Tidak jauh dari jendela kamar saya, tumbuh menjulang pohon sawo tua. Menurut nenek saya, pohon sawo itu sudah ada di sana sebelum saya lahir. Jika sedang memikirkan sesuatu saya sering sekali duduk sendirian di ujung ranjang, memeluk lutut seraya menghadapkan wajah saya ke arah jendela, menatap rerimbunan hijau daun sawo yang sesekali bergerak tertiup angin. Hening dan lama. Tak jarang, saya menangis untuk alasan yang seringnya tidak saya ketahui mengapa.

 

Saya tidak tahu sejak kapan kebiasaan ini mulai menjadi bagian rutinitas saya. Yang saya tahu, dengan melakukan itu, saya bisa leluasa membuka percakapan dengan diri saya sendiri. Dan dengan itu juga, saya tidak pernah benar-benar kehilangan diri saya sendiri.

Hari ini saya melakukannya lagi. Kali ini saya punya alasan bagus untuk menangis. 

 

Setelah menghabiskan tiga jam waktu pagi saya menonton tiga episode terakhir Do You Like Brahms (14-16), masih dengan mata sembab, saya duduk menghadap jendela dan mulai menangis (lagi). Kepala saya ramai sekali. Jika saya sampai kepikiran setelah menamatkan satu drama, itu tandanya drama yang bersangkutan berhasil memasuki alam pikiran saya. Kata lainnya (dan semoga ini ga dianggap cringe) drama itu berhasil menyampaikan maksudnya dengan baik kepada saya. Dramanya berbicara kepada saya dalam bahasa visual yang baik, yang bisa saya pahami seluruhnya. Di saat seperti inilah sebuah drama memosisikan diri tidak hanya sebagai hiburan semata, ia lebih dari itu. Orang-orang mungkin akan menganggap saya lebay, kayak yang aduh ngapain sih? Cuma drama doang ini, sampe segitunya, biasa aja keleus.


Entahlah. Saya juga nggak bisa jawab kalau ditanya kok bisa sampe segitunya. Mungkin karena saya tipikal orang kalau sudah terpikat sesuatu, maka saya akan dengan tulus ikhlas memikirkan hingga masuk ke detail-detailnya. Saya tipikal bucin parah, yang bagi sebgian orang akan merinding geli mendengar atau membaca tulisan saya.

Saya tidak mau nanggung.


Saya menonton Do You Like Brahms tanpa ekspektasi apa-apa. Tanpa saya sadari drama 16 episode ini sudah sedemikian dalamnya memengaruhi emosi saya. Begitulah, hingga akhirnya Do You Like Brahms menjadi drama ongoing  di paruh kedua 2020 yang paling sering saya ‘teriakan’ di temlen, dan yang paling menyita emosi saya.

 

Kalau kamu merasa tidak kuat dengan kebucinan saya, mendingan nggak usah dilanjutin bacanya. Silakan tutup halaman ini. Berhenti sampai di sini saja.

 

Plot dan Storyline

 


“Giving up a dream that meant so much to them is easier to be done, I feel.” –Cha Young In

Usai menyelesaikan masa studinya di jurusan bisnis, Chae Song-ah mengejutkan semua orang dengan pilihannya. Alih-alih melanjutkan kuliah di jurusan yang sama, atau bersiap mencari pekerjaan seperti yang dilakukan teman-teman seangkatannya, Chae Song-ah justru memilih melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan musik. Dibutuhkan keberanian luar biasa untuk bisa mengambil keputusan seperti itu. Dan keputusan yang diambil Song-ah, semata karena kecintaannya pada biola yang telah tumbuh sejak kecil. Cinta yang membuatnya berani melawan arus.

 

Namun, di tahun keempatnya, Song-ah mulai goyah. Cintanya terhadap biola dirasakannya bertepuk sebelah tangan. Yang tampak di matanya, orang-orang kerap memandangnya sebelah mata karena ia tidak memiliki talenta. Orang-orang kerap mempertanyakan keputusannya. Sudah tepatkah? Sudah sejauh mana ia melangkah? Tidakkah sebaiknya ia menyerah saja? Tidak peduli betapa besar cinta dan usahanya, ia tidak pernah mampu menunjukkan versi terbaik dirinya bersama biola.

 

Perkenalannya dengan seorang pianis populer, Park Joon young, menjadi awal dilema besarnya.

 

Manusia, oleh hidup, acapkali ditempatkan pada satu titik yang menjalarkan pilihan-pilihan rumit, dan kita, mau tidak mau, agar bisa selangkah maju di depan, diharuskan memilih. Pilihan-pilihan itulah yang kelak akan mengantarkan kita pada kenyataan-kenyataan lain soal hidup. Kita tahu, setiap pilihan (selalu) mengandung konsekuensi. Dan memilih begitu lekat dengan kehilangan. Memilih berarti melepaskan.

 

Di tahun keempatnya, Song Ah (akhirnya) berdiri di titik itu. Titik dengan juluran pilihan-pilihan yang rumit.

 

Do You Like Brahms mencoba mengurai sisi emosi manusia yang paling purba, yang lahir dari sifat dasar yang telah melekati jiwa kita jauh sebelum kita mampu mengeja huruf.

Egoistis.

Iri.

Licik.

Oportunis.

Cemburu.

Manipulatif.

....

Dan cinta.

Mencintai.

Saat kita dengan berani mengatakan mencintai sesuatu atau seseorang, di saat yang sama sesungguhnya, ada konsekuensi dengan kekuatan yang besarnya melebihi rasa cinta yang kita miliki itu.

Kembali ke hari di mana Song Ah dengan raut bahagianya mengumumkan keputusannya kuliah di jurusan musik, saat itu ia belum menyadari jika cintanya yang begitu kuat pada biola, kelak akan melukainya begitu dalam.

 


Drama yang disutradarai Jo Young-min ini mengusung tema tentang mimpi, cinta, persahabatan, dibalut musikal.

 Kenapa judulnya Do You Like Brahms?

Ryu Bo-ri nim memasukan kisah cinta segitiga Schumann, Clara, dan Brahms sebagai salah satu bagian plot.

Alur dan plot Do You Like Brahms bergerak sangat lambat. Meski demikian, tidak lantas drama ini kehilangan pace-nya. Di banyak genre melodrama, seiring semakin banyaknya jumlah episode, alur dan plot cenderung kehilangan arahnya dan menjadi hambar di pertengahan jalan, penonton pun frustasi. Imbasnya, penonton kabur karena lelah lahir batin wkwk. Do You Like Brahms mampu mempertahankan pace ­nya.

Konflik utama drama ini terletak pada pergulatan batin karakter-karakternya. Pergulatan batin terjadi karena sifat-sifat yang saling bertubrukan di dalam kepala dan hati, terjadi kontradiksi. Setiap karakter menawarkan sudut pandangnya.

Saya akui ide cerita Do You Like Brahms ini biasa saja, sudah banyak drama yang mengusung tema seperti ini. Lalu apa yang membuat Brahms berbeda? Yang membuatnya bisa diterima dengan baik oleh penonton meski plotnya lambat? Yang, well, bisa dibilang, tokoh-tokohnya didominasi karakter-karakter yang bikin esmosi jiwa raga?

Pengemasan. Eksekusi. Itu.

Saya sudah sering mengatakan di POV drama saya yang lain, sama halnya dengan menulis buku, menulis cerpen, atau lagu, naskah drama pun berasal dari ide-ide yang tidak baru, ide-ide itu didaur ulang dan dikemas dengan cara yang tidak sama. Di sinilah kekuatan sutradara diperlihatkan. Visualisasi naskah yang ciamik akan memberikan nyawa pada dramanya sendiri. Tidak banyak director drama yang mampu melakukannya. Terima kasih sebanyak-banyaknya pada Jo Young-min PD-nim yang sudah men-direct Do You Like Brahms dengan sangat biutipul. .



