Paragraf seperti apakah yang cocok untuk membuka postingan ini? Ini bukan semacam first impressions, mengingat saat saya menulis entri baru ini saya sudah menonton 8 episode Our Beloved Summer. Lalu mau saya isi apa dong? Let it flow aja ya? Hehe.

Ketika Our Beloved Summer tayang perdana, keesokan harinya, sebenarnya saya sudah mencoba dua episode pilotnya. Bukan menonton full, tetapi mengintip saja. Dari hasil intipan saya, saya tahu premis drama ini sudah menggoda saya. Namun sayangnya, hingga memasuki pekan ketiga penayangannya, saya belum juga ketemu mood yang bagus untuk benar-benar menikmati Our Beloved Summer, tidak peduli seberapa kencang teriakan fans Our Beloved Summer di temlen twitter. Dramanya saya simpen dulu. Sayang banget kan drama bagus begini jadi korban mood jelek saya?



Melewati pekan keempat penayangan, say berjanji akan memulai OBS begitu urusan pekerjaan berhasil saya kelarkan sebelum akhir pekan. OBS saya masukan ke list tontonan prioritas—The One and Only, Uncle, dan drama ongoing yang belum saya sentuh bisa menunggu. Saya harus memulai OBS sebelum episode 16-17 The Red Sleeves tayang—Iyess, soalnya saya sudah mencium mood nonton yang bakalan ambyar bablas begitu TRS menayangkan episode terakhirnya, yang jadi korban udah pasti drama ongoing-an. Suka gitu deh setiap kali drama kesayangan kelar tayang. .

Usai menyelesaikan 8 episode Our Beloved Summer tanpa jurus skip, akhirnya saya paham mengapa banyak sekali penonton yang dibuat baper sama drama yang tayang di SBS ini. Worth it jadi bahan baper. Ini bukan drama kaleng-kaleng.

Ngobrolin OBS enaknya saya mulai dari mana ya? Nah, bingung lagi kan wkwk. Perlu diingat ya, apa yang saya tulis setelah ini semata hanya menggunakan POV saya sebagai penonton OBS. Pengalaman apa saja yang saya rasakan saat menonton satu demi satu episode yang sudah ditayangkan. Kalo enggak setuju bukan salah saya HAHAHAHA.



Storyline

Kisahnya bermula dari sebuah rekaman acara dokumenter 10 tahun lalu di tahun 2011 yang tiba-tiba memuncaki trending topic, isinya tentang bagaimana interaksi sepasang siswa, peringkat pertama dan terakhir di sebuah SMA. Kook Yeon-su, si peringkat satu, dan Choi Ung, si penutup peringkat. Dari segi karakter aja, dua orang ini udah bertolak belakang bagai bagai kutub Utara dan Selatan yang jauhnya mencapai separuh bagian bumi. Apa yang akan terjadi bila disatuin dalam satu program dokumenter? Banyak berantemnya udah pasti sih ya. Yang satu disiplin, yang satunya lagi banyakan ngantuknya, mana matanya si Ung-ie bentukannya kayak orang yang ngantuk mulu.

10 tahun silam, di tahun 2011, pada syuting terakhir dokumenter tersebut, Ung dan Yeon-su memutuskan berpacaran dan hubungan berlanjut hingga masa-masa kuliah. Lalu tibalah tahun kesedihan Yeon-su dan Ung, 2016. Yeon-su memutuskan Ung sepihak. Pengalaman patah hati itu terus mengikuti Ung, mempengaruhi seluruh bagian dirinya.

Lima tahun kemudian, takdir membawa kembali Yeon-su dan Ung melalui serangkaian pertemuan tak terduga. Seperti deja vu, Yeon-su dan Ung lagi-lagi terlibat dalam pembuatan acara dokumenter. Kali ini, dokumenter itu bertujuan menyandingkan masa10 tahun lalu dua anak muda itu dan masa sekarang. Adakah yang berubah? Sejauh mana pengalaman hidup telah membawa keduanya? Perasaan yang dipaksa mati tiba-tiba itu, masih adakah?

OBS mengejutkan saya dengan... well, semua yang ada pada drama ini mengejutkan saya. Sejauh 8 episode, belum saya temukan satu pun scene yang membuat saya bosan. Saya dibikin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Setiap episodenya mengajak saya membuka selapis demi selapis isi pikiran Yeon-su dan Ung. Saya yang tidak tahu apa-apa dan dipenuhi pikiran yang sifatnya menghakimi (tanpa sadar) di episode pilot, perlahan—benar-benar perlahan mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Yeon-su dan Ung. Saya menyesal sudah sok tahu terhadap Kook Yeon-su. Saya hampir-hampir saya seperti orang kebanyakan di sekitar Yeon-su, yang menganggapnya sebagai sosok menyebalkan dan angkuh.


directing & BGM (Background Music)

Cerita yang sekilas terbaca membosankan nyatanya enggak sama sekali. OBS bisa saja berakhir membosankan, memang, tapi cara drama ini bercerita (bagaimana ia dikemas) membuatnya terasa renyah, fresh, fun, dan perasaan yang disajikan oleh karakter utamanya terlalu blak-blakan sedihnya. Saya berani bilang sentuhan directing dan penempatan background music yang tepat berperan besar dalam membangun mood OBS. Kalo saya bilang sih cara kerjanya mempengaruhi mood penonton tuh magic banget. Saya enggak tau apakah ini tepat apa enggak, directing OBS mengingatkan saya pada MV lagu-lagu indie, juga pada drama-drama tvn sebelum tvn menjadi sebesar sekarang. Periode tvn masih mencari-cari pasar. Tema dan kemasan dramanya unik-unik.

Kerasa banget feel nostalgianya OBS ini. Saya jatuh cinta dengan setiap sudut pengambilan gambarnya. Pernah denger kan soal gambar yang bisa bercerita, OBS kayak gitu. Setiap sudut pengambilan gambar memiliki warna emosinya sendiri, ada napasnya. Ketemu BGM yang tepat, sudahlah. Kelar urusan. Mustahil bagi saya untuk gak suka sama drama ini.


monolog

Satu lagi kekuatan yang dimiliki OBS, yang membuat emosi ceritanya tiba dengan baik di hati penontonnya—monolog tokoh-tokohnya, khususnya Ung dan Yeon-su. Tanpa monolog yang mewakili suara hati terdalam Ung dan Yeon-su, barangkali rasa simpati dan empati yang saya miliki untuk mereka tidak akan sedalam ini, atau bahkan mungkin saja saya masih akan setia menghakimi setiap pilihan atau tidakan Yeon-su. Acapkali monolog Ung dan Yeon-su membuat saya terhenyak, menarik napas panjang, dan bikin sedih. Sometimes, its too realistic.

Saya ikut larut dalam setiap potongan pikiran mereka. Ikut ter potek-potek hatinya. .


realistic character

Bicara tentang kesan pertama pada karakter, Kook Yeon-su lah yang pertama kali menarik perhatian saya. Kook Yeon-su 10 tahun lalu dan Kook Yeon-su 10 tahun kemudian—terlihat perbedaan yang cukup kontras dan apa ya… terlalu realistis. Saya seperti melihat diri saya yang sedang mengkilas balik saya sepuluh tahun lalu. Melihat kembali mimpi dan harapan saya yang sedikitpun tidak mendekati kenyataan sepuluh tahun kemudian. It hurts. But life must go on.

Ya. Saya segera dibuat penasaran dengan backstory kehidupan Yeon-su.

Menonton Our Beloved Summer memberikan kita banyak pilihan untuk berada di sudut pandang mana atau siapa. Ung kah? Yeon-su kah? Atau sudut pandang penonton yang merasa paling tahu dan menganggap segalanya terasa mudah untuk dilakukan?

Pada banyak jalinan hubungan kasih sayang, mencari siapa yang salah atas gagalnya hubungan adalah sesuatu yang mudah dilakukan. Mengapa? Karena satu-satunya yang kita anggap paling bisa diandalkan adalah sudut pandang kita sendiri. Sudut pandang jenis ini sifatnya sangat subyektif, satu arah, seringnya nyasar entah menyasar apa. Yang mampu kita lihat hanya bagian belakang orang yang lain. Rentan sekali terjadinya penyalahgunaan memori atau kenangan.

Sebagai penonton, kita dengan mudahnya segera nyeletuk problem terbesar yang kemudian menyulitkan hubungan What If couple adalah kurangnya komunikasi dua arah, Yeon-su yang kurang membuka diri terhadap Ung, cenderung menyembunyikan bagian dirinya yang kerap kepayahan menjalani hidup atau Ung yang selalunya terima-terima aja Yeon-su memberi jarak kasat padanya. Jika saja Yeon-su mau membuka diri, yakin deh Ung pasti ngerti, Ung nggak akan seperti yang Yeon-su bayangin. Karena Ung baik banget dan serius sayangnya sama Yeon-su.



Apakah masalahnya sesederhana itu? Sebatas kurangnya keterbukaan dan komunikasi?

Coba deh pake pov-nya Yeon-su. Lihat dari mana ia berasal. Susuri kembali bagaimana ia berproses. Jelaslah kemudian, perkara ini tidak sederhana. Yang mengakar kuat pada diri Yeon-su, yang membuatnya selalu berjarak dengan hal-hal di luar dirinya. Yeon-su sangat menyayangi Ung, tapi Yeon-su lebih menyayangi dirinya. Masih ada yang belum selesai di dalam sana.

