Sinopsis
Pada sebuah acara kenegaraan berkaitan dengan rencana unifikasi Korea Utara dan Korea Selatan, sebuah ledakan besar terjadi dan menghancurkan Gedung Majelis Nasional. Tidak hanya itu, ledakan tersebut juga telah turut menewaskan Presiden Korea Selatan saat itu, Yang Jin Man (Kim Gab Soo) dan hampir seluruh petinggi negara lainnya. Park Moo Jin (Ji Jin Hee), Menteri Lingkungan, merupakan satu-satunya menteri yang selamat. Ia tak berada di Gedung Majelis Nasional ketika ledakan terjadi.
Pasca ledakan, terjadi kekosongan kekuasaan di Blue House. Menurut Konstitusi Republik Korea Pasal 71, ketika presiden berhalangan hadir dalam tugas kepresidenan karena alasan tertentu, perdana menteri atau anggota kabinet terpilih akan menjadi presiden interim, atau pelaksana tugas sementara presiden.
Maka sesuai konstitusi Park Moo Jin lah yang berhak ditunjuk sebagai Presiden Interim dengan masa kerja 60 hari sebelum pemilihan umum presiden berikutnya dilaksanakan. Meskipun tak menginginkan posisi tersebut, demi alasan keamanan negara ia bersedia menerimanya. Selain berjuang mengembalikan kestabilan negara, dalam masa kerja 60 harinya, Park Moo Jin juga bekerja keras membongkar dalang di balik ledakan besar yang telah mengguncang Korea Selatan tersebut.
Mampukah profesor kimia ini menjalankan tugasnya sebagai Presiden Interim, sedang ia bukanlah seseorang yang datang dari lingkungan politik?
Drama berjumlah 16 episode yang ditayangkan di stasiun tivi kabel tvN ini merupakan remake dari serial televisi Amerika dengan judul yang sama.
Cast and Characters
Ji Jin Hee as Park Moo Jin
The world might never change. That’s why I won’t change either.” –Park Moo Jin
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hidup kita semenit ke depan. Itulah yang terjadi pada Park Moo Jin. Dalam sekejapan mata rotasi hidupnya berubah total. Tak berselang lama setelah Presiden Yang Jin Man memecatnya dari posisi Menteri Lingkungan, sebuah insiden berdarah menimpa kabinet kerja yang dipimpin Presiden Yang—Gedung Majelis Nasional runtuh akibat ledakan bom. Presiden dan sejumlah petinggi negara tewas. Park Moo Jin lantas diangkat menjadi presiden sementara Korea Selatan menggantikan mendiang Yang Jin Man.
Menjadi presiden sebuah negara yang sedang berada dalam posisi genting bukanlah hal mudah, terlebih bagi Park Moo Jin. Ia bukan seseorang yang datang dari dunia perpolitikan. Sejak hari pertama dirinya dikukuhkan sebagai Presiden Sementara, Park Moo Jin sudah menghadapi banyak pertenyangan dan gesekan, baik dari dalam Blue House sendiri maupun dari pihak oposisi. Tak sedikit yang meragukan kemampuannya. Dan kita sama-sama tahu, seringkali deal-deal politik membuat seseorang secara sadar atau tidak sadar terlepas dari akar jati dirinya yang sesungguhnya, terlepas dari hal-hal yang menjadikannya manusia beretika. Sepanjang 16 episode drama ini, Park Moo Jin membuktikan bahwa berada di lingkungan politik tak mesti harus melunturkan warna asli seseorang.
Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang memiliki pandangan pesimis cenderung sinis terhadap dunia politik negara kita—tak hanya sekali saya menahan mual saat tak sengaja menonton berita atau diskusi-diskusi politik di televisi. Disgusting. Ada kemarahan yang tak teralamatkan. Maka ketika saya menonton Designated Survivor remake ini, yang paling saya perhatikan adalah perkembangan karakter Park Moo Jin. Apakah orang baik ini akan mampu mempertahankan reputasinya sebagai orang baik meski berkecimpung dalam lingkungan yang kerap membuat orang lupa diri? Saya muak dengan politik yang ditampilkan televisi, bolehlah sekali-sekali saya mendapatkan penghiburan dari drama.
Yeah. I’m glad Park Moo Jin didn’t disappoint me.
Park Moo Jin adalah tentang satu sosok yang semakin sulit kita temukan di hari-hari belakangan ini. Untuk bisa memahami Park Moo Jin sepenuhnya, maka kita perlu meminggirkan kalkulasi menang atau dalam kalah setiap pertempuran politik. Sebab sosok berintegritas dan bertanggung jawab seperti Park Moo Jin tak pernah memasukkan hal semacam itu dalam kamus hidupnya. Dan karena ini pula, mendiang Presiden Yang Jin Man memecatnya dari Menteri Lingkungan—ia terlalu berharga untuk dikotori lumpur hitam politik. Park Moo Jin adalah jenis orang yang akan mengedepankan kebenaran tak peduli jika nantinya itu akan merugikan dirinya. Pendeknya, Park Moo Jin tidak akan menghalalkan segala cara demi meloloskan ambisinya—jika saja ia memiliki itu. Yang paling mengesankan saya dari karakter ini adalah kejernihannya berpikir dan kemampuannya menganalisa setiap situasi sebelum mengambil keputusan. Alih-alih memikirkan kemenangan dengan menjatuhkan lawan politiknya, keputusan yang diambilnya kerap menjadi penengah yang mengurai kekusutan antara dua-tiga pihak yang terlibat perkara. Ia yang tak menganggap musuh pihak yang berseberangan dengan dirinya, ia bahkan tak sungkan bertemu dengan pihak-pihak tersebut jika menyangkut urusan negara dan bangsanya. Tak jarang pula keputusannya memunculkan riak. Namun sekali lagi, ia bukanlah tipe orang yang memenangkan pertempuran dengan cara melukai atau menjatuhkan lawannya.
Satu kalimat dari Sek. Cha kepada Menteri Oh tepat menggambarkan kebijaksanaan seperti apa yang dimiliki Presiden Park sebagai presiden.
“Presiden Park adalah seseorang yang mengenal rasa takut untuk posisi ini (presiden). Itulah alasan aku bisa memercayainya.”
Penting bagi kita memelihara rasa takut saat memegang sebuah jabatan. Rasa takut itu yang akan menjaga kita dari melakukan hal-hal di luar kapasitas yang nantinya bisa membuat kita melakuan abuse of power dan abuse of authority .Tak banyak orang yang mampu menjaga jarak dari apa-apa yang bisa membuatnya kehilangan integritas. Park Moo Jin adalah satu dari yang tak banyak itu. Sungguh, betapa kita rindu dengan orang-orang seperti ini.... sangat rindu. .
Ji Jin Hee berhasil memerankan karakter Park Moo Jin yang kharismatik dengan baik. Jika tak salah ingat drama ahjussi yang saya tonton terakhir kali adalah Blood (KBS, 2015). Karakternya di drama bertema vampir itu cukup menyebalkan hingga saya memutuskan men-skip scene-scene yang ada dia-nyaㅋㅋㅋㅋ.   
Heo Jun Ho as Han Joo Seung
I devoted my life and put my faith in the people of this nation. They are the ones who betrayed us first.” –Han Joo Seung.
Kekecewan sanggup mengubah seseorang menjadi monster.
Karakter Han Joo Seung berangkat dari niat baik. Ia mencintai negara dan bangsanya. Han Joo Seung mengidamkan Korea Selatan kelak akan tumbuh menjadi sebuah negara yang kuat dan menjadi kebanggaan rakyatnya. Pikirnya dengan terpilihnya Yang Jin Man—capres yang diusungnya dengan sepenuh hati—akan menjadi titik awal impiannya akan sebuah negara ideal itu. Namun, perjalanan mimpi tersebut menuju kenyataan tak semulus yang ia kira. Rating terhadap kinerja Presiden Yang terus menurun. Ketidakpuasaan masyarakat meningkat.
The people fear and obey those who reign over or govern them. That’s what I learned through our failures.”
Han Joo Seung menilai, agar bisa menaklukan masyarakat, maka pucuk pemerintahan haruslah dipegang seseorang yang memiliki keinginan mengusai yang kuat. Sebuah hasil pemikiran yang lahir dari rahim kekecewaan yang dalam. Dari karakter Han Joo Seung, saya belajar bahwa nyatanya tak hanya kekecewaan yang bisa mengubah seseorang, cinta yang kelewat besar juga. Cintanya yang besar terhadap negaranya akhirnya berhasil memanipulasinya—niat baiknya menciptakan negara yang kuat dan menjadi kebanggaan masyarakatnya ia tempuh dengan cara yang keliru.
