Paragraf seperti apakah yang cocok untuk membuka postingan ini? Ini bukan semacam first impressions, mengingat saat saya menulis entri baru ini saya sudah menonton 8 episode Our Beloved Summer. Lalu mau saya isi apa dong? Let it flow aja ya? Hehe.

Ketika Our Beloved Summer tayang perdana, keesokan harinya, sebenarnya saya sudah mencoba dua episode pilotnya. Bukan menonton full, tetapi mengintip saja. Dari hasil intipan saya, saya tahu premis drama ini sudah menggoda saya. Namun sayangnya, hingga memasuki pekan ketiga penayangannya, saya belum juga ketemu mood yang bagus untuk benar-benar menikmati Our Beloved Summer, tidak peduli seberapa kencang teriakan fans Our Beloved Summer di temlen twitter. Dramanya saya simpen dulu. Sayang banget kan drama bagus begini jadi korban mood jelek saya?



Melewati pekan keempat penayangan, say berjanji akan memulai OBS begitu urusan pekerjaan berhasil saya kelarkan sebelum akhir pekan. OBS saya masukan ke list tontonan prioritas—The One and Only, Uncle, dan drama ongoing yang belum saya sentuh bisa menunggu. Saya harus memulai OBS sebelum episode 16-17 The Red Sleeves tayang—Iyess, soalnya saya sudah mencium mood nonton yang bakalan ambyar bablas begitu TRS menayangkan episode terakhirnya, yang jadi korban udah pasti drama ongoing-an. Suka gitu deh setiap kali drama kesayangan kelar tayang. .

Usai menyelesaikan 8 episode Our Beloved Summer tanpa jurus skip, akhirnya saya paham mengapa banyak sekali penonton yang dibuat baper sama drama yang tayang di SBS ini. Worth it jadi bahan baper. Ini bukan drama kaleng-kaleng.

Ngobrolin OBS enaknya saya mulai dari mana ya? Nah, bingung lagi kan wkwk. Perlu diingat ya, apa yang saya tulis setelah ini semata hanya menggunakan POV saya sebagai penonton OBS. Pengalaman apa saja yang saya rasakan saat menonton satu demi satu episode yang sudah ditayangkan. Kalo enggak setuju bukan salah saya HAHAHAHA.



Storyline

Kisahnya bermula dari sebuah rekaman acara dokumenter 10 tahun lalu di tahun 2011 yang tiba-tiba memuncaki trending topic, isinya tentang bagaimana interaksi sepasang siswa, peringkat pertama dan terakhir di sebuah SMA. Kook Yeon-su, si peringkat satu, dan Choi Ung, si penutup peringkat. Dari segi karakter aja, dua orang ini udah bertolak belakang bagai bagai kutub Utara dan Selatan yang jauhnya mencapai separuh bagian bumi. Apa yang akan terjadi bila disatuin dalam satu program dokumenter? Banyak berantemnya udah pasti sih ya. Yang satu disiplin, yang satunya lagi banyakan ngantuknya, mana matanya si Ung-ie bentukannya kayak orang yang ngantuk mulu.

10 tahun silam, di tahun 2011, pada syuting terakhir dokumenter tersebut, Ung dan Yeon-su memutuskan berpacaran dan hubungan berlanjut hingga masa-masa kuliah. Lalu tibalah tahun kesedihan Yeon-su dan Ung, 2016. Yeon-su memutuskan Ung sepihak. Pengalaman patah hati itu terus mengikuti Ung, mempengaruhi seluruh bagian dirinya.

Lima tahun kemudian, takdir membawa kembali Yeon-su dan Ung melalui serangkaian pertemuan tak terduga. Seperti deja vu, Yeon-su dan Ung lagi-lagi terlibat dalam pembuatan acara dokumenter. Kali ini, dokumenter itu bertujuan menyandingkan masa10 tahun lalu dua anak muda itu dan masa sekarang. Adakah yang berubah? Sejauh mana pengalaman hidup telah membawa keduanya? Perasaan yang dipaksa mati tiba-tiba itu, masih adakah?

