Starring : Lee Jong Suk, Shin Hye Sun
WARNING : Tulisan di bawah ini mengandung spoiler!
Agustus, 4th 1926
04.00 AM.
Kim Woo Jin dan Yoon Shim Deok melompat dari kapal ferry yang membawa mereka dari Simonoseki (Jepang) menuju Busan. Yoon Shim Deok, penyanyi soprano pertama Korea memutuskan mengakhiri hidupnya bersama kekasihnya, Kim Woo Jin—putra seorang kaya raya di Jeolla-do, yang juga merupakan penulis puisi dan naskah drama.
Dua minggu setelah kematian tragis Yoon Shim Deok, Nito Record Company—perusahaan rekaman di Osaka yang mengontrak penyanyi tersebut—merilis lagu Praise of Death. Yoon Shim Deok merekam lagu tersebut tiga hari sebelum ia meninggalkan Osaka. Tak disangka setelah dirilis, Praise of Death, meledak dan menjadi hits tak hanya di Korea, tetapi juga di Jepang.
Dikutip dari Joongang Daily, kematian sepasang kekasih itu telah menciptakan sensasi di Korea pada masa itu. Banyak pemuda-pemudi Korea yang mengikuti jejak Woo Jin dan Shim Deok. Mengakhiri hidup.
Kim Woo Jin & Yoon Shim Deok
Lirik lagu Praise of Death dianggap mewakili situasi Korea yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Jepang. Pesimisme menyebar dengan cepat di kalangan generasi muda yang dipicu gagalnya Gerakan 3.1 Gerakan 3.1 (3.1, Samil Jeol, 3.1 Jeol), atau dikenal juga dengan sebutan Hari Gerakan 1 Maret/Hari Gerakan Kemerdekaan Samil. Ada juga yang menyebutnya Demonstrasi Manse. Pada tanggal 1 Maret 1919, di Taman Tapgol Seoul terjadi demonstrasi menentang kependudukan Jepang yang dinilai telah melakukan tindakan represif terhadap masyarakat Joseon/Korea. Protes keras tersebut dipelopori 33 mahasiswa berkebangsaan Korea. Ketika itu dibacakan pula Deklarasi Kemerdekaan Korea yang kemudian menjadi titik awal pembentukan Pemerintahan Sementara Republik Korea pada tanggal 13 April 1919.
Mengapa lagu Praise of Death dianggap mampu mewakili suasana hati kalangan muda di Korea pada masa itu? Barangkali agak sulit bagi kita—generasi yang tidak dilahirkan dari rahim masa penjajahan dan perjuangan fisik dan emosional melawan kolonial–untuk memahami ini, namun dari lirik lagu Praise of Death, kita bisa (setidaknya) merasakan betapa begitu pilu, dan depresif lagu ini. Betapa ironi yang mengikutinya demikian menyesakkan.
In this world of tears, will my death end it?
All of you looking for happiness
Finding you is a sad thing
Ketika hari-hari menjelma lautan air mata, mampukah kematian mengakhiri? Apakah hanya itu satu-satunya jalan keluar? Kita tahu, kesedihan bisa menjadi candu. Terkadang, saat segalanya menjadi terasa sangat rumit dan tak terjelaskan—pedihnya, sedihnya, lukanya, air matanya—kita seperti menemukan jawaban pada sepotong lirik lagu, atau pada melodinya yang begitu pas, sepadan dengan apa yang kita rasakan saat itu. Tampaknya itulah yang orang-orang rasakan terhadap Praise of Death hingga membuat lagu ini melejit menjadi lagu populer pada masanya. Lagu yang menjadi curahan hati terakhir Yoon Shim Deok itu menjelma menjadi tangisan tanpa suara orang-orang Korea/Joseon yang tertindas penjajahan Jepang... .
Drama Praise of Death ditayangkan di stasiun tv SBS, disutradarai Park Soo Jin dan naskah skenarionya ditulis oleh Jo Soo Jin. Sebelum dikisahkan kembali dalam sebuah drama 3 episode, Praise of Death pernah diangkat dalam sebuah film berjudul Death Song di tahun 1991. Death Song memenangkan sederet penghargaan bergengsi antara lain Blue Dragon Film Award 1991, dan Grand Bell Awards di tahun 1992 sebagai film terbaik.