Sejujurnya, saya kasihan sama karakternya Han Joo Seung. Sedih juga—membayangkan sebegitu besarnya ia memendam kekecewaan terhadap bangsanya sendiri, yang ia cintai bahkan mungkin melebihi dirinya sendiri.
Mungkin karena kuatnya karakter antagonis yang diperankan beliau di drama terakhirnya yang saya nonton—Come and Hug Me (MBC, 2018)—saya seketika merasakan bad feeling yang kuat saat melihat kemunculannya pertama kali di episode pertama drama ini. I have trust issues with this ahjussi. Dan demi membuktikan kecurigaan, saya setia mengobservasi karakternya. Seiring berjalannya waktu, dari episode satu ke episode berikutnya saya mengalami konflik batin. Di satu sisi saya percaya ada sesuatu dengan karakter Sekretaris Han, namun di sisi lain saya berharap itu bukan dia. .
Son Seok Koo as Cha Young Jin
“Aku ingin melihat sekali saja, orang baik menang.”
Sekretaris kepresidenan yang cerdas, berintegritas, dan relatif bersih. A young king maker who has a bright and promising future, yang memiliki visi dan misi politik yang jelas. Menurut saya, Cha Young Jin adalah karakter yang brilliant. Ia mampu menangkap dan memanfaatkan peluang dalam situasi sulit. Dia orang baik.
Scene ketika Soo Jung menuduh Sek. Cha hanya peduli pada tingkat kepuasan masyarakat membuktikan Sek. Cha orang yang mampu bertindak tepat dalam situasi rumit. Soo Jung panik usai insiden penembakan yang menimpa Presiden Park. Ia bahkan menuduh Sek. Cha sebagai orang paling diuntungkan situasi tersebut. Tuduhan itu muncul karena dilihatnya Sek. Cha seperti tak terganggu dengan kritisnya Presiden Park. Jawaban yang diberikan Sek. Cha kepada Soo Jung bikin saya pengen ngasih Sek. Cha jempol sebanyak-banyaknya.
“... karena aku tidak mau periode ketidakhadirannya dikenang sebagai kegagalan.”
Saya mau buka-bukaan di sini. Pada banyak scene saya kerapkali melupakan Cha Young Jin ini hanyalah sebuah karakter fiksi, saya ikut larut dalam ekspresi dan gesturnya. Sok Seok Koo is doing a great job portraying his character. I told you this oppa is a gem. His acting so raw and detailed. Saya menonton aktingnya di Mother, dan Suits—dalam setiap perannya—sekecil apapun itu—ia membuat saya percaya karakter-karakter tersebut adalah dirinya yang sesungguhnya. Son Seok Koo membuat mereka—karakter-karakter tersebut hidup dengan ciri khasnya masing-masing.
I think I’ve found  my new favorite K-actor. Claps for me, please... *Menunggu hari di mana Son Seok Koo mendapatkan peran utamanya*
Do well, oppa!
Lee Joon Hyuk as Oh Young Seok
“Due to ethnic background, disability, nationality, affiliation, race, religion, and even beliefs, in every way, people have found a way to discriminate against others. Its how one can be at a slight advantage in this dog-eat-dog world. Its basic instinct. Because we are human, we can never openly admit to it, though. No one would dare say that they support discrimination.”
Darn it. Se-sebel-sebelnya saya sama karakter satu ini, kalimat yang dilontarkannya kepada Presiden Park dengan wajah sinis ini berhasil menampar saya. Kita tuh entah disadari atau enggak, sering melakukan diskriminasi kepada orang lain dengan menggunakan berbagai macam alasan sebagai tameng. Misalnya nih, kita sibuk menuntut kebebasan berpakaian namun di saat yang sama kita juga nge-diss mereka yang memutuskan menutup bagian tubuh karena alasan perintah agama. Playing victim dan standar ganda masih sering ditemukan dalam lingkungan masyarakat kita. Kita suka nggak sadar diri.
Oh Young Seok adalah anggota majelis Periode Satu, ia menjadi satu-satunya korban selamat dari aksi pengeboman yang mengakibatkan runtuhnya Gedung Majelis Nasional. Skenario selamatnya Oh Young Seok dari tragedi mengerikan hingga mengantarkan dirinya sebagai salah satu kandidat terkuat pemilihan presiden di pemilu berikutnya telah di-desain sedemikian rupa oleh mereka yang berkepentingan. Bagian mengerikan dari grand design ini adalah upaya memanfaatkan simpati dan kesedihan masyarakat demi meng-golkan rencana besar mereka, dibantu media, semuanya tampak natural dan meyakinkan. Maka terbentuklah pendapat bersama yang padu satu sama lain di kalangan masyarakat. Kita mendukung orang baiksomething like that.
Simpati dan empati tak ubahnya pisau bermata dua.
Oh Young Seok menerima dirinya dimanfaatkan pihak tertentu karena ia sendiri memiliki agenda lain—terkait dendamnya kepada negara dan pemerintah yang pernah membuangnya saat masih di kesatuannya. Sebenarnya bukan hal baru di drama tentang seorang yang diabaikan negara saat sedang berada dalam misi. Namun justru karena sering diulang dengan latar belakang cerita yang bermacam-macam, saya pun jadi kepikiran sudah berapa banyak kejadian seperti ini terjadi di dunia nyata? Rasanya hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi.
Seperti halnya apa yang dialami Han Joo Seung, meski saya tidak setuju dengan pilihan dua orang ini, saya tetap tidak ingin men-judge perilaku mereka. Tidak ingin memberikan pemahaman ataupun menyalahkan. Everything happens for reason. Sedih aja mengingat motif yang melatarbelakanginya.
Ngomong-ngomong, nambah satu lagi aktor yang terkena imbas gara-gara peran antagonis dari drama sebelumnya—seriously, I have trust issues with this guy LOL. Tiap nonton dramanya, perannya pasti jadi orang jahat. Makanya pas dia nongol di drama ini, saya langsung ilang feeling gitu, udah optimis banget perannya pasti ga beda jauh dari yang sebelumnya ㅋㅋㅋ /menunggu hari di mana Lee Joon Hyuk jadi orang baik-baik di drama berikutnya/  
Blue House Squad
Kalau ditanya apa favorite scene saya dari Designated Survivor, saya nggak akan ragu-ragu menjawab; setiap kali Squad alias staf-nya Presiden Park Moo Jin ngumpul entah dalam keadaan santai, atau ketika masing-masing ngasih laporan kepada presiden.
Selain Sekretaris Cha, saya selalu setia menunggu kemunculan Juru Bicara Kepresidenan—Kim Nam Wook. Jubir Kim dan Sec. Cha memiliki kepribadian yang berbeda tapi cukup kompatibel dalam beberapa hal. Keduanya memiliki cara yang khas untuk saling memuji—lewat sindiran misalnya ㅋㅋㅋ Satu hal yang tak terbantahkan, meski Sec Cha dan Jubir Nam berbeda dalam banyak hal namun mereka bersepakat; sama-sama menghormati dan menginginkan Park Moo Jin mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat presiden. Hepi banget ngeliat mereka bickering mempertahankan pendapat masing-masing, tapi di akhir semua itu tujuan mereka sebenarnya sama; memikirkan bagaimana menjaga Presiden Park. Oh iya satu lagi kesamaan mereka, sama-sama menyukai perempuan yang sama. Cinta segitiga antara Sec Cha, Jubir Nam dan Jung Soo Jung ngegemesin. Jubir Nam selalu selangkah di belakang Sec Cha dalam mengejar Jung Soo Jung. Sec Cha blak-blakan ngasih sinyal, sementara Jubir Nam agak smooth, kebanyakan ngasih kode gitu makanya keduluan mulu HAHAHAHA. But Its cute tho.
my fave tandem
Peran Lee Moo Saeng sebagai Kim Nam Wook berhasil menggeser kejengkelan saya yang muncul alamiah akibat perannya sebelumnya di One Spring Night (MBC, 2019)Annoying character yang bikin saya pengen ngumpat panjang kali lebar setiap kali dia nongol. The real definition of ENEG.
Saya hampir bersorak sewaktu Kim Nam Wook maju ke hadapan para wartawan, mengambil alih kekosongan juru bicara yang tak mampu menangani serangan pertanyaan pencari berita. Setelah resmi menjabat posisi Jubir, Kim Nam Wook berkali-kali menyelamatkan wajah Blue House dari serangan publik dan media, berkat Kecepatan dan ketepatannya mengendalikan situasi. Kalimat-kalimat yang disampaikannya kepada wartawan terukur, jelas, dan tepat sasaran. Keren. Um, Jubir Kim ini orang yang seneng dipuji. Makin dipuji makin semangat kerjanya wkwk. Apalagi kalau yang muji Mbak Soo Jung HAHAHAHA.