Ung dan Yeon-su memimpikan masa depan yang nggak muluk-muluk. Tapi sederhana versi Ung berbeda dengan sederhana versi Yeon-su. Hidup Yeon-su sudah keras sejak awal. Untuk bisa survive, ia harus mati-matian menjaga dirinya, menjaga harga dirinya—satu-satunya kemewahan yang ia miliki. Apa yang ditampakkan Yeon-su ke permukaan bukan karena ia ingin seperti itu, ia tampil seperti orang yang tak tersentuh, sombong, selfish bla bla bla... semata-mata ia lakukan untuk melindungi dirinya. Yeon-su tidak punya pilihan. Hari-harinya ibarat medan tempur yang harus selalu ia menangkan, sebab jika tidak maka hidupnya yang akan berakhir. Saya menangis melihat Yeon-su menangis sendirian di kamar mandi sembari membiarkan air keran mengalir. Saya sering seperti itu. Mengunci diri di kamar dan menangis sendirian tanpa suara meski bukan untuk urusan patah hati. Di luar? Tidak ada tempat yang bisa menerima kesedihanmu apa adanya. Begitulah hidup.

Sedangkan Choi Ung? Ung nggak demen menjalani hidup yang ribet dan berat. Simpel banget. Nggak suka riak. Ya... bayangin aja perasaannya Yeon-su denger Ung ngomong enteng banget soal impian masa depannya. Alurnya udah sama, tapi beda jalan. Jalan yang ingin dipilih Ung yang mulus-mulus aja. Sementara Yeon-su, dia nggak ada pilihan lain. Satu-satunya jalan yang ia miliki adalah jalanan rusak penuh lubang sana-sini, yang bikin kendaraan terantuk-antuk, oleng kanan oleng kiri. Meleng dikit ya udah. Ga ada itu santai-santai kayak di pantai.

Saya nggak berani mengomentari pilihan-pilihan hidup Yeon-su dan Ung. Nggak berani juga nyalah-nyalahin Ung atau Yeon-su perihal berakhir hubungan mereka lima tahun lalu. Karena menurut saya masalahnya nggak sesimpel cuman kurang komunkasi aja. Tapiiii, jika Yeon-su dan Ung berani membereskan persoalan komunikasi ini, maka di situlah akan menjadi awal mula perbaikan hubungan mereka. Jika Ung dan Yeon-su mulai melihat satu-sama lain dengan sungguh-sungguh. Nggak ada penghakiman. Menghargai setiap perubahan-perubahan dengan tone positif, Yeon-su dan Ung mungkin akan menjadi pasangan dengan hubungan kaasih sayang yang sehat. Masalah terletak di dalam diri masing-masing.

Saya lega syuting dokumenter di tahun 2021 membawa banyak refleksi bagi Yeon-su dan Ung. Keliatan banget Yeon-su dan Ung sudah mulai menemukan satu demi satu masalah yang membuat mereka dekat namun berjarak di masa lalu. Bahwa Ada yang keliru pada bagaimana Ung membentuk imej Yeon-su di mata dan ingatannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka lewati. Pun sebaliknya, bagaimana Yeon-su membaca karakter Ung.

 


Seperti Ung di episode 7 yang menyadari bahwa Yeon-su masih menjadi Yeon-su yang dulu, yang tidak bersedia membagi kesulitan atau kesedihan. Ung keliatan banget kecewanya. Nyes ini hati liat matanya Ung yang sedih, hampir nangis. Padahal dia sudah berharap Yeon-su mau bercerita tentang dirinya. Di sini bukan Ung yang melarikan diri, bukan pilihannya untuk menghindar, melainkan Yeon-su.

Lima tahun setelah putus, Yeon-su dibuat kaget dengan hal-hal baru yang dilihatnya pada sosok Ung, yang terasa asing dan belum pernah dilihatnya selama berpacaran dulu. Pertanyaannya, apakah hal-hal baru tersebut memang baru terbentuk setelah Ung dan dirinya putus, ataukah di masa lalu Yeon-su sudah sedemikan setia-nya pada imej polos bin pabo-nya Ung? Ung yang mager-an, Ung yang—tau sendirilah gimana anaknya wkwk—saking setia­nya, Yeon-su gagal mendeteksi potensi Ung menjadi orang yang bisa ia andalkan. Sesungguhnya jiwa insekyurnya Yeon-su membentuk lubang yang besar sekali, yang sanggup menelan semua harapannya untuk bahagia. The saddest part-nya ini.

Karakter Ung dan Yeon-su nih relatable banget. Manusiawi. Bisa dialami siapa aja. Dan bagaimana setiap orang bereaksi terhadap persoalan-persoalan yang datang kepadanya pun sudah pasti berbeda. Nggak ada rumus pastinya.

Saya tidak tahu apakah di akhir drama ini Ung dan Yeon-su akan kembali bersama atau tidak. Tetapi sepertinya saya bisa memastikan posisi saya sebagai penonton, bahwa saya termasuk golongan penonton yang tidak akan terlalu kecewa bila nantinya Yeon-su dan Ung memilih berpisah. Karena seiring berjalannya cerita saya mendukung perkembangan dua karakter ini. Saya berhadap di episode terakhir Yeon-su bisa menemukan kelegaan, berharap ia mampu mengatasi luka dan perasaan insekyur yang membuatnya tidak berani terbuka pada orang lain. Saya ingin sekali memeluk Yeon-su. Mengatakan padanya bahwa ia sudah bekerja dengan sangat keras, bahwa ada saatnya ia boleh memilih mengambil jeda dan boleh tidak bersikap terlalu keras pada dirinya sendiri. Bahwa ia boleh memilih untuk tidak berlari sepanjang hidupnya… Tidak apa-apa… Yeon-su ya… Saya benar-benar ingin memeluk Yeon-su.

Dan Ung.... kalo memang Ung masih sayang banget sama Yeon-su, Ung harus mulai membaca Yeon-su bukan dari perspektif orang yang jadi korban patah hati. Sepanjang episode 1-8, saya belum menemukan scene atau monolog di mana Ung mengetahui bagaimana Yeon-su menjalani hidupnya. Bagaimana Ung memvisualisasikan sifat-sifat Yeon-su masih berdasarkan efek sebab-akibat perasaan yang berpusat pada diri Ung sendiri. Ada satu sih scene yang menunjukkan Ung tidak se-bodo amat sama hidup, sewaktu ia dan Yeon-su membahas masa depan, trus Yeon-su pamit ke kamar kecil lalu Ung merenung sejenak, mengambil alih laptop Yeon-su dan mulai mengetik cara dapetin pekerjaan atau duit melalui menggambar di kolom pencarian.

Dalam hal ini saya berada di pihak Yeon-su. Asal Yeon-su bahagia.



Putusnya hubungan Yeon-su dan Ung telah membawa banyak perubahan pada hidup mereka. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan sama-sama ga baik-baik aja. Ung misalnya, dia yang dulu menyukai menggambar sebatas hobi, awal putus, hobi menggambarnya menjadi penolongnya, semacam katarsis nggak sih jadinya?

Kalo Yeon-su... yang berubah dari Yeon-su... Yeon-su semakin keras pada dirinya. Sedih sekali. 

Ada beberapa pertanyaan yang saya tunggu jawabannya di part dua Our Beloved Summer. Antara lain, perkembangan karakter Ji-ung. Saya ingin melihat perkembangan karakter ini tidak hanya sekadar observer, saya penasaran dengan ucapan sunbae ke Ji-ung soal mengapa ia memilih Ji-ung sebagai orang yang bertanggung jawab mengasuh program dokumenter itu.

Lalu bagaimana progress hubungan Yeon-su dan Ung. Bukan soal mereka baikan atau enggak, saya ingin melihat bagaimana drama ini memanfaatkan peluang rujuk Yeon-su dan Ung untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan dari utang masa lalu. Kalo baikan tapi tetap nggak ada perkembangan pada masalah utama ya gimana ya. Hehe.

Paruh kedua Our Beloved Summer menjadi momen penting apakah drama ini masih bisa mempertahankan konsistensi alur, konflik dan ceritanya seperti di paruh pertama yang sudah bagus sekali penceritaan dan perkembangan karakternya.

Soal happy ending atau enggak, saya hanya ingin Ung, Yeon-su dan Ji-ung bahagia dan persahabatan mereka semakin kuat. Saya ingin mereka lebih mengenal dan mencintai diri mereka sendiri Itu saja dulu.

Sebuah closure yang menyenangkan untuk 10 tahun mereka yang sudah tertinggal di belakang.



Tabik,

Azz


[Trivia] Our Beloved Summer

by on 12/31/2021 02:47:00 PM
  Paragraf seperti apakah yang cocok untuk membuka postingan ini? Ini bukan semacam first impressions, mengingat saat saya menulis entri bar...


Ga direncanain dari awal kalo mau ngikutin The Red Sleeve. Saya mutusin nonton setelah melihat reaksi orang-orang yang nonton episode pilotnya, pada bilang bagus. Hayuklah. Meskipun bukan fans genre sageuk, tapi kalo ketemu drama sageuk yang cocok pastilah dinonton. Nah The Red Sleeve ini baru nonton dua episode pilotnya aja udah bisa bikin saya jatuh suka. Ga ada alasan untuk saya ngelewatin drama yang mendapuk Lee Se Young dan Lee Junho 2PM ini sebagai lead female dan lead male-nya.