Jika Death Song diceritakan melalui sudut pandang Yoon Shim Deok, maka Praise of Death dengan leluasa mengeksplor kehidupan dua tokoh utamanya—Kim Woo Jin dan Yoon Shim Deok. Sebagai penonton, saya mendapatkan gambaran yang cukup detail mengenai situasi kehidupan Woo Jin dan Shim Deok. Meskipun banyak aspek dari drama ini yang berupa fiksi namun tidak mengubah alur fakta bahwa Shim Deok dan Woo Jin bertemu di Jepang, lalu jatuh cinta, dan dimulailah tragedi paling menyentuh dan menyedihkan dalam sejarah kehidupan keduanya; Woo Jin memilih hidup selamanya bersama Shim Deok di kedalaman laut Genkai.
Pada akhirnya....
Storyline
Kisah ini dimulai di Tokyo, tahun 1921.
Kim Woo Jin (Lee Jong Suk) menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa. Sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan bangsanya  melawan penjajahan kolonialisme kala itu, Woo Jin dan teman-temannya diam-diam merencanakan tur teater  di beberapa daerah sekembalinya mereka ke Korea nanti. Woo Jin berpikir akan lebih baik bila drama teater tersebut dilengkapi dengan musik. Mereka butuh penyanyi. Karena di antara mereka tidak ada yang memiliki potensi mengisi posisi tersebut, Hong Nan Pa (Lee Ji Hoon) mengusulkan seseorang untuk membantu mereka. Ialah Yoon Shim Deok (Shin Hye Sun). Sama seperti Kim Woo Jin, Shim Deok juga seorang mahasiswa tapi dari jurusan musik. Semula, Shim Deok tidak bersedia. Mengetahui bahwa pertunjukan tersebut bertujuan mengumpulkan dana perjuangan membuatnya keberatan. Ia datang ke Tokyo karena beasiswa. Ia khawatir keikutsertaannya akan berimbas pada studinya.
Namun, setelah Woo Jin menyindirnya dengan sinis, Shim Deok terprovokasi. Ia serta merta bersedia ikut namun dengan dua syarat; ia hanya akan menyanyi, dan bila terjadi sesuatu selama pertunjukkan ia akan berhenti segera.
Tampaknya kesan pertama dua orang ini terhadap satu sama lain sangat buruk. Shim Deok merasa Woo Jin meremehkannya, sedangkan di mata Woo Jin, Shim Deok adalah sosok egois yang mementingkan hidupnya dan tidak memedulikan situasi negaranya yang sedang kacau saat itu. Um, well... namanya juga baru ketemu. Terlebih mereka berasal dari dua latar belakang yang sangat berbeda. Kesalahpahaman kemungkinan besar bisa terjadi.
Seiring waktu berjalan, Woo Jin dan Shim Deok beberapa kali terlibat percakapan. Di situlah keduanya mulai saling mengenali karakter dan isi pikiran masing-masing. Sedari awal, mereka berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda, lalu di satu titik persimpangan, dua sudut pandang yang berbeda itu, bertemu—tetapi tidak ada yang saling bertabrakan. Sebaliknya, perbedaan itu justru melahirkan kekuatan baru; tentang bagaimana mereka memandang hidup dan kehidupan yang getir yang sendu yang seolah hanya menawarkan pesimisme dari hari ke hari....
“It’s fine even if we can’t change anything. The fact that we’re trying something with hope is what matters.” –Yoon Shim Deok
Yoon Shim Deok jatuh cinta kepada Kim Woo Jin, demikian pula sebaliknya. Namun, belakangan diketahui rupanya Kim Woo Jin telah menikah dengan seorang gadis pilihan ayahnya.  Konflik dimulai.
Meski saling mencintai, namun terlalu banyak rintangan yang harus dilewati Shim Deok dan Woo Jin. Bagi Woo Jin, ayahnya adalah rintangan terbesar. Sedangkan di sisi Shim Deok, tanggung jawabnya sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga mengikatnya erat. Harus ada yang dikorbankan jika mereka ingin bersama. Mampukah mereka? Pilihan apa yang akan dipilih Shim Deok dan Woo Jin? Di  atas nama cinta yang begitu kuat namun di sisi lain menawarkan kehilangan yang tidak sederhana...