Ada juga staf lain yang bikin sayang dan haru melihat semangat kerja dan ketulusan mereka—Cutie Park Soo Kyo, Ko Young Mook, An Se Young, Min Hee Kyung. An Se Young pernah membelot tapi nggak lama, berkat kebijaksanaan Presiden Park ia bisa menyadari kekeliruannya dan kembali melengkapi Blue House Squad.
Saya bersyukur Presiden Park dikelilingi orang-orang yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan mereka. Kehadiran orang-orang ini seolah ingin menegaskan bahwa masih banyak orang baik dalam lingkungan politik. Di antara silang sengkarut berbagai macam kepentingan atas nama kelompok dan semacamnya, dunia politik tak melulu melahirkan kepala-kepala yang diisi ambisi saling menjatuhkan dan mengalahkan. Saya (masih) ingin memercayai ini.
NIS Squad
Saya menikmati kehadiran Trio NIS Han Na Kyung, Seo Ji Won dan Jung Han Mo (Kim Joo Hun). Awalnya saya nggak ngeh kalau yang memerankan Seo Ji Won itu adalah orang yang sama dari Fiery Priest (SBS, 2019)—si pendeta muda yang sukses bikin saya ngakak sampe mules gara-gara akting parodinya di drama itu. Jeon Sung Woo makin bening euy makanya saya nggak ngenalin /ngeles/. Chemistry-nya dengan Kang Ha Na yang memerankan Han Na Kyung lumayan strong. Ga ditunjukkan secara terang-terangan sama SW-nimnya, tapi yang nonton tau banget Seo Ji Won sayang se-sayang sayangnya sama Na Kyung. Tatapan sembunyi-sembunyinya ke Na Kyung soft banget. Lowkey ngedukung Seo Ji Won dan Na Kyung hihi.
Saya sungguh-sungguh menaruh simpati luar biasa pada kisah cintanya Na Kyung dan kekasihnya—Kim Joon Oh. Sayang sekali ending kisah mereka sesedih itu...
Park Moo Jin’s Family
Di sisi seorang pria sukses, berdiri perempuan hebat. Seperti itulah makna kehadiran Choi Kang Yeon bagi Park Moo Jin.
Transisi karir mendadak yang dialami suaminya tak lantas membuat Choi Kang Yeon (Kim Gyu Ri) limbung. Sebaliknya, ia hadir menguatkan suaminya dengan sebesarnya penerimaan dan pengertian, memberinya bantuan di saat penting, menguatkan hati suaminya di kala urusan-urusan kenegaraan membuatnya murung. Choi Kang Yeon adalah First Lady kita semua. Adem banget liatnya. Kisah cinta Pak Presiden dan istrinya romantis banget deh. Dari situ aja udah ketahuan Pak Presiden memiliki kepribadian yang hangat, penyayang—tipe family-man.
Hubungan Park Moo Jin dan anak cowoknya digambarkan dengan realistis. Kenyataannya dalam banyak kasus anak cowok emang susah deket ama bapaknya. Terharu banget ngeliat Presiden Park keukeuh melindungi status Si Wan agar tidak terekspos media. 
Potret keluarga kecil Presiden Park memberikan poin tersendiri untuk Park Moo Jin. Bagi keluarganya, ia adalah sosok dependable dan manusiawi tentunya.
My Two Cents
“I would like to see it too. A world where people win because they are good.” –Kim Nam Wook
Saya ngikutin Designated Survivor 60 Days setelah tayang 12 episode. Nggak ada alasan khusus kenapa saya akhirnya mutusin nonton, waktu itu emang list tontonan yang diseriusin dikit banget ditambah kondisi kesehatan saya lagi ngedrop parah, sebulanan aktifitas lebih banyak diabisin di rumah—di kasur tepatnya, saya butuh kesibukan. Ya udah didonlotlah drama-drama ongoing yang lumayan menarik menurut review sambil lalu warga twitter di temlen saya. Designated Survivor salah satunya.
Plot episode-nya menarik perhatian saya. Yang paling bikin penasaran tentu saja Presiden Interim Park Moo Jin. Menarik mengikuti perubahan mental dan emosi Presiden Park di awal-awal penunjukkannya sebagai presiden interim. Bagaimana ia menangani masalah demi masalah yang datang di tengah situasi tidak menentu pasca ledakan Gedung Majelis Nasional. Selain itu, upaya-upaya untuk menguak siapa dalang di balik tragedi berdarah yang turut menewaskan presiden kala itu.
Sedari awal, Presiden Park telah menegaskan bahwa ia tidak akan mengikuti pertarungan pemilihan presiden yang akan dilangsungkan di akhir kepemimpinannya. Keputusannya menerima mandat presiden sementara semata karena dorongan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Lalu apa yang kemudian membuat Park Moo Jin mengubah pendiriannya untuk mencalonkan diri? Ambisikah? Saya yakin sekali bukan itu. Di antara sekian banyak alasan yang mungkin saja menjadi dasar alasan Presiden Park mencalonkan diri saya ingin memercayai ini, bahwa Park Moo Jin menghargai dan ingin melindungi orang-orang yang memercayainya. Ia percaya dengan bantuan dan dukungan orang-orang baik dan tulus seperti Sek. Cha, ia bisa mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Terlebih lagi ada agenda paling mendesak yang harus dituntaskan—pengusutan kasus bom Majelis Nasional. Dikhawatirkan, kasus itu akan diredam bila pihak-pihak yang berada di baliknya berada di pucuk tertinggi pemerintah. Saat itu kecurigaan sudah mengarah kepada Menteri Oh.
Park Moo Jin mencalonkan diri bukan untuk dirinya sendiri. Ambisi berada di puncak tertinggi tidak pernah masuk dalam kamus hidupnya. Saya nangis nonton scene ketika ia mengumumkan pencalonan dirinya. Ekspresi kelegaan Sek. Cha di belakang mengatakan segalanya. .
Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, mungkinkah sebuah pemerintahan berjalan baik bila orang-orang di lingkarannya seperti Park Moo Jin? Bagaimanakah kriteria berpolitik yang baik itu? Saya mengambil kuliah di MIPA, bukan jurusan politik. Jadi pandangan-pandangan saya mengenai politik lahir dari apa yang saya lihat dan dengar—saya tidak terlalu suka membaca buku-buku berat tentang politik. ㅋㅋㅋ
“... bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”
Selama ini saya memiliki pandangan yang sinis terhadap satu kata itu, implementasinya yang saya lihat dan saya rasakan sendiri di tengah-tengah masyarakat. Dalam banyak hal, saya setuju dengan apa yang dikatakan mendiang Gie—aktivis tahun 60-an yang menghembuskan napas terakhirnya dalam pangkuan sahabatnya di puncak Semeru pada 16 Desember 1969 akibat keracunan gas beracun.
Politik adalah lumpur kotor. Lumpur kotor bisa mengubah seseorang yang bersihㅡsaya seolah-olah ingin menyalahkan lumpur-nya ya?.
Ada alasan mengapa mendiang Gie mengibaratkan politik seperti lumpur kotor. Salah satunya adalah pergolakan dunia politik yang terjadi pada pertengahan tahun 60-an. Saya meyakini bahwa sumbu utama kesinisan Gie terhadap politik adalah kekecewannya terhadap pemerintah saat itu dalam menangani kesengsaraan rakyat.
Saya menyadari sangat nggak tepat bila memandang politik hanya satu arah, sejatinya sebuah sistem dibangun berdasarkan hasil kesepakatan bersama dan bila sistem tersebut justru menjadi racun, maka yang patut disalahkan adalah orang-orang di dalam lingkaran sistem, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya sistem yang baik khususnya dalam pemerintahan. Instrumen-instrumennya.
Yang berbahaya pada diri manusia adalah nafsu. Sebuah petaka besar bila seseorang yang tidak mampu menaklukan nafsunya sendiri. Dan panggung politik adalah wilayah paling empuk untuk membangunkan ke-liar-an nafsu tersebut. Lantas apakah dunia politik hanya diisi orang-orang munafik? Tentu saja tidak, banyak orang baik. Cuman yang nyampe ke kita lebih banyak yang suka lupa sama janji-janjinya, dan lupa diri.
Saya sendiri pun tidak bisa menjamin diri saya tidak akan tercemar lumpur semisal suatu saat saya tidak punya pilihan selain terjun ke dalam lumpur tersebut.