Konflik Do You Like Brahms diurai perlahan, intens, dan mengaduk emosi. Sebagai penonton, ada optimisme (baca: harapan) yang diliihat, bahwa di ujung frustasi dan timbunan kekesalan beruntun yang dirasakan terhadap para tokoh-tokoh di drama ini pada akhirnya akan menemukan closure-nya sesuai yang diharapkan. Untuk alasan yang sama pula, saya sukarela bertahan menonton Do You Like Brahms. Meski dengan alur lambat, tapi konfliknya jelas, realistis, masuk akal. Gimana ya ngomongnya... Do You Like Brahms—pada bagian tertentu, mengikuti plot dan alur yang umum digunakan di kebanyakan drama, kita yang sudah terbiasa pun menggerutu cemas. “Aduh kok begitu sih? Kan bisa plotnya gini... gitu...”


Saya melihat keindahan di semua scene Do You Like Brahms. Pada scene yang membuat frustasi sekalipun, keindahan itu bisa dirasakan. Seolah-olah ia dituturkan dengan hati-hati dan tulus. Ada makna pada setiap sudut pengambilan gambarnya. Saya tidak tahu apakah kalimat saya ini terdengar masuk akal. Saya kesulitan menjelaskan betapa dalam-nya storyline Do You Like Brahms.


Saya mencoba sok tahu, Writer Ryu Bo-ri-nim memastikan setiap karakter di drama ini tetap memegang momentumnya masing-masing. Perkembangan karakternya terlihat jelas. Keenam karakter utama di drama ini tidak ada yang jalan di tempat. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah menyelesaikan 16 episode drama SBS ini. Saya ingin bertaruh, Ryu Bo-ri-nim sudah selesai merumuskan storyline dan karakter di drama ini sebelum syuting dimulai. Melihat bagaimana setiap karakter terkoneksi dengan rapi satu sama lain, adegan dan dialog-nya juga. Ini sangat sulit dilakukan jika status naskahnya masih ongoing.



Saya salut dengan setiap detail yang coba ditampilkan Brahms. Seperti yang saya tulis di postingan Brahms sebelumnya, tidak ada satu pun dull moment di drama ini. Selalu ada alasan mengapa ia di sana. Setiap adegan memiliki value-nya sendiri. Selama menonton, saya tidak menemukan satu pun scene yang berhak di-skip karena membosankan. Nggak ada satu pun. Sekalipun itu bukan adegannya Joon Young-Song Ah. Sekalipun itu adegan kesalahapahaman yang berulang. Nggak ada yang saya skip. Adegan nyebelin, yang mancing marah-marah tetep dinonton.  Inilah yang dinamakan suka rela menikmati emosi yang naik ke ubun-ubun HAHAHA.


Cast & Character



“People tend to be so rude, right? It’s not like they all become adults when they age.” –Cha Young In

Apakah hanya saya doang yang sering bertanya-tanya ke diri sendiri, kok saya bisa ya bertahan nonton Do You Like Brahms? Kok bisa? Saya bukan penggemar melodrama. Saya nggak cukup setrong ngikutin perjalanan naik turun emosi makanya milih-milih banget kalo mau nonton melo (suer pas nonton Brahms pertama kali saya enggak tau ini genre melo, nonton ya nonton aja ga sempet buka wikiped). Tapi kok saya terima-terima aja ya dibikin babak belur sama Brahms? Memasuki paruh kedua, drama ini lebih banyak memberikan sugesti kepada saya supaya saya banyak ngomel-ngomelnya, misuh-misuhnya, marah-marahnya, mendecih benci ke beberapa karakter (dalam hati merasa dijebak mas uwu uwu yang punya lesung pipi *nama disamarkan) sampe punya niat pengen ekspedisiin profesor-profesor Seoryeong itu ke luar galaksi.

TAPI KENAPA SAYA MASIH BETAH JUGA NONTON?? WHYY?? EH BENTAR. KENAPA DAH SAYA JADI ESMOSI... ㅋㅋㅋㅋ


Ehm. /bersihin tenggorokan/

Jadi, setelah menyelesaikan 16 episodenya, barulah saya mendapatkan jawaban utuh dari pertanyaan saya itu.

Karena karakter-karakter yang dimunculkan di Do You Like Brahms tidak ada yang sempurna, masing-masing memiliki flaws-nya. Dan flaws itu tak lain adalah sifat-sifat negatif yang bibitnya sudah melekati manusia sejak lahir. Kita merasa dongkol, kesal, marah, karena karakter-karakter ini terlalu nyata keberadaannya. Ryu Bo-ri, melalui karakter-karakter di dramanya, secara gamblang menuturkan sisi lain kita sebagai manusia. Bahkan tokoh utamanya pun tidak luput dari kekurangan itu. Joon Young dan Song Ah hadir kepada kita di saat mereka berada di titik hidup paling krusial dan lemah. Kemudian, seiring berjalannya waktu, kita melihat bagaimana mereka berproses. Character development terjadi.


Pernah nggak sih mikir kayak gini, bahwa alasan kita terbawa emosi hingga jauh saat menonton Do You Like Brahms tuh karena kita nggak nyaman, nggak suka, nggak terima, kesel, benci, dengan karakter-karakter di Brahms. Kenapa kita bisa merasakan perasaan nggak nyaman itu, nggak suka, nggak terima? Apakah semata-mata karena kita bersimpati pada Song Ah dan Joon Young? Semula saya berpikir seperti itu. Saya kelewat sayang sama mereka. Saya ingin mereka menjalani hubungan kasih sayang dengan smooth. Ternyata saya keliru. Emosi saya terpancing karena sifat-sifat yang ditunjukkan para tokohnya terlalu realistis, dan manusiawi, yang barangkali tanpa saya sadari saya pernah atau bahkan masih menghidupi sifat-sifat itu dengan ego saya. Sebagai manusia, yang paling sulit dilakukan adalah menghadapi diri sendiri, dengan berani, dengan sejujur-jujurnya.


Manusia, entah untuk alasan yang mana, bisa berubah manipulatif, dan licik, bahkan terhadap diri sendiri. Kita, seringkali keliru memaknai, bahwa dalam sebuah hubungan harus (selalu) ada timbal-balik. Memaknai cinta dalam persepsi berbeda.

Satu-satunya karakter yang kepadanya saya tidak melihat guncangan emosi adalah Cha Young In.


Kim Min-jae sebagai Park Joon-young


“I don’t want the people I like to get hurt or suffer because of me. Even I say something nothing will be solved. It’s my business anyway. So I just want to shoulder it alone. I just want them to think that I’m always doing fine.” –Park Joon-young

 

Saya pernah mengamini pikirannya Park Joon-young ini di masa lalu. Saya mengunci diri saya dari orang lain, hemat saya, orang lain tidak akan bisa menolong saya mengatasi masalah yang saya hadapi, saya harus menyelesaikannya sendiri. Tidak sepenuhnya salah juga. Kadang kalo mau curhat sama temen tuh suka mikir ‘duh yang punya masalah bukan saya doang. Udah deh nggak usah drama’ dan curhatnya ga jadi. Setelah saya sudah sedikit dewasa, saya menyadari, sebagai manusia, kita perlu terbuka pada orang lain, terbuka sampai pada tahap yang bisa kita tolerir. Sadar, bahwa tidak semua hal, perkara, urusan, bisa kita selesaikan sendiri.

 

Park Joon-young terbiasa menomorduakan dirinya. Ia terbiasa mandiri. Menangani emosinya sendiri. Memendam dan terluka seorang diri. Selama 15 tahun ia menjalani hidupnya tanpa perasaan memiliki dirinya sendiri. Ketika dimunculkan scene Park Joon-young meminum obat penenang, saya menarik napas panjang. Sedih gak ketulungan. Saya pikir, siapapun yang berada di posisinya, rasanya mustahil jika tidak mengalami depresi. Tekanan yang dirasakannya begitu dahsyat. 15 tahun hidup dengan perasaan berhutang pada banyak orang. Begitulah ia menjalani hidupnya. Saya sempat membatin, sebelum ketemu Song-ah, ada nggak sih moment di mana Joon-young merasa bahagia? Apakah itu ketika ia bersama Jung-kyung? Sebelum Jung-kyung dan Hyeon-ho resmi pacaran?