The Red Sleeve diangkat dari novel yang ditulis Kang Mi-kang, mengambil setting masa pemerintahan Raja Yeongjo, raja ke 21 Joseon, putera dari Raja Sejong dan Selir Choe Suk Bin (Dongyi, MBC 2010).



Kisah cinta Yisan (Raja Jeongjo) dan Deok-im yang diceritakan di TRS ini adalah kisah nyata yang memang benar-benar pernah terjadi. Tentu saja nggak plek ketimplek persis kejadian di drama. TRS nih semacam kisah nyata yang di-fiksi-kan. Sejarah mencatat Yisan dan Deok-im memang merupakan teman masa kecil yang kemudian saling jatuh cinta lalu setelah perjuangan panjang, Yisan dan Deok-im menikah. Nasib Deok-im tidak sepanjang Yisan. Tak lama setelah puteranya meninggal, Deok-im pun menyusul. Oya, Yisan dan Deok-im dikaruniai tiga anak dan nggak ada yang berumur panjang.

Setelah penayangan episode 9-10, disusul rilis preview episode 11, saya menjumpai sejumlah komentar berisi ketidakpuasaan terhadap plot cerita yang terlihat seperti tidak fokus pada kisah Deok-im dan Yisan. Interaksi Yisan dan Deok-im yang minim tampaknya mengusik penonton yang udah terlanjur baper berat wkwk. Yah, termasuk saya ini, baper terussss aja tiap Jum’at-Sabtu. Saya nggak baca novelnya, jadi saya nggak bisa komentar banyak soal puas-enggak puas dengan 10 episode TRS yang sudah ditayangkan tapi emang sih porsi perkembangan cerita Yisan-Deok-im lumayan dikit. Di Asianwiki sinopsis TRS nyeritain kisah cinta Deok Im-Yisan, tapi di TRS porsi politiknya kental sekali.

Saya baca hanya potongan-potongan kisah Yisan dan Deok-im yang dicatat sejarah. Bahwa Deok-im adalah satu-satunya selir yang dipilih sendiri oleh Yisan, bahwa sepeninggal Deok-im, Yisan mengalami patah hati terkelam dalam hidupnya… Ia meninggalkan sejumlah kata-kata pada nisan Deok-im. Kata-kata yang menyiratkan betapa besar kehilangan yang dirasakannya setelah Deok-im meninggal.


Kiisah cinta Yisan dan Deok-im begitu luar biasa dan dalaaammm.

Yang membuat saya ingin menangis (ya, saya akhirnya memang menangis) setiap kali Yisan dan Deok-im bertemu, melihat bagaimana sorot mata Yisan setiap kali menatap Deok-im, melihat betapa gigihnya ia mengejar Deok-im, dan Deok-im yang gigih pula menampik (Ia dua kali menolak lamaran Yisan)—melihat ini semua, saya seperti bisa melihat spirit kisah Yisan-Deok Im yang dicatat sejarah. Se-powerful itulah yang saya rasakan dari kisah Yisan-Deok Im di TRS ini. Saya nggak sadar berkali-kali membatin, “aih, pantas saja Yisan se-jatuh cinta itu pada Deok Im”, dan hanya dengan melihat interaksi mereka yang tidak banyak tapi membekas kuat itu, bayang-bayang patah hati berskala besar terpampang jelas di depan mata. Semakin besar kasih sayang yang ditunjukkan Yisan pada Deok-im, semakin kuat pula aroma patah hati yang (akan) datang dari jauh itu.



Bagi saya, TRS sejauh ini sudah berhasil menghidupkan nyawa kisah cinta Yisan dan Deok-im. Saya yakin banget ini tidak terlepas dari kekuatan acting dan chemistry Lee Junho dan Lee Se Young—siapa pun yang nge cast mereka dapat kiriman lope-lope yang banyak dari saya. Serius, keren banget! ASLI. Saya jatuh hati dengan dua orang ini. Ga ada satu pun episode yang gagal menampilkan detail acting mereka. Mungkin inilah yang namanya kena sirep akting aktor-aktor keren.

Dari Dongyi ke anaknya, Yeongjo, lalu cucunya, Pangeran Sado yang berakhir tragis, hingga ke cicitnya, Yisan, enggak ada yang mulus jalan hidupnya. Amis darah, pengkhianatan dan pemberontakan di mana-mana

Yisan yang dicatat sebagai salah satu raja yang memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan Joseon pada masa pemerintahannya juga nggak terlepas dari huru-hara. Kalo TRS ngikutin sejarah tar si Hong dan Ratu bakal nusuk Yisan dari belakang kan ya? Sisa 7 episode lagi apa bisa menampung kronologis yang padat itu?

Harusnya di sisa episode yang ada fokus cerita sudah masuk pada pengangkatan Yisan sebagai raja. Kalo sampe minggu depan Yisan belom naik tahta juga… curiga, dua episode terakhir, atau di episode terakhir kisah Yisan-Deok im bakal dipadetin. Au ah.

Yang jelas TRS udah bikin saya jatuh cinta. Pada kisah Deok-im, dan Yisan, pada acting, directing dan sinematografinya, pada gradasi warna, music, desain dan warna kostum—semuanya! Mata, telinga, dan hati dibikin puas sama kualitas drama ini. Jadwal bapernya tiap Jumat-Sabtu.

Semoga plot dan penyelesaian konflik TRS tetap memukau hingga akhir.

Oya, ada satu kesadaran baru yang saya rasakan saat menonton TRS, ternyata kisah sedih atau tragis yang memang sudah jelas-jelas nyata adanya pada satu drama/film atau pun buku, nyatanya akan tetap bisa membuat kita betah nonton bila pengemasannya bagus. Seperti TRS ini, udah tau bakal nyesek di akhir tapi tetep diikutin. Kenapa coba? Karena kisahnya indah! Drama MBC ini dikemas menggunakan tone yang indah, penonton semacam kena mantra, dan dengan berani dan percaya diri membuka tangan lebar-lebar sambil bilang, “SELAMAT DATANG KESEDIHAN. SINI AKU PELUK ERAT.”

Gitu.

Perkara bakal nangis-nangis jelek itu urusan belakangan.



Saya suka sekali liat Deok-im lari-larian, semangat dan bahagianya nyampe ke saya, tapi pas dia lari-larian kenceng banget sampe jatuh bangun di episode 9, saya kebagian sedih dan nangisnya. Berasa banget ketegangan, ketakutan, dan cemasnya Deok-im—Lee Se Young mo akting apa aja total banget. Ekspresi wajahnya itu loh...  

Happy ending The Red Sleeve nantinya (mungkin) bukan jenis happy ending yang kita harapkan.


Tabik,
Azz

P.s : Mbak Mel rekomendasiin drama Yisan, Wind of The Palace (MBC, 2007-2008), pengeeen banget nonton tapi liat total episodenya langsung ciut. Donlotnya di manaaaaa ini.

 

Dor!

Eh kok? Tumben?

 

Kaget nggak?


Ahahaha, iya, biasanya kan isi postingannya ga jauh-jauh dari review drama Korea, Cina atau Jepang, ini kok tiba-tiba review produk? 


Sekali-kali boleh dong saya update informasi-informasi bermanfaat. Dan karena ini judulnya review, tentu saja ini ditulis setelah saya 'berinteraksi' langsung dengan produk yang dimaksud. Nggak dibuat-buat.


Okesip, pada postingan kali ini saya mau me-review paket Scarlett bodycare by Felicya Angelista. Ada tiga produk yaitu Body Scrub, Brightening Shower Scrub dan Fragrance Brightening Body Lotion. 


First Impressions


Paket Scarlett saya tiba di rumah Mamah ketika saya sedang berada di luar pulau. Pas paketnya nyampe, Mamah langsung nge-WA, ngabarin. Hiyaaaa jadi kagak sabaran pengen 'ketemu'. Selang beberapa hari kemudian saya pulang, nggak pake ba-bi-bu langsung deh dibuka paketannya. 


Kesan pertama begitu menggoda. Yah, begitulah laporan akurat  yang terpantau di detik-detik saya membuka satu-satu paket Scarlett Bodycare tersebut. Saya jatuh hati sama aromanya. Enak. Nggak tajem. Wangiii. Maniiis, iya. 


Selain suka nonton drama dan dengerin lagu-lagu melo yang bikin baper, saya suka banget aroma kopi. Padahal saya nggak minum kopi loh. Kalo ke rumah Nenek trus disuruh bikinin kopi sama om, sering saya lama-lamain buka wadah kopinya biar bisa nyium aroma serbuk kopi wkwk. Eh, saya pernah loh membatin apa nggak ada ya yang mau bikin semacam parfum untuk mereka yang demen aroma kopi tapi nggak minum kopi? Ya kan? Biar biasa nyium aroma kopinya tanpa perlu nyangkutin hidung di wadah kopi HAHAHAHA. Begitu tahu Scarlett mengeluarkan varian Coffee untuk Body Scrub dan Brightening Shower Scrub-nya, level penasaran saya naik drastis. Semacam dream comes true, nggak sih? Akhirnya aroma kopi favorit saya bisa saya temukan selain di rumah Nenek! 


Scarlett Body Scrub variant Coffee by Felicya Angelista


Kesan pertamanya udah menggoda banget. Nah, gimana reaksi saya telah pemakaian?

Jujur, saya bukan termasuk orang yang demen pake body scrub. Alasannya simpel, suka nggak nyaman sama teksturnya yang kelewat encer. Nunggu meresapnya lamaaa. Kadang malah udah kecampur sama keringat sendiri. Lah. Gimanalah saya yang gampang keringatan ini.

