Ini bukan review.

Pada suatu kesempatan, Nagaura Momone (Kaya Kiyohara) mengejutkan keluarganya dengan melontarkan keinginannya keluar dari Kesennuma, kampung halaman di mana ia lahir dan tumbuh. Usianya baru delapan belas tahun. Gagal tes masuk universitas, ia pun masih diliputi kebingungan dengan arah hidup dan masa depannya. Mone memantapkan niatnya keluar dari Kesennuma. Semula Nagaura Koji (Seiyo Uchino)—ayahnya—mengira keputusan yang diambil Mone hanya bersifat sementara, yang muncul karena kegagalannya masuk universitas. Oleh kakeknya, Nagaura Tatsumi (Tatsuya Fuji) Mone dititipkan kepada seorang teman di Tome, Sayaka-san. Di sana ia bekerja sebagai forest guide.

Tak disangka keputusan Mone keluar dari Kasennuma, lalu bekerja di Tome akan membawanya menuju titik balik paling penting hidupnya. Pertemuannya dengan seorang  weather forecaster  terkenal dan dokter Suganami di Tome menjadi awal mula bagi Mone menata hidup dan hatinya, juga berdamai dengan hantu masa lalu yang selama ini selalu mengintai hidupnya.

Trauma.

Awalnya, seperti halnya Nagaura Koji, saya curiga Mone pindah ke Tome adalah upayanya untuk melarikan diri dari entah apa itu yang membuatnya tidak nyaman di Kesennuma. Mone yang menyukai music lebih dari siapa pun menolak memainkan kembali alat music favoritnya. Tak ada yang tahu apa sebabnya. Sepengamatan saya, sorot mata Mone selalu dipenuhi kesedihan, was-was, dan kebingungan yang takarannya berhasil membuat saya merasakan uneasy feeling setiap kali gadis ini muncul di layar. Mone, di saat yang sama juga memunculkan semacam keharusan bagi saya untuk mengenalnya lebih dekat. Saya ingin tahu apa yang membuat seorang gadis 18 tahun bisa merasakan kesedihan yang begitu dalam. Ada luka di matanya yang saya yakini sulit dijelaskan bahkan oleh Mone sendiri.

Saya mengalami banyak sekali badai (kesedihan dan haru) sepanjang menonton Okaeri Mone, asadora atau morning drama yang ditayang di NHK Jepang ini. Setidaknya saya bisa membagi tahapan perjalanan emosi yang dibawa karakter Nagaura Momone dalam Okaeri Mone.


Pertama, proses pencarian masa depan Mone selama di Tome. Mone selalu takjub dengan apa pun ditampakkan alam kepadanya. Sebagai anak pulau, tinggal di pegunungan yang dekat sekali dengan hutan dan pepohonan memberikan perspektif baru pada Mone tentang laut, langit, sungai, hutan dan pohon-pohon. Semua terkoneksi, utuh sebagai satu kesatuan.

“There are many things in this world, that are of use to others, even if you can’t see it.”

Begitulah alam bekerja tanpa pamrih dan tidak bising.

Di sini Okaeri Mone menyentuh hati saya pertama kali, langsung ke titik terdalam. Filosofi alam dan bagaimana pengetahuan ini turut pula membantu Mone menemukan jalan menuju harapannya menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain.

Kedua, Mone mulai belajar sebagai bagian dari persiapannya mendapatkan lisensi sebagai peramal cuaca, dibantu Suganami Kotaru, dokter muda yang nampaknya memiliki ketertarikan pada Mone (tanpa disadarinya).

Bagian yang menarik di sini (selain interaksi dengan pak dokter menggemaskan wkwk) adalah bagaimana proses Mone mendapatkan lisensi peramal cuacanya. Digambarkan tidak mudah, tidak dramatis, natural apa adanya, kerja kerasnya Mone diperlihatkan, jatuh bangunnya, sempat hilang percaya diri sampai akhirnya ia berhasil.

Dengan lisensinya sebagai peramal cuaca, Mone menuju Tokyo untuk bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ramalan cuaca. Perusahaan ini bekerja sama dengan stasiun tivi dan pihak-pihak lain yang membutuhkan prediksi cuaca sebagai bagian dari pertimbangan operasional seperti transportasi.

