Iseng nyoba nonton dan berakhir jatuh suka di episode pertama. Kira-kira seperti inilah gambaran situasi yang saya alami ketika menonton Salon de Nabi. Drama yang ditayangkan melalui platform Prime Video ini berjumlah 16 episode, disutradarai Kim Da-ye dan Kim Bo-kyeong, sedangkan naskahnya ditulis writer-nya Age of Youth, Park Yeon-sun. Di jejeran cast-nya ada nama besar Choi Daniel, Kim Hyang Gi, dan Oh Yoon Ah.


Saya tidak menaruh ekspektasi pada Salon de Nabi. Saya bahkan nggak nyoba nyari synopsis atau spoiler dramanya. Namanya aja modal iseng dan kepo setelah bales-balesan twit dengan Nad. Twit paling atas yang dibahas dracin, eh nyambung ke Salon de Nabi wkwk. Saya nggak akan tau ada drama berjudul Salon de Nabi andai nggak disinggung Nad. Malah sempat saya sangka drama Thai atau China, soalnya saya ngerasa pernah baca sekilas ntah di temlen Twitter atau di IG. Samar-samar aja. Taunya drakor ㅋㅋㅋ


Dan ya, usai menamatkan 16 episodenya, saya tiba-tiba saja merasa sedih kenapa drama sebagus ini nggak banyak yang nge-hype? Apakah karena nggak ditayangin di stasiun tv berbuntut pada promosi yang minim, ataukah karena jejeran cast-nya yang… maaf—tanpa mengecilkan nama besar Choi Daniel dan Kim Hyang Gi—nggak menarik minat?

Mengapa Salon de Nabi bisa membuat saya jatuh suka dan sukses menamatkan 16 episodenya tanpa merasa boring di tengah jalan?

Ini drama slice of life yang nggak terkesan menggurui, katanya Nad. Saya setuju.

Drama tipe slice of life yang bagus menurut definisi sederhana saya adalah drama yang terus menerus mampu mengejutkan saya dengan materi ceritanya sejak episode perdana hingga episode terakhir—yang setibanya di penghujung menit terakhirnya, saya dibuat menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan penuh kelegaan dan rasa haru yang tidak putus-putus. Drama yang cerita dan pesan moralnya banyak kita temukan di sekitar kita.


Drama slice of life favorit saya dalah drama yang di setiap episodenya mengajak saya melihat hidup saya sendiri. Dari sekian drama Korea yang pernah saya nonton dan materi ceritanya mengusung slice of life, masing-masing memiliki cara berceritanya sendiri untuk menyentuh dan mempengaruhi hati penontonnya. Dan paling sering dan paling bisa bikin nangis kejer ya drama yang kayak gini. Yang nonton berasa punya temen cerita dan ngerasa nggak sendirian. Dua drama slice of life yang terakhir saya ikuti—My Liberation Notes dan Our Blues, sukses besar bikin mata bengkak. Bikin nangis PARAHHHHH. . Berasa jadi tokoh yang diceritain kisahnya di drama, ya nggak sih? Cerita fiksi yang nyata adanya. Dan menontonnya membuat kita semakin meluaskan perspektif terhadap banyak hal. .


Beberapa tahun belakangan ini, saya memang lebih mudah terhipnotis drama Korea yang mengangkat cerita yang relate ke kehidupan—saya menyebutnya sebagai salah satu jurus memulihkan hati memulihkan jiwa dari luka masa lalu. And it works, at keast for me. Drama-drama yang ngasih kita pelukan hangat yang selama ini kita rindukan. Kebanyakan nyampur sama bumbu romance sih, tapi nggak masalah, nggak ngerusak ruh slice of life-nya. Ini ngebantu banget buat healing. Jenis drama seperti ini memilih menyentuh potongan-potongan kehidupan yang kerap diabaikan, bagian-bagian dari proses hidup yang dianggap biasa, nggak berarti, dibiarkan lewat begitu aja, atau terlalu menyakitkan untuk sekadar diingat, hal-hal sederhana namun rupanya penuh nilai bila kita mau melihat atau membacanya dari sudut pandang berbeda dari yang selama ini kita gunakan. Visualisasi drama melalui tokoh-tokoh yang datang dari situasi yang berbeda dengan hidup kita nyatanya mampu menyuguhkan apa yang paling kita butuhkan sebagai manusia-manusia yang hatinya diberati trauma dan luka masa lalu. Bahwa kita tidak sendirian di dunia yang bising ini.


