“Even after wounds are healed, he still can’t completely forget the pains. Even though many people have experienced such pains, but very few people can express the feeling.

Drama yang menjadi ajang reuni-an Vic Zhou dan Barbie Hsu setelah demam Meteor Garden—tampaknya ini menjadi alasan utama mengapa saya begitu excited menonton MARS belasan tahun silam. Sebagai penonton Meteor Garden dan pendukung garis keras Lei-Sanchai, saya seneng banget. Drama 21 episode ini disiarkan oleh salah satu stasiun tivi swasta. Usia saya masih belasan waktu itu. Seingat saya, saya masih duduk di bangku sekolah setingkat SMP. Saat itu saya tergila-gila dengan drama Taiwan produksi Comid Ritz ini.

Kecintaan saya terhadap MARS tidak pernah hilang, tidak terhitung sudah berapa kali saya menonton ulang. Saya ingat, saat pertama kali bertemu dengan internet di tahun 2008, yang saya cari pertama kali adalah OST dan informasi drama-drama yang tonton lewat siaran tivi—Winter Sonata, Endless Love, Stairway to Heaven, Sassy Girl, At The Dolphin Bay, Twins… dan masih banyak lagi, dan Mars termasuk di antaranya. Waktu itu saya masih kesulitan mencari link donlot untuk dramanya, aksesnya masih belum leluasa seperti sekarang ini. Oya saya pernah tuh beli dvd nya di lapak mamang yang suka jualin dvd drama di mall. Cuman ya itu, sub Indonya bikin batin saya lelah sebagai penonton wkwk.  Beberapa tahun kemudian barulah saya berhasil mengamankan 21 episode MARS di laptop. Sayangnya, laptop saya rusak, seluruh file hidup saya sejak 2008 ikut terbawa, belum sempat saya selamatkan.

Saya melupakan MARS hingga—kira-kira beberapa hari jelang puasa kemarin, saya terlibat obrolan dengan Mbak Ta di Twitter. Saya tidak ingat bagaimana ceritanya obrolan kami menyentuh topic MARS dan entah mengapa minat saya untuk menonton MARS menguar kembali. Tidak butuh waktu lama, saya menyusuri Google untuk mencari link donlot, ternyata masih ada yang tersedia meskipun kualitas videonya jauh dari HD. Tidak apa-apa, yang penting sub-nya waras saya oke-okeh aja.

Ya. Saya yang semula meneguhkan niat nggak mau nyentuh drama selama puasa, mematahkan sendiri niatnya. Dimulai dengan me-rerun Someday or One Day, disusul MARS.

Sebenarnya, saya sudah menyimpan ingin untuk membuat POV atau semacam review suka-suka MARS di Majimak Sarang, tetapi belum juga bisa saya realisasikan. Rasa-rasanya saya paham mengapa review yang mengambang di kepala saya, terus-terusan berada di sana selama bertahun-tahun—pemahaman saya tentang drama ini belum sempurna.

Saya merasa kali terakhir saya menonton ulang MARS, feeling yang dibawa dan saya rasakan sangat berbeda bila dibandingkan saat saya menontonnya 2-3 tahun silam. Kali ini saya merasa mampu memahami setiap emosi yang dibawa karakternya, terutama tiga karakter utamanya yakni Chen Ling, Han Qi Luo dan Tongtao. Yang cukup mengejutkan saya, drama berkonten berat ini tidak membuat saya mengalami panic attack. Syukurlah.

Storyline



Trigger Warning!!!

Hingga beberapa waktu lalu saat menonton ulang MARS, saya tidak menyadari bahwa drama ini patut diberi label TW dengan huruf KAPITAL dan tanda seru yang banyak mengingat apa yang ia suguhkan jauh dari kesan light. Suici*de, r*ape, bullying. Jika diingat-ingat lagi, apa yang membuat saya begitu terpikat pada MARS adalah bagaimana drama ini menawarkan kepada saya mengenai tuturan sisi gelap emosi manusia. Saya di usia belasan, dalam suasana hati yang gelap, berat, dan sunyi, mudah sekali terpikat pada hal-hal semacam ini. Seolah-olah mereka menjadi pelarian lumbung emosi saya yang mampat. Dengan mempelajari bermacam-macam karakter dan emosi yang dibawa manusia, saya seperti menemukan ketenangan di sana. Apa ya namanya ini? Saya terbiasa mencandu kesedihan dan kerumitan, yang membuat saya berkali-kali gagal membebaskan diri.