Ketiga, inilah yang paling banyak menguras emosi saya. Bagian ini juga yang membantu saya memahami mengapa asadora 120 episode ini diberi judul Okaeri Mone, Welcome Home, Mone. Saya pengen banget meluk Mone, meluk sambil nangis sambil ngasih tau dia kalo dia udah bekerja dengan sangat keras. Well done, Mone-chan. You have worked hard, oh my precious Mone-chan .

Ada tiga hal penting yang coba diingatkan Okaeri Mone kepada saya.

Pandangan saya terhadap pohon, sungai, laut dan langit tidak sama lagi seperti sebelum saya menonton Okaeri Mone. Oke, memang saya sudah memiliki ketertarikan yang dalam kepada alam yang mungkin banyak dipengaruhi jurusan yang saya ambil semasa kuliah, tapi apa yang coba disampaikan dorama ini semakin menambah volume kesantunan yang saya berikan kepada alam. Di hadapan alam, manusia bukanlah apa-apa.

Weather forecaster, peramal cuaca. Okaeri Mone membuka mata saya lebar-lebar terhadap profesi satu ini. Mulanya, perhatian saya tercurah pada drama Korea yang sedang tayang saat ini, drama tersebut mengangkat tema yang sama soal pekerjaan sebagai peramal cuaca. Cuap-cuap saya di Twitter disambut salah seorang teman yang merekomendasikan Okaeri Mone. Mumpung lagi kepo banget kan sama weather forecaster, saya pun gercep nonton setelah ngelarin Saiai.

Saya yang baru kenalan sama format asadora, 15 menit per episode, lumayan kaget wkwk. Jujur pas liat total episodenya—120 bookkk—sempet jiper duluan. Kuat ga ya donlotnya? ㅋㅋㅋ sebenernya bukan soal kuat enggaknya sih, tapi sabar apa ga HAHAHAHA. Abis waktu nonton suka mepet, kejepit sama kerjaan dan jadwal ngajar siang-malem (sok sibuk). Saya coba donlot 8 episode dulu. Kalo itungannya 15 menit per episode, berarti kalo 8 ep sama aja 120 menit, 2 episode untuk drama normal 60 episode. Saya pikir 2 episode udah bisalah ngasih saya alasan kenapa drama ini berhak dapet waktu saya. Apaan, 15 menit pertama udah berhasil bikin saya jatuh suka ㅋㅋㅋㅋ. Karakter Mone benar-benar berhasil menarik perhatian saya. .

Takjub banget sama cara kerja peramal cuaca. Selama ini kan soal ramalan cuaca cuman tau lewat akun BMKG Indonesia. Paling sering kalo ada warning gempa bumi atau bencana lain. Nah di Okaeri Mone nih ga fokus di bagian ngabarin doang. Tapi proses gimana cuaca itu diprediksi, lalu disampaikan kepada khalayak umum—di belakang layar stasiun televise dikasih liat kayak gimana. Ga ngasal ga sembarangan. Memprediksi cuaca adalah sesuatu yang sulit. Tiap menit bisa berubah. Jepang kan memang Negara yang rawan gempa dan bencana alam lain. Makanya ga heran kenapa soal ramal-meramal cuaca ini punya corner-nya sendiri di media. Ada waktu-waktu tertentu update-nya. Mon maap tanpa sadar saya ngebandingin sama negeri sendiri. Ga bermaksud mengecilkan otoritas yang berwenang soal ramalan cuaca, saya cuman mikir aja, dengan kondisi Indonesia yang rawan bencana harusnya penyampaian berita cuaca menjadi salah satu yang penting dan butuh perhatian. Wadah penyampaiannya harus bisa menyentuh masyarakat luas. Banyak orang-orang di pelosok ga pake media sosial. Saya inget, dulu tuh di TVRI ada segmen khusus untuk berita cuaca, kalo ga salah di Dunia Dalam Berita, iya ga sih? Sebelum bobok bocil liat ramalan cuaca dulu HAHAHAHA.

Mata saya kebuka nonton Okaeri Mone, sepenting itu ramalan cuaca untuk semua pihak. Effort-nya itu loh, luar biasa.