Saya dengan senang hati menambahkan Salon de Nabi ke dalam list drama slice of life favorit saya. Drama ini memilih gaya bercerita yang kocak namun menyentuh. Topic-topik yang dibahas nggak jauh dari hubungan manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia lain, dan bagaimana interaksi-interaksi tersebut mempengaruhi tokoh-tokohnya. Dari drama ini saya kembali diingatkan bahwa untuk bisa mengenali diri sendiri, kita nggak mungkin menutup diri dari orang lain. Maksud saya, kehadiran orang lain dengan segala warna yang dibawanya akan membantu kita mengurai warna kita sendiri, yang sepanjang proses ini sangat berpeluang membuat kita jatuh bangun dan babak belur. Tidak ada proses healing yang tidak menyakitkan. Penting memberikan validasi pada perasaan kita sendiri, namun yang tidak kalah penting adalah kemampuan kita menentukan arah ke mana dan mau diapakan perasaan yang sudah divalidasi kehadirannya itu. Kita tidak mungkin memaksa hidup kita dinapasi luka-luka yang sudah membusuk, bukan? Harus ada cara untuk membebaskan diri. Cara untuk bernapas lega.

Sinopsis


Salon de Nabi mengisahkan rutinitas para peñata rambut dan pemagang serta interaksi mereka dengan pelanggan yang terjadi di sebuah salon rambut bernama 날아올라라 , kalo di subtitelnya ditulis Salon de Nabi. Salon Nabi. Tapi versi English-nya jadi Fly High, Butterfly.


Di episode 1 diceritakan kesulitan yang dihadapi Gi-ppeum dalam upayanya bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan kerjanya—tiga peñata rambut (Michel, Gwang-su, dan Jen), serta tiga orang lainnya yang merupakan pemagang seperti dirinya; Woo songsaeng, Moo-yeol, dan Soo-ri. Penampilan Gi-ppeum yang kikuk, pemalu dan bersuara rendah ketika berbicara ditambah poni memanjang yang menutupi matanya membuatnya terlihat aneh, menyeramkan dan antisosial di mata orang-orang. Banyak pengunjung salon yang merasa tak nyaman dan terganggu dengan kehadiran Gi-ppeum.


Saya pikir episode berikutnya hanya akan berputar pada masa transisi dan transformasi Gi-ppeum. Eh ternyata enggak. Bukan kayak gitu mau ceritanya. Ceritanya rame dan variatif. Setiap episodenya ngasih cerita yang berbeda tapi konflik per episodenya memiliki benang merah dengan proses perkembangan karakter 7 tokoh yang bekerja di Salon de Nabi. Menonton Salon de Nabi sungguh sebuah perjalanan yang menyenangkan bagi saya. SANGAT MENYENANGKAN. GA NYESEL NONTON, SERIUS.


Mengapa Salon de Nabi bisa membuat saya jatuh cinta? Saya punya beberapa alasan bagus, yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk kamu yang belum menonton dramanya.

Coba kita lihat satu-satu ya.

Materi Cerita


Saya tuh suka heboh sendiri kalo nonton satu drama trus nemu sesuatu yang menarik tentang dramanya, misalnya benang merah antara cerita drama dan judul yang dipilih, suka ngerasa speechless sendiri—lebay ya ㅋㅋㅋㅋ. Beneran takjub dan muji-muji writer-nya. Gak abis pikir, keren ya, kok bisa gitu nemu ide kayak gitu. Ide-ide fresh yang diramu apik. Alumni Age of Youth pasti masih inget dong dengan nama kosan Song Jiwon cs? Yes, Belle Epoque—nama yang diambil dari sebuah era yang mewakili kejayaan masyarakat Perancis jaman dulu yang pernah dicatat oleh sejarah dan filosofi Belle Epoque atau Golden Age inilah yang menjadi gambar besar perkembangan cerita Age Of Youth. Dan sekali lagi, Park Yeon-sun menggunakan pattern tersebut pada Salon de Nabi.