 

Miris ketika kita tahu ternyata Joon-young mengaku tidak menikmati permainan pianonya sendiri di saat orang lain terkagum-kagum pada kelihaiannya di atas panggung. .

 

Joon-young memang jago main piano, dengan kapasitasnya, ia bisa membuat orang-orang di sekitarnya bahagia, larut dalam alunan nada-nadanya, tetapi ia sudah terlalu lama menelantarkan dirinya sendiri. Setelah bertemu Chae Song-ah, Joon-young menemukan momentumnya untuk melepaskan diri dari hutang-nya. Sayangnya, Joon-young tidak menyadari, kebiasaan-nya menomorduakan dirinya sendiri justru berbalik menjadi boomerang yang menghantamnya, telak. Yang tidak hanya melukai dirinya, tapi juga orang yang dicintainya, Chae Song-ah.

 

Saya sudah menyukai Park Joon-young sejak kemunculan pertamanya di episode 1. Dia tidak digambarkan dengan heboh dan dramatis. Malah Park Joon-young ga ngomong banyak loh di pertemuan pertamanya dengan Song-ah di stage. Main di gesture aja dia tuh .

Eh, giliran udah makin deket sama Song-ah, taunya dia berbakat jadi buaya darat HAHAHAHA. Park Joon-young nih masuk kategori cowok yang diam-diam menghanyutkan, mainnya alus banget, makanya Song-ah telat nyadar kalo dia udah kena pelet pesona kalemnya si mas-mas berlesung pipi ini. Nice.

 

Hayolooo ngaku, kalian kayak Song-ah juga kan?? Yekaaaan? Udah kadung jatuh suka sama Park Joon-young makanya pas masuk episode-episode frustasi yang disponsori Park Joon-young dengan sikap enggan-nya membuka diri, semua pada patah hati berjamaah, pengen marah-marah ke Park Joon-young tapi ga tulus marah-marahnya, ga tega. Namanya juga terlanjur sayang. Terlanjur sayang kayak lagunya Tante Memes yak ㅋㅋㅋㅋㅋ

 


Saya berani bertaruh, hampir semua yang nonton Brahms pasti udah kenal Kim Min-jae. Walaupun nggak nge-fans (belom), tapi sudah ada spot khusus untuk dia di list aktor-aktor yang kita sukai. Saya pun demikian. Beberapa project-project dramanya Min-jae pernah saya nonton, sayangnya, banyak peran Min-jae di drama yang saya nggak saya inget. Saya mulai memerhatikan Min-jae setelah ia berperan sebagai Eun-tak ssaem di Romantic Doctor.

 

Kim Min-jae berhasil membuktikan kualitas aktingnya melalui peran Park Joon-young di Do You Like Brahms. Ga mudah loh meranin Park Joon-young. Selain dialognya selow—si penutur dialog harus pinter memainkan tempo, intonasi, dan harus punya pelafalan yang jelas sehingga emosi tersampaikan dengan pas pada penonton, sering banget drama ini meng close up wajah aktor/aktrisnya dari dekat, resikonya, kalau si aktor/aktris ga pinter memainkan emosi lewat wajah (mata) maka jatuhnya ke kita sebagai penonton akan awkward. Dan Min-jae ga bikin saya ngerasa awkward. Banyak adegan tanpa dialog yang menuntut aktor/aktris agar bisa menghidupkan emosi  adegan tersebut. Meskipun mereka nggak ngomong tapi kita bisa nebak apa ada di kepala mereka saat itu. Di mata saya, Min-jae nggak pernah gagal menyampaikan emosi yang saya maksudkan itu. MAKANYA SAYA BAPER MAKSIMAALLLLLLL. MANA SUARANYA BERAT-BERAT MENGGETARKAN JIWA RAGA UGH ㅠ.ㅠ

 

Kim Min-jae sebagai Park Joon-young rapuh banget. Kasian. Suka pengen meluk ..

Saya senang Park Joon-young nggak digambarkan seperti lead male kebanyakan. Ia punya ciri khasnya sendiri, sisi plus-minusnya yang menjadikannya seperti manusia kebanyakan. Kalo ada yang nanya, ada nggak sih yang kayak Park Joon-young di dunia ini? Saya yakin, ada. Park Joon-young bukan sosok dreamy yang keberadaannya dirasa sangat musthail. Ya nggak sih?

 

Salut dan ngasih jempol untuk Min-jae untuk kerja kerasnya menyiapkan perannya sebagai Park Joon-young. SUKSES BESARRRRR. Dan saya antusias menantikan project Kim Min-jae berikutnya. Min-jae fightiiing!! Nuna dukung dari belakang.

Oya, kalo kalian mau buka paguyuban penyayang Kim Min-jae, jangan lupa ajakin saya ya. HAHAHAHA.


Park Eun Bin sebagai Chae Song-ah


“I took a step of courage only twice in my life. To play a violin, and for love. I loved it so much. Even if I get hurt, again and again, I thought I could go on loving. Perhaps... that was my arrogance.” –Chae Song-ah

 

Saya tidak familiar dengan Park Eun-bin hingga saya bertemu Song Ji-won di Age of Youth. Beberapa tahun silam, saya pernah menonton Proposal Daisakusen versi Korea, dia main bareng Yoo Seung-ho di situ, tapiiiiii saya nggak inget gimana aktingnya Eun-bin huhuhu. Maapin. Jadi bisa dibilang saya mulai akrab dengan nama Park Eun-bin ya abis nonton Age of  Youth itu.

 

Bagaimana rasanya melepaskan sesuatu yang kita cintai, yang sudah kita akrabi sekian lama? Tidak mudah, tentu saja. Chae Song-ah sangat menyukai biola. Song-ah berpikir, cinta saja sudah cukup. Sepanjang ia melakukannya dengan cinta. Namun, setelah ia masuk ke dunia itu, ia pun menyadari, ia memulai sangat terlambat. Itulah sebabnya ia selalu tertinggal di belakang. Jika ia ingin bertahan di dunia itu, cinta saja tidak cukup. Betapapun besar cintanya untuk biola, jika tidak punya talenta, itu tidak berarti apa-apa. Ia terlihat menyedihkan. Begitulah sudut pandang orang-orang terhadap dirinya. Tapi saya nggak mau nge-judge Song-ah atas pilihannya menghabiskan tahun demi tahunnya bersama biola.

 

Chae Song-ah bukanlah sosok lead female yang digambarkan strong secara terang-terangan. Sekilas, melihat penampilannya dia tampak lemah, kikuk, rapuh, melo. Setelah kenal, nyatanya enggak. Unik nih Song-ah. selama menonton 16 episode, saya nggak pernah mendapati Song-ah berubah jadi sosok annoying. Apa-apa yang dilakukannya selalu bisa saya terima alasannya. Konflik emosi yang dialaminya terlihat gamblang, apa adanya. Song-ah orang yang logis. Ia tidak melakukan sesuatu untuk alasan yang absurd. Apa ya kata lain yang cocok menggambarkan Song-ah... ummm... rasional? Dalam kondisi apapun, Song-ah berusaha tampil rasional. Ia tidak bergerak secara impulsif, dan inilah yang menjadikannya sosok yang kuat. Jujur, saya lebih banyak bersimpati pada Song-ah ketimbang Joon-young. Mentalnya Song-ah lebih kuat daripada Joon-young.

Karena cintanya ke Joon-young, Song-ah sempat mengalami insecure yang parah, meskipun babak belur, tapi ia bisa melewatinya dengan baik. Song-ah mampu mengambil jarak dari dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa memahami Song-ah selain Song-ah sendiri.