Mengapa bunuh diri dipilih sebagai jalan keluar dari kerumitan kisah Shim Deok dan Woo Jin? Masa sih nggak ada jalan lain? Mungkin ada satu dua yang mikir kayak gitu. Tapi setelah nonton tiga episode versi dramanya, dan ngulik gugel nyari-nyari referensi tambahan mengenai perjalanan cinta Shim Deok-Woo Jin, saya akhirnya memahami sepenuhnya keputusan yang diambil keduanya. .
Youth
Oh, youth doesn’t wait for us
Coldly, like a flowing stream
Sadly, like a wilting flower
Our youth is fleeting
Oh, youth is just like a handful of sand we encounter while reading the waves of life
With all your might, hurl it at the tides
Make them snarl and howl
Cast and Characters
Belakangan, setelah searching di Google, saya mengetahui director Praise of Death adalah orang yang juga membuat  While You Were Sleeping (salah satu drama Lee Jong Suk yang jadi favorit saya). Ooooh—pantas saja banyak wajah familiar di drama ini, hampir semuanya pernah main satu drama sama Jong Suk. Nggak tahu kenapa, saya seneng aja liatnya.
Lee Jong Suk as Kim Woo Jin
As time goes by, tears down because of the wound that can’t be healed
Not being able to bear it, I cry
But why does it sit deep as if there’s a fire burning inside me?
If I were a child, and cried in pain, my mother would call for a physician
If I were a child, my mother would bring me cold water for my burning heart
If I were a child, and was sick, a good night’s sleep would wash it away
However, since I am not a child, the wound keeps digging deeper inside
Aah... if only I were a child
Soosan
Kim Woo Jin terlahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya dikenal sebagai saudagar kaya. Pendek kata, Woo Jin memiliki segalanya kecuali satu; kebebasannya sebagai manusia seutuhnya. Ia adalah sosok yang telah selesai dirumuskan bahkan sebelum ia mampu mengeja namanya sendiri. Bahwa ia akan tumbuh dan menjadi seperti apa yang diinginkan ayahnya. Demikianlah Woo Jin menjalani hidupnya.
Kecintaan Woo Jin pada sastra, pada puisi, pada dunia literasi, rupanya turut pula membentuk sisi dirinya yang lain. Pada apa-apa yang membuatnya tertekan, pada kesedihan-kesedihannya yang tak terungkap, ia tuangkan seluruhnya pada bait-bait puisi. Tulisan Woo Jin seperti bernapas dalam kepiluan yang teramat sangat.
“Isn’t it hard for you? Isn’t  it exhausting to live a life has already been mapped out?”
Pertanyaan yang ia berikan pada istrinya tersebut, sesungguhnya ia tujukan pula pada dirinya. Tidakkah terasa berat dan melelahkan menjalani hidup seperti yang telah diatur orang lain? Ia tahu itu melelahkan, tetapi ia tak menemukan jalan lain yang bisa ia tempuh untuk menjalani hidup atas kemauannya sendiri tanpa harus menyakiti ayahnya. Sampai di sini, saya tidak tahu lagi bagaimana saya harus memperlakukan karakter Kim Woo Jin ini. Ia sosok yang baik. Mematuhi keinginan ayahnya bukanlah sesuatu yang mudah, butuh ruang yang sangat luas untuk mengalah, dan ia memiliki itu.
Konfrontasi Woo Jin dengan ayahnya di penghujung episode 3-4 tak bisa dianggap sebagai pemberontakan. Ayahnya marah dan tak setuju pada kegiatan menulisnya. Meledaklah amarah Woo Jin. Hingga detik itu, ia sudah melakukan semua yang diinginkan ayahnya. Ia hanya berharap ayahnya mau membiarkannya bernapas sedikit, dan itu bisa ayahnya wujudkan dengan mengijinkannya tetap menulis.
“Father, do you want me to live or die?”
