tipe anak bisa kita temukan di lingkungan kita masing-masing.
Selamanya, saya akan selalu mencintai Sun Woo. Dia panutan saya dalam urusan mencintai ibu dan adiknya. Dia karakter yang paling clear sedari awal. Dia, jenis orang yang akan berterus-terang bila dia menyukaimu. Penyayang.
Scene paling menyentuh menurut saya adalah ini;
♥ Sun Woo, ibunya, dan sebungkus rokok ♥
Pernah gak kamu berada di posisi Sun Woo? Tak peduli berapa kali kamu berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi kamu masih dianggap bohong? Saya pernah, dan rasanya sangat menyakitkan. Kamu tidak dipercaya. Saya bilang begini ke adik perempuan saya, “biarkan saja mereka dengan pikiran-pikiran mereka. Yang harus kita lakukan adalah membukitikan diri, bahwa apa yang sudah mereka tuduhkan selama ini tidak ada satu pun yang benar. Bahwa mereka sudah salah. Bahwa mereka sudah berlaku sewenang-wenang dengan pikiran-pikiran mereka.
Ya—adakalanya kita harus berhenti membela diri dengan kata-kata, dan menggantinya dengan tindakan nyata. Sebab pada akhirnya, kebenaran tidak akan ke mana-mana. Dan sebagian orang hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar, hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.

Ini bagian paling pentingnya, Sun Woo—meski sudah dituduh begini-begitu oleh ibunya—tidak berbalik marah dan kecewa kepada ibunya. Ia malah memeluknya sembari meminta maaf telah bersuara kasar kepadanya. Sun Woo-ya... . 
Jung Hwan dan ibunya
Bayangkan bila Mi Ran tidak pernah berusaha membuka pendekatan kepada Jung Hwan. Kira-kira apa yang akan terjadi? Kesalah-pahaman itu akan terjadi terus-menerus. Jung Hwan tidak akan pernah mengetahui kalau ibunya merasa kecil hati setiap kali kumpul bersama ibu teman-temannya. Jung Hwan bukan tipe orang yang cepat tanggap terhadap perasaan orang lain. Ia tidak bisa membaca situasi hati orang secepat Sun Woo atau Taek, bahkan Dong Ryong. Jadi, bagi siapa saja yang berinteraksi dengan Jung Hwan—jangan pake kode segala macam. Kudu Bold. Ngomong A ya A, jangan hiperbolis atau pake kiasan sana-sini.
♥ Deokseon, ayahnya dan kue ulang tahun ♥
Narasi Deokseon begitu menohok. Terkadang, keluarga kita sendiri yang paling tidak sadar. Selama itu, ia berpikir kedua orangtuanya sadar betapa besar pengorbanan yang sudah ia berikan. tapi persangkaannya meleset. Ayah-ibunya tidak peka sama sekali. Karena itulah kemarahannya di malam ulang tahun itu mencapai klimaksnya.
Pengakuan Sung Dong Il kepada Deokseon di depan toko Dooley mengakhiri seluruh kemarahan Deokseon. Ayahnya benar, Deokseon memang baik. Dia memang sebaik itu.
Bora—ah, saya tidak menyukainya di episode ini. Apa yang dilakukannya kepada Deokseon berlebihan.
Mari masing-masing kembali menekuri makna sesungguhnya satu kata ini; family. Keluarga.
Love (y)our family ♥
*)note : mohon maaf bila ada kesalahan grammar dan lain-lain

Azz ^^