Nuansa psikologis nya MARS lumayan kuat.

Menonton ulang MARS, saya menyadari satu hal, bahwa sudut pandang kita terhadap sesuatu, apa saja itu, sangat dipengaruhi oleh kondisi kita di dalam; hati dan pikiran. Inilah yang saya rasakan usai menuntaskan 21 episode MARS untuk yang kesekian kali. Banyak insight dari drama ini yang luput saya sadari ketika menontonnya dulu. Apakah ini menandakan kondisi mental saya sudah sedikit lebih matang menuju tenang? Semoga.

MARS dirilis pada tahun 2004, diangkat dari manga terbitan Jepang tahun 1996-2000 berjudul Best Friends (MARS). Apa yang membuat saya salut, isu-isu yang dibawa MARS, belasan tahun kemudian ternyata telah menjadi isu penting dan mulai ramai dibicarakan orang saat ini tentang mental health. Barangkali, untuk alasan inilah, meskipun sudah 18 tahun berlalu MARS masih sangat relevan untuk dinonton. Dan untuk alasan yang sama pula—selain chemistry badainya Vic-Barbie—saya nggak pernah bosen sama MARS.

MARS menceritakan kehidupan Chen Ling dan Han Qi Luo, dua orang yang berangkat dari garis tragedi hidup yang berbeda. Chen Ling dikenal sebagai sosok troublemaker di kampus yang hobinya selain balapan adalah gonta-ganti cewek. Tak banyak yang tahu Ling mengalami gangguan psikologis yang cukup berat pasca insiden bunuh diri saudara kembarnya, Sheng. Bila terkena trigger, Ling jatuh pingsan dan dalam kondisi gawat bisa terjadi henti jantung. Ling pernah dirawat di rumah sakit jiwa, dengan bantuan dokter ia berhasil keluar dan mencoba menjalani hidup normalnya. Namun nun di dalam dirinya, Ling tidak pernah melepaskan pemikiran bahwa ia tidak seperti orang normal kebanyakan. Bayang-bayang trauma yang ditinggalkan Sheng, fragmen-fragmen masa kecilnya bersama sosok ibunya yang samar dan misterius masih terus memenuhi kepalanya.

Han Qi Luo selalu terlihat berjarak dengan siapa saja, terutama laki-laki. Di kampus ia tak punya teman. Ke mana-mana selalu menunduk, kikuk dengn sorot matanya yang was-was. Ada perasaan tidak aman dan nyaman yang mengikutinya. Qi Luo suka melukis. Selain ibunya, tak ada yang tahu jika Qi Luo pernah menjadi korban kebejatan ayah tirinya saat masih di bangku sekolah.

Nah, apa jadinya bila dua orang ini bertemu? Ling yang berpembawaan semau-gue, dan Qi Luo yang pendiam—dengan luka dan trauma masing-masing yang dibawa masa lalu… Berawal dari menanyakan arah sebuah rumah sakit dan sketsa, hubungan keduanya pun dimulai.