Scarlett Body Scrub varian Coffee ini beda. Teksturnya padat, butiran scrub-nya nggak kasar ketika dioleskan ke tubuh. Meresapnya juga cepet. 

Cara pemakaian Body Scrub Coffee ini ga ribet, cukup oleskan secara merata ke bagian tubuh yang diinginkan, diamkan 2-3 menit, lalu gosok dan bilas dengan air bersih. Gosoknya perlahan aja ya, jangan kayak lagi gosokin stiker berhadiah. Sambil nunggu meresap, saya nikmatin banget aroma kopinya yang manis dan nenangin itu. 

Setelah pemakaian sekira tiga minggu, udah mulai keliatan hasilnya. FYI, saya punya tipe kulit kering dan kasar apalagi di bagian tangan dan lutut ke bawah. Paling keliatan tuh pas abis mandi. Seneng banget body scrub varian coffee ini ngasih efek yang bagus banget untuk kulit saya. Sebenernya sejak pemakain pertama saya udah ngerasa cocok. Kulit tangan kaki dan lutut kaki saya keliatan sehat, hidup. Gimana ya ngomongnya... Kenyal, lembab tapi nggak yang berminyak. 

Tiga minggu pemakaian saya puas banget. Nggak bo ong!

Body Scrub varian coffee ini mengandung senyawa aktif glutathione dan vitamin E yang mengandung manfaat yang banyak sekali untuk kulit. Beberapa di antaranya adalah membantu mengangkat sel-sel kulit mati, mengembalikan kelembaban kulit hidup, mencerahkan kulit tubuh, melancarkan peredaran darah, rileksasi tubuh (THIS!!), membantu regenerasi kulit setelah eksfoliasi (pengangkatan sel-sel kulit mati) serta meningkatkan kadar hidrasi yang dibutuhkan kulit tubuh. 

Dan saya merasakan semua manfaat yang udah saya tulis di atas. Hepi hepi hepi!


Scarlett Body scrub bisa digunakan dua kali dalam seminggu. Di akhir pekan paling cocok sih. Oiya, yang bikin lega dan tenang produk ini sudah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan nomor NA18210700581. Insya Allah aman dan terjamin halal.

Selain varian Coffee, untuk Scarlett body scrub tersedia juga dua varian lainnya. Ada Romansa dan Pomegrante.

Scarlett Brightening Shower Scrub variant Coffee by Felicya Angelista
 

Udah pake body scrub varian coffee, dilanjutkan dengan pemakaian brightening shower scrub dengan varian yang sama, KOPI!

Ini semacam melanjutkan estafet perawatan kulit tubuh. Menggenapkan 'pekerjaan' yang sudah dilakukan oleh si body scrub, begitulah kira-kira gambaran job desk si shower scrub yang dikemas di dalam botol dengan ukuran 300 mL ini.

Pemakaian brightening shower scrub varian coffee ini ngasih sensasi enak di kulit. Nggak bikin kulit kayak ketarik gitu. Scarlett brightening body scrub digunakan ketika mandi setiap hari. Kandungan bahan aktif Brightening shower scrub variant Coffee sama dengan saudaranya, si body scrub, ditambah butiran-butiran halus dan kolagen.

Scarlett Brightening Shower Scrub memiliki manfaat yang banyak untuk kulit. Selain memaksimalkan pembersihan kulit, mengangkat sel-sel kulit mati, kandungan kolagennya juga mengencangkan kulit dan mengurangi kulit kering dan keriput. Permasalahan kulit yang sering saya alami setelah mandi adalah kulit jari dan telapak tangan saya mengelupas, seperti sisik, bikin nggak nyaman. Suka ngeri sendiri liatnya. Udah ganti produk sabun tetep aja nggak ilang. Daaaan setelah pemakaian tiga minggu produk Scarlett body scrub + brightening shower scrub, Alhamdulillah permasalahan kulit ini teratasi. Akhirnya yaaa. Sayang brightening shower scrub banyak banyak.... Terbukti banget membantu menghaluskan kulit setelah proses eksfoliasi.

Udah gitu, yang bikin saya makin sayang sama brightening shower scrub varian coffee, aroma kopinya masih setia nempel bahkan setelah seharian saya keluar-masuk kelas ngajar, masih bisa kecium wangi kopinya. Saya sebagai fans aroma kopi mengucapkan banyak-banyak terima kasih. 

Cara pemakaian : basahi tubuh, usap sabun ke seluruh bagian tubuh lalu bilas dengan air. 

Kebayang dong, pulang ke rumah dalam keadaan capek setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan, ketemu orang-orang banyak yang bikin kepala pening, teruuusss sebelum mandi pake Scarlett body scrub + brightening shower scrub varian coffee ini, ketemu aroma kopinya yang menenangkan... Ilang dah segala kepenatan yang bikin stres itu.  




Brightening shower scrub terdaftar di BPOM dengan nomor NA18210700426. Produk yang dijamin halal ini memiliki 3 variant selain coffee yaitu Cucumber, Mango, dan Pomegrante. Tinggal pilih kita sukanya varian mana.

Scarlett Fragrance Brightening Body Lotion variant Jolly by Felicya Angelista 


Udah mandi, udah wangi, udah--eits! Tunggu dulu, masih ada satu lagi tahapan body care yang nggak boleh dilewatkan. Body lotion! Selain kulit wajah, kulit tubuh lainnya juga perlu banget dikasih makanan biar nggak 'sakit'.

Saat ini Scarlett sudah merilis 5 variant untuk body lotion-nya. Romansa, Fantasia, Charming, Freshy, dan yang terbaru, si Jolly. 

Perkenalan pertama saya dengan Jolly membekas banget. Wanginya manis kayak permen, nah loh bingung kan? Wanginya Jolly dideskripsikan dengan Floriental Gourmand. Di dunia wangi-wangian a.k.a parfum, gourmand merupakan karakteristik aroma parfum yang menyerupai makanan seperti aroma vanila, cokelat, permen, bunga, dan buah-buahan. YA KAAAAAAAN PANTES AROMANYA BIKIN LAPER /EH/ 

Cinta bangetlah sama aromanya Jolly. Selain ngasih sensasi manis, aromanya nggak menyengat, lembut banget. Tahan lama. 

Saya biasa memakai produk Scarlett fragrance brightening body lotion ini setelah mandi, dan malam hari sebelum tidur. Setelah pemakaian tiga bulan kulit tangan, lengan, dan lutut dan kaki terlihat sehat. Nggak kering lagi, dan tampak jauh lebih cerah. 

Cara pemakaiannya mudah banget. Gunakan secara merata ke seluruh tubuh, tungguh hingga meresap secara menyeluruh. Tekstur-nya kental, jadi saya cukup sekali pencet aja untuk diaplikasikan ke bagian tangan, misalnya. Nggak cuma wanginya yang bikin nyaman, lotion-nya juga nggak lengket. 

Oya, selain mengandung Glutathione dan vitamin E, pada Scarlett fragrance brightening body lotion juga terdapat Niacinamide dan Kojic Acid. Niacinamide memiliki manfaat bagi kulit antara lain meningkatkan ketahanan kulit tubuh dengan membantu pembentukan keratin (sejenis protein) yang menjaga kulit tetap sehat dan kuat. Selain itu, Niacinamide juga merangsang pembentukan lapisan ceramide yang berfungsi sebagai pelindung dan penjaga kelembaban jaringan kulit. 

Sedangkan Kojic Acid atau asam Kojic membantu menghilangkan hiperpigmentasi dan warna kulit tidak merata, serta membantu mencerahkan kulit. Bener-bener paket lengkap deh kandungan bahan aktif yang terdapat dalam Scarlett fragrance brightening body lotion ini, yang manfaatnya terasa sekali di kulit saya. 

***
Saya pernah denger banyak beredar produk palsu Scarlett yang dilakukan orang-orang yang nggak bertanggung jawab. Untuk mengantisipasi produk palsu, kita emang kudu harus jeli memperhatikan tampilan luar produk. Semua produk Scarlett dilengkapi dengan scan nomor BPOM, kita bisa cek ke website-nya langsung. Selain itu, terdapat juga hologram di setiap produk Scarlett yang menandakan keaslian produk. 

Dahlah, biar nggak ragu mending capcuss beli aja ke Official Store Scarlett! Silakan di-klik Scarlett di Shopee  

Harga per produk untuk rangkaian Body Care Rp. 75.000. Alhamdulillah harga terjangkau dan kualitas nggak mengecewakan.

Body Care Scarlett? Saya sih YES ya. Kamu gimana?
Btw, gara-gara body care Scarlett yang cocok, saya jadi kepengen nyoba rangkaian produk Scarlett yang lain. 

Tabik,
Azz

💚💚💚
.
.
.
.
 

Review Scarlett Bodycare

by on 10/16/2021 04:06:00 PM
  Dor! Eh kok? Tumben?   Kaget nggak? Ahahaha, iya, biasanya kan isi postingannya ga jauh-jauh dari review drama Korea, Cina atau Jepang, in...

 ; untuk Nad

My Unfamiliar Family tayang perdana 1 Juni 2020. Iya, ini drama tahun lalu. Kok saya baru nulis POV-nya sekarang? Saya ingat betul, sehabis menonton episode 16 tahun lalu, masih dengan perasaan terharu, saya menulis di IG story bahwa saya akan membuat POV My Unfamiliar Family. Waktu itu saya berpikir drama bagus ini harus ada jejaknya di blog Majimak Sarang. Sayang, banyak hal-hal terjadi di real life yang turut memengaruhi mood menulis saya. Waktu berlalu. Niat pun tinggal niat saja. My Unfamiliar Family hidup di kepala sebatas rencana.