Chae Song-ah is admirable. Saya salut dengan cara dia menangani persoalan-persoalan, tidak hanya yang bersumber dari dirinya, tapi juga orang di luar dirinya sendiri. Ketika orang lain mengutarakan pendapatnya, Song-ah mendengarkan dengan tenang, walaupun itu terdengar menyakitkan. Ada kalanya Song-ah tidak berusaha membela dirinya, atau mencoba menampik. Sikap diamnya (tenang) sering disalahpahami. Apakah Song-ah lemah? Tidak. Song-ah tahu kapan ia harus bersuara. Dari sanalah ia berproses. Nggak cuman sekali Song-ah mematahkan penilaian saya terhadap dia. Di saat saya berpikir Song-ah akan melakukan A, eh taunya dia ngelakuin B. Dan kalau dipikir-pikir lagi, tindakan Song-ah memang tepat. Seperti katanya Cha Timjang, Chae Song-ah itu cakap, ia bisa melakukan pekerjaannya dengan baik.


Dan selalu ada kata cukup, untuk hal-hal yang sudah kita usahakan dengan sebesar-besarnya kerja keras namun pada akhirnya toh kita tetap tidak mampu meraihnya.. Adakalanya, ungkapan hasil tidak akan mengkhianati kerja keras mewujud dalam bentuk lain. Ia tidak selalu datang seperti yang diharapkan. Kerja keras tidak akan pernah berakhir sia-sia. Percaya atau tidak.

Btw, outfit dan style nya Song-ah bagus banget ya. Simple, elegan. Padu-padan warnannya cocok, bikin adem mata. Cantiiiik pisaaaan.


Park Ji Hyun sebagai Lee Jung-kyung 


“After my mom died, I don’t think I matured at all. I pretend to be strong, but I couldn’t overcome anything on my own. I think I was just so weak.” –Lee Jung-kyung

 

Egois.

Saya memilih satu kata itu untuk menggambarkan Lee Jung-kyung. Karakter satu ini nyebelin banget, asli. Sumber kesalahapahaman Song Ah dan Joon Young berasal dari dia. Saya menyalahkan Jung-kyung. Hampir di setiap episode. Apakah saya pernah mencoba memahami Jung-kyung? Pernah. Tapi rasa tidak suka saya pada karakter ini sepertinya jauh lebih besar dari pemakluman yang bisa saya berikan.

 

Saya nggak tau dengan viewers lain, bagi saya Jung-kyung ini karakter yang paling sulit saya pahami. Terlalu samar. Entah, oleh Ryu Bori-nim, ia sengaja dikondisikan seperti itu, sehingga detail karakternya dibuat mengambang. Jung-kyung tidak mampu mengenali dirinya sendiri. Dibanding Hyun-ho, Min-seong, atau Yoon Dong-yoon, penggambaran sosok Jung-kyung lemah sekali di mata saya. Apakah Jung-kyung benar-benar menyukai Joon-young atau itu hanya tindakan defensif dirinya yang sudah terbiasa menjadikan Joon-young zona nyamannya?

 

Kalo dilihat latar belakang dari mana Jung-kyung berasal, bagaimana ia  melewati kehidupannya sejak kepergian ibunya, rasanya tepat jika Jung-kyung menyebut dirinya sendiri pura-pura kuat. Jung-kyung mengaku iri pada lesatan karir Joon-young, karena itulah ia keliru menafsirkan perasaannya sebagai cinta?—sumpah sampai di sini saya bingung. Saya lebih bisa menerima jika alurnya seperti ini: Jung-kyung keliru menafsirkan perasaannya pada Joon-young karena ia sudah terlalu terbiasa menjadikan Joon-young zona nyamannya. Ia bisa bertahan karena Joon-young.

 

Soal iri adalah bagian terpisah lainnya. Jung-kyung pernah melewati masa-masa emasnya sebagai violinist saat ibunya masih hidup. Ia dipuji karena bakatnya, tapi ia tetap tidak bisa terlepas dari bayang-bayang ibunya. Lalu ketika ibunya pergi, Jung-kyung menderita kehilangan besar. Tidak hanya kehilangan ibunya, disusul permainan biolanya yang menurun drastis. Jung-kyung juga kehilangan dirinya sendiri.

 

Sejak 15 tahun lalu, ada bagian dari diri Jung-kyung yang berhenti di tempat, tidak tumbuh dan berkembang. Mentalnya rapuh.

 

Tidak adakah sisi lain Jung-kyung yang positif? Selain apa yang dilakukannya pada Hyeon-ho dan Joon-young, Jung-kyung punya sisi baik juga. Contohnya nih waktu Song-ah mengisi kelas master-nya Jung-kyung, Jung-kyung menunjukkan profesionalitasnya. Atau ketika Profesor Lee Soo-kyung ingin mengajak dirinya membuat kesepakatan demi Hyeon-ho, Jung-kyung menolak.

 

Ini drama pertama Park Ji-hyun yang saya nonton. Aktingnya ga ngecewain. Ekspresi wajahnya udah bagus. Pasti ga mudah meranin karakter kayak Jung-kyung. Gloomy banget. Jarang senyum dia .

Dia mirip sama Soo-jung ya? Garis-garis wajahnya.

 

Kim Sung Cheol sebagai Han Hyeon-ho



Nggak ada yang bisa ngalahin bucinnya Hyeon-ho ke Jung-kyung. Saking bucinnya, logika saya meronta ngeliat Hyeon-ho sampe segitunya sama Jung-kyung. Tapi kalo dipikir lagi, masuk akal sih, 10 tahun pacaran ini. Nggak usah jauh-jauh ngambil sampel, adek perempuan saya pacaran 10 tahun sama cowok yang sekarang udah sah jadi suaminya. Dan suaminya, selama 10 tahun sampe sekarang, bucinnya ga kurang-kurang juga. Malah makin dalem . /semoga adek saya ga baca ini/

 

Orang seperti Hyeon-ho emang ada. Banyak.

Sebenernya saya nggak ada masalah ya sama kebucinannya Hyeon-ho. Ceritanya menjadi lain saat ia menyalahkan Joon-young. Sebagai sahabat yang sangat disayangi Joon-young, sikap Hyeon-ho ini mengecewakan. Dia nggak mencoba mengambil jarak lalu mencoba memahami dari sudut pandangnya Joon-young. Bucin yang menjurus ke cinta buta. Lagi-lagi saya mencoba mengerti, tapi keselnya nggak bisa ilang. Katanya sahabat, tapi kok Hyeon-ho lebih sering terlihat ngobrol terbuka dengan Dong-yoon? Sahabatnya Hyeon-ho siapa sih sebenernya? Joon-young apa Dong-yoon?

 

Tapi saya salut kok waktu Hyeon-ho akhirnya memilih meninggalkan Seoul, menghapus nomor kontak Jung-kyung. Kalo katanya Dong-yoon nih, butuh waktu untuk bisa move on dari cinta. Yang pacaran setahun aja move-on nya bisa butuh waktu lebih lama dari masa pacarannya, apalagi yang 10 tahun...

Seneng bisa liat Sung-cheol lagi. Peran dia yang paling saya ingat itu waktu dia main di Prison Playbook. Semoga ke depannya karirnya Sung-cheol makin baik ya... Btw, pengen nonton To Jenny. Ada yang udah pernah nonton? Bagus nggak?

 

Lee Yoo Jin sebagai Yoon Dong-yoon 


Saya bersyukur peran Yoo-jin nggak nyebelin di sini. Walaupun porsinya kecil, tapi perannya besar. Dong-yoon berperan sebagai bank informasi (kayaknya nggak ada yang nggak dia tahu jika itu menyangkut perkembangan hal-hal yang relate ke dunianya pemusik klasik (saya ga nemu nama yang pas). Dong-yoon apdet terus, jaringannya luas, udah melebihi kecepatan 5G dia mah wkwk. Selain itu, pembawaan Dong-yoon juga kalem, nggak grasa-grusu. Saya nggak mau nyalahin perasaan dia ke Song-ah. dia cuman telat nyadar aja sih. Waktunya udah gak tepat. Kalo katanya Park Myung-soo, di saat kita berpikir sudah terlambat, kita memang benar-benar sudah terlambat.