Dulu, saya pernah keliru meromantisasi hubungan Ling-Qi Luo. Cowok bad boy yang ketemu cewek lemah dan akhirnya berubah karena cinta. Aw, how romantic! Wait—kok kayak ada yang salah ya? No. Nggak kayak gitu. Upaya saya meromantisasi membuat saya luput menangkap esensi hubungan Ling-Qi Luo. Semula saya pun sempat menimbang-nimbang apakah drama ini membawa red flag dalam hubungan Ling-Qi Luo, dan setelah menonton lagi, menyimak interksi dan dialog-dialog antara Ling dan Qi Luo, saya berani bilang TIDAK. Saya tidak menemukan konten red flag dalam hubungan mereka. Bahkan label bad boy yang diberikan kepada Ling, ia sebagai ke*amin berjalan kata Da Ye, pun tak bisa serta merta diamini begitu saja.  Ling tidak pernah melakukan tindakan manipulative kepada perempuan. Semua yang terjadi di atas kesepakatan suka sama suka (bukan berarti saya benerin kelakuannya ya). Nyebelinnya Ling, dia tau diri kalo dia cakep, punya pesona dan jadi pujaan ciwi-ciwi. Sigh… Tapi, sekali lagi, menurut saya Ling bukan tipikal cowok brengsek yang ingin saya paketkan ke kutub Utara. Jika saya berada di seberang line pemujanya, saya melihat Ling sebagai pitiful guy. It’s like he lost his soul. His eyes full of the loneliness, and you can see those unbearable sadness there. Saya mengasihaninnya tapi tidak berniat berurusan dengannya HAHA.

Lantas apakah pada akhirnya Ling berubah karena Qi Luo? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ya atau tidak, kalimat penjelas yang mengikutinya kemudian meleset jauh dari kesan meromantisasi a bad boy who meets a good girl. MARS lebih dari sekadar itu. Pada awal 2000-an di mana drama dengan cowo-cowo tsundere masih menjamur, Ling muncul tak biasa.

MARS tidak memberikan pijakan yang paten untuk tokoh-tokohnya, perkara benar atau salah, hitam atau putih tidak melulu menjadi soal karena sepengamatan saya, drama ini banyak menawarkan wilayah abu-abu bagi interpretasi kita sebagai penonton. Mengikuti logika berpikir para tokohnya yang kerapkali terasa intriguing membuat kita melempar balik pertanyaan. Mempertanyakan argumen-argumen mereka. Karena inilah saya bisa merasakan orisinalitas karakter MARS. Mereka manusia-manusia yang berkontemplasi tentang banyak hal, ada pikiran-pikiran yang bertabrakan dan saling gugat-menggunggat. Dan pada akhirnya kita pun dibuat sadar, kita sendirilah yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh pilihan keputusan yang kita ambil terlepas dari besar dan kuatnya arus pengaruh yang datang dari sekeliling. Asal tidak menyerah, asal tidak sempurna kehilangan kesejatian diri sendiri, saya pikir kelak kita akan baik-baik saja. Akhirnya.

Mengenai wilayah abu-abu MARS, misalnya ucapan Ling kepada Qi Luo tentang Tong Dao di episode 12. Qi Luo berpikir kekerasan fisik berat dan berkelanjutan yang dialami Tong Dao telah mengubahnya menjadi sosok mengerikan. Dengan cepat Ling membantah. Menurutnya Tong Dao bukanlah jenis orang yang akan berubah abnormal setelah mengalami hal-hal semacam itu.

“He is born like that. Some people are born pervert. He can’t stand normal folks. So he thinks of some excuses to persuade himself that the reason he has become like that is because he has been badly tortured.”

Apakah yang dikatakan Ling benar adanya? Tanpa insiden pembulian yang membuat jiwa Tong Dao terguncang, Tong Dao sejak lahir memang telah memiliki karakter mengerikan itu? Tidak ada jawaban pasti. Saya rasa kita semua bersepakat bahwa tidak ada manusia yang dilahirkan sebagai monster. Tetapi perlu diingat, bersama kelahiran kita, turut pula mengikut dua poros kuat yang saling berseberangan; jahat dan baik, dan tergantung poros mana yang lebih banyak mendapat asupan makanan dalam perjalanan hidup seseorang  Saya selalu merasa bahwa manusia adalah makhluk yang sulit dibaca dan didefinisikan keutuhannya. Manusia bisa bertindak manipulative melebihi logika umum, saya percaya ini. Manusia bahkan memiliki kemampuan mumpuni untuk menipu dirinya sendiri, dan di saat yang sama ia percaya sedang melakukan hal yang tepat dan benar.

Tidak ada yang pasti mengenai Tong Dao. MARS seperti sengaja memberi kesempatan kepada penonton untuk memutuskan sendiri. Yang pasti, drama ini memberi peringatan yang jelas kepada kita, perundungan baik dalam bentuk fisik dan verbal sangat mengerikan dan berbahaya outputnya, terutama dari sisi korban perundungan.