Apa yang disajikan panggung politik tanah air akhir-akhir ini secara sadar kian membuncahkan kesinisan dan rasa tak percaya saya pada hal-hal terkait satu kata itu—politik. Apatisme saya tumbuh subur. Panggung politik adalah dunia di mana tak hanya ada hitam dan putih, atau baik dan buruk semata. Akan selalu ada wilayah abu-abu yang membuat segalanya menjadi bias dan rentan. Apa yang tampak atau ditampakkan pada kita sesungguhnya tidak pernah mencerminkan keseluruhan yang terjadi di belakang, kongkalingkong di sana-sini, konflik kepentingan pribadi, kelompok, atau partai saling tumpang tindih hingga seringkali kepentingan rakyat diletakkan pada nomor kesekian—syukur-syukur jika nantinya diingat—karena kenyataannya yang dibutuhkan dari rakyat hanya suara saat pemilu.dan ironisnya yang rakyat terima hanya janji-janji muluk. Seperti itulah citra politik di kepala saya. Jangan sekali-kali memandang dunia politik dengan naif.
Menonton 16 episode remake Designated Survivor membuat saya perlahan melepaskan kesinisan saya terhadap dunia politik. Sejenak. Hanya sejenak. Bolehlah saya memimpikan seorang presiden seperti Park Moo Jin. Dia adalah tipe pemimpin ideal yang saya impikan selama ini. Seseorang yang memahami betul beban tanggung jawab sebuah jabatan.
Drama ini tidak secara vulgar menampilkan sisi gelap perpolitikan, sebaliknya, Designated Survivor beberapa kali menampilkan etika berpolitik yang mapan dari beberapa tokohnya. Meski tetap saja, konflik kepentingan adalah hidangan wajib pada setiap pertemuan.
Saya menerima sentuhan pertama drama ini di ending episode dua—Presiden Park menangis usai mendengar suara putrinya melalui saluran telepon, Si Jin yang selamat dari runtuhnya gedung Majelis Nasional. Kelegaan yang teramat dalam dari seorang bapak. Ga kebayang tekanan yang dihadapi Presiden Park sebelumnya. Di saat ia masih menunggu kabar kondisi anaknya di rumah sakit, ia masih harus bergelut dengan situasi mencekam di ruang rapat terkait isu kapal selam Korea Utara yang disinyalir melakukan penyusupan ke Korea Selatan. Presiden Park harus berjuang meyakinkan orang-orang di ruangan itu bahwa tidak ada penyusupan melainkan kerusakan kapal-lah yang menghanyutkan kapal selam Korut hingga masuk ke perairan Korsel. Saya melihat wajah-wajah yang dipenuhi kepanikan dan ketakutan luar biasa di ruangan itu, yang saya yakini itu telah diwariskan selama puluhan tahun, dan turun-temurun. Betapa trauma perang saudara di masa lalu tidak pernah lenyap meski generasi demi generasi telah berganti. Sedikit saja gesekan bisa memantik gejolak kedua belah pihak. Kecurigaan cepat sekali merambati dua negara bersaudara ini. Ironisnya, banyak pihak memanfaatkan kecurigaan tersebut untuk kepentingan tertentu. Seperti yang diungkapkan Kim Siljang kepada Jenderal Eun Hee Jung, menggunakan isu perbedaan ideologi masih menjadi jurus terjitu untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Perbedaan ideologis ini pula yang telah menjaga agar Dua-Korea bersaudara tetap terpisah berpuluh tahun lamanya.
Yoon Chan Kyung, Anggota Dewan dari partai oposisi, tak berbeda dari politikus lainnya. Selalu memikirkan langkah atau jalan untuk melesatkan namanya di panggung politik, namun yang membuat saya salut pada karakter ini adalah ia berkali-kali membuktikan niatnya untuk paling tidak bermain secara gentle. Misalnya ketika ada peluang untuk menjatuhkan Presiden Park melalui skandal anaknya Park Si Wan, Anggota Dewan Yoon menolak mentah-mentah usul dari salah seorang anggota partainya.
Kita menghabiskan waktu memuji anak-anak lain, sampai membuat anak-anak kita kesepian. Itulah kebijakan kita sejauh ini. Jadi, kenapa mau membuat negara ini peduli dengan urusan rumah tangga orang? Itu bukan Korea yang ingin kupimpin sebagai presiden.” –Yoon Chan Kyung
Anggota Dewan Yoon tidak ingin bermain dengan cara-cara kotor seperti menggoreng skandal anak Presiden Park. Kalau saja Anggota Dewan Yoon senang menghalalkan segala cara untuk memantaskan dirinya di mata publik, ia tak akan ragu-ragu memanfaatkan sekecil apapun peluang menghancurkan Presiden Park. Di mata lawan politik, Anggota Dewan Yoon terkenal licik, ia kerap menjatuhkan lawan tanpa mengotori tangannya sendiri. Namun, saya bisa melihat sisi lain Anggota Dewan Yoon yang tampaknya juga dilihat oleh Presiden Park. Saat wacana Rancangan Undang-Undang diskriminasi menguat kembali, secara pribadi Anggota Dewan Yoon mendukung langkah Presiden Park untuk membahas RUU tersebut. Blue House menilai upaya Anggota Dewan Yoon tersebut dilatari niat untuk menjatuhkan Presiden Park karena mereka tahu tindakan Presiden Park akan berimbas pada menurunnya dukungan dari publik, publik menentang keras upaya-upaya melegalkan pernikahan sejenis—salah satu isi RUU Diskriminasi. Saya pun sempat sependapat dengan Blue House. Belakangan ketika terungkap bahwa Anggota Dewan Yoon melakukan itu demi anaknya... rasanya seperti ada sodokan keras di dada saya.
Selama ini, ketika mendengar kata oposisi, yang terpampang di benak kita adalah pihak-pihak yang selalu bertentangan dengan pemerintah—apapun yang dilakukan pemerintah selalu dikritik dengan berbagai macam dalih. Oposisi adalah musuh pemerintah. Begitu. Nyatanya tidak selalu seperti itu. Bagi Park Moo Jin, oposisi adalah partner pemerintah. Mereka pun berhak didengar suaranya. Jika sejak awal saja kita sudah memosisikan oposisi sebagai musuh pemerintah, terang saja di benak kita yang tergambar tentang oposis; pihak yang bernafsu menjatuhkan pemerintah. Padahal bisa saja pendapat mereka justru berguna. Sebagai politikus Anggoda Dewan Yoon masih memegang teguh prinsip-prinsip politiknya. Sepengamatan saya pemimpin Partai Opisisi ini memiliki visi misi yang jelas dan terarah. Ia juga memiliki mimpi-mimpi cemerlang untuk negerinya.
Lihatlah ketulusannya mendoakan kelancaran operasi Presiden Park yang terkena tembakan dari orang tak dikenal. Ia menghargai Presiden Park seperti halnya yang dilakukan mendiang Presiden Yang—dua orang ini bisa melihat nilai pada diri Presiden Park. Orang yang tidak bisa dibeli, dan tidak bisa dijadikan patung. Presiden Park nggak akan tiba-tiba nongol dan makan di warung pinggir jalan demi pencitraan di musim kampanye—ia orang yang memahami betul hal-hal substansial, nggak suka dicitrakan atau membetuk pencitraan, ia yang akan selalu jadi pembeda di lingkaran politik. Mengapa? Karena keputusan-keputusan Presiden Park tidak berangkat dari kalkulasi untung-rugi bagi pihaknya. Ia melihat gambar masalah secara utuh lalu mengambil keputusan, kadangkala keputusan itu tidak menguntungkan imejnya. Itulah mengapa keputusannya acapkali bertentangan dengan staf-stafnya di Blue House.
Sikap hangat yang ditunjukkan Yoon Chan Kyung terhadap Park Moo Jin tak terlepas dari sikap terbuka Park Moo Jin—ia tak sungkan mengundang pemimpin partai oposisi untuk mendengar dan meminta pendapat terkait urusan negara. Padahal bisa aja kan para pemimpin partai oposisi nusuk Presiden Park Park dari belakang. Sayang-nya Presiden Park orangnya ga gampang suudzon kayak kita...
Keren banget waktu Presiden Park menemui Jenderal Lee Gwan Mook untuk memintanya menumpas tentara-tentara yang mencoba melakukan kudeta. Kalau dpikir pake logika kita, Jenderal Lee ga bakalan mau ngebantuin orang yang udah mempermalukannya dua kali, ga cuma itu, ia bahkan dicopot dari jabatannya dan dijatuhi tahanan kota (moga ga salah inget). Langkah Presiden Park cukup berbahaya sebenarnya. Gimana jadinya coba kalau ternyata Jenderal Lee gabung ke kelompok yang berniat melakukan kudeta? Presiden Park ngambil resiko, ia yakin kalkulasinya mengenai sikap Jenderal Lee tidak keliru. Dan lagi, tindakan Presiden Park menemui Jenderal Lee ngebuktiin kalau dia nggak akan sungkan minta maaf jika memang salah. Presiden Park nggak sombong, biasanya mah orang yang udah di atas suka ngerasa paling benar, ga tau gimana caranya minta maaf ke orang-orang di bawah-nya. Ada yang nangkap ngga sih, ucapan Presiden Park ke Jenderal Lee semacam pesan atau isyarat gitu? Militer Korea Selatan memiliki rekam jejak kelam di masa lalu, salah satu sejarah paling berdarah adalah penguasaan kota Gwangju oleh tentara militer di tahun 80-an, kisahnya pernah diceritakan dalam film A Taxi Driver.