Mone dan keinginannya melakukan pekerjaan yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain. Sebelum memasuki paruh ketiga, saya kuat-kuat aja, berkali-kali mendengar Mone menuturkan keinginannya itu. Namun segalanya berubah setelah saya mengetahui apa yang menjadi latar belakang Mone begitu terobsesi mengerjakan apa yang bisa bermanfaat bagi orang lain. It breaks my heart.

Menjadi peramal cuaca, salah satu alasan Mone memilih pekerjaan ini ternyata berhubungan dengan bencana besar yang pernah menimpa Kesennuma 2011 tahun silam. Gempa bumi yang disusul tsunami. Saat itu terjadi, ia dan ayahnya sedang berada di Sendai. Ketidakhadirannya di tengah bencana itu rupanya meninggalkan trauma mendalam di hati gadis itu. Mone di awal episode yang ingin keluar Kesennuma bukanlah karena ia membenci kampung halamannya, tuntutan untuk melakukan sesuatu yang bisa menolong orang lain sesungguhnya adalah bentuk lain dari trauma yang tidak pernah lepas darinya. Dikejar rasa bersalah tidak pernah mudah bagi Mone. Relate sekali ini.

Fase trauma atas sesuatu yang terlalu besar untuk dijalani, yang menghadirkan rupa-rupa kehilangan ibarat hantu tanpa wujud, ada tapi tak terlihat, menurut saya Okaeri Mone mampu menjabarkan perasaan ini dengan takaran pas melalui tokoh-tokohnya yakni orang-orang yang tinggal di Kesennuma, yang selamat dari gempa dan tsunami 2011. Sudut pandang Mone sebagai pihak yang tidak berada di tempat dan Michan dan teman-teman Mone yang sedang berada di Kesennuma saat gempa dan tsunami menerjang tempat itu—masing-masing membawa beban traumanya sendiri. Warga Kesennuma banyak yang memilih meninggalkan kampung halaman, ada yang memilih tetap bertahan. Meski tahun-tahun yang panjang sudah lewat, cengkeraman kengerian itu masih memberati kaki-kaki mereka, mempengaruhi setiap keputusan dan pilihan hidup yang mereka ambil.

Kita nggak akan pernah benar-benar bisa memahami perasaan trauma orang-orang seperti Mone, Michan, warga Kesennuma secara keseluruhan. Melihat Mone, melihat Michan, melihat betapa besarnya efek trauma pasca tsunami, tak pelak membuat hati saya ngeri dan nyeri. Saya berusaha memanggil kembali kenangan—reaksi saya terhadap musibah-musibah yang dialami orang-orang di sekitar saya. Ucapan berupa kelegaan, simpati dan empati, bernada kesedihan, turut berduka-cita—jika tak diperlakukan hati-hati bisa berubah jadi tusukan pedang yang justru membuat orang-orang yang mengalami merasakan duka berkali-kali lipat. Mereka aja ga punya keberanian membuka diri kepada sesama survivor lain.... ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ


Saya nangis sewaktu Mone, Michan, Ryo, dan tiga teman lainnya saling terbuka mengenai musibah besar yang menimpa mereka. Mereka tidak leluasa membahas kejadian itu dengan orang lain. Bila orang baru yang mereka temui mengetahui mereka berasal dari Kesennuma, maka sorot mata kasihan itu tak bisa dihindari. Jadilah mereka dipaksa mengakali kesedihan itu dengan cara apa pun. Seolah-olah menjalani hidup senormal mungkin begitu sulit. Di saat yang sama mereka ingin bergerak maju, namun selalu ada saja hal-hal yang membuat mereka terlempar kembali ke masa-masa berat itu.

Puncak kesedihan saya, titik kulminasi emosi saya sebagai penonton Okaeri Mone, yang menyaksikan perjalanannya dari titik nol, adalah di episode 117, menit ke 10.28. Ketika Mone diliputi tsunami emosi usai mendapatkan kabar gembira dari Michan.

“I’m very happy right now. But tell me, is that because I feel saved now?”

Mone bertanya kepada Suganami, yang dijawab dokter itu dengan gelengan kepala.