“Mars, wore shining armor, looks dignified and was unstoppable. He was a dark hero who helped people overcome tragedy.”

MARS adalah tentang tragedy di atas tragedy yang menimpa para tokohnya, serta bagaimana mereka membebaskan diri kerangkeng trauma yang memberati kaki-kaki mereka.

Character

[Ling] It says that a terrifying king will control this world and the world will be ruled by Mars. What kind of world do you think it would be if it was ruled by Mars?

[Qi Luo] It seems that you are more inclined to believe that Mars is evil.

[Ling] It doesn’t matter what I believe in, the world is all messed up anyway. It’ll collapse sooner or later. I also don’t believe the future is going to be that great. So why not just come to a flashy and glorified end, doesn’t sound better?

Dialog di atas terjadi antara Han Qi Luo dan Chen Ling di episode 2. Dialog ini mencerminkan betapa berbeda karakter Qi Luo dan Ling. Yang bisa saya katakan adalah, Ling terdengar terlalu pesimis dan sinis menyikapi hidup di depannya. Ini menjadi semakin jelas melihat seperti apa ia menjalani hidupnya. Ia tidak punya arah. Ada sesuatu sedang mati-matian coba dihindarinya dengan bersikap tak acuh terhadap hidup. Ling seperti berlari di lintasan yang tak berujung.

“… in this world, there are many malicious people and you can’t do anything about them. It doesn’t matter how hard they try to pretend. Their malice will be revealed bit by bit and emit a foul smell.”

Di sisi lain, Qi Luo yang selalu terlihat berhati-hati dengan orang lain, tampaknya memiliki kesan yang tidak biasa terhadap Ling. Ia melihat apa yang tak dilihat orang lain pada sosok Ling. Semoga saya tidak terdengar sedang meromantisasi—berdasarkan pengalaman, manusia cenderung mudah mengenali luka dan duka yang diderita orang lain karena ia pernah atau sedang mengalaminya. Apakah ini akan segera disusul simpati atau empati, ini menjadi soal berikutnya. Kita cepat mengenali wajah kita dengan jelas bila ada cermin di hadapan kita, seperti itulah kira-kira gambarannya. Saya menebak itulah yang terjadi pada Qi Luo dan reaksinya terhadap Ling. Qi Luo menyadari ada sesuatu yang tak biasa pada Ling. Semula, Qi Luo memang tak nyaman dengan Ling. Ia sudah tahu citranya seperti apa di lingkungan kampus. Ia melihat sendiri dari jauh Ling kerap terlihat gonta-ganti pasangan di kampus. Penilaian sepihak itu tak butuh waktu lama untuk tersingkirkan. Citra Ling yang didengarnya dari mulut ke mulut berbeda dengan apa yang ia rasakan saat berinteraksi langsung. Apakah Ling tampil ala bad boy, petantang-petenteng menyebarkan senyum manis penuh pesonanya pada Qi Luo? Nope. Di hadapan Qi Luo, Ling tidak berusaha memberikan impresi yang bagus. Sedari mula ia tidak punya maksud apa-apa pada gadis itu. Ling malah terang-terangan ngaku kalo di mata cewe-cewe dia kayak sebuah brand fashion ternama yang kalo satu cewe dapetin itu bangganya luar biasa. Ling, menghargai dirinya dengan cara yang keliru. Sebuah kekeliruan yang dpilih dengan sengaja, memang. Sebab dari semua hal di dunianya, yang paling ditakuti Ling adalah menghadapi dirinya sendiri.

Dari POV Ling pun tak jauh berbeda reaksinya terhadap Qi Luo. Meski tidak pernah diakui secara terang-terangan oleh Ling, saya percaya Ling sudah tahu sejak awal, Qi Luo dan sorot matanya yang menggunggat itu belum pernah ditemuinya pada gadis lain. Kepada Ling, Qi Luo mempertanyakan hal-hal yang setengah mampus ingin dihindari Ling. Apakah Ling terpaksa menghadapi trauma dan ketakutan-ketakutannya akibat pengaruh Qi Luo yang terjadi secara alamiah seiring kedekatan mereka yang semakin intim? Apa boleh buat. Toh Ling tidak bisa selamanya membelakangi masa lalunya.