 

Sama-sama menerima penolakan, Dong-yoon dan Jung-kyung begitu berbeda dalam mengelola perasaan mereka sendiri. Dong-yoon jauh lebih baik dari Jung-kyung. Dong-yoon masih melihat persahabatannya dengan Min-seong dan Song-ah. Mentalnya Dong-yoon stabil. Setidaknya, ia tiga langkah lebih di depan daripada mereka yang terlibat dalam kerumitan cinta segi-enam ini. Mungkin karena Dong-yoon udah melewati banyak hal dalam hidupnya, itu dimulai ketika ia memutuskan berhenti bermain biola setelah 15. Makanya dia keliatan bijaksana—kecuali saat dia berusaha mendekati Song-ah setelah putus dari Min-seong.

 

Keputusan-keputusan besar yang diambil, tidak hanya mengubah arah hidup, tetapi juga bisa mengubah sudut pandang terhadap hidup.

 

Bae Da Bin sebagai Kang Min-seong 


Ada scene ketika Min-seong berdiri di depan pintu kampusnya Song-ah. ia ingin menelpon Song-ah, tapi ragu-ragu, dan akhirnya tidak jadi. Satu scene ini saja sudah bisa membuat saya tersenyum lega. Min-seong sudah selesai dengan kemarahan dan kekecewaannya pada Song-ah. Min-seong juga toh yang akhirnya berusaha menyambungkan kembali silaturahimnya Song-ah dan Dong-yoon. Saya suka Min-seong karena ini. Walaupun sempet kecewa waktu dia nyalahin Song-ah, Min-seong mengambil waktunya untuk berpikir. Reaksinya Min-seong normal sih menurutku. Ya, bayangin aja, teman yang selama ini jadi tumpahan curhatanmu ternyata menyukai cowo yang selama ini jadi bahan utama curhatanmu. Dan cowo yang pernah kamu pacari ternyata menyukai sahabatmu sendiri. Apa nggak malu? Merasa dipermainkan. Kita yang tau Song-ah pasti mikir nggak mungkinlah Song-ah gituin temen sendiri. Tapi kita kan bukan Min-seong, dia yang mengalaminya sendiri. Mau semumpuni apa pun penanganan emosi kita, kalo ketemu situasi kayak gini, reaksi awalnya apa coba kalo nggak marah dan kecewa? Reaksi berikutnya pasti nyalahin temen sendiri.

 

Manusia punya kecendrungan menyalahkan apa-apa di luar dirinya, demi melindungi emosinya sendiri. Setelah semuanya mereda, dan otak sama hati sinkron kembali, barulah kita bisa mikir jernih.

 


Saya suka cara reuni-nya Min-seong, Song-ah, dan Dong-yoon. Kerasa banget tahun-tahun persahabatan yang telah mereka lewati. TERHARUUUUU .

Oya, saya juga suka interaksinya Min-seong dan Joon-young. Lucu.

 

Selain ke enam karakter di atas, ada juga karakter-karakter pendukung yang cukup menarik perhatian. Ada tiga profesor yang menguji kesabaran banget. Profesor-nya Jung-kyung, Song Jung Hee (Gil Hae-yeon), Profesornya Song-ah, (Lee Soo-kyung), dan Profesornya Joon-young, Yoo Tae-jin (Joo Suk-tae). Kalau saya disuruh memilih dari ketiga profesor, siapa yang sedikit lebih baik, saya akan memilih Yoo Tae-jin. Saya sempat berharap ia dan Joon-young bisa bekerja sama kembali untuk kompetisi berikutnya. Rupanya saya keliru menilai. Yoo Tae-jin masih dibayang-bayangi kejadian di masa lalu, yang berhubungan dengan kepercayaan dirinya. Ia seperti tipikal profesor yang memaksakan metodenya tanpa mau melihat aspek lain dari siswa yang diajarnya.

 

Be a teacher, not a professor.”

 

Ucapan Cha Young In di episode 16 menggambarkan seperti apa sosok Profesor Yoo Tae-jin.

 

Profesor Song dan Profesor Lee sama-sama busuk-nya. Mereka memanfaatkan mahasiswanya sendiri untuk keuntungan pribadi. Tapi saya agak melunak pada Profesor Song ketika ia tersenyum usai menyaksikan penampilan Song-ah di recital kelulusan-nya bersama Joon-young. Sedangkan Profesor Lee, tetap konsisten dengan wajah nyebelinnya itu!  Pengen ta hih pake kemoceng! /sigh/

 

Makhluk ngeselin lainnya yang paling banyak menerima komentar tidak suka dari barisan netyjen pendukung Jjoonsong adalah Park a (Choi Dae-hoon)! Oke, omongan-omongannya emang realistis. Cuman ini kelewatan maksanya! Caranya menangani Joon-young nggak bagus. KZL level tujuh lapis langit! Heol.

 


Adalah karakter Cha Young-in (Seo Jung-yeon) dan Na Moon Sook (Ye Soo-jung) yang nggak bikin kesel. Cha timjang  udah yang paling paham kondisi lahir batinnya Joon-young. Cha timjang pinter meng-observasi orang lain. Ia keliatan peduli banget sama Song-ah sejak pertemuan pertama mereka. Itu terlihat dari silent gesture-nya, atau tatapan tidak nyamannya saat mendengar atau melihat bagaimana orang-orang memperlakukan Song-ah. Sayang Cha timjang banyak-banyak .


Cha Timjang punya kemiripan dengan Dong-yoon. Dulunya Cha timjang ini seorang figure skater. Ia memutuskan berhenti dan kepercayaan dirinya pun terjun bebas. Momen ini menjadi titik balik beliau. Pengalaman inilah juga yang menjadikan Cha timjang woles, bijaksana, dan punya simpati dan empati yang kuat untuk orang lain.


Director Na Moon-sook... .



Saya merasa bersalah karena sempat berburuk sangka pada beliau. Sedari awal, Director Na Moon-sook menghargai potensi dan talentanya Joon-young. Ia tidak memanfaatkan Joon-young, tidak mengharapkan apa-apa. Ia hanya tidak ingin talenta yang dimiliki Joon-young terbuang sia-sia. Jung-kyung menuduh neneknya menggunakan Joon-young sebagai tameng dari rasa bersalah dan kehilangan yang besar atas ibunya Jung-kyung. Jung-kyung keliru.

Director Na memperlakukan Joon-young dengan baik. Berusaha memahami perasaan Joon-young. Buktinya, ia tidak memaksa Joon-young agar tetap berada di sisi Jung-kyung. Director Na juga mendukung sepenuhnya hubungan Joon-young dan Song-ah.

Nggak tau kenapa, saya sedih banget waktu ngulang beberapa scene-nya Director Na. Kebiasaannya mengunjungi makam putrinya... salam perpisahannya dengan Joon-young, dan ucapannya kepada Joon-young bahwa ia ingin mendengarkan Joon-young memainkan Brahms .

Penokohan Do You Like Brahms kaya akan sudut pandang. Layer demi layer. Menonton drama ini membuat kita mengenal betul definisi sabar. Karena tokoh-tokohnya berproses. Terlalu cepat nge-judge gara-gara satu-dua scene hanya akan mengantarkan kita pada penyesalan. Sabar adalah koentji.


Sinematografi



 

Tone warnanya menenangkan mata. Sudut-sudut pengambilan gambarnya bagus. Jika sebuah gambar bisa bercerita, Do You Like Brahms bisa melakukannya. Adegan-adegannya kayak punya nyawanya sendiri. Detailnya ada. 

Cantik. Indah. Hidup.