Menangkap latar belakang motif Oh Young Seok, Lee Gyeong Pyo, dan Kim Siljang dalam melakukan aksi mereka, apakah itu bisa menjadi satu bukti bahwa negara telah gagal dalam menjalankan tugasnya melindungi warga negaranya? Sedih mendengar ucapan Han Na Kyung mengenai tiga orang ini, These people here have something in common. They dedicated themselves to Korea in their respective roles, but they were all abandoned.”
Di akhir cerita kita bertanya-tanya siapakah VIP sesungguhnya?
Han Na Kyung membantu kita menyimpulkan.
“... The VIP could refer to anyone who doesn’t want peace in the Korean Peninsula.”
Demikian.
Ending
Saya puas dengan akhir kisah Presiden Park. Meski tidak ditunjukkan, kita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi pada pemilihan berikutnya. Reporter Woo Sin Young meramalkan potensi naiknya Park Moo Jin di pemilihan berikutnya.

Menit-menit drama ini berakhir, kuartet Blue House menemui Park Moo Jin dan sekali lagi meminta kesediaannya mencalonkan diri. Trus pas Kim Nam Wook ngeliat Cha Young Jin dan Soo Jung nongol sempet-sempetnya doi nanya, "Ada sesuatu yang terjadi dengan ntu orang berdua ya?" YA ALLAH PENGEN NIMPUK, KE MANA AJEEEE ELUUUU PAAAAKK. YA PANTESAN ELU KALAAHHHHH HHHHHH BABO.
Saya punya banyak sekali moment haru, lucu dan menggugah dari Designated Survivor, tapi scene satu ini benar-benar menggambarkan bagaimana Presiden Park menghabiskan 60 hari waktunya di Blue House. Ia menyalami satu-satu staf-nya, lalu memberikan penghormatan terakhirnya sebelum meninggalkan Blue House... .
Rate
★★★
4/5
Kita sudah banyak menonton drama bertema politik, dibumbui dengan bermacam-macam konflik. Banyak dari drama itu membuat kita semakin jijik saja dengan panggung politik. Designated Survivor : 60 Days adalah drama politik yang nggak njelimet, storyline dan plot-nya cukup rapi, meski ada beberapa pertanyaan tak terjawab tapi tidak mengurangi pesan penting yang ingin disampaikan kepada viewers.
Saya masih percaya politik adalah barang-barang kotor, lumpur yang kotor. Namun berkat Designated Survivor melalui karakter Park Moo Jin dan staf-stafnya, saya tersadar kembali ada kok orang-orang berintegritas di lingkungan tersebut. Ada. Cuman seringnya yang terekspos adalah mereka yang telah sukses menyerupai warna lumpur kotor itu.
Saya merasakan perasaan berbeda usai menyelesaikan 16 episode drama ini, semacam haru dan harapan membuncah bersamaan. Oya, melalui berisi keluhan dan harapan warga masyarakat Korea Selatan yang ditunjukkan Kim Nam Wook dan Cha Young Jin itu (sepertinya) memang real, fakta sosial yang tengah melanda orang-orang di sana.  
“Politics is an endless human endeavor to find answers to all the pains given by the Almighty.” –Park Moo Jin
Credit saya untuk Kang Dae Han (Kong Jung Hwan), pengawal presiden yang setia sampai akhir. Orang paling dekat presiden yang mengetahui seluruh rahasia presiden. Kang Dae Han memegang teguh aturan pekerjaannya.

Pernah nggak sih ngalamin kejadian di mana tiba-tiba memori atau kenangan di masa lalu hadir kembali hanya karena secara nggak sengaja kita ngedengerin potongan lagu, atau nyium aroma parfum? Semacam saklar penyimpanan di otak kita di-on kan tanpa bisa kita cegah?
Saya sering banget ngalamin yang kayak gini. Biasanya potongan lagu atau aroma parfum itu berkaitan dengan memori masa lalu itu. Misalnya nih, tiap denger lagunya Little Girl-nya Maher Zain, pasti keinget sama mantan calon bapaknya anak-anakㅋㅋㅋ, atau lagu 93 Million Miles-nya Jason Mraz yang ngingetin saya kepada teman blogger yang pernah akrab dulu—dan masih banyak lagi lainnya. Nah, kemarin nih, pas lagi nonton Be Melodramatic episode 09, di salah satu scene-nya muter lagu Perhaps Love sebagai background. Itu loh, ost legendarisnya Princess Hours a.k.a Goong drama MBC yang tayang 2006 silam. DUH, langsung deh ingatan terlempar ke masa lalu. Masa-masa ketika saya duduk mantengin tipi tiap Ahad siang demi melihat Pangeran Shin HAHAHAHA. Kalau nggak salah inget, Goong pertama kali ditayangin di Indosiar di tahun 2007 (semoga ga salah tahun). Pokoknya saya tuh paling inget, nontonnya di rumah Nenek. Soalnya di rumah nggak mungkin bebas nonton ginian. Jadi, setiap Ahad siang saya udah stand by leyeh-leyeh di atas kasur depan tipi.  ㅋㅋㅋㅋ
Gara-gara Perhaps Love nongol di Be Melodramatic, saya jadi kepengen nonton ulang Princess Hours. Nggak pake lama, langsung deh di searching di Google situs yang nyediain link donlot Princess Hours, DAN ALHAMDULILLAH ADA DONG! Hihi. Tanpa babibu cussss donlot 24 episode. Emang terniat banget deh saya.
Ya ampuuuun, setelah sekian tahun berlalu, Princess Hours masih bisa bikin saya cengangas-cengenges persis orang kasmaran. Padahal cuman ngeliatin tingkah polahnya Shin Chae Kyeong sama Lee Shin doang. Nggak peduli mau berapa kali diulang nonton, nggak peduli udah 13 tahun sejak pertama kali dramanya tayang, saya masih tetap terpukau sama kecantikannya Yoon Eun Hye pada saat itu. Cocok banget meranin Chae Kyeong—gadis polos yang periang, ia berubah menjadi gadis yang kesepian, dan insecure setelah masuk ke istana. Outfit yang dipake di drama bagus-bagus semua, perpaduan gaya modern dan tradisional yang tidak melupakan usia Chae Kyeong, warna dan desainnya pas! CANTIK BANGET POKOKNYA MAH. Saya yang rerun di tahun 2019 ini masih aja dibuat jatuh hati sama penampilan Chae Kyeong.
Btw, judul postingan saya kali ini ‘kan throwback ya, jadi nih di tulisan ini saya pengen mengilas balik memori saya tentang drama Korea—mungkin ga semuanya akan ngebahas  drama Korea doang, bakalan merepet ke drama Taiwan juga. Why?  Di masa lalu, saya tak hanya menonton drama Korea saja. :’)
Ok, lets shake up some memories!
Sebagai anak yang dilahirkan ibunya dengan selamat menjelang akhir 80-an, dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di era 90-an, saya masih sempat merasakan hype dunia pertelevisian kita yang banyak diisi tayangan impor dari luar—telenovela, drama laga dari tirai bambu, pelem India dan memasuki awal 2000-an kita pun tidak bisa mengelak dari pukauan drama Korea dan Taiwan. Sebut saja Endless Love, Winter Sonata, At The Dolphin Bay, Twins, and that legendary Meteor Garden HAHAHAHA. Pada saat itu, kehadiran acara-acara televisi dari luar bukan berarti acara lokal nggak bagus, dibandingkan saat ini, sinetron-sinetron yang tayang pada bagus-bagus kok, makjang-nya nggak se-menyebalkan sekarang, masih kerasa masuk akal kok, genre nya juga variatif yang kalau mau dibandingkan, menurut saya nggak kalah lah sama drama Korea. Dengan jumlah episode yang jarang melewati angka 30-an, genre yang variatif, directing yang nggak ngebosenin dan kekuatan akting yang bagus, sinetron punya kita oke-oke juga.
Back to main topic.