Chen Ling


Hati saya terbelah. Saya akui, dulu, sisi maskulin yang memancar kuat dari Ling lah yang membuat saya terpesona. Entah kenapa cowo bad boy itu daya tariknya kuat sekali di mata anak remaja, termasuk saya. Dan butuh waktu lama dan pemahaman yang lebih mendalam lagi bagi saya untuk membaca sosok ini dengan perspektif berbeda.

Sisi maskulinnya Ling tidak ada apa-apanya. Bukan itu yang menjadi daya tarik utama karakter ini. Lalu apa?

Pertama, saya mau bilang karakter Ling ini iconic sekali pada jamannya. Vic Zhou berhasil menghidupkan Ling dengan sempurna. Mikro ekspresinya juga dapet banget. Saya dan temen saya dulu tuh terobsesi sekali sama Ling. Paling inget, kita pernah ngikutin cara minum birnya Ling pake botol air mineral HAHAHAHAHA. Kalo 18-19 tahun lalu udah ada medsos, kayaknya tiap hari ga ada kerjaan lain hanya teriakin Ling di temlen ㅋㅋㅋ

I think Ling is cool. 18 tahun kemudian, saya masih percaya Ling is cool. Karakternya likeable, bukan tipikal hot bad boy yang tsundere yang egosentris, kasar blab la bla. Di mata saya, Ling adalah cowok normal yang kebetulan memiliki rekam jejak masa lalu tak biasa dan menghabiskan beberapa waktunya untuk merumuskan masa depannya kembali.

“Everyone lives alone in this world. I know this. But Ling’s loneliness seems to be lonelier and loneliness.”

Yang saya sukai dari Ling, setelah mengakui perasaannya pada Qi Luo, dia benar-benar berusaha membawa dirinya menjadi lebih baik. Ling tidak malu menunjukkan kelemahannya, ia bukan sosok superior, ketika salah ia tak sungkan meminta maaf. Perlakuannya pada Qi Luo bagus banget. Ia membagi semua hal-hal paling rahasia mengenai kehidupannya. Pada Qi Luo, Ling tidak menyembunyikan apa-apa kecuali ada satu insiden kecil terkait Tong Dao. Character development-nya Chen Ling ini jempolan lah. Ling is not a flawless character and he knows that, that’s why after met Qi Luo, he always trying his best to bring the best version of himself. Yang dalam perjalanannya, Ling mengalami naik-turun emosi yang tidak mudah. Di titik ia mulai memberanikan diri menemui dirinya di masa lalu, di saat ia mulai membuka dinding penghalang yang menyumbat ingatannya pada beberapa kejadian di masa lalu dan menyebabkan keran kenangannya tumpah ruah, Ling tidak melarikan diri.

“I’ve never r*ped anyone, and I’m not a girl. So to be honest, I don’t really know how you feel. But I’m not going to ask you to forget so quickly, because I know it’s not that easy. That talk about forgetting is a bull. But what I want to tell you is… no matter what you do, no matter what happens to you, in my heart you’ll always be the same. You’ll never change. We’ve both started out from tragedies, and then we met. We instantly picked each other out. We have to walk hand in hand. Otherwise, we’ll lose the courage to leave our tragedies.” –Ling

Reaksi Ling usai mengetahui penyebab trauma yang dialami Qi Luo bikin saya makin respek sama karakter fiksi satu ini. Ling nggak langsung menemui Qi Luo, dia ngambil jeda berpikir—bukan untuk keputusan putus dari Qi Luo, tapi ia mencari-cari rumusan kalimat yang tepat, yang tidak akan berpotensi menyakiti gadis itu. Kedewasaannya nya Ling keliatan banget di sini. Dia tulus. No dramatic moment. Dan abis itu Ling buktiin ucapannya ga sekadar lip service belaka, dia bekerja lebih keras lagi untuk satu tujuan; membahagiakan Qi Luo.