Bagaimanalah... bila membebaskan kata-kata adalah juga kebebasan baginya? Melarangnya menulis sama saja dengan menyuruhnya mati.  .
Di tahun-tahun itu, saya yakin banyak sosok Woo Jin-Woo Jin lain di seantero Joseon/Korea. Yang terlahir dari keluarga kaya, yang hidupnya telah selesai dirumuskan hanya dengan melihat nama besar keluarganya, namun pada sosok-sosok ini lahir pula kegelisahan-kegelisahan tentang negerinya yang tengah dirundung penjajahan. Mereka yang berjuang diam-diam karena cinta mereka pada kemerdekaan sama besarnya dengan yang mereka berikan kepada orang-orang yang merumuskan hidup mereka. Seringkali, dalam hidup, memilih tak selalu mampu disuarakan dengan lantang. Ia mewujud dalam bentuk lain, yang dalam diamnya ia tetap bisa meng-ada.
Sebagai manusia biasa, mampukah Woo Jin bertahan dalam situasi seperti itu? Bagaimana bila ada variabel lain yang datang menambah keruwetan hubungannya dengan ayahnya? Bagaimana bila variabel itu membawa efek yang besar dalam hidupnya, jauh lebih besar dari kecintaannya menulis? Kita selalu memiliki batasan untuk segala sesuatunya, bahkan dalam cinta sekalipun. Dan Woo Jin, sekali lagi hanyalah manusia biasa. Yang pada saatnya nanti berhak memutuskan sendiri arah hidupnya. Meski untuk itu, ia harus merasai kehilangan.
“Father, with a whirlwind in my heart, for the first time in my life, I chose to go against your will.” –Kim Woo Jin from Leaving Home, his award winning literature, June 21, 1926.
Sejak di While You Were Sleeping, saya tahu Lee Jong Suk sudah memiliki tempatnya sendiri di list aktor-aktor yang saya sukai aktingnya. Sungguh, drama SBS itu telah membantu saya me-reset ulang pandangan saya terhadap Jong Suk. Berbeda dari karakter Jung Jae Chan yang ceroboh, lucu, bodor, bego, tapi baiknya selangit itu, Kim Woo Jin jauh dari kesan periang; ia gelap, sendu, suram, yang terkadang seperti sedang meratap dalam diamnya. Jangan harap kamu bakal ngeliat senyum lebarnya Jong Suk deh dalam perannya sebagai Kim Woo Jin. Tapi saya pribadi suka dengan pilihan peran Jong Suk setelah While You Were Sleeping ini. Saya pernah bilang di POV While You Were Sleeping, bahwa sudah saatnya Jong Suk berpisah dengan Park Hae Ryun—saya nggak ngomong dalam konteks negatif loh. Sebagai orang yang mengikuti karir drama Jong Suk (walaupun ga semua dramanya saya tonton tuntas), saya pengen liat Jong Suk memerankan karakter-karakter yang lebih menantang lagi karena menurut saya secara alamiah itu akan turut mengasah ketajaman dan spektrum aktingnya. Nah, peran Kim Woo Jin yang melankolik parah ternyata bagus banget dimainkan sama Jong Suk, apalagi pas dia nangis... tapi asli parah sih dramanya super duper sadis sedihnya. Cuma 3 episode doang tapi bapernya ngalahin drama 20 episode! Nyeseknya gak pernah ilang sampe sekarang tiap inget momen-momen krusial dramanya. .
Jong Suk udah mulai jago mainin detail di ekspresi. Good. Good.
Are you truly living?
No, I am yearning for death in order to truly live. –Kim Woo Jin from The Theory of Death and Life, May 4, 1926
Shin Hye Sun as Yoon Shim Deok
Sebelum Thirty But Seventeen, satu-satunya peran Shin Hye Sun yang melekat di memori saya adalah perannya sebagai Young Eun Soo di Secret Forest. Mungkin, sebelumnya saya sudah pernah nonton drama-drama yang di dalamnya ada Hye Sun, tapi barangkali karena perannya tidak menonjol, makanya saya enggak ingat satu pun. Saya malah kaget pas baca-baca di twitter, dia pernah main di School 2013—ASTAGA kok saya nggak ada bayangan sama sekali karakter Hye Sun di situ?, itu tuh drama sekolah favorit saya sepanjang masa. Dan FYI, drama itu turut berperan besar memengaruhi arah hidup saya hingga (akhirnya) saya memutuskan menjalani profesi yang sebelumnya saya tolak dengan lantang di depan ibu saya—menjadi guru. Saking sukanya saya sama School 2013, saya donlot video versi HD-nya. Sayangnya Hardisk saya kena virus dan abis semua isinya termasuk School 2013.