Hingga beberapa bulan kemarin, sehabis DAYS, saya bertanya kepada Nad apakah ia punya rikues drama yang ingin dibuatkan POV di MS? Saya kepengin ngucapin terima kasih ke Nad karena sudah aktif berinteraksi dengan saya di MS sejak perkenalan pertama kami gara-gara DAYS. Ada dua yang disebutkan Nad, Just Between Lovers dan My unfamiliar Family. Tapi hanya boleh memilih satu drama saja. Dan dipilihlah My Unfamiliar Family.

Lagi-lagi, saya terdistraksi oleh banyak hal. Saya belum juga menulis satu pun huruf untuk membuka POV drama yang masuk nominasi Baeksang Award 2020. Dasar ya... Tapi kali ini saya sudah bertekad bulat, postingan My Unfamiliar Family harus tayang di MS. Janji adalah janji, saya sudah menyanggupi.

Bukan hal mudah mengumpulkan mood menulis POV. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya menulis POV drama Korea. Rasa-rasanya seperti memulai dari nol. Kaku. 

Saya suka sekali My Unfamiliar Family. Drama ini membantu saya menyuarakan bunyi yang tidak bisa leluasa saya bagi kepada orang lain, bunyi yang lebih sering memaksa saya meneriakannya pada sunyi di dalam kepala saya. Meski tidak sama persis dengan situasi yang saya alami, tetapi makna yang ingin disampaikan drama ini terasa sangat dekat dan lekat dengan saya. Gambar utuh ceritanya, ruh-nya tidak terasa asing. Main problem yang dihadapi tokoh-tokohnya memiliki nada yang serupa dengan milik saya. 

What is family?

Bagi sebagian orang, menjawab pertanyaan ini tidak pernah terasa mudah. Ia seperti benang kusut yang sulit diurai. 

 

Family. Keluarga. Orang yang paling dekat dengan kita, dengan hubungan pertalian darah yang katanya lebih kental dari air. Keluarga kerap diidentikan orang dengan rumah. Namun, pada satu waktu, seringkali rumah yang diharapkan bisa menjadi tempat pulang yang hangat ini, menyaru tak ubahnya seperti belantara yang setiap bagiannya memberikan kita rupa-rupa rasa sakit yang dalam dan menimbulkan trauma berkepanjangan. Bagi sebagian orang rumah adalah mimpi buruk yang terus menerus meneror ketenangan.

What is family? 

Saya meyakini, bahwa masing-masing kita telah memiliki definisi di kepala tentang apa itu keluarga, dan pengalaman-pengalaman hidup kita sebagai bagian dari keluarga memegang porsi yang sangat besar dalam upaya kita mencerna makna keluarga. 

"I learned something from you. That even if you see your family all the time and you know them well, you still have to put in the effort." -Park Chan Hyuk   

Ya, bagi saya My Unfamiliar Family adalah definisi lain tentang keluarga yang tidak terasa asing pemaknaannya. Drama bertema keluarga ini menuturkan dirinya dengan cara yang tidak biasa, seperti ingin menelanjangi dengan telak konsep keluarga hangat yang sudah sering diceritakan di drama-drama Korea sebelumnya.

Sudut pandang yang dipilih My Unfamiliar Family terlalu blak-blakkan. Tapi tidak apa-apa. Anggap saja ini sebagai wake up call.

Jika di Reply 1988 kita menemukan keharuan dan kehangatan yang dekat dengan konsep 'keluarga adalah rumah yang hangat tempat kita kembali', maka di My Unfamiliar Family kita dibuat babak belur dengan realita yang khas yang entah sadar atau tidak telah tumbuh dan mengakar pada kebanyakan keluarga. Sangat dekat hingga membuat kita larut terbawa emosi para tokoh di drama ini. Setidaknya itulah yang saya rasakan. 

SINOPSIS
 

Semakin bertambah usia seseorang, semakin berkurang waktu yang dihabiskan bersama kelurga. Tersita kesibukan atau hal lain. Ada juga yang memilih hidup terpisah dari keluarganya. Membentuk hubungan-hubungan baru dengan orang-orang di lingkarannya. Dan entah bagaimana, keluarga akhirnya mewujud sosok yang asing dan berjarak. Terlalu banyak cerita yang tersesat, tak terucapkan, lalu mengendap menjadi kemarahan dan kesedihan.

My Unfamiliar Family mengisahkan tentang kehidupan keluarga Kim Sang-sik. Ia memiliki tiga anak. Dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kim Eun-joo, si anak pertama. Kim Eun-hee, anak tengah alias anak kedua. Dan Kim Ji-woo, si anak bontot. 

Keluarga Kim sedang tidak baik-baik saja. Itulah yang coba disampaikan pada pembukaan episode pilot drama ini. Hubungan Kim Sang-sik dan Lee Jin-sook, istrinya sedang bermasalah. Pertengkaran yang disebabkan hal-hal kecil kerap terjadi. Jin-sook mulai muak. Lelah. Selama puluhan tahun ia telah berusaha menjadi istri dan ibu yang baik. Namun yang dirasakannya, Sang-sik tidak menghargai itu. 

Di saat Jin-sook sudah menguatkan niat untuk berpisah, Sang-sik dilaporkan hilang saat melakukan pendakian. Jin-sook dan anak-anaknya diliputi kepanikan. 

Ketika Sang-sik ditemukan, laki-laki itu tidak bisa mengenali keluarganya. Kecelakaan yang dialaminya saat melakukan pendakian membuatnya kehilangan ingatan. Yang tersisa di ingatan Sang-sik adalah kehidupannya di awal usia duapuluhan, saat-saat ia bertemu Jin-sook pertama kali, menikah, lalu dikaruniai anak perempuan pertama mereka, Kim Eun-joo. 

Hilangnya ingatan Sang-sik justru membuka kotak pandora keluarga itu, yang berisi rahasia-rahasia, kekecewaan, kesedihan, kemarahan yang telah terkubur bertahun-tahun. Guncangan demi guncangan menghantam pondasi keluarga Kim Sang-sik yang rapuh. 

Mampukah Kim Sang-sik mempertahankan keutuhan keluarganya?


Menonton My Unfamiliar Family, kita seperti sedang mengupas bawang selapis demi selapis. Sulit sekali menghindari air mata. Mengapa? Karena drama ini menyuguhkan cerita yang nyata, bukan fiksi, tentang kehidupan keluarga dan pusaran konfliknya yang sekali lagi, terasa tidak asing. Tokoh-tokoh yang terlibat di dalam drama ini begitu pas mewakili imej yang hidup dalam potret sebuah keluarga; ayah, ibu, kakak, adik. Pada setiap episodenya kita tak sadar menarik napas panjang, teringat sesuatu. Rasa-rasanya kita akrab dengan emosi-emosi yang dirasakan para tokohnya. Kita mengenalinya.

My Unfamiliar Family membantu kita menyusuri jalan pulang ke rumah yang semakin jauh dan hampir terlupakan. Keluarga. 

CAST & CHARACTER
 

Seingat saya, waktu saya mutusin nonton My Unfamiliar Family, saya enggak baca-baca lebih jauh siapa pemerannya, nggak baca sinopsisnya juga. Saya nonton karena tertarik judul dramanya. Drama besutan sutradara Kwon Young-Il ini memasang nama-nama populer di jejeran cast-nya.

Jung Jin-young sebagai Kim Sang-sik


Sang-sik adalah tipikal family man. Ia bersedia melakukan apa saja demi keluarganya. Namun tindakan dan sikapnya ditanggapi dengan reaksi berbeda oleh istri dan anak-anaknya. Dari sudut pandang saya sebagai penonton, kesan pertama saya terhadap karakter ini tidak terlalu bagus. Sensian, sukanya marah-marah ke istri. Karakter yang terasa familiar dan dekat. Saya sempat merasa tidak nyaman.

Seiring berjalannya episode, saya mendapatkan banyak informasi tentang Sang-sik. Sudut pandangnya sebagai bapak dan suami sedikit banyaknya memengaruhi perubahan penilaian saya terhadap Sang-sik. Tidak terbantahkan lagi betapa ia sangat mencintai keluarganya, dengan segenap hati mengusahakan agar anak-anak dan istrinya mendapatkan kehidupan yang layak. Karena besar cintanya itu, ia keliru mengambil keputusan di masa lalu yang berakibat timbulnya kecurigaan berkepanjangan di hati Jin-sook. Luka dan kesedihan yang semestinya bisa dihindari itu... 

Kehadiran sosok Sang-sik seperti hendak mengamini karakter ayah yang banyak ditemukan di luaran sana. Tidak perlu lagi ditanyain seberapa besar cinta dan kasih sayangnya kepada anak-anak dan istrinya, ia memiliki cinta luar biasa namun gagal menunjukkan itu semua kepada mereka. Ia keliru memilih bahasa cinta. 

Banyak sekali tipe ayah di dunia ini. Tipe ayah saya mirip dengan Sang-sik. Butuh waktu yang lama untuk saya menyadari dan memahami 'bahasa cinta' ayah saya kepada istri dan anak-anaknya. 