Qi Luo once said, “he (Ling) acts crazily, and it’s difficult for people to identify him. But he has such a clean face, I can’t sense any trace of malice in it….”

 

Han Qi Luo


Sepintas, dari perawakan dan gerak-gerik serta bahasa tubuhnya, Han Qi Luo terlihat rapuh, lemah. Hanya dengan mengenalnya lebih dekat, barulah diketahui, sesungguhnya karakter ini memiliki strong point nya sendiri. Sama halnya dengan Ling yang membangun mekanisme pertahanan diri akibat dari trauma yang ditimbulkan oleh tragedy di masa lalu, Qi Luo juga secara sadar-tidak sadar juga melakukan hal yang sama. Tragedi mengerikan yang dialaminya membuatnya mau tidak mau harus berjuang seorang diri melindungi dirinya sendiri. Meski itu tidak memberikannya pilihan kecuali menutup akses siapa pun untuk masuk ke hidupnya. Efek trauma sebagai korban per**saan ayah tirinya terus menerus menghantuinya.

Melukis menjadi satu-satunya katarsis bagi Qi Luo.

Saya mengagumi Qi Luo, dengan seluruh keberanian yang dimilikinya. Strong point-nya Qi Luo lah yang berhasil memberikan dorongan kuat kepada Ling untuk berhenti berlari menghindari mimpi buruknya. Qi Luo membantu Ling menemukan arah yang tepat, lalu di saat yang sama pula ia menjadi lebih berani memeluk dirinya sendiri.

Aktingnya Barbie Hsu jempolan. Bagus banget. Sayangnya project beliau yang pernah saya ikutin cuman MG sama MARS ini doang. Saya dibikin nangis liat akting nangisnya dia di episode 14 sambil ngomong, “Who’ll save me?” setelah dikonfrontasi Ling hingga memantik ingatannya pada tindakan asusila ayah tirinya. Salah satu heartbreaking moment-nya MARS. Juga ketika Ling sedang menghadapi masa kiritis di episode 21—sedih banget nangisnya Qi Luo. Sebuah totalitas yang keren sekali menurut saya. Dia ga takut nangis jelek, malah di mata saya nangisnya cantik ga ada jelek-jeleknya.

“Previously, when you or Sheng cried, I would risk my life to eliminate the sources that made you two cry. When Qi Luo cries, but do you know? I just felt helpless and didn’t know what to do. I’m not kidding. At those time, even I felt like crying.” –Ling

Dan bener. Tiap Qi Luo nangis, Ling kayak orang bingung. Panik ga tau gimana caranya supaya Qi Luo berhenti nangis. .

Qi Luo nih tipe orang yang suka berkontemplasi dengan dirinya sendiri. Tipe pengamat. A deep thinker. Kalo Ling bawaannya sinis terhadap hidup, Qi Luo lebih kalem dan berkepala dingin. Sepertinya mereka yang lebih banyak menelan kesendirian dalam waktunya memiliki pemahaman yang dalam soal banyak hal. Nggak ngasal ngambil keputusan, apa-apa selalu dipikirkan matang, gag rasa-grusu. Qi Luo orang seperti itu. Mungkin ini alasan Ling menemukan kenyamanan padanya.

Selain terobsesi pada cara minumnya Ling, saya dan temen saya pada masanya pernah ngefans berat sama lipstiknya Qi Luo, terpukau sama rambut sun silk nya yang bagus banget itu HAHAHAHA. Barbie Hsu sebagai Qi Luo ayuuuuu sekali. Style nya biasa banget, make up nya minimalis tapi ayuuuuuu. Cakep banget.

Tong Dao  

Satu-satunya karakter di MARS yang sulit saya definisikan.

“The real target Tongdao wants to revenge is the loneliness in his heart.” –Ling

Kapan hidup Tong Dao mulai berjalan ke arah yang salah? Apakah sejak perundungan berat yang dialaminya? Atau jauh sebelum itu?