Di sini saya nggak akan ngomongin akting Hye Sun—udah pada sepakatlah aktingnya natural. Mau meranin apa aja bisaaaa. Sebagai Shim Deok, Hye Sun berhasil menunjukkan betapa gamangnya hidup gadis itu. Ia mencintai keluarganya, mencintai musik, dan mencintai Kim Woo Jin. Sebelum bertemu Woo Jin di Tokyo, Shim Deok belum tahu jika mencintai bisa begitu sulit dan membawa derita, menyakitkan. Sedari awal perbedaan itu sudah membentang, menjauhkan. Woo Jin dan Shim Deok berangkat dari latar belakang berbeda. Jika Woo Jin adalah pewaris kekayaan ayahnya, Shim Deok adalah tulang punggung keluarganya; ayah, ibunya, adik-adiknya. Sebab itu ia harus tegak, kuat, dan bekerja keras.
Di awal kemunculannya, saya percaya Shim Deok adalah seseorang yang punya idealisme jika menyoal mimpi dan harapannya. Akan tetapi, setelah hidupnya beririsan dengan Kim Woo Jin, sudut pandangnya menjadi goyah. Ia gamang. Pada akhirnya, ia pun sadar ia bukanlah perempuan merdeka.   
CHEMISTRY
Saya selalu setuju, Jong Suk pandai membangun chemistry dengan siapa pun dan apa pun di setiap dramanya. Saya juga percaya tidak ada chemistry yang berjalan satu arah. Chemistry dihadirkan oleh dua pihak, atau lebih. Jong Suk dan Hye Sun mampu menghadirkan itu. Mereka serasi. Narasi sebagai dua orang yang saling jatuh cinta namun terhalang status sosial dan lain-lain, terbangun dengan baik. Selalu, saya melihat tatapan Woo Jin ke Shim Deok diisi kesedihan yang pekat dan dalam, pun saat mereka terlihat bahagia. Kesedihan itu masih menggantung di sana. Seolah kesedihan itu sengaja terperangkap dan enggan pergi.
Praise of Death memesona saya dengan ketragisannya.
Siapakah yang jatuh cinta lebih dahulu? Bagi saya, itu adalah Yoon Shim Deok. Semakin sering ia berinteraksi dengan Woo Jin, semakin kuat pula keterpikatannya pada pemuda itu. YAAAAAAAAAA, saya juga kalau ketemu orang macam Woo Jin, peluang jatuh cintanya besar. Dan emang pernah kejadian sih HAHAHAHA.  Cerdas, suka puisi, suka nulis, memiliki kesinisan yang tak biasa terhadap diri dan hidupnya. Dan pendiam, dan selalu tampak kesepian, pada mata dan ketenangan wajahnya selalu ada kesedihan yang menggenang diam-diam dan seringnya tak terbaca
Saya tulis kembali momen kesedihan antara Woo Jin dan Shim Deok, dialog-dialog mereka yang menyiratkan perjuangan melawan segala apa yang berada di luar diri mereka. Mereka bertemu, saling mengenali diri;cita-cita;cinta, lalu berpisah karena mereka sadar sejauh mana cinta membawa mereka, yang tampak jelas hanya ketidakmungkinan. Tahun-tahun berlalu, dan mereka dipertemukan kembali, dan mereka (nyatanya) masih saling mengharapkan satu sama lain.
Saat Woo Jin dan Shim Deok memutuskan mengakhiri hubungan mereka, karena Shim Deok akhirnya mengetahui kalau Woo Jin sudah beristri, seorang anak berlari seraya menyebarkan surat kabar berisi berita kematian Takeo Arishima. Ia melakukan bunuh diri bersama kekasihnya. Isi surat kabar tersebut membuat Shim Deok tersentak. Ia bergumam lirih, “If a forbidden love is causing pain, you can just end it. Why take such drastic measures?”