OBS mengejutkan saya dengan... well, semua yang ada pada drama ini mengejutkan saya. Sejauh 8 episode, belum saya temukan satu pun scene yang membuat saya bosan. Saya dibikin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Setiap episodenya mengajak saya membuka selapis demi selapis isi pikiran Yeon-su dan Ung. Saya yang tidak tahu apa-apa dan dipenuhi pikiran yang sifatnya menghakimi (tanpa sadar) di episode pilot, perlahan—benar-benar perlahan mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Yeon-su dan Ung. Saya menyesal sudah sok tahu terhadap Kook Yeon-su. Saya hampir-hampir saya seperti orang kebanyakan di sekitar Yeon-su, yang menganggapnya sebagai sosok menyebalkan dan angkuh.


directing & BGM (Background Music)

Cerita yang sekilas terbaca membosankan nyatanya enggak sama sekali. OBS bisa saja berakhir membosankan, memang, tapi cara drama ini bercerita (bagaimana ia dikemas) membuatnya terasa renyah, fresh, fun, dan perasaan yang disajikan oleh karakter utamanya terlalu blak-blakan sedihnya. Saya berani bilang sentuhan directing dan penempatan background music yang tepat berperan besar dalam membangun mood OBS. Kalo saya bilang sih cara kerjanya mempengaruhi mood penonton tuh magic banget. Saya enggak tau apakah ini tepat apa enggak, directing OBS mengingatkan saya pada MV lagu-lagu indie, juga pada drama-drama tvn sebelum tvn menjadi sebesar sekarang. Periode tvn masih mencari-cari pasar. Tema dan kemasan dramanya unik-unik.

Kerasa banget feel nostalgianya OBS ini. Saya jatuh cinta dengan setiap sudut pengambilan gambarnya. Pernah denger kan soal gambar yang bisa bercerita, OBS kayak gitu. Setiap sudut pengambilan gambar memiliki warna emosinya sendiri, ada napasnya. Ketemu BGM yang tepat, sudahlah. Kelar urusan. Mustahil bagi saya untuk gak suka sama drama ini.


monolog

Satu lagi kekuatan yang dimiliki OBS, yang membuat emosi ceritanya tiba dengan baik di hati penontonnya—monolog tokoh-tokohnya, khususnya Ung dan Yeon-su. Tanpa monolog yang mewakili suara hati terdalam Ung dan Yeon-su, barangkali rasa simpati dan empati yang saya miliki untuk mereka tidak akan sedalam ini, atau bahkan mungkin saja saya masih akan setia menghakimi setiap pilihan atau tidakan Yeon-su. Acapkali monolog Ung dan Yeon-su membuat saya terhenyak, menarik napas panjang, dan bikin sedih. Sometimes, its too realistic.

Saya ikut larut dalam setiap potongan pikiran mereka. Ikut ter potek-potek hatinya. .


realistic character

Bicara tentang kesan pertama pada karakter, Kook Yeon-su lah yang pertama kali menarik perhatian saya. Kook Yeon-su 10 tahun lalu dan Kook Yeon-su 10 tahun kemudian—terlihat perbedaan yang cukup kontras dan apa ya… terlalu realistis. Saya seperti melihat diri saya yang sedang mengkilas balik saya sepuluh tahun lalu. Melihat kembali mimpi dan harapan saya yang sedikitpun tidak mendekati kenyataan sepuluh tahun kemudian. It hurts. But life must go on.

Ya. Saya segera dibuat penasaran dengan backstory kehidupan Yeon-su.

Menonton Our Beloved Summer memberikan kita banyak pilihan untuk berada di sudut pandang mana atau siapa. Ung kah? Yeon-su kah? Atau sudut pandang penonton yang merasa paling tahu dan menganggap segalanya terasa mudah untuk dilakukan?

Pada banyak jalinan hubungan kasih sayang, mencari siapa yang salah atas gagalnya hubungan adalah sesuatu yang mudah dilakukan. Mengapa? Karena satu-satunya yang kita anggap paling bisa diandalkan adalah sudut pandang kita sendiri. Sudut pandang jenis ini sifatnya sangat subyektif, satu arah, seringnya nyasar entah menyasar apa. Yang mampu kita lihat hanya bagian belakang orang yang lain. Rentan sekali terjadinya penyalahgunaan memori atau kenangan.

Sebagai penonton, kita dengan mudahnya segera nyeletuk problem terbesar yang kemudian menyulitkan hubungan What If couple adalah kurangnya komunikasi dua arah, Yeon-su yang kurang membuka diri terhadap Ung, cenderung menyembunyikan bagian dirinya yang kerap kepayahan menjalani hidup atau Ung yang selalunya terima-terima aja Yeon-su memberi jarak kasat padanya. Jika saja Yeon-su mau membuka diri, yakin deh Ung pasti ngerti, Ung nggak akan seperti yang Yeon-su bayangin. Karena Ung baik banget dan serius sayangnya sama Yeon-su.