Awalnya saya nggak ngeh. Tapi setelah nonton 4 episode saya mulai mikir. Nabi… Butterfly… bagaimana cerita dibuka di episode perdana, progress cerita dan perkembangan karakter-karakter Salon de Nabi. Dan taraaaa! Semacam ada bohlam lampu menyala terang di atas kepala saya. Pas nyadar itu, saya cuma bisa tertawa sambil bergumam. Wah… cakep nih Park Yeon-sun jakkanim. KEREN. Bisa gitu kepikiran ngambil setting tempat salon rambut. Saya yang ga pernah masuk salon jadi tau banyak tentang salon rambut. Nggak ngasal. Ada etikanya juga.


Jadi tuh, tiap episode Salon de Nabi semacam punya porsi khusus untuk 7 orang yang bekerja di sana yang juntrungannya berkaitan dengan pengenalan sekaligus character development. Bagaimana keseharian mereka setelah lepas jam kerja, dan ini semua nggak bisa terlepas dari singgungan cerita pelanggan yang datang ke salon mereka. Formula storytelling yang unik, menarik, ga bikin bosen, asik banget banget. Konfliknya nggak monoton.

Humor Yang Receh Tapi Ga Boring


Coba bayangin, satu adegan serius banget, nuansanya gloomy banget, dark. Di detik yang ga terduga, bisa tiba-tiba membuatmu ketawa kenceng banget sampe keluar air mata (SAYAAAAAAAAA KORBANNYAAAA). Apakah saya yang selera humornya receh atau emang ini drama lucunya nggak nanggung. Parody rambut mangkuk PSJ di Itaewon Class diiringi ost-nya Gaho aja sanggup bikin saya kelepasan ngakak. Beberapa detik doang padahal. Bisa-bisanya gitu kepikiran….


Adegan lucu Salon de Nabi nggak maksa, natural di saat yang ga terduga. Sumpah, Choi Daniel nggak ada harga dirinya di sini, nggak ketolong. Wibawa ambrooool. Masih nggak bisa lupa adegan bunga mawar di episode 10. Bukan adegan yang dibuat untuk ngelawak tapi astagfirullah saya cape ngakak sampe takut sendiri. Kan nggak boleh ketawa berlebihan ya… .


Yang demen humor recehnya Wise Prison Life mungkin akan ngeklik juga dengan humornya Salon de Nabi, miriip. Saya acungin jempol untuk sutradara dan music directornya. Angle dan editing per scene plus bgm yang nyatu jadi perpaduan yang membuat hidup ceritanya. Music scoring-nya OKE. Mau lucu, sedih, haru, bikin kesal, pokoknya semua nuansanya dapetttt banget. Pas takarannya. Jauh dari lebaiii.

Setiap Orang adalah Tokoh Utama Dalam Kehidupannya Sendiri


Everyone has their own story.

Tidak ada tokoh utama yang menjadi satu-satunya pusat cerita di Salon de Nabi. Setiap dari mereka, terlepas seberapa banyak atau sedikit screentime kemunculan mereka, sedikit banyaknya bisa memberikan gambaran seperti apa kehidupan yang mereka jalani. Inilah yang membuat Salon de Nabi unik. Ia—drama ini bisa membuat berarti hidup tokoh-tokohnya dengan cara yang tak terduga. Siapa sangka si bapak pemilik usaha real estate yang setiap kedatangannya ke Nabi bikin Gwangsu-ssaem mules sampe ngetem lama di toilet gara-gara permintaan ubah model rambut si bapak suka aneh-aneh, ternyata memiliki heartbreaking story? Atau sebuah pesan singkat pengunjung Nabi yang ga sengaja dilihat Woo songsaengnim bisa bikin seisi salon gempar dan berakhir membuat mereka memeluk diri sendiri. .


Seberapa besar pengaruh kita terhadap kehidupan orang lain, atau sebaliknya, seberapa kuat pengaruh kehadiran orang lain dalam hidup kita? Apakah metamorfosa hidup kita sesungguhnya nggak bisa berjalan sempurna jika tanpa campur tangan atau pengaruh orang lain? Lalu sampai sejauh mana kita boleh saling mengurusi hidup orang lain?