Won Mi-kyung sebagai Lee Jin-sook


Salah satu karakter yang paling kuat guncangan emosionalnya. Jin-sook lelah fisik dan mentalnya. Saya berkali-kali ingin berlari ke arah Jin-sook eomma dan memeluknya sekuat yang saya bisa. Demi apapun, sedih sekali.... 

Jin-sook kehilangan 'kehidupannya' di usia muda. Sepanjang hidupnya, ia membaktikan waktunya untuk anak-anak dan suaminya. Hingga di suatu jeda yang menyakitkan, Jin-sook ingin melepaskan diri dari apa-apa yang telah membersamainya berpuluh tahun. Ia ingin berpisah dari Sang-sik. Ia telah tiba di titik paling melelahkan hidupnya; suami yang pemarah dan berjarak serta anak-anak yang semakin jauh. Saya merasa Jin-sook menemukan dirinya tidak lagi dihargai. Ia yang telah menghabiskan hari-harinya demi memastikan suami dan anak-anaknya menjalani hidup dengan baik dan teratur. 

Karena ia 'terbiasa' menjadi dan sebagai ibu, orang-orang lupa bahwa ia juga memiliki hidupnya sendiri bukan sebagai ibu tetapi sebagai seorang perempuan bernama Lee Jin-sook. Orang-orang itu adalah keluarganya sendiri, orang-orang paling dekat dengannya. Suami dan anak-anaknya. 

Saya memahami kemarahan dan kekecewaan Jin-sook.

Saya refleks teringat ibu saya. Ibu saya adalah perempuan terkuat yang pernah saya kenal. Demi anak-anaknya, ibu saya sudah kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Banyak sekali. Kisah Lee Jin-sook membuat saya bertanya-tanya kapan terakhir kali ibu saya merasakan kebahagiaan yang sebenar-benarnya bahagia? Apakah ibu saya pernah benar-benar menikmati bahagia untuk dirinya sendiri? Seberapa dalamkah kesedihan-kesedihan yang ia simpan dalam sendirinya? Ibu yang selalu mendahulukan anak-anaknya sebelum dirinya. Yang memilih meneruskan ikatan keluarga meski berkali-kali dibuat babak belur oleh orang yang seharusnya bisa memberinya rasa aman dan nyaman.  

Mustahil bagi saya tidak menangis melihat Jin-sook.

Pada tatanan keluarga penganut paham patriarki garis keras kelompok ibu-lah yang paling sering menjadi menjadi 'korban'. Ia yang tercerabut dari kehidupannya. Ia dituntut agar mampu 'menghidupi' dan 'dihidupi' oleh apa yang disebut keluarga. Dalam perjalanannya, ia dibuat lupa bahwa sebelum menjadi ibu, ia adalah seorang perempuan yang punya suara. Dan ia berhak didengarkan.

Saya membayangkan berapa banyak sosok Jin-sook di sekitar kita, yang menghabiskan waktunya sepanjang hari di rumah. Memastikan rumah selalu siap sedia menjadi tempat pulang yang nyaman bagi suami dan anak-anaknya setelah seharian berada di luaran sana. Lalu ketika suami dan anak-anaknya membuka pintu, tak ada senyum, tak ada pelukan hangat, hampa. Ada yang membawa pulang amarah, wajah bisu, juga ketidaknyamanan. Tetapi meski demikian, esok dan esoknya lagi ia tetap setia mengusahakan agar rumah selalu menjadi tempat pulang yang aman. 

Lantas siapakah yang akan menyediakan tempat pulang yang nyaman untuk ibu? Pada siapakah ibu bisa membagi ceritanya? Ibu bisa sedih, bisa menangis juga. Sekuat-kuatnya seorang ibu, hatinya yang menampung banyak suka duka itu bisa jebol juga. Siapakah yang akan memberinya pelukan hangat? 

Banyak sekali momen yang menunjukkan betapa lelahnya Lee Jin-sook menjalani kehidupannya sebagai ibu. Ia bukan menyesali statusnya. Yang membuatnya terluka adalah perasaan terabaikan. Itu. Jin-sook telah tiba pada titik kulminasi kesedihannya. 

Sebelum menjadi ibu ia adalah seorang perempuan, seorang manusia.

Choo Ja-hyun sebagai Kim Eun-joo


Dingin, jutek, realistis, blak-blakkan. Omongannya suka nyakitin walaupun sesuai kenyataan.

Sebagai sulung, Eun-joo tumbuh menjadi sosok yang keras dan tegas. Ia adalah perempuan mandiri. Pembawaannya yang dingin membuat orang tua dan adik-adiknya selalu berhati-hati bila berinteraksi dengannya. Alih-alih takut salah omong, saya pikir kehati-hatian itu semata dilatarbelakangi rasa penghargaan yang luar biasa terhadap Eun-joo. Eun-joo sudah berjuang membantu orang tua dan adik-adiknya sejak muda. Sayang sekali di saat yang sama Eun-joo menganggap keluarga ada beban yang membuatnya muak. Penuh kepura-puraan. Itu sudut pandang Eun-joo.

Dunia Eun-joo jungkir balik tatkala rahasia kehidupan suaminya terkuak. Belum lagi masalah-masalah yang susul-menyusul kemudian. Tentang ayahnya, tentang identitas masa lalunya. Eun-joo kesulitan menemukan jeda untuk sekadar menghela napas.

Tetapi ia adalah si sulung yang selalu dituntut agar kuat.

Yang sehari-hari menjalani kehidupannya sebagai sulung rasa-rasanya sedikit banyaknya merasa 'terhubung' dengan karakter Eun-joo. Kalo ada apa-apa, si sulung lah yang pertama kali dicari adek-adeknya. Si sulung yang menjadi penghubung antara adek-adek dan orang tuanya. Si sulung yang kesulitan membuka hubungan yang dekat orang tua dan adik-adiknya.

Eun-joo mengenali seperti apa sifat-sifat orang tua dan adik-adiknya. Ia pintar membaca situasi dan wajah orang-orang karena Eun-joo dalam diamnya telah terlatih menjadi si pengamat yang baik. Eun-joo tahu bagaimana melindungi hatinya. Sayangnya, jatah patah hatinya datang saat ia sedang tidak siap. 

Memangnya siapa sih yang siap menerima patah hati?

Eun-joo orangnya memang blak-blakkan kalo ngomong, kadang saking transparannya omongannya bisa nyakitin hati orang yang dikritiknya. Namun tetap saja ada beberapa hal yang tidak ia suarakan, disimpannya rapat-rapat pertanyaan demi pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang tanpa disadarinya telah menumbuhkan prasangka terhadap orang tuanya.

Memosisikan diri sebagai observer memang tidak selamanya menyenangkan.

Han Ye-ri sebagai Kim Eun-hee


Eun-hee yang dekat ayahnya, dekat dengan ibunya, selalu menempeli kakaknya meski si kakak memberinya sikap tak acuh, juga dengan adiknya, Eun-hee akrab. Kim Eun-hee adalah si anak tengah yang kerap berada di tengah dalam setiap situasi. Ia yang berusaha dua kali lebih keras untuk memastikan semua baik-baik saja. Eun-hee berusaha tidak memihak siapa pun di keluarganya. Si mood maker-nya keluarga.

Meski periang, enerjik dan heboh, Eun-hee memiliki kesedihan dan traumanya sendiri.

Saya nangis mengetahui latar belakang bagaimana Kim Eun-hee yang selalu tampak ceria dan dekat dengan semua anggota keluarganya. Ia takut ditinggalkan sendirian, sebab itulah ia membawa dirinya tumbuh menjadi anak yang baik, tidak menyusahkan orang tuanya. Eun-hee takut dengan perasaan tidak diingatkan. 

Yang tumbuh menjadi anak tengah banyak yang ngerasa relate dengan kisah Eun-joo nih. Jadi keinget Deok-sun juga. Ia dan Eun-joo berbagi kisah yang mirip. Mereka kerap dilupakan secara tidak sengaja semata-mata karena mereka anak tengah. 

Keliatan sekali jiwa insekyur-nya Eun-joo dari gerak-geriknya, dari gestur dan ekspresi wajahnya. Eun-joo selalu ada untuk ayah dan ibunya, untuk kakak dan adiknya. Beruntung Eun-joo memiliki Park Chan-hyeok, sahabat seumur hidupnya.

Konflik asmara Eun-hee lumayan heboh juga.

Shin Jae-ha sebagai Kim Ji-woo


Maknae. Si bungsu. Anak cowok satu-satunya. 

Di mata kakak-kakaknya, si bungsu akan selamanya diperlakukan sebagai si 'anak kecil'. Jelas sekali Ji-woo adalah anak bungsu. Tetapi saya suka bagaimana Eun-joo dan Eun-hee memperlakukan Ji-woo. Saya melihat usaha mereka menyediakan ruang bagi Ji-woo untuk menyampaikan pendapatnya setiap kali ada urusan yang perlu dirundingkan. 

Dengan 'pemikirannya' juga Ji-woo melakukan sesuatu yang menurut kamusnya ia melakukan itu demi meringankan beban orang tuanya. Dinilainya itu sebagai upaya menjadi dewasa yang sesungguhnya. 

Lewat kesalahannya Ji-woo belajar menjadi dewasa. 

Kim Ji-suk sebagai Park Chan-hyeok


Chan-hyeok sudah mengenal dan akrab dengan keluarga Eun-hee. Ia dan Eun-hee bersahabat sejak lama. Chan-hyeok memang orang luar, tetapi ia mampu melihat detail-detail penting dalam keluarga Eun-hee yang luput dikenali gadis itu. Melalui sudut pandang Chan-hyeok-lah, Eun-hee belajar mengenal lebih dekat ayah, ibu, kakak, serta adiknya. 