Apakah masalahnya sesederhana itu? Sebatas kurangnya keterbukaan dan komunikasi?

Coba deh pake pov-nya Yeon-su. Lihat dari mana ia berasal. Susuri kembali bagaimana ia berproses. Jelaslah kemudian, perkara ini tidak sederhana. Yang mengakar kuat pada diri Yeon-su, yang membuatnya selalu berjarak dengan hal-hal di luar dirinya. Yeon-su sangat menyayangi Ung, tapi Yeon-su lebih menyayangi dirinya. Masih ada yang belum selesai di dalam sana.

Ung dan Yeon-su memimpikan masa depan yang nggak muluk-muluk. Tapi sederhana versi Ung berbeda dengan sederhana versi Yeon-su. Hidup Yeon-su sudah keras sejak awal. Untuk bisa survive, ia harus mati-matian menjaga dirinya, menjaga harga dirinya—satu-satunya kemewahan yang ia miliki. Apa yang ditampakkan Yeon-su ke permukaan bukan karena ia ingin seperti itu, ia tampil seperti orang yang tak tersentuh, sombong, selfish bla bla bla... semata-mata ia lakukan untuk melindungi dirinya. Yeon-su tidak punya pilihan. Hari-harinya ibarat medan tempur yang harus selalu ia menangkan, sebab jika tidak maka hidupnya yang akan berakhir. Saya menangis melihat Yeon-su menangis sendirian di kamar mandi sembari membiarkan air keran mengalir. Saya sering seperti itu. Mengunci diri di kamar dan menangis sendirian tanpa suara meski bukan untuk urusan patah hati. Di luar? Tidak ada tempat yang bisa menerima kesedihanmu apa adanya. Begitulah hidup.

Sedangkan Choi Ung? Ung nggak demen menjalani hidup yang ribet dan berat. Simpel banget. Nggak suka riak. Ya... bayangin aja perasaannya Yeon-su denger Ung ngomong enteng banget soal impian masa depannya. Alurnya udah sama, tapi beda jalan. Jalan yang ingin dipilih Ung yang mulus-mulus aja. Sementara Yeon-su, dia nggak ada pilihan lain. Satu-satunya jalan yang ia miliki adalah jalanan rusak penuh lubang sana-sini, yang bikin kendaraan terantuk-antuk, oleng kanan oleng kiri. Meleng dikit ya udah. Ga ada itu santai-santai kayak di pantai.

Saya nggak berani mengomentari pilihan-pilihan hidup Yeon-su dan Ung. Nggak berani juga nyalah-nyalahin Ung atau Yeon-su perihal berakhir hubungan mereka lima tahun lalu. Karena menurut saya masalahnya nggak sesimpel cuman kurang komunkasi aja. Tapiiii, jika Yeon-su dan Ung berani membereskan persoalan komunikasi ini, maka di situlah akan menjadi awal mula perbaikan hubungan mereka. Jika Ung dan Yeon-su mulai melihat satu-sama lain dengan sungguh-sungguh. Nggak ada penghakiman. Menghargai setiap perubahan-perubahan dengan tone positif, Yeon-su dan Ung mungkin akan menjadi pasangan dengan hubungan kaasih sayang yang sehat. Masalah terletak di dalam diri masing-masing.

Saya lega syuting dokumenter di tahun 2021 membawa banyak refleksi bagi Yeon-su dan Ung. Keliatan banget Yeon-su dan Ung sudah mulai menemukan satu demi satu masalah yang membuat mereka dekat namun berjarak di masa lalu. Bahwa Ada yang keliru pada bagaimana Ung membentuk imej Yeon-su di mata dan ingatannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka lewati. Pun sebaliknya, bagaimana Yeon-su membaca karakter Ung.

 


Seperti Ung di episode 7 yang menyadari bahwa Yeon-su masih menjadi Yeon-su yang dulu, yang tidak bersedia membagi kesulitan atau kesedihan. Ung keliatan banget kecewanya. Nyes ini hati liat matanya Ung yang sedih, hampir nangis. Padahal dia sudah berharap Yeon-su mau bercerita tentang dirinya. Di sini bukan Ung yang melarikan diri, bukan pilihannya untuk menghindar, melainkan Yeon-su.