Seperti apa sih definisi metamorfosa kehidupan yang sempurna itu? Saya percaya kita memiliki jawaban yang bervariasi soal ini.

Yang saya lihat di Salon de Nabi, kita ga akan bisa menghindari koneksi dengan orang lain, bahkan dengan orang yang tidak kita sukai sekalipun. Kita sedang, pernah atau akan menjadi apa, nggak bisa terlepas dari pengaruh orang lain. Diakui atau tidak, keputusan-keputusan hidup yang kita ambil, besar kecilnya dipengaruhi oleh eksistensi orang lain. Sebenarnya saya sudah lama mengamini ini, namun coba diingatkan kembali sama Salon de Nabi. Saya nggak nyadar tuh menggumam “eh iya ya…” atau “bener juga ya…” Gitu, selama nonton dramanya.


Karena kadang, kita menemukan cermin terbaik untuk melihat diri kita dari jarak paling dekat dengan melihat orang lain, dengan mata dan hati yang dibuka selebar-lebarnya. Hanya dengan membuka mata dan hati kita bisa melihat ke dalam cermin. Dari sana keputusan-keputusan yang berhubungan dengan eksistensi kita dibuat oleh kita sendiri, dan ya, tentu saja beserta seluruh konsekuensinya.

***

Penokohan di Salon de Nabi bagus sekali. Realistis, nggak perfect banyak flaws-nya. Nggak ada momen dramatis yang mengubah dalam sekejap tokoh-tokohnya. Perkembangan karakternya berjalan natural—yang kalo saya perhatiin sejak ep 1 hingga 15, perkembangan karakter tokoh-tokohnya seperti melihat metamorfosa kupu-kupu--step by step, melalui kontemplasi yang dalam, dengan  berinteraksi dengan orang lain, mereka secara naluriah melihat kembali ke dalam diri mereka, tentang apa yang perlu diubah atau tidak, tentang hal-hal yang bisa dikompromikan atau tidak. Di sana kita menemukan upaya-upaya mengenal diri sendiri, ada persahabatan, kasih sayang, ruang saling pengertian, pertentangan, kepedulian dan rupa-rupa perasaan yang dilahirkan hati—semuanya terjadi di sebuah salon rambut yang baru berdiri, Salon de Nabi.


Selama 9 bulan Salon de Nabi berdiri, banyak sekali kejadian yang terjadi, entah dengan para pelanggan atau para pekerja di salon Nabi, yang di penghujung hari, kita melihat perubahan yang terjadi pada diri mereka. Saya teringat salah satu filosofi kupu-kupu, “Kalau tidak ada yang berubah, maka tak ada perubahan.”


Terharu melihat bagaimana Park Yeon-sun memperlakukan tokoh-tokohnya bahkan ke supporting roles-nya juga—para pelanggan salon, karena ruh cerita Salon de Nabi terletak pada pelanggan ini, pada cerita-cerita kehidupan yang mereka bawa bersama problem rambutnya masing-masing. Nggak banyak drama yang bisa membuat penonton inget dengan tokoh-tokoh di luar para tokoh utama, kecuali karakter-karakter minor ini memiliki ciri khasnya. Nah, Salon de Nabi bisa.


“Mungkin masa lalu seperti benang kusut. Sekalipun tidak suka, kau tidak bisa memotongnya. Sekalipun ketidaksempurnaan tetap ada, kau hanya perlu terus merajut.Awalnya, kau hanya akan melihat ketidaksempurnaan. Tapi perlahan, itu akan menyatu dengan pola lainnya. Dan suatu hari, kau berharap itu menjadi sesuatu yang tidak terlihat, kecuali kau mencarinya.


Siapa sangka kita bisa menemukan filosofi kehidupan di salon rambut, pada para peñata rambut dan asistennya, pada rambut-rambut pelanggan….

“Sebenarnya kita semua terhubung, satu-satunya perbedaan adalah kau bisa melihat hubungannya atau tidak.”

Ada 7 tokoh yang mengisi Salon de Nabi, mereka yang bekerja di salon.