Woo Jin, dengan ekspresi sedihnya menjawab, “The loneliness they would be left with after they part must have been terrifying for them.”
Well,we all eventually forget,”  pungkas Shim Deok.
Dialog ini menyiratkan bahwasanya Shim Deok belum sepenuhnya menyadari seberapa penting dan kuatnya Woo Jin di dalam hatinya. Menurutnya, bunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk mengakhiri kisah cinta yang terlarang. Baginya, kisah cinta seperti itu cukup diakhiri dengan perpisahan, dan pada saatnya nanti ia akan terlupakan. Shim Deok menyikapi keputusan bunuh diri Takeo Arishima dengan dingin. Ia berpikir itu akan berjalan semudah yang ia sangkakan. Sebaliknya, Woo Jin memiliki pemahaman yang lebih mendalam, terkesan empatik pada Takeo Arishima. Bahwa menurutnya, mungkin saja bagi Takeo Arishima dan kekasihnya hidup di dunia tanpa kehadiran satu sama lain, jauh lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Tidak bisa dimungkiri, kita sering menemukan persoalan menyangkut pertanyaan-pertanyaan tentang cinta yang tak lantas mudah teruraikan hanya dengan sudut pandang yang kita miliki.
“Now, I think I can understand, why he (Takeo Arishima) made a choice like that. You see, he must have wanted to rest a place where he no longer to try so hard and where there is no more parting. He must have wanted be at peace. I want to get some rest now. I’m really exhausted now. But I can’t do that for I fear I might end up missing you too much.” –Yoon Shim Deok
“If That’s the reason, you can rest. I used to think that he (Takeo Arishima) ran away from life, but I no longer think so. He made that choice to live, in order not to lose himself he chose death. That’s all. For the first and last time in my life, I want to live my life as who I am. Even if that life means death. So, you can rest in peace too, by my side.” –Kim Woo Jin
Membaca dialog antara Kim Woo Jin dan Yoon Shim Deok, saya bisa menangkap isyarat baik Shim Deok dan Woo Jin telah selesai dengan perenungan mereka. Shim Deok sudah mencapai kulminasi ketegarannya, ia tak punya sisanya lagi. Dari kalimat panjang yang disampaikannya kepada Woo Jin dengan nada lirih nyaris diselingi tangis itu, ia ingin melepaskan semua yang membuatnya lelah, namun di satu sisi ia takut kehilangan Woo Jin. Sejalan dengan apa yang diucapkan Woo Jin ketika menanggapi kabar bunuh diri Takeo Arishima—ditinggal seorang diri oleh orang yang kita cintai jauh lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.
Ucapan Woo Jin berikutnya menjawab ketakutan Shim Deok. Woo Jin tak kalah lelahnya dari Shim Deok. Maka ia mengamini keinginan kekasihnya. Jika dunia yang mereka tempati tak lagi membuat mereka hidup, untuk apa bertahan?
Woo Jin dan Shim Deok telah kehilangan jalan pulang, ataukah jalan pulang itu sejatinya tidak pernah ada? Karena rumah sesungguhnya telah mereka temukan pada diri mereka satu sama lain? Pada Woo Jin, Shim Deok menemukan jiwanya hidup. Demikian pula Woo Jin, seperti yang tertuang pada puisinya berikut,    
“Passionately, I listened to the curses put on my fate
She was  the only safe heaven in my life besieged by the devil.” –Trace of Heart, Kim Woo Jin’s Journal (November 26, 1921)
Shim Deok adalah safe heaven bagi Woo Jin, di mana selalu ia jumpai detak jiwanya di sana. Jika ia dan Shim Deok memutuskan kembali ke Korea, itu sama halnya dengan menyerahkan jiwa mereka untuk dibunuh. Karena di Korea Woo Jin, tidak akan bisa lagi menulis dan memiliki Shim Deok. Sama halnya dengan Shim Deok.