Saya ngeri sendiri mendalami cara dan logika berpikirnya Tong Dao yang manipulative. Dia seneng bisa ketemu lagi dengan Ling, ia menyangka Ling serupa dirinya. Pada beberapa kesempatan, Ling pernah terguncang dan terseret arus pemikiran Tong Dao, semacam hendak mengamini bahwa ia dan Tong Dao memiliki kemiripan—sama-sama abnormal. Ling bisa memahami dan mengetahui apa yang bernapas di dalam kepala Tong Dao. Jika memakai pemikiran saya di awal mengenai kecenderungan manusia mengenali kesedihan manusia lain karena ia pernah atau sedang mengalami kesedihan yang sama, apakah artinya Ling juga pernah berada di fase yang sedang dihidupi Tong Dao? Jika ya, lantas apa yang membuat Ling memiliki akhir yang berbeda? Rasanya tidak mudah merumuskan jawabannya. Orang-orang di sekitarnya yang membawa pengaruh besar. Dan ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri—Ling tidak pernah benar-benar kehilangan dirinya sendiri. Atau lebih tepatnya, ia tidak sekali pun menyerah atas hidupnya.

Ling, Tong Dao, dan Qi Luo memiliki caranya masing-masing untuk melindungi diri. Ling dan Qi Luo memilih cara yang hampir sama, sedangkan Tong Dao, ia melindungi dirinya dengan menyalahkan dunia. Dan kesepian di dalam hati manusia, pada titik tertentu mampu menciptakan pusaran jelaga yang bisa menelan apa saja termasuk pemiliknya sendiri.

Selain ketiga karakter di atas, ada beberapa karakter yang cukup menonjol kehadirannya. Qing Mei yang pernah jadi saingannya Qi Luo. Da Ye, sahabatnya Ling yang juga pernah naksir Qi Luo. Qing Mei dan Da Ye nih jadi support system-nya Ling-Qi Luo. Bisa punya temen kayak mereka tuh bener-bener anugerah terindah yang dikasih Tuhan.

Terus ada bapaknya Ling yang kemunculannya di beberapa episode jelang akhir menjadi kunci utama proses healing-nya Ling. Ternyata beliau lah yang menjadi silent protector nya Ling dan Sheng sejak kecil. .

Kalo ada karakter yang saya ga suka karena saya nggak bisa menerima tindakan dan keputusan yang diambil, maka itu adalah ibunya Qi Luo. Ibunya Qi Luo ngasih gambaran kenapa banyak korban perkos**n mengalami masa-masa sulit salah satunya karena orang-orang terdekat mereka tidak memberikan apa yang paling mereka butuhkan saat itu.

Saya nggak bisa membenci Tong Dao dan Sachi.

Ending


|Qi Luo :Do you still believe the world is going to end?  | Ling : That’s inevitable. It’s just a question of when. But, we still have to go on. Qi Luo, you have to stay with me.|

Dialog di episode 21 di atas menunjukkan perubahan signifikan pada karakter Ling. Jawabannya udah nggak sinis lagi. Kedengarannya optimis, bahagia, dan bernada harapan.

Meskipun endingnya terkesan diburu-buruin, sepanjang akhirnya bahagia, yowes lah wkwk. Jujur aja saya inget tuh reaksi saya pas Lucky Strike nongol di akhir disusul scene menggambarnya Tong Dao—saya pengen nangis, ga rela MARS kelar bubar. Masih pengen liat kehidupan pernikahannya Ling-Qi Luo. Kirain teh di akhir mereka bakal punya anak kembar HAHAHAHAHA.

Memperhatikan dialog-dialog di drama ini, banyak loh isinya yang menyentil realita sosial tentang hubungan manusia dengan manusia, bagaimana lingkungan memotret dan memperlakukan seseorang, pun sebaliknya. Dialog-dialognya berisi dan masih relate dengan kehidupan saat ini.

 “If you walk in the light, dressed like a good person, acting like a good person, than everyone thinks you are a good person. When the day comes that you accidentally let the truth slip, everyone thinks it was a fluke and jumps to give you another chance.” –Ling

Saya nggak baca komik aslinya jadi saya nggak tau seberapa besar perubahan cerita versi Taiwan ini. Beberapa tahun lalu saya yang baru tau MARS ada rilis doramanya langsung nonton dong. Ya dasar bucin versi Taiwannya kuat banget, saya malah sibuk banding-bandingin. Tentu saja ini jatohnya sangat tidak sopan. .