Oh Yoon Ah sebagai Michelle

Sajang-nim alias pemiliknya Salon de Nabi. Single Mom untuk dua anak perempuannya. Michelle dua kali mengalami kegagalan pernikahan. Karakter Michelle sebagai bu bos dan ibu tunggal membawa warna tersendiri untuk cerita Salon de Nabi. Apa yang dilakukan Michelle atau reaksinya terhadap hal-hal yang terjadi di rumah dan di salon tidak tampak sebagai sesuatu yang berlebihan. Terhadap anak-anaknya, ia bereaksi selayaknya seorang ibu dengan segala ketidaksempurnaan dan usahanya melakukan yang dirasanya paling baik untuk anak-anaknya.

Michelle adalah seorang chatter yang luwes, gesit tapi gampang panikan HAHAHA. Kalo udah liat Michelle ngobrol sama customer wadoh, jago banget. Dia bisa masuk ke segala topic walaupun suka dibikin waswas sama omongannya. Pernah kejadian, lagi semangat-semangatnya ngehosipin iparnya si customer en ndilalaah si mbak ipar ternyata ada salon itu juga. ㅋㅋㅋㅋ

Sebagai pemilik salon, Michelle baik banget. Pas awal ketemu di episode 1 bikin suujon, padahal aslinya mah baik. Baik banget.

Choi Daniel sebagai Gwang-soo

Si narsistik yang… menghadeh sekali kelakuannya. Jangan bayangin sosok Choi Daniel yang selama ini banyak meranin karakter kharismatik, di sini nggak ada itu kharismatik! Tiap dia muncul dengan segala keanehan, kehaluan dan kelakuan narsisnya, saya pengen teriak, “MAS, UDAH MAS. STOP. JANGAN MALU-MALUIN DIRI SENDIRI. SAYA YANG IKUTAN MALU, MAS! PLIS, SETOOOOOP!”

Gwang-soo adalah potret nyata dia yang berpikir bahwa dunia hanya berputar mengelilingi dirinya—pake POV narsistik. Puncak komedinya Gwang-soo ada di episode 10. Demi apa, ngakak banget. Saya ngakak sambil nangis. ENGAP. .

Namun meskipun jiwa narisistiknya kerap bikin perut saya mules, terselip bijaknya Gwang-soo. Ada momen-momen penting yang menunjukkan sisi manusiawinya Gwang-soo.

Sim Eun-woo sebagai Jen

Dijuluki si mata panda, karena kebiasaannya memakai riasan tebal pada matanya. Ada ceita menyesakkan di balik itu. Jen menampilkan diri sebagai sosok perempuan yang kuat, galak, ga suka basa-basi.

Menurut saya, terlepas dari trauma yang dibawanya, Jen sudah tiba pada titik bahwa ia menyayangi dirinya lebih dari kasih sayangnya pada orang lain. Dan selalu ada ruang kompromi untuk hal-hal disayanginya tanpa perlu kehilangan sebagian dirinya. I love the way she fights for her love.

Kim Hyang-gi sebagai Gi-ppeum

Saya udah ngasih gambaran karakter yang diperankan Kim Hyang-gi di pembuka tulisan ini. Si introvert parah. Tapi Gi-ppeum mau berubah. Seenggaknya dia tahu ada yang perlu diubah dari dirinya. Gi-ppeupm berubah bukan sekadar agar bisa diterima di lingkungan sosial. Dia berubah demi dirinya sendiri. Hingga akhir Gi-ppeum masih-lah Gi-ppeum yang introvert tetapi ia telah versi terbaik dirinya. Gi-ppeum versi upgrade sangat menggemaskan, lucu, dan manis. Dia udah berani menyuarakan isi pikirannya sendiri. Anaknya soft banget sih. Pantes aja ada mas-mas cakep yang sekalinya jatuh cinta nggak bisa lepas lagi dari Gi-ppeum. Ehm. HAHAHAHA.

Moon Tae-yoo sebagai Woo ssaem

Karyawan magang sama seperti Gi-ppeum. Si paling gede dan paling mengejutkan rahasianya di Salon de Nabi. No spoiler.

Kim Ga-hee sebagai Soo-ri

Karakter ini mewakili orang-orang yang sering jadi objek buli body shaming, penghakiman, atau bulan-bulanan orang-orang hanya karena fisiknya yang dipandang tidak biasa seperti orang kebanyakan.