 


Saya bilang dramanya hidup karena dalam adegan yang tidak memiliki dialog pun kita bisa merasakan emosi yang ingin disampaikan adegan tersebut. Filter gambar (video) disesuaikan dengan mood adegannya. Visualisasi-nya kuat banget. Saya ngebayangin andai Do You Like Brahms tidak ditangani  oleh director yang style-nya ga kayak Jo PD, apakah feel yang kita rasakan bisa sekuat ini? Naskah Do You Like Brahms membutuhkan kejelian agar bisa diterjemahkan ke dalam bentuk visual yang sesuai dengan mau-nya naskah. Style-nya Jo PD-nim nge-klik banget sama Writer Ryu Bo-ri nim.

 

Poetic. Semoga saya tidak dianggap berlebihan dan sok tahu.

 

OST & Instrument



Setelah naskah dan sinematografi, ada OST dan instrumen yang membuat kehidupan sebuah drama menjadi lengkap. Saya sukaaa banget peletakkan instrumental di adegan-adegan Do You Like Brahms. Pas. Nggak ngerusak mood dramanya, sebaliknya, justru membuatnya semakin kuat.

 

DAN OST-NYAAAAA.... AAAAAA PERFECT AAAAAAAK.

Semua ratu dan raja pengisi ost drama-drama nge hits digabungin di sini. Saya kaget banget waktu baca berita pengisi ost Do You Like Brahms. Kayak yang ‘whoaaaa SBS niat banget!’ terus ber-hore hore ria. Gimana nggak seneng coba? Jejeran pengisi ostnya ada Baekhyun dan Chen EXO (mereka nyanyiin masing-masing satu lagu), Heize, Punch, K. Will, Gummy, 10cm, Kim Na-young—Omo omooooo. Lengkap! Lagu-lagunya juga cocok banget sama kuping.

 

E N D I N G 


“There’s a music term called crescendo, which means gradually louder. If you think about that meaning the other way, it means you are at the smallest point. So you can get bigger and bigger with time.

The smallest moment in your life, in other words, its the moment when your Crescendo begins.” –Cha Young-in

 

Puncak konflik Do You Like Brahms terletak di episode 14. Lalu penyelesaiannya dilakukan perlahan di episode 15, dan diselesaikan di episode 16. Banyak sekali adegan yang dipararelkan dengan adegan di episode-episode sebelumnya, namun keduanya bisa memiliki makna yang tidak sama, atau justru menjadi jawaban dari adegan sebelumnya. Rapi banget. Tidak terkesan dipaksakan. Semua berjalan natural.


 “Everyone makes mistakes. The problem would be to not learn from them.” –Cha Young-in.


Enam karakter kita menemukan Crescendo-nya masing-masing. Park Joon-young, Chae Song-ah, Lee Jung-kyung, Han Hyeon-ho, Kim Min-seong, dan Yoon Dong-yoon yang kita temui di awal episode telah menjadi versi terbaik diri mereka di episode 16. Jika pun belum sepenuhnya menjadi versi terbaik, setidaknya mereka berusaha. Menurut saya, salah satu ukuran sebuah drama dikatakan berhasil diselesaikan dengan baik adalah ketika para tokohnya mengalami perkembangan karakter yang jelas.

 

Saya benar-benar serius ketika mengatakan kepada Ben kalau saya akan segera menghapus folder Brahms saya di lepi andai ending dramanya antiklimaks. Saya bertahan ga nonton ep 14 karena saya terlanjur dibawa perasaan sedih. Saya juga keukeuh nggak mau ngikutin live recaps ep 15 dan 16 karena saya nggak kuat kalau-kalau endingnya ngecewain. Setelah bergelut lama dengan pikiran-pikiran saya, saya ngomong ke diri saya kayak gini, “nggak papa deh Song-ah dan Joon-young nggak bersatu di akhirnya, tapi tolong kasih saya penyelesaian yang masuk akal.”

Saya bisa sangat realistis jika menyangkut ending drama. Meskipun itu bukan happy ending yang saya harapkan, asalkan masuk akal, logis, dan sesuai premis, saya bisa terima. Sungguh.

Daripada menuntut happy ending, saya berharap Do You Like Brahms tidak menghancurkan pace yang sudah sangat baik dibangun sejak episode 1. Suer, antiklimaks tuh nyakitin perasaan. Dikecewain itu nggak enak.


 



Sumpah ya, kalo ga ada chart kep*rat itu, saya nggak akan se-kuatir ini. Baru kali ini saya nonton drama dan dibadutin chart .. Banyakan senewen, dan buruk sangkanya. Biasanya kalo di tengah jalan kapel dramanya udah masuk ke fase romantis, chartnya direvisi, lah ini sama SBS enggak!! Gimana ga panik kitaaaah HIH! Kalo di drama, yang menjadi penyebab gonjang-ganjing hubungannya Song-ah dan Joon-young adalah Jung-kyung, di seberang layar, yang membuat hubungan penonton dan Do You Like Brahms terguncang adalah sebuah chart relationship characters—a nightmare.

 

Saya suka banget gimana Do You Like Brahms diakhiri. Semua terkoneksi dengan baik. Karakter satu dengan karakter lainnya. Lead dan supporting role. Dialog-dialog yang dibangun. Sudut pandang yang saling memengaruhi. Inspiratif, terutama soal bagaimana kita berlaku adil terhadap diri sendiri. 

Do You Like Brahms ditutup dengan monolog optimisnya Chae Song-ah. Its so beautiful and touching.


Drama ini dibuka dengan,

“Do you like Brahms?”

“No, I don’t like Brahms.”

Lalu diakhiri dengan,

“I want to play Brahms more from now on.”

 

Harapan-harapan yang saya tulis di First Impressions Do You Like Brahms terwujud semua, dengan cara yang jauh lebih indah dari skenario yang saya bayangkan di kepala saya. Begini ya rasanya ketika kenyataan melewati ekspektasi kita—bahagianya luar biasa. Tidak ada penyesalan.  /sungkem sama Ryu Bo-ri nim/

 

Sekali lagi, Do You Like Brahms memang mengikuti metode yang sudah biasa dipake di drama-drama kebanyakan, alurnya lambat, banyak karakter yang bikin kita frustasi, tapiiiiiii, cara drama ini bertutur dan bagaimana ia dikemas membuatnya spesial, berbeda. Ia indah. Drama ini punya nyawa.

 


Apakah ini drama yang bisa nge-healing? IYA. Hanya saja, proses menuju healing-nya tidak se-menyenangkan yang kita bayangkan. Tapi ia tetap indah. Ada satu hal yang bisa saya simpulkan setelah menamatkan Do You Like Brahms. Drama ini ditulis, dan di­-direct ‘pakehati.

 

Tiba-tiba saya teringat ucapan tokoh Sid dalam film animasi Ice Age. “My mom once told me, that even though things look bad, there’s a rainbow around every corner.”

AHAHAHAHA.

★★★

4/5

Do You Like Brahms realistis menggambarkan cinta dan mimpi. Ego dan pertentangannya.

Drama ini dimulai dengan intro yang false, memasuki fermata, da capo, lalu general pause dan berakhir dengan crescendo. Gradually louder.

Perfect.

 Saya enggak tau apa-apa soal musik, saya hanya pendengar yang menikmati musik, penggunaan istilah-istilah musik di drama ini membuat saya merenungㅡhidup adalah musik itu sendiri. Kita sedang memainkan musik kita masing-masing.


“Once it passes by, love isn’t a big deal either. We have so much to do in life to be lost in love.” –Na Moon Sook

 

Do You Like Brahms is one of the best drama i’ve watched this year. Truly beautiful.



 

Suara Song-ah di episode 16 meninggalkan kesan yang kuat banget sebagai penutup Do You Like Brahms.

“I don’t remember what my wish was, but at the time, I already knew. Because of this man, even if I get hurt, over and over again, I will go on loving. That’s why I’ll go on dreaming. Even if I get hurt again, with all my heart, I will love again, and walk straight ahead."



 

Btw, ada yang tau nggak kabarnya Park Sung-jae? HAHAHAHA.

 

CURCOL



Anda memasuki area bucin

Saya mau tulis semua yang saya suka tentang Do You Like Brahms.