Chan-hyeok adalah salah satu lead male terbaik yang pernah saya lihat di drama Korea. Karakter cowok yang realiable, caring, and mature. Wise banget deh orangnya. 

Di kepala saya, Kim Ji-suk identik dengan karakter sekenlit yang ngenes, beberapa karakternya annoying. Syukurlah di My Unfamiliar Family saya dibikin jatuh suka sama Park Chan-hyeok. Chan-hyeok best boiiiiii. Bahagianya Eun-hee bertemu orang sebaik Chan-hyeok. 

***
Supporting character lainnya ada Hye-jeong AOA, Shin Dong-wook, Kwon Yool. Sedangkan versi muda Kim Sang-sik dan Lee Jin-sook diperankan oleh Han Joon-woo (Be Melo), dan Jo A-young. Saya suka dengan aktingnya Jo A-young, bagus.

KONFLIK 


The first cut is the deepest.

Pada sebagian orang, mereka mendapatkan luka pertamanya justru dari lingkaran yang paling dekat dengannya: keluarga. Ini kemudian mempengaruhi proses tumbuh kembangnya, khususnya di sisi perkembangan mental. Untuk kasus lebih berat, trauma yang dibentuk dari lingkungan keluraga terkadang malah bisa berimbas pada caranya memandang dunia dan orang-orang di dalamnya. 

Konflik yang diangkat My Unfamiliar Family kurang lebih ingin menunjukkan bahwa dalam kamusnya sendiri, keluarga adalah pihak yang paling besar mengambil porsi pembentukan karakter seseorang. Eun-joo tumbuh dengan perasaan tidak nyaman di tengah-tengah keluarganya. Ia pernah sangat membenci keluarganya sendiri. Sikap sinisnya terhadap keluarganya sangat terasa. Perasaan semacam itu tidak muncul begitu saja, pemicunya berasal dari keluarga itu sendiri. Ini adalah sudut pandang Eun-joo, si sulung yang merasa terasing di keluarganya sendiri. Kehangatan keluarga tidak tiba dengan baik di hati Eun-joo. Berbeda dengan Eun-hee, anak tengah ini leluasa menunjukkan kasih sayangnya kepada orang tua, kakak dan adiknya. Ada sebuah adegan ketika Sang-sik tidak membawa bekal makanan yang sudah disiapkan Jin-sook, Eun-hee membaca gurat kekecewaan di wajah ibunya. Agar ibunya tak bersedih, sebagai gantinya Eun-hee lah yang membawa bekal tersebut. Eun-joo dan Eun-hee adalah tipe observer yang membaca situasi dengan sudut pandang berbeda. Satu kejadian di masa lalu rupanya telah menciptakan dua sisi traumatik yang berbeda bagi Eun-joo dan Eun-hee.

Keluarga inti adalah payung besar yang telah membersamai kita sejak kita lahir. Sedekat apa pun kata ini dengan kehidupan kita, untuk bisa memaknainya dengan benar dan tepat dibutuhkan usaha yang tidak boleh ala kadarnya saja. Kita sering lupa, semakin dekat sebuah hubungan, pola komunikasinya juga harus jelas jika tidak ingin berakhir menjadi orang asing satu sama lain. Dekat di mata jauh di hati. Dekat tapi terasa jauh. 

Di dalam keluarga, prasangka bisa tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Karena kita keliru menganggap kedekatan adalah jaminan bahwa ayah, ibu, kakak atau adik kita adalah yang paling mengenal kita. Perasaan asing terhadap satu sama lain dalam keluarga inti justru muncul akibat kita yang terlalu percaya diri bahasa tubuh kita berhasil dibaca dengan baik. Yang perlu dikatakan harus dikatakan. 

Konflik batin yang akhirnya merambat ke mana-mana di My Unfamiliar Family mulanya berasal dari sikap tidak terbuka para tokohnya. Mengira-ngira, meraba-raba, menebak-nebak. Meyimpulkan berdasarkan apa yang dilihat saja. Begitulah prasangka dilahirkan. Hal-hal yang perlu dibicarakan atau dirundingkan bersama tidak dilakukan karena para tokohnya berpikir menyembunyikannya adalah pilihan tepat untuk menjaga keutuhan keluarga. Fatal, tentu saja. 

Sang-sik, Jin-Sook, dan anak-anaknya bersikap seolah semuanya baik-baik saja, padahal kenyataannya masing-masing menyimpan magma berjalan di dalam hati dan kepala yang siap meledak kapan saja. Tidak sadar mereka sedang mempertahankan kebahagiaan semu. Toxic. Ya. Konflik utama My Unfamiliar Family adalah soal komunikasi yang macet berpuluh tahun lamanya hingga melahirkan prasangka dan kemarahan yang bersifat korosif. Memakan dari dalam. Saya yakin sekali banyak penonton yang merasa dekat dengan konflik di drama ini. Saya termasuk di penonton itu. 

Menurut pengalaman saya, membangun komunikasi yang sehat dalam keluarga adalah salah satu yang tersulit. Tekanan yang dirasakan besar sekali. Terlebih jika sedari awal orang tua sudah keliru memilih pondasi. Butuh kerja keras dari seluruh 'peserta' di keluarga yang bersangkutan. 

Selain konflik utama, konflik lain yang cukup menguras emosi adalah masalah yang terjadi dalam rumah tangga Kim Eun-joo dan suaminya, Yoon Tae-hyeong (Kim Tae-hoon). Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang ini karena menyangkut isu sensitif yang kuatirnya jika saya nekat menguliknya, saya akan di-cap diskriminatif hehe. Yang saya tangkap, maksud penulisnya memasukan sub-konflik ini tidak sepenuhnya keluar dari tema utama tentang keluarga. Yoon Tae-hyeong dan keluarganya adalah bentuk cerita lain mengenai keluarga. Apa yang terjadi pada Yoon Tae-hyeong dan upaya ibunya yang mati-matian menolak fakta tentang keadaan anaknya bukanlah hal baru. Yoon Tae-hyeong ditolak ibunya sendiri karena perbedaan yang ada pada dirinya. Oke. Cukup sampai di sini. Hehe. 

Saya ikut bersedih untuk Kim Eun-joo. Ia yang semula menikahi Tae-hyeong bukan atas dasar cinta, ternyata berakhir mencintai suaminya itu. Yeah, that was one of the most heartbreaking moment in this drama. 

ACTING & CHEMISTRY


Saya pikir perasaan familiar yang dirasakan penonton saat menonton setiap scene di drama ini tidak hanya karena didukung materi cerita kuat tetapi juga kekuatan akting para pemerannya yang mampu menghadirkan nuansa tersebut pada setiap karakter yang dimainkan. 

Dua karakter yang paling menyihir saya adalah Lee Jin-sook dan Kim Eun-joo. Tone suara, penekanan kata demi kata, dan ekspresi yang mendetail dari Won Mi-kyung dan Choo Ja-hyun selalu berhasil membuat saya bersimpati pada mereka. Saya dibikin paham benar apa yang mereka rasakan. Emosi karakternya nyampe ke saya. Saya nggak bilang yang lain gagal ya, tapi emang dua karakter inilah yang paling kuat pengaruhnya ke saya. 

Secara keseluruhan, akting dan kemistri di My Unfamiliar Family bagus dan dapet banget. Semua elemen berpadu sempurna. Awkward-nya anak pertama dan bapaknya, si anak kedua yang supel dan ribut, ibu yang dalam diamnya tertekan dan terluka, juga kisah sabahat jadi cinta antara Eun-hee dan Chan-hyeok yang eksekusinya tidak mengecewakan. Proses peralihan hubungan Eun-hee dan Chan-hyeok realistis sekali. Nggak menye-menye, nggak lebai. Manis.... 

E N D I N G


Drama ini ditutup dengan catatan manis. Setiap karakter mendapatkan closure-nya masing-masing. Orang-orang belajar dari kesalahannya. Perasaan asing di dalam keluarga Kim Sang-sik terurai dengan baik.

Eun-joo sudah mulai membuka diri lagi. pengen liat lebih banyak interaksinya Eun-joo dan Yoo Min-woo (Kwon Yool). Saya senyum-senyum sendiri liat Eun-joo di ep 6, dia dan Min-woo lagi duduk bareng kan, trus Min-woo nya nyerocos curhat. Eun-joo beberapa kali mau pamitan tapi ketahan mulu sama ceritanya Min-woo. Gemessss. Dari situ, saya yakin banget Eun-joo udah mulai membuka diri. Eun-joo dan mantan suaminya juga masih berhubungan baik.

Eun-hee dan Chan-hyeok semakin awet. Eun-hee udah nggak insekyur lagi. Dia membuka usaha penerbitan mandiri.

Sedangkan si bungsu, sedikit demi sedikit sudah menunjukkan kedewasaannya.

Saya suka sekali dengan akhir My Unfamiliar Family. Bukan karena drama ini berakhir bahagia. Tapi eksekusi endingnya yang tidak terkesan buru-buru. Sang-sik dan anak-anaknya akhirnya menyadari sudah sejauh apa mereka 'menyakiti' Jin-sook. Mereka menerima keputusan Jin-sook yang ingin bepergian. Narasi Eun-hee di ep 16 membuat saya terharu, "back then Mom wasn't a mom. She was the 60-year-old Lee Jin-sook who chose her own life just like when she was 22." 