Di episode 3 yang membahas tentang jiwa insecure, narrator-nya berkata, “Jika kau melihat ke cermin dengan tenang, itu memberitahumu banyak hal. Hal-hal yang pernah kaudengar. Kata-kata yang orang katakan di belakangmu. Kata-kata itu terbentuk di suatu tempat di telingaku, mataku, dan tubuhku satu per satu, lalu mereka kembali hidup melalui cermin. Jika kau berpikir  seperti itu, semua cermin di dunia ini seperti cermin yang dimantrai di Putri Salju, dan setiap individu seperti cermin yang bisa bicara.”

Mengatasi rasa tidak percaya diri adalah sesuatu yang tidak mudah. Itulah yang dihadapi Soo-ri. Naik-turun emosi Soo-ri di beberapa episode ada yang membuat tidak nyaman. Tapi itulah kenyataan yang terjadi di dunia nyata. Apa yang kita anggap biasa, boleh jadi merupakan sesuatu yang terasa berat bagi orang lain. Setiap orang memiliki insecurity nya masing-masing dan itu adalah area sensitive yang tidak bisa sembarangan kita masuki atau komentari seenak jidat.

Park Jung-woo sebagai Moo-yeol

Di-cap playboy karena keseringan ketangkep basah lagi ngobrol asyik sama customer. Si paling sering adu mulut sama Gi-ppeum wkwk. Apakah Moo-yeol beneran seorang playboy cap kampung? Nonton sendiri dramanya. Jangan lupa siapin hati, kalau-kalau tertawan pesona si soft boi Moo-yeol HAHAHAHA. He is a good boy. Seperti halnya tokoh lain, Moo-yeol menyimpan cerita masa lalu yang masih memberati kakinya.

Paling suka ada satu episode yang membahas 7 tokoh ini, dimulai ketika mereka lahir hingga perjumpaan mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Koneksi. Saya masih orang yang percaya bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan di hidup kita, meskipun tampaknya seperti kebetulan. Semua yang terjadi, atau dengan siapa kita bertemu hari ini pasti memiliki maksud terhadap hidup kita, besar kecilnya pengaruh yang dibawanya. Kita hanya perlu mengubah sudut pandang. Cara kita memandang atau menanggapi sesuatu benar-benar bisa mempengaruhi tindakan kita selanjutnya.

“Kita adalah kita, dan orang lain adalah orang lain. Tapi mungkin keberadaan kita saja membuat kita berarti bagi satu sama lain. Mungkin kita membuktikan sesuatu hanya dengan tetap hidup. Mungkin keberadaan kita di sini ember seseorang kekuatan untuk terus maju.”

Porsi Romance-nya Bikin Senyam-Senyum


Di Asianwiki, poster yang dipasang adalah foto Kim Hyang-gi berdampingan dengan Choi Daniel. Sinopsisnya juga seolah-olah ingin mengisyaratkan bahwa Salon de Nabi adalah tentang dua orang ini, padahal bukan! Hubungan Gi-ppeum dan Gwang-su ssaem hanya sebatas rekan kerja.


Saya suka sekali part romantisnya Salon de Nabi. Di sini ada dua kapel. Satu kapel kiyowo, satunya agak serius. Saya paling suka yang kiyowo—Gi-ppeum dan Moo-yeol. Gemes banget. Awalnya kayak kucing dan tikus eh lama-lama jadi sayang. Nggak ada toxic-toxic nya. Chemistry Gi-ppeum dan Moo-yeol cuakepp. Aktingnya sama-sama oke, kayak masih kagetan Kim Hyang-gi udah gede wkwk (dalam artian positif), btw dia seumuran si adek bungsu. Enak banget aktingnya Hyang-gi. Detail ekspresi sayangnya ke Moo-yeol dapet, begitu juga sebaliknya Moo-yeol ke Gi-ppeum.