Saya nangis kenceng banget di sini. Keinget perjalanannya Mone di episode 1 sampe episode itu. SUGANAMIIII KENAPA ANDA HANYA NEPUK-NEPUK BAHU MONEEEE KENAPAAAAAA!! /sepak guling/ Saya aja waktu liat adegan Mone di situ pengen banget meluk erat ikutan nangis bareng. ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ sumpah, emosi saya terakumulasi di adegan itu. Mone yang selalu merasa bertanggung jawab atas apa yang dialami adiknya, akhirnya bisa merasa lega. Utang masa lalunya berhasil ia lunasi. Rasa bersalah adalah momok menakutkan. Suganami ga meluk mungkin takut dikipas bapak-ibunya Mone yang ngeliat mereka di belakang wkwk.

Kayaknya Mone ga bakal bener-bener bisa ngerasain bahagia sebelum Michan bahagia duluan.

Mone Suganami

Kehadiran kisah Mone dan Suganami di Okaeri Mone ibarat oase di antara huru-hara yang menimpa karakter-karakter lain. Bener-bener penyelamat hati. Sewaktu Nanda ngasih tau hubungan Mone-Suganami ga seperti kebanyakan kapel di drama romantic, tapi ga setipis Daiki-Ryo di Saiai (drama yang baru saja saya tamatkan sebelum memulai Okaeri Mone), saya lantas sibuk menerka-nerka macam apakah hubungan yang dijalani Mone-Suganami?

Kapel LDR dengan chemistry luar biasa. Itulah Mone dan Suganami sensei. Minim skinship, miniiiiiiim banget, tapi powerful. Baru kali ini saya nemu model kapel kayak begini di drama. Adem, tapi bikin yang nonton ga adem. Maunya grasak-grusuk, teriak-teriak supaya dunia tau ada kapel yang level gemesnya ga bisa ditakar. Gimana ya, padahal cuma ngobrol doang, ga ngapa-ngapain, banyakan ngobrol lewat telpon. Kalo ketemu yang dibahas banyakan soal kerjaan..

Mone yang kalem ketemu Suganami yang juga kalem (kikuk-kikuk gemes tapi omongannya suka kelewatan  jujurnya), ya udah yang jadi korban penonton. Bisanya nge smashing bantal, tepok-tepok tembok kamar kek orang gila, ngikik sendiri, gigit-gigitin ujung bantal—ga jelas banget modelan penonton mace mini, IYEE ITU SAYA SI PENONTON RETJEH.

Semoga ini tepat, Mone beruntung memiliki Suganami sensei dalam hidupnya. Meski intensitas pertemuan mereka minim sekali tetapi porsi pengaruh Suganami sensei dalam kehidupan Mone besar sekali. Hampir semua keputusan besar yang diambil Mone tak terlepas dari masukan-masukan Suganami. Mone tuh kalo buntu, giliran abis ngobrol sama Suganami langsung tercerahkan walaupun kadang-kadang pa dokter kalo ngomong jujur banget, logis, no drama-drama club. Tapi Mone sendiri ngaku sih, tanpa itu—omongan-omongan jujur yang suka bikin sakit ati—dia ga bisa melakukan apa-apa.

“For me, I can’t be without him.”

Itu jawaban yang diberikan Mone kepada ayahnya saat ditanya tanggapannya soal lamaran Suganami sensei di hadapan kedua orang tuanya. Jelas ga mungkin bisa. Suganami yang menemani jatuh-bangunnya dia, yang nemenin dari nol. Sebagai orang luar di lingkarannya Mone, Suganami-lah yang paling paham Mone. 

“From time to time, Momone-san is very afraid of being separated from the people she cares about. But she seems to think it’s okay to be apart from me. From rather early on. | That’s why I think that someone like me might be the best person for her to live her life with.”

Saya butuh waktu cukup lama memikirkan maksud ucapan Suganami sensei kepada ibunya Mone ini. Apakah Mone tidak cukup sayang kepada Suganami hingga ia merasa tidak apa menjalani hubungan jarak jauh dengan Suganami bahkan setelah mereka menikah? Hingga kemudian saya tiba pada kesimpulan, dengan sejarah panjang trauma yang dialaminya, orang yang mendampingi Mone adalah dia yang bisa memberinya rasa aman, dan sejak awal Suganami-lah yang bisa melakukan itu untuknya. Dua orang yang saling memahami dalam sebuah hubungan kasih sayang, juntrungannya sudah jelas bukan?