Pernah ada masa ketika seluruh keluarga bersatu padu di depan televisi menonton acara televisi yang sama, DAN NANGIS BERJAMAAH! Kapan itu? Ketika Endless Love tayang HAHAHA. Masih inget dong, saya nangis di bawah bantal nontonin Moon Geun Young sesenggukan ngejar-ngejar mobil keluarganya. Sebelum invasi Endless Love masuk ke keluarga, terlebih dahulu ada satu mini seri dari China judulnya Kabut Cinta, dibintangi Leo Ku, Ruby Lin, dan Vicky Zhou.
Banyak sekali kenangan-kenangan dari masa kecil dan remaja saya yang kalau diingat-ingat lagi sekarang bikin saya senyum-seyum, bahkan ketawa lepas sambil geleng-geleng kepala. Dulu, belum banyak rumah di kampung saya memiliki jaringan listrik, hanya satu-dua keluarga, pun televisi, jadi kita masih pake lentera atau lampu yang menggunakan sumbu dari kain sarung dengan wadah bekas botol selai atau kaleng susu. Waktu SD, saya belajarnya pake itu. Habis belajar lampunya dimatiin, trus tidur deh. Minyak tanah mahal untuk ukuran keluarga kami.
Tahun 97, kami akhirnya kena sentuhan listrik. Bagaimana dengan televisi? Belum. Sering banget, saya ngajak adik-adik saya yang masih kecil sembunyi-sembunyi nonton ke rumah tetangga—saya dengan adik perempuan saya yang pertama terpaut tiga tahun, yang cowok terpaut lima tahun, si bungsu belum lahir waktu itu. Nggak selalu mulus sih acara nonton sembunyi-sembunyinya, paling sering dijemput paksa Mamah sambil bawa pentungan ㅋㅋㅋㅋ. Karena seringnya anak-anaknya ngungsi nonton ke rumah orang, Bapak yang nggak tega campur kasihan kali ya, mulai ngumpulin duit dikit-dikit di tengah kondisi keuangan yang sulit, dan sebuah televisi Goldstar abu-abu pun berhasil kebeli. Acara nonton ke rumah tetangga pun terhenti berkat Bapak.
Bapak sayang banget sama anak-anaknya, terlepas dari semua kesalahannya di masa lalu, terlepas dari seluruh kebencian-kebencian yang pernah mengakar kuat di hati saya hingga bertahun-tahun lamanya, kilasan-kilasan masa lalu masa kecil saya tentang Bapak tak melulu menyakitkan. Bapak selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya tanpa kami sadari, bahkan hingga detik ini.
Sebagai anak kampung yang terpisah ribuan mil dari ibukota negara, huru-hara yang menimpa Indonesia jelang akhir 90-an tak pernah benar-benar tiba di kampung kami. Sepotong ingatan saya tentang hari-hari kelam itu hanyalah tayangan televisi yang menampilkan pidato kenegaraan Pak Harto yang mengumumkan pengunduran dirinya, juga aksi kerusuhan besar yang menimpa Jakarta.
Rutinitas kanak-kanak saya tak jauh-jauh dari main dan main bersama teman sebaya. Sepulang sekolah—setelah berhasil memainkan tipuan kecil kepada adik-adik saya supaya mereka nggak ikut—saya biasanya ke rumah teman, main. Atau kalau nggak, kami ke sungai, mandi sampe Ashar menjelang. Pulang ke rumah udah ditungguin Mamah bersama kayu bakar di tangan. Tau nggak kenapa? Karena mangkir tidur siang, sodara-sodara! HAHAHAHA. Ya Allah demi apaaaah, dulu tuh sering banget dikejar-kejar Mamah sambil bawa potongan kayu sambil tereak-tereak berasa suara Mamah bisa kedengeran sampe ke ujung kampung—bandel banget jadi anak ㅋㅋㅋㅋ
Bakda Ashar, anak-anak sekampung belajar ngaji ke rumah Guru ngaji, lepas ngaji maen lagi sampe Magrib, pulang ke rumah—mandi. Malemnya diabisin dengan belajar, jam sembilan udah kudu musti wajib bobok!
Kayaknya nggak sah nih kalau kita enggak ngebahasin drama-drama apa aja yang pernah saya nonton melalui siaran stasiun tivi, jauh sebelum kita mengenal internet dan donlot-donlotan.
All About Eve
Drama bergenre romantis yang ditayangkan stasiun tivi MBC ini dibintangi aktor-aktor muda Korea Selatan kala itu—Jang Dong Gun, Chae Rim, Kim So Yeon, dan Han Jae Suk.
All About Eve tayang perdana di Korea Selatan pada bulan April dan tamat 6 Juli 2000. Drama 20 episode ini mengisahkan kehidupan dua penyiar berita perempuan muda yang sedang mengejar karir. Sun Mi (Chae Rim), dan Young Mi (Kim So Yeon). Andai drama ini tayang di tahun-tahun sekarang, Insyaa Allah saya nggak akan nonton. Alur ceritanya sungguh sangat makjang! HAHAHAHA.
Kehidupan Sun Mi bersama ayahnya yang baik-baik saja mulai terusik sejak kehadiran Young Mi—gadis malang yang ditinggal mati ayahnya akibat sebuah kecelakaan kerja di perusahaan milik ayah Sun Mi. Young Mi tumbuh dalam lingkungan yang keras. Ayahnya adalah seorang alkoholik sejati, ia kerap menganiaya Young Mi. Ayah Sun Mi yang merasa bertanggung jawab atas kematian ayah Young Mi, memberikan dukungannya pada Young Mi. Awalnya, Sun Mi dan Young Mi berteman. Namun seiring berjalannya waktu, Young Mi yang memiliki sifat keras diam-diam menaruh kecemburuan teramat besar pada Sun Mi. Young Mi bukanlah sosok yang rendah hati, hatinya dipenuhi dendam. Ia tidak suka melihat kebahagian Sun Mi. Setelah mencuri perhatian ayahnya, Young Mi juga berhasil merebut sahabat masa kecil dan kekasih Sun Mi, Woo Jin. Seolah tak cukup dengan itu, Young Mi juga berusaha merebut pekerjaan Sun Mi. Saat itu ia dan Sun Mi memang sedang berjuang mengejar mimpi mereka sebagai news anchorwomen populer.
Young Mi ini emang nggak ada puasnya, udah ngerebut Woo Jin, giliran Sun Mi punya pacar baru—Hyung Chul, pengen direbut juga. Yang demi itu, ia ninggalin Woo Jin. Hadeh. Untungnya Hyung Chul nggak kayak Woo Jin yang mudah aja berpaling kepada Young Mi. Hyung Chul yang juga atasan Sun Mi bener-bener sayang sama Sun Mi, godaan Young Mi kagak mempanlah.
Nah puncak konfliknya, mantan pacarnya Young Mi nongol dan ngancem bakal mengekspos masa lalunya Young Mi yang ada hubungannya sama prostitusi. Gak mempan dengan ancaman, si mantan berupaya membunh Young Mi. Sebelum itu terjadi, Woo Jin yang beneran cintanya sama Young Mi mengorbankan dirinya demi melindungi Young Mi. Pada akhirnya, rahasia gelap Young Mi kebongkar juga. Depresi karena kehilangan karir dan Woo Jin, Young Mi melakukan usaha bunuh diri—inget deh ini, dia menghanyutkan diri di danau apa di laut gitu. Tapi gagal karena ia berhasil diselamatkan biarawati. Pas bangun, dia amnesia *facepalm*.
drama makjang berkedok romantis ini pun tamat dengan happy endingnya. Sun Mi dan Young Mi baikan. Hyung Chul melamar Sun Mi di tengah jalan. Tamat.
Ketamvanan Om Jang Dong Gun emang legendaris banget dah sejak jaman dulu. Tante Chea Rim juga bening pisan euy. Gara-gara perannya super duper jahat binti nyebelin, saya sempat benci banget sama Kim So Yeon, makanya kaget nonton dia dia Prosecutor Princess. BEDA BANGET. Taulah ya dulu belom ada internet. Lagian bocah mah mana tau itu cuman peran doang wkwk.
Autumn in My Heart a.k.a Endless Love
Autumn in My Heart tayang pertama kali di stasiun tivi KBS 18 September 2000 hingga 7 November 2000. Drama ini menandai drama empat musim, menyusul Winter Sonata (2002), Summer Scent (2003), dan Spring Waltz (2006).
Gara-gara drama ini, saya terobsesi sama hujan HAHAHAHA. Pengen hujan-hujanan sambil sepedaan kek Moon Geun Young HUAHAHAHA ampoooon. Well yeah, Endless Love adalah another Makjang drama berkedok melodrama. Drama sejuta umat yang bikin penontonnya nangis berdarah-darah sejak episode pertama dan tetap betah sampe ending. Sungguh sebuah rekor! Jangan coba-coba ngaku sebagai kdramalover kalau enggak tau dan nggak pernah nonton Endless Love ㅋㅋㅋ.