Lima tahun setelah putus, Yeon-su dibuat kaget dengan hal-hal baru yang dilihatnya pada sosok Ung, yang terasa asing dan belum pernah dilihatnya selama berpacaran dulu. Pertanyaannya, apakah hal-hal baru tersebut memang baru terbentuk setelah Ung dan dirinya putus, ataukah di masa lalu Yeon-su sudah sedemikan setia-nya pada imej polos bin pabo-nya Ung? Ung yang mager-an, Ung yang—tau sendirilah gimana anaknya wkwk—saking setia­nya, Yeon-su gagal mendeteksi potensi Ung menjadi orang yang bisa ia andalkan. Sesungguhnya jiwa insekyurnya Yeon-su membentuk lubang yang besar sekali, yang sanggup menelan semua harapannya untuk bahagia. The saddest part-nya ini.

Karakter Ung dan Yeon-su nih relatable banget. Manusiawi. Bisa dialami siapa aja. Dan bagaimana setiap orang bereaksi terhadap persoalan-persoalan yang datang kepadanya pun sudah pasti berbeda. Nggak ada rumus pastinya.

Saya tidak tahu apakah di akhir drama ini Ung dan Yeon-su akan kembali bersama atau tidak. Tetapi sepertinya saya bisa memastikan posisi saya sebagai penonton, bahwa saya termasuk golongan penonton yang tidak akan terlalu kecewa bila nantinya Yeon-su dan Ung memilih berpisah. Karena seiring berjalannya cerita saya mendukung perkembangan dua karakter ini. Saya berhadap di episode terakhir Yeon-su bisa menemukan kelegaan, berharap ia mampu mengatasi luka dan perasaan insekyur yang membuatnya tidak berani terbuka pada orang lain. Saya ingin sekali memeluk Yeon-su. Mengatakan padanya bahwa ia sudah bekerja dengan sangat keras, bahwa ada saatnya ia boleh memilih mengambil jeda dan boleh tidak bersikap terlalu keras pada dirinya sendiri. Bahwa ia boleh memilih untuk tidak berlari sepanjang hidupnya… Tidak apa-apa… Yeon-su ya… Saya benar-benar ingin memeluk Yeon-su.

Dan Ung.... kalo memang Ung masih sayang banget sama Yeon-su, Ung harus mulai membaca Yeon-su bukan dari perspektif orang yang jadi korban patah hati. Sepanjang episode 1-8, saya belum menemukan scene atau monolog di mana Ung mengetahui bagaimana Yeon-su menjalani hidupnya. Bagaimana Ung memvisualisasikan sifat-sifat Yeon-su masih berdasarkan efek sebab-akibat perasaan yang berpusat pada diri Ung sendiri. Ada satu sih scene yang menunjukkan Ung tidak se-bodo amat sama hidup, sewaktu ia dan Yeon-su membahas masa depan, trus Yeon-su pamit ke kamar kecil lalu Ung merenung sejenak, mengambil alih laptop Yeon-su dan mulai mengetik cara dapetin pekerjaan atau duit melalui menggambar di kolom pencarian.

Dalam hal ini saya berada di pihak Yeon-su. Asal Yeon-su bahagia.



Putusnya hubungan Yeon-su dan Ung telah membawa banyak perubahan pada hidup mereka. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan sama-sama ga baik-baik aja. Ung misalnya, dia yang dulu menyukai menggambar sebatas hobi, awal putus, hobi menggambarnya menjadi penolongnya, semacam katarsis nggak sih jadinya?

Kalo Yeon-su... yang berubah dari Yeon-su... Yeon-su semakin keras pada dirinya. Sedih sekali. 

Ada beberapa pertanyaan yang saya tunggu jawabannya di part dua Our Beloved Summer. Antara lain, perkembangan karakter Ji-ung. Saya ingin melihat perkembangan karakter ini tidak hanya sekadar observer, saya penasaran dengan ucapan sunbae ke Ji-ung soal mengapa ia memilih Ji-ung sebagai orang yang bertanggung jawab mengasuh program dokumenter itu.

