(I)

Senja jatuh terperangkap di matamu, lama, sendu dan candu. Menatapmu, rasanya seperti menemukan jawaban doa-doa panjang yang selalu kuaminkan dengan sepenuh harap pada malam-malam yang diamnya meleburkan asa dalam kepasrahan.


Seharusnya aku sudah terbiasa dengan luka, jadi tak perlu sesakit ini, tak perlu waktu yang lama untuk lepas, tapi terbiasa bukan jaminan segalanya menjadi sederhana, menjadi mudah diakali. Begitulah rupanya. Jatuhmu, lukamu, air matamu, sudah punya namanya sendiri. Dan tak pernah ada yang sama kesudahannya meski ia berulang pada waktu yang berbeda.


Mencintaimu selalu serumit ini.



(II)

Jika ada yang kuingin cemburui darimu, aku akan memilih ini; kemampuanmu menyederhanakan sesuatu.


Karena aku kerap merumitkan hal-hal yang semestinya bisa diselesaikan dengan ‘ya sudahlah’, seperti lagunya Bondan feat Fade 2 Black itu. Sakit kepala dan sedih berakhirnya.


Juga ini; kemampuan menyeleksi ingatan-ingatan yang tidak perlu dikeluarkan dari kotak waktu. Membiarkannya tak tersentuh, hingga kemudian samar, memudar, lalu lenyap. Kembali senyap.


Belajar di mana ya supaya jago?

Kupikir sibuk adalah jurus terjitu yang bisa memotong putus jembatan menuju kamu yang terkenang, ternyata ia menyerupai jeda yang sebentar saja lalu bernapas kembali. Menyebalkan sekali.



III

Baiklah

Karena aku ini sebenarnya setrong, jadi ku-tidak apa-apakan saja seperti biasa. Hari ini, besok, dan seterusnya.



IV

Selamat sore,

Apa kabar senja di matamu?

Semoga baik-baik saja.

Aku rindu, boleh kan?

.

.

.

.

P.s : Pic merupakan koleksi pribadi :')