Tak jadi soal versi mana yang lebih mendekati keaslian komiknya, saya menikmati MARS versi Taiwan dan pesan yang ingin disampaikan drama ini. That’s enough.

Ada satu ucapan Ling yang membuat saya kepikiran sampai lama sekali saat terakhir kali saya menonton ulang. Padahal dulu tuh biasa aja, tapi ga tau kenapa pas terakhir ini impact nya ke saya kuat sekali.

“The idiot… only lived for 17 years and already made a conclusion about life.” –Ling

Ling ngomong begini usai membaca surat terakhir yang ditinggalkan Sheng. Makna ucapan Ling ini dalam sekali. Sarat sesal dan sedih. Menurutnya, Sheng terlalu cepat menyimpulkan soal hidup, baru 17 tahun… dan Sheng memilih menyerah.

Saya berpikir banyak soal hidup saya sendiri (kayaknya saya nggak pernah brenti mikirin idup deh wkwk). Akhir-akhir ini, mendengarkan lagu-lagu berisi lirik yang menyiratkan depresi dan kesepian tidak lagi membuat saya merasakan kesedihan yang misterius. Saya sadar dan tahu persis telah banyak yang berubah dari cara saya memandang diri saya sendiri dan apa-apa yang ada di sekitar saya. Mungkin saya sudah berubah sedikit lebih dewasa dari sebelumnya. Jika pun saya menangis, bukan semata karena saya menangisi kesedihan dan kesepian yang pernah mengikat saya begitu lamanya, saya menangisi kelegaan yang saya rasakan. Saya bersyukur saya tidak pernah benar-benar menyerah. Saya sering ingin menyerah, tetapi saya takut. Saya takut mati membawa kesedihan bersama saya.

…. Kita harus terus berusaha keras untuk hidup bagaimana pun caranya. Sesakit dan sebesar apa pun lubang yang diberikan kepada kita, kita harus terus berusaha untuk tidak menyerah sampai suatu saat kita (akhirnya) mendapatkan jawaban mengapa kita tidak boleh menyerah begitu saja. Kesimpulan soal hidup, serahkan saja pada hidup itu sendiri. Sebab, kesimpulan kita tentang hidup ini mungkin saja bias.

Sebab tidak pernah ada rumusan yang pasti soal hidup. Dan tidak ada yang bisa memberikan kita pelukan paling hangat selain diri kita sendiri. Di saat kita mulai bisa memeluk diri sendiri, di saat itu pula sudut pandang kita terhadap semua hal di depan mata perlahan berubah.

MARS menjadi drama pertama yang memasukan ide bagaimana mengamati manusia dan emosinya ke dalam kepala saya, belasan tahun silam. Tak disangka belasan tahun kemudian, drama ini masih juga berhasil menjadi bagian kontemplasi saya tetapi dengan sudut pandang baru. MARS dibuka dan ditutup dengan sketsa Qi Luo. Skesta di episode 1 berjudul Mother and Son, sketsa di episode 21 dikasih judul Father and Son. Dua-duanya menyiratkan isi dramanya.

MARS mengingatkan, bahwa ternyata saya tidak jalan di tempat, meski prosesnya sulit, rumit, dan melelahkan, saya terus bertumbuh sebagai manusia, juga sebagai diri saya sendiri. Kayaknya saya ga bakal bosen-bosennya nontonin ulang MARS. Kapan-kapan saya akan balik lagi untuk rewatch kalo nemu momennya.

Oya, saya yakin Ling berubah bukan semata-mata hanya karena Qi Luo. Tapi bila dikatakan ada andilnya Qi Luo—jelas. Bersama Qi Luo, Ling menemukan momennya. 

Please take care of yourself.

Tabik,

Azz.

[Review] Taiwan Drama : MARS

by on 4/26/2022 04:19:00 PM
  “Even after wounds are healed, he still can’t completely forget the pains. Even though many people have experienced such pains, but very f...