Lalu bagaimana progress hubungan Yeon-su dan Ung. Bukan soal mereka baikan atau enggak, saya ingin melihat bagaimana drama ini memanfaatkan peluang rujuk Yeon-su dan Ung untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan dari utang masa lalu. Kalo baikan tapi tetap nggak ada perkembangan pada masalah utama ya gimana ya. Hehe.

Paruh kedua Our Beloved Summer menjadi momen penting apakah drama ini masih bisa mempertahankan konsistensi alur, konflik dan ceritanya seperti di paruh pertama yang sudah bagus sekali penceritaan dan perkembangan karakternya.

Soal happy ending atau enggak, saya hanya ingin Ung, Yeon-su dan Ji-ung bahagia dan persahabatan mereka semakin kuat. Saya ingin mereka lebih mengenal dan mencintai diri mereka sendiri Itu saja dulu.

Sebuah closure yang menyenangkan untuk 10 tahun mereka yang sudah tertinggal di belakang.



Tabik,

Azz


[Trivia] Our Beloved Summer

by on 12/31/2021 02:47:00 PM
  Paragraf seperti apakah yang cocok untuk membuka postingan ini? Ini bukan semacam first impressions, mengingat saat saya menulis entri bar...


Ga direncanain dari awal kalo mau ngikutin The Red Sleeve. Saya mutusin nonton setelah melihat reaksi orang-orang yang nonton episode pilotnya, pada bilang bagus. Hayuklah. Meskipun bukan fans genre sageuk, tapi kalo ketemu drama sageuk yang cocok pastilah dinonton. Nah The Red Sleeve ini baru nonton dua episode pilotnya aja udah bisa bikin saya jatuh suka. Ga ada alasan untuk saya ngelewatin drama yang mendapuk Lee Se Young dan Lee Junho 2PM ini sebagai lead female dan lead male-nya.

The Red Sleeve diangkat dari novel yang ditulis Kang Mi-kang, mengambil setting masa pemerintahan Raja Yeongjo, raja ke 21 Joseon, putera dari Raja Sejong dan Selir Choe Suk Bin (Dongyi, MBC 2010).



Kisah cinta Yisan (Raja Jeongjo) dan Deok-im yang diceritakan di TRS ini adalah kisah nyata yang memang benar-benar pernah terjadi. Tentu saja nggak plek ketimplek persis kejadian di drama. TRS nih semacam kisah nyata yang di-fiksi-kan. Sejarah mencatat Yisan dan Deok-im memang merupakan teman masa kecil yang kemudian saling jatuh cinta lalu setelah perjuangan panjang, Yisan dan Deok-im menikah. Nasib Deok-im tidak sepanjang Yisan. Tak lama setelah puteranya meninggal, Deok-im pun menyusul. Oya, Yisan dan Deok-im dikaruniai tiga anak dan nggak ada yang berumur panjang.

Setelah penayangan episode 9-10, disusul rilis preview episode 11, saya menjumpai sejumlah komentar berisi ketidakpuasaan terhadap plot cerita yang terlihat seperti tidak fokus pada kisah Deok-im dan Yisan. Interaksi Yisan dan Deok-im yang minim tampaknya mengusik penonton yang udah terlanjur baper berat wkwk. Yah, termasuk saya ini, baper terussss aja tiap Jum’at-Sabtu. Saya nggak baca novelnya, jadi saya nggak bisa komentar banyak soal puas-enggak puas dengan 10 episode TRS yang sudah ditayangkan tapi emang sih porsi perkembangan cerita Yisan-Deok-im lumayan dikit. Di Asianwiki sinopsis TRS nyeritain kisah cinta Deok Im-Yisan, tapi di TRS porsi politiknya kental sekali.

Saya baca hanya potongan-potongan kisah Yisan dan Deok-im yang dicatat sejarah. Bahwa Deok-im adalah satu-satunya selir yang dipilih sendiri oleh Yisan, bahwa sepeninggal Deok-im, Yisan mengalami patah hati terkelam dalam hidupnya… Ia meninggalkan sejumlah kata-kata pada nisan Deok-im. Kata-kata yang menyiratkan betapa besar kehilangan yang dirasakannya setelah Deok-im meninggal.


Kiisah cinta Yisan dan Deok-im begitu luar biasa dan dalaaammm.