Siapa sangka si dokter muda di awal episode yang memberinya jawaban cukup dingin atas pertanyaan randomnya, ternyata bakal menjadi pasangan hidupnya.

Okeh, memasuki bagian terakhir postingan ini, saya mau ngasih tepuk tangan paling meriah kepada Kaya Kiyohara!!! Gadis kelahiran 2002 ini memberikan penampilan terbaiknya sebagai Nagaura Momone. Aktingnya excellent! Detail ekspresinya juarak. Intonasi suaranya enak di kuping. Transisi emosi dari gadis 18 tahun ke perempuan dewasa berjalan dengan sangat baik. Didukung tim stylist yang kece, saya sebagai penonton dibuat terpukau dengan perubahan penampilan Mone. Tau ga sih, saya kan nggak ngintip usia Mone waktu nonton pertama kali. Nah kemunculannya di episode awal-awal bikin saya membatin ‘jiaaaahhh masih muda bangettt iniii’, kayak anak SMA kelas sepuluh masih unyu-unyu. Kayak ga kebentuk di benak saya bakal seperti apa di masa depan. Setelah Mone ke Tokyo, pelan-pelan penampilannya mulai berubah. Ga drastic, alus bener dan cocok. Ga maksa. Make up-nya juga bagus. SAYA TERPESOONAAAA.

Sama halnya dengan Suganami sensei. Penampilannya cocok sama profesinya wkwk mon maap no effense. Sering tuh saya nggak sadar ngomong sendiri, ‘Suganami sensei bawaannya kayak ngantuk mulu deh, pakaiannya juga gitu-gitu aja’ trus detik berikutnya saya inget kan doi dokter yah, kebagian jaga malam, belum lagi bolak-balik Tokyo-Tome, mana sempet berpenampilan modis? Waktu untuk ketemu Mone aja hampir nggak ada, boro-boro…. . 

Okaeri Mone nih ga cuman karakternya yang realistis tapi juga semua aspek dramanya. Mengingatkan saya kembali kepada pendapat saya di masa lalu, drama/film Jepang secara umum terasa dekat sekali dengan realitas, drama/film Jepang punya spot khusus di hati saya. Ada ciri khas pada elemennya yang hanya bisa saya temui di drama/film Jepang.

Gara-gara Okaeri Mone, saya jadi ngefans dengan aktingnya Kaya Kiyohara dan Sakaguchi Kentaro. Ini kali pertama saya nonton project mereka. Nanti mau coba nyari project mereka yang lain, siapa tau ada yang cocok sama selera dan mood nonton.

Okaeri Mone adalah dorama yang berhasil menyentuh titik sadar manusia, menceritakan relasi yang kuat alam dengan elemen-elemennya yang membuatnya terus bernapas, relasi antarmanusia, manusia dengan dirinya sendiri melalui tokoh-tokoh di dalamnya—Mone dengan orang-orang di sekelilingnya. Pada satu titik, drama ini akan membawa penontonnya merenungi banyak hal, soal hidup, soal alam. Mungkin juga soal hal-hal yang ingin kita lupakan namun tetap mengekori setiap pandangan mata kita.

Ucapan Okaeri, welcome home, rasa-rasanya tak hanya cukup disampaikan kepada Mone, namun juga kepada seluruh masyarakat yang terdampak gempa dan tsunami 2011 di Kesennuma.

Dan dari Okaeri Mone, kita pun kembali diingatkan bahwa menyembuhkan diri dari trauma adalah sebuah proses yang panjang dan tidak mudah. Ada orang-orang yang membutuhkan waktu seumur hidupnya.

Okaeri Mone, sebuah perjalanan panjang dan berliku yang ditempuh Mone untuk bisa memeluk hangat dirinya di masa lalu. You have worked  so hard, Mone-chan. ㅠ.ㅠ

Tabik,

Azz

P.s : Kesennuma di Prefektur Miyagi termasuk salah satu wilayah yang paling terdampak gelombang tsunami 2011 silam.  

[Review] Drama Jepang : Okaeri Mone

by on 3/11/2022 03:56:00 AM
  Ini bukan review. Pada suatu kesempatan, Nagaura Momone (Kaya Kiyohara) mengejutkan keluarganya dengan melontarkan keinginannya keluar ...