Endless Love ini bisa dibilang sebagai trendsetter bayi tertukar di sinetron-sinetron. Iya, jadi drama ini berawal dari dua bayi yang yang lahir di waktu bersamaan  di rumah sakit. Gara-gara si bapak nggak jagain anak sulungnya yang laki-laki, si anak maen-maen ke ruangan tempat adek bayinya dan bayi-bayi lainnya ditidurkan. Jun Suh, si anak cowok itu yang gedenya diperanin oppa tamvan—Song Seung Heon—nggak sengaja ngejatohin papan nama box tempat tidur adeknya dan satu bayi lainnya. Perawat yang ngeliat asal nempelin aja, nggak tau kalau dia salah nempelin nama. Ya iyakali, saya juga kalau ada di posisi si mbak perawatnya nggak akan ngeh kalau itu ketuker. Jadi yang salah siapa dong atas terjadinya tragedi berdarah itu? Jun Suh? Bapaknya yang nggak jagain Jun Suh? Bukan, yang salah SW nimnya. Kenapa tega banget bikin drama se-melo dan sesedih dan setragis ini!!! .
Masa remajanya Jun Suh dan Eun Suh bahagia banget. Jun Suh sayang banget sama adiknya, begitu pula sebaliknya. Namun sebuah kecelakaan yang menimpa Eun Suh meluluhlantakan kebahagian mereka. Eun Suh butuh transfusi darah, dari situ ketahuan dia bukan adik kandung Jun Suh. Ketebak dong alurnya. Eun Suh kembali kepada keluarga kandungnya, dan Shin Ae—anak perempuan yang tertukar dengan Eun Suh—juga kembali kepada keluarganya. Keluarga Jun Suh dan Shin Ae meninggalkan Korea menuju Amerika. Mereka kembali ke Korea setelah dewasa. Balik-balik Jun Suh udah punya tunangan. Namanya Yumi.
Singkat cerita, Jun Suh dan Eun Suh bertemu kembali. Pertemuan itu menumbuhkan kembali benih-benih kasih sayang terlarang di antara mereka. Saat itu, Eun Suh juga sedang didekati anak horang kayah nyebelin temen Jun Suh, Han Tae Suk. Mungkin, takdir tragis Jun Suh dan Eun Suh sudah digariskan sejak kejadian tertukarnya papan nama di rumah sakit semasa mereka kecil dulu. Yang bikin drama ini begitu sedih dan memilukkan adalah keteguhan Jun Suh mencintai Eun Suh, tak peduli seberapa kuat orang-orang di sekitar mereka berupaya memisahkan toh keduanya pada akhirnya tetap dipertemukan, lagi dan lagi. Kalau dipikir-pikir, sad ending adalah jalan-jalan satunya bagi cinta Jun Suh dan Eun Suh. Cinta mereka terlarang, itu jelas sekali. Tidak ada kebahagian untuk mereka jika mereka memaksa tetap bersatu. Nggak bakalan bisa lupa reaksi saya ketika menonton bagian ending dramanya. EPIC. HAHAHAHAHA. Mereka ketemu di surga. Begitu pikir saya.
Kepopuleran dan kesuksesan Endless Love berhasil melejitkan nama Song Hye Kyo, Song Seung Heon, dan Won Bin, tak hanya di negara asal dramanya, tapi hingga ke luar negeri. Endless Love adalah salah satu pionir Korean Wave yang melanda dunia.
Dan demi apapun, akting Moon Geun Young nangis legendaris banget. Oya, pemeran remaja Shin Ae, meninggal di usia muda karena tumor otak di tahun 2007.
Stairway to Heaven   
Stairway to Heaven merupakan drama SBS yang tayang pertama kali 3 Desember 2003, dan berakhir 5 Februari 2004 dengan total jumlah episode 20. Yang paling diingat dari drama ini adalah sorot mata sedihnya Song Ju yang diperankan Kwon Sang Woo. Hayooo ngaku deh pasti pada tergila-gila sama wajah melo-nya si ahjussi kaaaan? ㅋㅋㅋ
Drama kedua dari trilogi Heaven besutan sutradara Lee Jang Soo ini mengisahkan kehidupan Jung Suh yang malang—yeah, another tragic story. Song Ju dan Jung Suh temena sejak kecil. Mereka dekat karena merasa memiliki latarg belakang yang mirip. Song Ju kehilangan ayahnya akibat sebuah kecelakaan mobil, dan Jung Suh ditinggal mati ibunya setelah didiagnosis menderita kanker mata. Drama Korea tuh kalau diceritain udah deket sejak kecil, pasti udah ketebak alurnya akan menuju kemana...
Jung Suh dan Song Ju saling menyukai. Tapi terhalang Yoo Ri, saudara tiri Jung Suh yang juga menyukai Song Ju. Jadi, bapaknya Jung Suh menikahi Tae Mi Ra—seorang aktris yang memiliki dua anak dari pernikahan sebelumnya. Yoo Ri dan Tae Hwa.
Ini melodrama yang makjangnya enggak ketulungan, I’m not kidding. Kronologis konfliknya bikin esmosi jiwa. Song Ju keluar negeri dan kembali ke Korea Selatan tiga tahun kemudian. Jung Suh yang senang mendengar kepulangan Song Ju dengan bahagianya hendak menyambutnya, tapi di tengah jalan Yoo Ri yang nggak suka sengaja menabrakan mobilnya ke Jung Suh. Abi itu dia manipulasi kematian Jung Suh. Dia membawa Jung Suh ke rumah ayah kandungnya, niatnya jelas—nyembunyiin Jung Suh. Yoo Ri berhasil membujuk agar Tae Hwa mau bekerja sama dengannya, Tae Hwa yang selama itu emang suka sama Jung Suh nerima aja, terlebih lagi Jung Suh amnesia. Dianggapnya itu sebagai kesempatan memulai hidup baru. Demi itu, Tae Hwa mengubah namanya dan nama Jung Suh.
Lima tahun kemudian Song Ju yang akan bertunangan dengan Yoo Ri pergi ke taman bermain yang pernah dikunjunginya bersama Jung Suh di masa kecil dulu. Ia ingin mengenang kebersamaan itu sembari berharap agar bisa melihat Jung Suh terakhir kali. Doanya didengar Tuhan, di saat yang sama Jung Suh yang sudah diganti namanya menjadi Kim Ji Soo juga sedang berada di sana. Mereka bertemu. Tapi Jung Suh kan ilang ingatan, nah di situlah Song Ju berjuang mengembalikan ingatannya Jung Suh. Eeeh pas Jung Suh udah inget, kirain udah mau bahagia, Jung Suh sakit. Diagnosanya kanker mata, persis yang menimpa ibunya. Malang nian nasibnya Jung Suh. Noble idiocy ala drakor—Jung Suh minta Tae Hwa membawanya pergi jauh karena Jung Suh nggak tega liat Song Ju sedih—PEMIKIRAN MACAM AAPAAAAH INI HAAAH!
Karena kondisi Jung Suh makin parah, akhirnya Tae Hwa ngasih tau Song Ju kalo Jung Suh-nya sakit. Tae Hwa juga ngebongkar kelakuan bejat adik dan ibunya. Yoo Ri ditangkap pa pulis, sedangkan emaknya masuk rumah sakit jiwa.
YA ALLAH capek kronologis ceritanya.... .  
Singkat cerita, Jung Suh nikah sama Song Ju. Dia sempat cerita ke Tae Hwa pengen liat wajahnya Song Ju untuk terakhir kali. Gara-gara itu, Tae Hwa nggak mikir panjang kali lebar kali tinggi, demi Jung Suh dia bunuh diri supaya bisa donorin matanya buat Jung Suh. Jung Suh pun bisa melihat kembali. Tapi pas tau siapa yang donorin mata untuk dirinya, dia kembali jatuh sakit. Kata dokter kanker matanya udah nyebar ke segala penjuru. And in the end Jung Suh dies. Menghebuskan napas terakhir di pelukannya Song Jo. Suer, saya nggak habis pikir apa yang ada di benak sw-nimnya pas nulis ini. Dari tragedi ke tragedi, seolah tak ada habisnya. DAN SEBENARNYA APA SIH PESAN YANG INGIN DISAMPAIKAN DRAMA INI KE PENONTON? NGGAK ADA HEPI-HEPINYA!! BALIKIN AIR MATA GUEEEEEEEEEEEE BALIKIIIIIN!! Dan kenapa juga dulu saya demen banget drama ini? KENAPAAAAHHHH? Apakah memang sejak dulu bibit-bibit pecandu sendu sudah mengakar kuat di dalam hati sanubari ini? PWUAHAHAHAHA.