Jin-sook tidak pernah menyesali keputusannya meninggalkan keluarganya saat ia mengandung Eun-joo. 

Selama Jin-sook bepergian, suami dan anak-anaknya tidak lantas mengabaikan rumah. Eun-joo dan adik-adiknya datang bergantian membersihkan rumah, menemani ayah mereka, makan bersama dan lain-lain. Kehangatan kembali mengisi rumah itu, bedanya, kehangatan yang menjalari setiap inci rumah itu datang dari hatihati yang saling memahami bahasa cinta masing-masing. 

Yang membuat mereka bertahan setelah masalah demi masalah yang datang silih berganti bukanlah kewajiban untuk mempertahankan keutuhan keluarga mereka, tetapi cinta. Sebab di penghujung hari yang panjang dan melelahkan, akhirnya mereka menyadari apa yang membuat mereka bertahan selama puluhan tahun meski kerap muncul perasaan asing terhadap satu sama lain adalah kuatnya cinta yang mereka miliki. 

Ini kisah keluarga Kim Sang-sik.

Family is a long journey.  

SCENE FAVORIT


Saya jarang memasukkan ini di POV karena seringnya saya kesulitan memilih di antara banyaknya adegan-adegan di drama yang bersangkutan, yang memberikan kesan mendalam kepada saya.

Hal ini juga terjadi di My Unfamiliar Family. Banyak adegan-adegan yang membuat saya emosional di drama ini. Tetapi jika boleh memilih tiga yang terbaik maka itu adalah, 

- Ketika Eun-joo mengonfrontasi suaminya di sofa. Saya menahan napas saat menonton adegan itu. Luar biasa kerennya akting Choo Ja-hyun dan Kim Tae-hoon. 

- Setelah Eun-joo mengetahui fakta kelahirannya, ia dan Eun-hee terlibat pertengkaran. Momen saat Eun-joo tak kuasa menahan gempuran emosi hingga ia jatuh terduduk, lemas, sesak napas. Nangis parah saya liatnya. Saya tuh paling kasian sama Eun-joo di drama ini. 

- Di episode 1, ketika Eun-hee terpaksa mengikuti meditasi. Ia terbawa ke masa lalu, menemui ibunya dan hal-hal yang semestinya Eun-hee lakukan tapi tidak dilakukannya. Menemui penyesalan-penyesalan. Saya juga punya banyak sekali penyesalan di masa lalu. Hal-hal yang perlu atau tidak semestinya saya lakukan. Adegan ini meninggalkan kesan yang kuat sekali. Lewat adegan ini, saya mendapatkan firasat kalo drama ini bakal menjungkirbalikkan hati saya karena tema yang dibawanya. Keluarga. 

***


My Unfamiliar Family memiliki plot dan konflik yang konsisten dan solid. Perkembangan karakternya juga kuat. Kepadatan emosi yang diurai sedikit demi sedikit dengan detail emosi mencengkeram di My Unfamiliar Family memungkinkan orang-orang yang terbiasa menonton drama dengan pace cepat gagal menikmati drama tvN ini. Terlebih bila kita sebagai penonton sedikitpun tidak memiliki benang merah dengan cerita My Unfamiliar Family, nonton akan berasa membosankan.

Dimulai dari episode perdana hingga episode terakhir, tidak ada satu pun scene yang bisa dianggap tidak penting. Drama ini dibuka dengan atmosfer tidak menyenangkan yang melekat pada karater dan konfliknya, yang membuat kita bertanya-tanya apakah yang sebenarnya sedang terjadi? Di mana letak kesalahan atau siapa yang menyumbang andil paling besar atas kerumitan emosi dalam hubungan di keluarga Kim Sang-sik? 

Sebagai penonton, kita diberi kesempatan mengenali setiap karakter, mencari tahu motif atau maksud dari tindakan yang mereka ambil. Tidak ada karakter sempurna di drama ini. Setiap karakter memiliki kekurangan, dan itulah yang membuat mereka berkembang. Setiap dari mereka memiliki backstory yang melatarbelakangi keputusan-keputusan hidup yang sudah mereka tentukan sendiri. Karakter-karakter yang realistis. Relatable. 

Drama ini mengajarkan saya dua hal penting tentang keluarga. Pertama, adalah kekeliruan besar bila saya berpikir atau menarik kesimpulan sepihak mengenai apa-apa saja yang terjadi di dalam keluarga saya. Saya boleh-boleh saja melakukan itu, saya sangat boleh egois. Tetapi untuk tujuan apa? Untuk membalas kesakitan dan kekecewaan yang saya dapatkan dari keluarga? Apakah cara seperti itu bisa membantu saya melunasi apa yang seharusnya menjadi hak saya sebagai anak? 

Saya pernah berada di posisi Kim Eun-joo. Situasinya bahkan jauh lebih parah. Saya pernah terbiasa membenci kedua orang tua saya, khususnya bapak saya. Kebencian itu sampai di ubun-ubun, jika sedang merasakan tekanan emosi yang luar biasa menyakitkan, saya memilih menulis cerita di mana saya bebas membunuh bapak saya berkali-kali di situ. It was one of the hardest time i've ever felt. Sudut pandang yang saya gunakan saat itu dipengaruhi tabungan emosi yang padat dimulai saat saya masih anak-anak. Ketika usia saya sudah semakin matang, sudut pandang saya terhadap semua hal juga turut meluas. Orang tua saya mungkin gagal masuk kategori yang terbaik, secara tidak langsung konflik di antara mereka-lah yang telah menumbuhkan trauma berkepanjangan yang masih sulit saya tangani hingga detik ini, tetapi bagaimana pun juga toh mereka tetap orang tua saya, kebencian saya tidak akan mengubah apa-apa. 

Setelah saya sudah sedikit lebih dewasa, saya menyadari betapa bapak saya menyayangi anak-anaknya. Ada satu kejadian yang akan terus saya ingat sampai kapan pun. Saat itu saya sedang sakit. Saya nyeletuk ingin makan jeruk yang diambil di hutan. Sore harinya, jeruk-jeruk itu sudah ada di dapur. Dibawa bapak dari hutan. Ya, itulah bapak saya. Ia yang tidak pandai membahasakan kasih sayang nyatanya memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan cintanya pada anak-anaknya. 

Setelah saya sedikit lebih dewasa, saya menyadari kedua orang tua saya tidak serta merta menjadi orang tua yang baik setelah memiliki anak. Mereka bukan berasal dari kemapanan emosi mumpuni. Sebab itulah mereka belajar dan belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik itu. Pun sebagai anak, kita belajar. Menjadi bagian dari keluarga adalah serupa perjalanan panjang yang melelahkan. Sangat melelahkan. Fisik dan mental. Terlalu banyak yang dikorbankan. Memilih menyerah atau tetap meneruskan perjalanan sepenuhnya berada di tangan kita. Sebagai anak, saya pernah babak beluk dihantam pukulan emosi selama bertahun-tahun, meski demikian saya memilih bertahan, belajar sedikit demi sedikit melepaskan kemarahan dan kebencian di dalam hati. Karena akhirnya saya tahu betapa besar kasih sayang orang tua saya kepada anak-anaknya. 

Hal kedua, My Unfamiliar Family mengajarkan kepada saya betapa penting membangun komunikasi dua arah antara anggota keluarga satu dan lainnya. Hidup bersama dalam satu atap tidak menjamin kita bisa saling mengetahui. Yang sering terjadi, semakin dewasa seseorang, semakin jauh jarak yang ia ciptakan dari orang tua dan saudara-saudara kandungnya. Seolah-olah pertambahan usia memberikan kewenangan penuh kepada kita untuk membangun dinding kokoh yang memisahkan kita dengan mereka. Semakin dewasa semakin besar ego, berpikir kita bisa menangani segalanya sendirian. Mampukah kita?

Banyak tipe keluarga di dunia ini, dan setiap orang memiliki situasinya sendiri terhadap keluarganya. I think family is one of the most complicated relationship in this world. Apa pun yang sedang terjadi saat ini, saya mendoakan semoga kita tidak keliru memilih bahasa cinta terhadap orang tua dan kakak-adik kita. 

Seusai menonton My Unfamiliar Family, keinginan memeluk erat ibu saya menguat. Jika bukan karena pengorbanan luar biasa ibu saya, saya tidak yakin apakah saat ini saya masih memiliki potret utuh keluarga di kepala saya.

"Mom and we, spent time by ourselves individually outside of the familiy and searched for ourselves individually outside of the family." -Kim Eun-hee 


Seperti apa efek yang ditimbulkan seusai menamatkan My Unfamiliar Family, saya cukup yakin itu dipengaruhi oleh cerita kehidupan nyata kita tentang keluarga kita masing-masing.

Oya, pemilihan tone warna gambarnya bikin cerah dan adem, sinematografinya juga baguuusss. Style-nya Kwon PD banget ini. Setiap sudut pengambilan scene-nya seperti ikut bercerita. 😘

Pertanyaan terakhir, seberapa dalam kah kita mengenal keluarga kita sendiri? Ibu, bapak, kakak, adik....

Tabik,
Azz 
💚💚💚
.
.
.
.
.
 

[Review] My Unfamiliar Family

by on 10/03/2021 03:41:00 PM
  ; untuk Nad My Unfamiliar Family tayang perdana 1 Juni 2020. Iya, ini drama tahun lalu. Kok saya baru nulis POV-nya sekarang? Saya ingat b...