Saya paling suka bagian Gi-ppeum yang galau gara-gara foto Moo-yeol ama mantan ayang di IG temennya Moo-yeol. Saya semula menyangka Gi-ppeum hanya cemburu, ternyata ga hanya itu aja. Gi-ppeum mendadak insecure dengan hubungannya dengan Moo-yeol. Di foto tersebut, Moo-yeol terlihat bahagia. Gi-ppeum mikir, ia juga berpeluang berakhir seperti si mantan. Masuk akal. Saya sepemikiran dengan Gi-ppeum. Perasaan suka (cinta, sayang) bisa seumuran jagung usianya.


Orang pacaran buat apa sih? Menyeleksi pasangan hidup? Siapa yang bisa menjamin perasaan ke satu orang akan bertahan lama? Sampai kapan seleksi itu berlangsung? Apa patokannya kita sudah menemukan yang tepat? Apakah itu tidak sama dengan membuang-buang waktu? Boros perasaan. Ngebayanginnya aja udah bikin capek. Enggak tau kenapa ya, sama perasaan sendiri saya suka insecure. Kalo lagi suka sama orang, suka dikuliti sendiri perasaan sayang itu sampe saya akhirnya nggak yakin dengan rasa sayang itu HAHAHAHA.

Narator

Selain scene wawancara seperti yang dilakukan di Age of Youth, kehadiran narrator yang menjadi si tukang cerita di Salon de Nabi membuat proses storytelling-nya semakin menarik dan hidup. Mood-nya dapet banget. Pas sedih, pas lawak. Tiap episode kan beda tuh topiknya, kebulatan ceritanya sangat terbantu dengan suara ibu narrator. Berasa didongengin. Suaranya enak. Kocaknya lagi, naratornya nongol di ending episode ㅋㅋㅋ


Ending

Seumur-umur nonton drakor baru kali ini ada drama yang endingnya ditutup dengan episode random. Di preview-nya udah dibuat setegang mungkin, eh taunya penonton kena prank. Cape ngakak sama kelakuan penghuni Salon de Nabi. Pantes bisa akur, sefrekuensi sih wkwk.

“Itu bukan sesuatu yang istimewa, kan? Bahkan tujuh keajaiban dunia dan sepuluh kasus tidak terpecahkan mungkin tidak begitu istimewa setelah kau menyelidikinya. Orang-orang juga sama. Bahkan orang-orang yang tampak mustahil dimengerti sepertinya punya alasan untuk bersikap seperti itu. Apa ada orang aneh di sampingmu? Apa ada sesuatu yang tidak bisa kau pahami? Mungkin karena ada banyak halaman yang belum dibaca. Orang-orang di Nabi seperti ini Sembilan bulan lalu. Mereka saling menganggap orang lain adalah oranag asing yang aneh.


Dalem banget maksud kalimatnya. Masih banyak halaman yang belum dibaca. Jangan terlalu cepat menyimpulkan, entah itu berkaitan dengan karakter orang atau hal lain.

Meski isinya random, episode 16 menjadi episode penutup yang mengamini soal cerita tentang apa yang disampaikan Salon de Nabi kepada penontonnya. Kisah-kisah metamorfosa orang-orang di dalamnya. Hearwarming story! RECOMMENDED! Ketika tawa dan renung saling berkawan.

Filosofi Rambut dan Masa Lalu.

“Begitu rambutmu rusak, itu tidak akan pernah bisa kembali, seperti sebelumnya. Dalam hidup kita juga selalu ada jejak. Hidup mungkin kompisisi dari berbagai jejak yang kita alami. Keputusan yang kaubuat hari ini akan menjadi jejak besok. Jejak itu akan menumpuk dan menjadi sejarahmu. Beberapa jejak akan menjadi pola dan beberapa jejak akan tetap menjadi noda.

Sepertinya tidak ada obat ajaib untuk rambut atau hidupmu. Kau bisa memotong rambutmu, tapi kau tidak bisa memotong masa lalumu. Kau hanya bisa memastikan itu tidak terinfeksi dan hidup dengan bekas lukanya.

Kita hanya bisa percaya, meski tidak bisa menyembuhkannya, kita masih bisa merawatnya, sama seperti rambutmu.” –Salon de Nabi episode 9

Tabik,

Azz

Review Salon de Nabi

by on 10/11/2022 07:58:00 PM
  Iseng nyoba nonton dan berakhir jatuh suka di episode pertama. Kira-kira seperti inilah gambaran situasi yang saya alami ketika menonton S...