Stairway to Heaven sangat populer di Korea. Average ratingnya 38,8 % dan rating endingnya 45,3—hampir seluruh masyarakat Korea Selatan pada nonton. Ngebayangin pada nangis berjamaah nonton endingnya ㅋㅋㅋㅋ
Anw, Kwon Sang Woo ahjussi cakep banget di sini. Matanya itu loooooh aih. Tante Choi Ji Woo juga—spesialis melodrama setelah hits Winter Sonata.
Full House

SALAH SATU DRAMA KOREA TERPOPULER SEPANJANG MASA SELURUH PENJURU DUNIA.
Yang nggak setuju bodo amat ㅋㅋㅋㅋ
Siapa yang nggak inget tingkah polah Han Ji Eun dengan segala keabsurd-annya itu HAHAHAHA. Han Ji Eun, seorang penulis skenario pemula yang berubah jadi babu di rumah sendiri akibat ulah temannya. Ji Eun polos banget anaknya. Pas dikasih tiket liburan keluar negeri sama sahabatnya, dia hepi-hepi aja, nggak ada curiganya sama sekali. Ketika pulang ke rumah, rumah peninggalan mendiang ayahnya sudah dijual sahabatnya ke orang lain. dan orang itu adalah aktor yang sedang populer saat itu—Lee Young Jae. Sebelumnya Ji Eun dan Young Jae sudah pernah bertemu di China ketika Ji Eun pergi liburan itu. Pertemuan yang—em sangat tidak menyenangkan.
Karena satu dan lain hal, Ji Eun dan Young Jae sepakat nikah pura-pura—jika Endless Love adalah pelopor plot anak ketuker, maka Full House adalah pelopor kawin kontrak di sinetron-sinetron pada tahun-tahun berikutnya! Fiuh.
Awalnya mereka berantem mulu. Kata orang tua benci bisa jadi cinta, dan kejadian ini menimpa Young Jae dan Ji Eun. Cuman proses menuju bahagianya ituloh yang bikin esmosi naik turun karena pihak ketiga yang berusaha merusak. Paling suka deh liat Ji Eun-Young Jae berantem. Lucu. Mbak Hye Kyo-nya imut-imut ngegemesin, trus Rain-nya meranin karakter childish. Kadang-kadang pengen noyor palanya saking keselnya.
Iconic banget Ji Eun nyanyi Three Bears. Trus Young Jae-nya demen banget ngebully Ji Eun, manggil Ji Eun ayam, nyuruh bersih-bersih rumah, ngehina bla bla bla.
Hayooo siapa yang mendadak ketawa gara-gara inget halmeoni-nya Young Jae pura-pura sakit trus digendong Ji Eun dan kepalanya kejedot pagar? Hmmmppffttt.
Something Happened in Bali a.k.a Memories in Bali
Memories in Bali adalah satu-satunya drama Korea saat itu yang mengambil sebagian setting-nya di Bali dan Jakarta. Tayang pertama kali di stasiun tivi SBS, drama bergenre romance-melodrama dibintangi aktor-aktor muda saat itu; So Ji Sub, Ha Ji Won, Jo Insung, dan Park Ye Jin.
Drama ber-alur makjang dengan ending ter-kurang ajar. OGAH banget saya rerun.
My Sassy Girl Chun-Hyang
Drama pertama karya Hong Sisters ini tayang pertama kali 3 Januari-1 Maret 2005 di stasiun tivi KBS, mengisahkan perjalanan cinta Chun Hyang dan Mong Ryong yang berliku-liku ngalahin ular tangga. Drama yang memasangkan Han Chae Young dan Jae Hee sebagai pemeran utama ini terinspirasi dari dongeng klasik Korea berjudul Tale of Chunhyang.
Yang saya inget dari drama ini adalah nyebelinnya Mong Ryong—pas SMA childish banget. Trus tarik-ulur hubungannya dengan Chunhyang bikin gregetan.
My Girl
My Girl adalah karya Hong Sisters berikutnya yang berhasil mendulang kepopuleran dengn average rating 24,9 %. Drama SBS ini juga telah menjadi jembatan bagi para pemerannya dalam menyebarkan Korean Wave ke seluruh penjuru dunia. Siapa sih kdramalovers yang nggak kenal  Lee Dong Wook, Lee Jun Ki, dan Lee Da Hae?
Dramanya lucu. Yang paling diingat ya kelakuan absurd-nya Joo Yoo Rin dalam mempertahankan kebohongannya ㅋㅋㅋ. Lee Jun Ki-nya mirip ceweeeeek, rambutnya nggak nahaaaaan tapi GANTENG DONG HAHAHAHA. Kapan lagi coba bisa ngeliat Lee Jun Ki dan Lee Dong Wook maen drama bareng? Second lead syndrom-nya BADAIIIII SEKALEEE.
Wonderful Life
Shin Bi.
Saya paling inget Shin Bi. Si dedek imut yang jadi kesayangan ayah-ibunya.
One night stand  dalam keadaan mabuk mengakibatkan Han Seung Wan (Kim Jae Won) dan Jung Se Jin (Eugene) menikah. Gadis itu hamil. Dan lahirlah Shin Bi. Semula, Se Jin menyembunyikan kehamilannya hingga kelahiran Shin Bi dari Seung Wan. Namun berkat kakak perempuan Se Jin, keluarga Seung Wan mengetahui keadaan Se Jin dan Shin Bi.
Pernikahan Seung Wan dan Se Jin tidak mulus. Mereka kerap bertengkar. Wajar aja sih. Mereka nikahnya bukan karena saling suka, tapi terpaksa. Belum lagi kehadiran orang ketiga yang bikin situasi semakin rumit.
Part melo-nya dimulai ketika Shin Bi didiagnosis menderita leukimia—wah. Sakitnya Shin Bi membuat kedua orang tuanya sadar bahwa ada yang lebih penting ketimbang mempertahankan ego masing-masing. Duh Shin Bi-nya ngangenin banget, mata buletnya... .
Drama bejumlah 16 episode ini tayang pertama kali di MBC 7 Maret-26 April 2005.
Jung Da Bin yang meranin Shin Bi udah gede, dan makin cantik. Mata buletnya masih sama kayak dulu.
Satu-satunya alasan saya pengen rerun Wonderful Life adalah Shin Bi!
Itulah drama-drama Korea selain Princess Hours yang menemani masa kanak-kanak dan remaja saya. Ada sih beberapa drama yang nggak saya ulas di atas, misalnya Winter Sonata Dae Jae Geum, My Love Patzzi, dan Hwang Jin Yi—tak banyak yang bisa saya ingat. Mungkin karena ketika drama-drama tersebut tayang saya tidak rutin menontonnya. Penyebabnya barangkali jam tayangnya di atas jam 10 malam, atau bisa juga karena ini, pernah ada kondisi di mana banyak televisi-televisi kami di kampung tidak bisa mengakses saluran tivi swasta hingga bertahun-tahun kecuali yang menggunakan tivi kabel. Drama-drama yang saya ulas di atas hampir seluruhnya saya nonton di rumah tetangga, atau rumah teman. Dulu, selain Endless Love dan Kabut Cinta, orang-orang di rumah tidak ada yang tertarik menonton drama Korea. Jadi jalan keluarnya ya... melipir ke televisi tetangga dengan kedok, “ngerjain pe-er, Maaaaaaaaaah!”
Oya, ada satu yang paling saya ingat dari My Love Patzzi selain Jang Nara, Kim Rae Won, dan Kim Jae Won-nya... Its gonna be another day with the sunshine... ㅋㅋㅋ
Saya hampir yakin drama dengan alur, plot, dan story-line drama-drama yang saya sebutin di atas udah nggak cocok dengan kondisi sekarang—meskipun plot amnesia dan tarik-ulur hubungan percintaan masih sering kita temui. Genre melodrama yang meminta air mata berliter-liter sebagai tebusannya udah nggak terlalu diminati. Korea Selatan dan drama-dramanya sudah jauh lebih berkembang, variasi genre-nya semakin menarik, menyentuh aspek-aspek kehidupan di berbagai lini. Tetapi, meski demikian drama klasik tetap akan menjadi memori indah di ingatan kita tak peduli se-makjang apa pun ceritanya. Kenapa? Itu karena kenangan yang dibawa drama-drama tersebut tak melulu soal kisah-kisah para tokoh di dalamnya tetapi turut pula mengingatkan kita pada situasi kehidupan kita di tahun-tahun tersebut.
... Ketika stasiun tivi Ikan Terbang menyatukan kita.
Nah, sekian dulu throwback drama  kita, kapan-kapan kita lanjut dengan tema lainnya.
Bye-ing!
Azz