 

Jjoonsong Couple



MON MAAP, SAYA MAU MENUMPAHKAN KEBUCINAN SAYA!

/Tarik napas panjang... hembuskan perlahan..../

Mau mulai dari mana yah... hm... pengen teriak .

Jjoon-song couple. Dari yang nggak berkekspektasi apa-apa dan berakhir berekspektasi setinggi langit. SUKA banget sama chemistry-nya Song-ah dan Joon-young huhuhu  .

Ini kapel uwu banget sumpah. Manisnya nangih. Slow-burn couple. Song-ah dan Joon-ah memulai hubungan mereka sebagai strangers, kenalan, mulai saling ada ketertarikan, jatuh cinta, jadian, putus, dan....

Saya masih inget sempet curhat ke Anggy, marah-marah, kesel, semua ditumpahin. Itu setelah saya baca spoiler ep 14, mood ancur berantakan, asli. Nangis. Sakit ati, sampe mikir ‘yang putus siapa yang patah hati siapa?’. Pake ngancem-ngancem ga mau nonton sisa episodenya kalo ending-nya ngecewain. Saya kenapa sih?

 


Kalo ngikutin perjalanannya Jjoonsong dari awal, sampe mereka jadian, rasanya nggak mungkin banget kita nggak emosian nonton ep 14, mana sebelum adegan putus sengaja banget ditumpukin itu masalahnya Song-ah dan Joon-young—kayak gunung merapi siap-siap menuju erupsi—mo narik napas aja sakit, nyesek. Demi lesung pipinya Mas Joon-young, abis ep 14 tayang, hingga tiba penayangan ep 16, setiap kali saya nggak sengaja inget Brahms, ada uneasy feeling yang muncul entah dari mana—udah sekuat itu emang ini drama satu menjajah saya.

 

Drama ini jago banget ngebangun pondasi menuju letusan emosi tertinggi. Jadi ga sekali dateng tuh patah hati, disiapin dulu.... setelah dirasa cukup, BBAAMMM! Kulminasi tiba dengan sempurna.

 



MANA SCENE PUTUSNYA DIBIKIN INDAH BANGET, PUSIIIIING .

Di episode 15, waktu Joon-young cerita ke Cha Young-in tentang putusnya dia dan Song-ah, sumpah itu poetic banget—suaranya Joon-young, nada rendahnya yang penuh tekanan... saya bisa ngerasain kesedihannya .. Ternyata sebelum dia dateng ngasih payung ke Song-ah, ada sekian menit dia merhatiin Song-ah dari belakang. Bayangin perasaannya Joon-young... apalagi sebelum itu mereka bertengkar, dan Song-ah bilang dia bersama Joon-young nggak bikin dia bahagia. Sebentar... sebentar DEMI APAAAAA KENAPA SCENE DI RUANG LATIHAN ITU SEDIH BANGET SAYA NANGIIIIISSSS!!!! Perhatiin ekspresinya Joon-young, mulanya dia mau berusaha  mertahanin hubungan mereka, tapi setelah Song-ah bilang dia nggak bahagia—MATANYA JOON-YOUNG ASTAGA!!! .




Joon-young keliatan terluka banget. Di situ dia baru menyadari kalo selama ini dia udah melukai Song-ah berkali-kali tanpa dia sadari.

 

Saya merasa bersalah ke Joon-young. Waktu saya berkali-kali bilang kenapa sih Joon-young nggak mau terbuka sepenuhnya ke Song-ah, saya lupa 15 tahunnya Joon-young itu bukan sehari-dua hari. Joon-young terbiasa memilih terluka sendirian, setelah ketemu Song-ah, meskipun dia sudah berusaha, tapi tidak semudah itu memang. Kita tuh enteng banget ngomong ‘ayo bangun komunikasi, komunikasi itu penting, apa susahnya sih? Song-ah itu kuwaaat’, dan omongan ini ditujukan ke cowo introvert yang hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk menomorduakan dirinya sendiri agar orang-orang yang disayanginya tidak sedih atau terluka! Huft... Complicated amat ya hidupnya Joon-young? Lah, emang gitu kan karakternya Joon-young. Dia penuh dengan kekurangan. Bukan cowo perfect. Sebenernya waktu Joon-young ngomong cinta ke Song-ah, dia belom siap menerima orang lain di hatinya. Dia masih terus-menerus dibayangi Jung-kyung dan masa lalunya. Nggak semudah itu membuang kebiasan 15 tahunnya. Okelah, Joon-young udah tegas bersikap ke Jung-kyung, tapi caranya nggak cocok, ada aja yang memantik salah paham dia dan Song-ah. Sapu tangan... traumerei...

 


Traumerei.

Piece yang dimainkan Joon-young ini lebih dari sekadar hadiah yang selalu dimainkannya untuk Jung-kyung sejak ibunya Jung-kyung meninggal, sampai 15 tahun kemudian.

 

Traumerei selalu dijadikan pemanasan Joon-young sebelum mulai latihan bermain piano. Saya teringat percakapannya Joon-young dan Cha Young-in tentang menghilangkan kebiasaan. Menurut Cha timjang, kalo emang sulit dan bisa memengaruhi (merusak) yang lain kenapa dibiarin aja kebiasaan itu?

Nggak semua kebiasaan patut dipertahankan. Kalau kebiasaan itu justru bikin kita nggak nyaman, terluka, kenapa mesti dipertahankan? Hanya saja, membiasakan diri tanpa kebiasaan yang sudah mendarahdaging sangat sulit dilakukan. Sama halnya kita sedang berusaha memutus habis satu benang yang telah menjadi bagian dari tenunan hati kita. Sakit, sudah pasti. Sulit? Sangat sulit.

Apa yang dikatakan Joon-young bahwa ia melakukan itu yang terakhir kali memang benar, dan saya percaya itu tidak ada hubungannya dengan Jung-kyung. Perpisahan itu dilakukan Joon-young hanya antara dirinya dan Traumerei.

 


Sebagai penonton, sebelum episode 14 tayang, saya berdoa banyak-banyak semoga plot putus nggak dipake writer­-nya, semoga ada cara lain... eh dipake juga. WHYYY WRITER-NIM??? Saya menggugat. Pikir saya, plot putus akan bikin tensi dramanya menurun drastis dan akhirnya dramanya memasuki state antiklimaks.

Barulah setelah saya menonton ep15 dan 16, saya paham, plot putus ini penting adanya. Rasa tidak nyaman yang saya rasakan gara-gara putusnya Jjoonsong tidak semata karena saya patah hati, tapi juga dibayang-bayangi pengalaman nonton drama romance dengan adegan putus sebagai jalan keluar masalah si kapel dan setelahnya dramanya seperti berjalan ke arah yang salah. Saya kuatir. Ada trust issue? Ya. Sepertinya. Terlebih lagi saya belom punya gambaran style-nya Ryu Bo-ri nim kayak gimana, Do You Like Brahms adalah debut perdana beliau.

Ryu Bo-ri dan Jo PD mematahkan kekuatiran saya. Telak. /pura-pura amnesia pernah ngancem mo mogok nonton bahkan ngancem ngapus filenya di lepi/

Rotasi hidup Joon-young dan Song-ah setelah putus ditampilkan, natural, apa adanya. Tidak ada adegan frustasi, minum-minum wkwk. Kita dikasih liat perbedaannya reaksi Joon-young dan Song-ah—it depends on their personality. Ga ada yang lebay. Song-ah dan Joon-young tetap menjalani hidup normal mereka, tapi memang putusnya mereka meninggalkan efek yang besar sekali, terutama pada Joon-young.

 

“Only after we parted, only after I lose it, I realized that I loved it so much, not just an average amount. I knew it then. How much you will love, isn’t something you can decide at the beginning.” –Chae Song-ah.

Monolognya Song-ah menjawab apa yang pernah dikatakan Joon-young padanya di episode 4.