Yang membuat saya ingin menangis (ya, saya akhirnya memang menangis) setiap kali Yisan dan Deok-im bertemu, melihat bagaimana sorot mata Yisan setiap kali menatap Deok-im, melihat betapa gigihnya ia mengejar Deok-im, dan Deok-im yang gigih pula menampik (Ia dua kali menolak lamaran Yisan)—melihat ini semua, saya seperti bisa melihat spirit kisah Yisan-Deok Im yang dicatat sejarah. Se-powerful itulah yang saya rasakan dari kisah Yisan-Deok Im di TRS ini. Saya nggak sadar berkali-kali membatin, “aih, pantas saja Yisan se-jatuh cinta itu pada Deok Im”, dan hanya dengan melihat interaksi mereka yang tidak banyak tapi membekas kuat itu, bayang-bayang patah hati berskala besar terpampang jelas di depan mata. Semakin besar kasih sayang yang ditunjukkan Yisan pada Deok-im, semakin kuat pula aroma patah hati yang (akan) datang dari jauh itu.



Bagi saya, TRS sejauh ini sudah berhasil menghidupkan nyawa kisah cinta Yisan dan Deok-im. Saya yakin banget ini tidak terlepas dari kekuatan acting dan chemistry Lee Junho dan Lee Se Young—siapa pun yang nge cast mereka dapat kiriman lope-lope yang banyak dari saya. Serius, keren banget! ASLI. Saya jatuh hati dengan dua orang ini. Ga ada satu pun episode yang gagal menampilkan detail acting mereka. Mungkin inilah yang namanya kena sirep akting aktor-aktor keren.

Dari Dongyi ke anaknya, Yeongjo, lalu cucunya, Pangeran Sado yang berakhir tragis, hingga ke cicitnya, Yisan, enggak ada yang mulus jalan hidupnya. Amis darah, pengkhianatan dan pemberontakan di mana-mana

Yisan yang dicatat sebagai salah satu raja yang memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan Joseon pada masa pemerintahannya juga nggak terlepas dari huru-hara. Kalo TRS ngikutin sejarah tar si Hong dan Ratu bakal nusuk Yisan dari belakang kan ya? Sisa 7 episode lagi apa bisa menampung kronologis yang padat itu?

Harusnya di sisa episode yang ada fokus cerita sudah masuk pada pengangkatan Yisan sebagai raja. Kalo sampe minggu depan Yisan belom naik tahta juga… curiga, dua episode terakhir, atau di episode terakhir kisah Yisan-Deok im bakal dipadetin. Au ah.

Yang jelas TRS udah bikin saya jatuh cinta. Pada kisah Deok-im, dan Yisan, pada acting, directing dan sinematografinya, pada gradasi warna, music, desain dan warna kostum—semuanya! Mata, telinga, dan hati dibikin puas sama kualitas drama ini. Jadwal bapernya tiap Jumat-Sabtu.

Semoga plot dan penyelesaian konflik TRS tetap memukau hingga akhir.

Oya, ada satu kesadaran baru yang saya rasakan saat menonton TRS, ternyata kisah sedih atau tragis yang memang sudah jelas-jelas nyata adanya pada satu drama/film atau pun buku, nyatanya akan tetap bisa membuat kita betah nonton bila pengemasannya bagus. Seperti TRS ini, udah tau bakal nyesek di akhir tapi tetep diikutin. Kenapa coba? Karena kisahnya indah! Drama MBC ini dikemas menggunakan tone yang indah, penonton semacam kena mantra, dan dengan berani dan percaya diri membuka tangan lebar-lebar sambil bilang, “SELAMAT DATANG KESEDIHAN. SINI AKU PELUK ERAT.”

Gitu.

Perkara bakal nangis-nangis jelek itu urusan belakangan.



Saya suka sekali liat Deok-im lari-larian, semangat dan bahagianya nyampe ke saya, tapi pas dia lari-larian kenceng banget sampe jatuh bangun di episode 9, saya kebagian sedih dan nangisnya. Berasa banget ketegangan, ketakutan, dan cemasnya Deok-im—Lee Se Young mo akting apa aja total banget. Ekspresi wajahnya itu loh...  

Happy ending The Red Sleeve nantinya (mungkin) bukan jenis happy ending yang kita harapkan.


Tabik,
Azz

P.s : Mbak Mel rekomendasiin drama Yisan, Wind of The Palace (MBC, 2007-2008), pengeeen banget nonton tapi liat total episodenya langsung ciut. Donlotnya di manaaaaa ini.