“The phrase ‘too much’, we use it when something exceeds the limit. I think that’s the reason love becomes painful. You should love adequately but you loved too much. Don’t go too far or do too much . Adequately. Moderately. Don’t love someone too much. If you do, it becomes too much.” –Park Joon-young.

 

.

Kapel ini romantis sekali. Prosesnya perlahan, bikin gregetan, ngomongnya sopaaan banget.

Romantis yang masuk akal. Gak overrated.

Pokoknya suka semua tentang kapel ini .

Scene favorit saya banyak. BANYAAAKKKK. Kalo ditulis di sini bisa sampe 50 halaman ini postingan HAHAHAHAHA.

Sebelum pedekate, saya suka banget adegan 30 detik-nya Joon-young dan Song-ah di episode 1. Ga sadar senyum-senyum sendiri waktu Song-ah berusaha ngejelasin namanya, trus Joon-young jawab ‘ne, arayo’. Itu membekas banget sih. Orang-orang tuh sering banget salah mengeja namanya Song-ah. Makanya Song-ah kaget,terkesima sama Joon-young. Ahahaha.

 


Saat memulai pedekate, pilihan saya jatuh di adegan Park Joon-young memainkan Moonlight Sonata untuk Song-ah yang kemudian diubah jadi lagu selamat ulang tahun... abis itu Park Joon-young ngomong, sambil berjalan mendekati Song-ah.

“Do you want to be a friends? No. We must be friends. Because I’m hugging you as a friend right now.”

AAANDDDD HUGGGGGG. Huhuhu sweet banget iniii AAAAAAAA  PARK JOON-YOUNG MODUS AAAAAA TAPI SAYA MELELEH AAAAA .

Setelah pacaran, saya suka SEMUANYAAAAA.

Ah! scene di bus! Waktu Joon-young terengah-engah mengejar Song-ah yang mau ke Daejeon. Joon-young mengambil keputusan besar di waktu yang tepat ini.

 

/saya sedang berpikir bagaimana cara mengakhir part-nya Jjoonsong di postingan ini, kayak nggak ada habis-habisnya ngomongin mereka ./

Hujan.

Payung.

Eskrim.

Deoksugung Stonewall Walkway

Saputangan—btw, Joon-young nggak jadi ngasih saputangan ke Song-ah ya? Gpp, gantinya kasih cincin HAHAHAHA.

Bakalan kangen banget sama mereka. .

Song-ah ssi...

Joon-young ssi...



Sebelum pacaran :To violinist, Chae Song-ah
Setelah pacaran : To my, love Song-ah

Sebuah upgrade yang UWU sekaliiii

Sampe udah nikah pun manggilnya tetap sopan. Kiyowo~ng

 


Level bucin-nya Joon-young ke Song-ah,

Nulis nama istrinya di poster pertunjukan musik, berdampingan dengan namanya sendiri, Hyeon-ho dan Jung-kyung sebagai performer HAHAHAHA AMPOOOON PAK BUCIN PAAAKKK TOLOOONG HAHAHAHA GEMES PARAH

Chemistry-nya Park Eun-bin dan Kim Min-jae keren gilaaakkkkk.



Aku speechless bagian ini, nahan napas HAHAHAHA Kim Min-jae gokiiiiiillll.

 

Chae Song-ah dan biolanya


 

Chae Song-ah dan biolanya.

This is the most heartbreaking goodbye...

Orang-orang yang hidupnya berkecimpung di bidang musik, yang sehari-harinya berinteraksi dengan alat musik, pasti ngerasa relate banget dengan adegan Song-ah dan biolanya. Nggak ada yang bisa ngalahin rasa cinta Song-ah pada biolanya. Rasanya tidak salah kalau dibilang biola adalah cinta pertama Song-ah.

"Thank you for everything

Bye,

Take care,

Be happy,

Goodbye..."

-Chae Song-ah to her violin-

Saya nangis. .

Gimana saya nggak percaya kalo drama ini dibuat dengan cinta yang dalam, untuk adegan selamat tinggal sama biola aja ga disyut ala kadarnya. So deep and touching. .

OMAAAAAAAAA ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ

 

Chae Song-ah dan keluarganya



Keluarganya Song-ah sepertinya menganut paham, pilihan ada di tanganmu, tapi jangan lupa bertanggung jawab. Song-ah yang kita kenal, sedikit banyaknya pasti dipengaruhi atmosfer di keluarganya. Ruang diskusi selalu ada. Pendapat dibolehkan, dan didengar.

Saat Song-ah memilih kuliah di jurusan musik, ayah, ibu, dan kakaknya menyerukan ketidaksetujuan mereka, tapi hanya sebatas itu, mereka pada akhirnya tetap mendukung Song-ah. Buktinya, ibunya pernah ngasih Song-ah tiket resital.

Saya suka setiap kali ada adegan Song-ah dan keluarganya, baik ayahnya, dengan ibunya, juga kakaknya. Kata-kata yang mereka keluarkan kepada Song-ah selalu bernada positif dan menguatkan. Hearwarming. .

Waktu Song-ah sakit, ayah dan ibunya stand by jagain dia. Adegan sekian menit ini aja bisa bikin saya tersenyum haru.

 

R E U N I



Di episode 6 karakter utama kita menemukan closure-nya masing-masing.

Song-ah dan Joon-young.

Joon-young dan Hyeon-ho. Saya terharu melihat Hyeon-ho yang memeluk Joon-young duluan.

Lalu Min-seong, Dong-yoon, dan Song-ah...

Joon-young dan Jung-kyung.

Jung-kyung dan Hyeon-ho—banyak yang bilang Jung-kyung ga pantes dapet Hyeon-ho. Hyeon-ho pantes dapet yang lebih baik. Tapi katanya Joon-young, ada satu senyuman Jung-kyung yang hanya bisa diciptakan oleh Hyeon-ho. Dan Hyeon-ho mencintai Jung-kyung. Sangat mencintai Jung-kyung. 10 tahun. Dan seterusnya. Speaking of reality, saya bisa terima Hyeon-ho baikan sama Jung-kyung.

Hubungan asmara, kasih sayang, persahabatan di drama ini diurai dengan apa adanya, tidak terkesan dipaksakan. dan relatable.

Adegan favoritku di bagian ini adalah waktu Song-ah dan Jungkyung duduk berdua, ngobrol. Ini skenario paling tidak terduga, bahwa pada akhirnya bukan Hyeon-ho atau Joon-young yang membantu Jung-kyung menemukan kepercayaan dirinya yang hilang 15 tahun lalu, melainkan Chae Song-ah.

Momen ketika Jung-kyung mengucapkan terima kasih, itu haru banget sih menurut saya.


Frei Aber Froh. Free but happy, Chae Song-ah~


Frei Aber Froh. Free but happy, Lee Jung-kyung~

Saya nangis nonton penampilan terakhir Song-ah dan Jung-kyung bersama biola mereka. Emosional banget. ㅠ.ㅠ


Joon-young dan ibunya


 

Salah satu bukti kalo Joon-young sudah berubah lebih berani menghadapi dirinya sendiri adalah ketika dia meminta ibunya bercerai dari ayahnya.

“Its not because Dad makes my life difficult. Mom, I hope... you start living your own life.”

Siapa yang nggak terharu?

Joon-young ah.... .

 

... I think I should stop writing for now, I have so much to say but I’m worried I'm talking too much and I will end up being too much. My apologize .


 Do You Like Brahms saranghaeeee
Jo Young-min PD nim
Ryu Bo-ri nim
and all the team of Do You Like Brahms, thank you for your hardwork, we love it so much! 😍



I love you...

And be happy.

Azz


P.s : sekarang Park Il-do punya saingan, bapaknya Joon-young. Ga pernah keliatan sosoknya tapi yang benci banyak banget.

[Review] Do You Like Brahms

by on 10/21/2020 09:27:00 PM
    Tidak jauh dari jendela kamar saya, tumbuh menjulang pohon sawo tua. Menurut nenek saya, pohon sawo itu sudah ada di sana sebelum saya...