Lalu dari manakah muasal rasa takut kehilangan yang melingkupi Woo Jin dan Shim Deok? Dari rasa cinta yang berlebihankah? Saya rasa bukan. Saya mencoba berasumsi kondisi serba tidak menentu saat itu berperan besar memengaruhi rasa saling memiliki keduanya. Mengapa banyak kisah cinta agung yang dikisahkan dari masa lampau, begitu melegenda dan membuat kita kerap berdecak haru? Situasi dan kondisi yang luar biasa, tidak biasa. Mereka jatuh cinta di tengah masa-masa sulit. Barangkali tersebab mereka—yang saling mengasihi itu tak punya banyak pilihan seperti yang kita miliki saat ini; kita bisa jatuh cinta lagi, lagi dan lagi, dengan orang yang berbeda. Saat itu, bagi mereka seringkali rasa cinta yang dihadirkan oleh entah kepada yang mereka kasihi, masih harus berjibaku dengan urusan-urusan lain menyangkut hidup dan perjuangan akan masa depan. Maka, saat mereka jatuh cinta, mereka mencintai sebesar-besarnya, dan sedalam-dalamnya. Sebab tak ada jaminan mereka bisa merasakan hal yang sama. Bukan sesuatu yang gampang, untuk segera mengenali pasangan jiwamu, karena ada begitu banyak kamuflase yang justru dipasang oleh hatimu sendiri.
Tapi, Shim Deok dan Woo Jin bisa.
Kim Woo Jin dan Yoon Shim Deok adalah dua orang yang terbuang dari dunia, dari orang-orang yang mereka kasihi, hanya karena mereka berdua menemukan cinta yang berbeda, yang tidak bisa mereka temukan pada orang lain, cinta yang demikian hidup dan menggairahkan terhadap satu sama lain. Woo Jin dan Shim Deok adalah dua dari banyak orang yang memilih mencintai dengan berani pada masanya. Dan karena keberanian itulah mereka diingat dan dikenang.  
Saya bersyukur Praise of Death hanya berjumlah 3 episode (yang di-split menjad 6/30 menit). Saya nggak sanggup ngebayangin drama tragis yang didasarkan pada kisah nyata ini diceritakan kembali dalam jumlah episode yang banyak. Tiga episode aja udah sukses mengharu biru begini, gimana yang banyak episodenya? Heol. Tapi kalau formatnya kayak kisah cintanya Ae Shin-Eugene sih, mungkin aku masih bisa (sok) nguatin hati ngikutin per episodenya... Yakaliiii. Lah sekarang aja saya masih suka nangis tiap kali nontonin ending Mr. Sunshine—scene kereta BEUGH.
Life running in the vast wilderness
Where is it that you are heading?
In this lonely world filled with cruel suffering,
what are you looking for?
In this world made of tears, will my death end truly be the end of it all?
Those of you in search of happiness, only futility awaits you
Those smiling flowers and crying birds all share the same fate
Pitiful life, absorbed in living, you are the one dancing on the blade
-Praise of Death
Lagu inilah yang menjadi titik kunci kisah Yoon Shim Deok dan Kim Woo Jin. Liriknya yang lirih menyiratkan pesimisme yang tajam.
In this lonely world filled with cruel suffering,
what are you looking for?
Kita tidak akan pernah benar-benar bisa merasakan sesuatu sebelum kita merasakan hidup bersamanya. Tetapi, mustahil bagi kita untuk kembali ke awal abad ke 19 Korea untuk bisa menyelami kepahitan hidup Shim Deok dan Woo Jin—maka lirik lagu Praise of Death, dan bait-bait puisi Woo Jin bisa menjadi jembatan kita menyesap setiap inci kepedihan itu.
Dan kita tahu, yang (tak) lekang oleh waktu adalah kenangan.
***
Takeo Arishima merupakan seorang novelis, dan penulis esai berkebangsaan Jepang yang hidup di akhir periode Meiji. Ia menikah di tahun 1910, namun istrinya meninggal karena TBC enam tahun kemudian. Pada tahun 1922, Arishima bertemu Akiko Hatano, seorang wanita yang sudah bersuami. Arishima dan Hatano saling jatuh cinta. Hatano adalah editor di sebuah majalah wanita populer. Suami Hatano mengetahui hubungan gelap Arishima dan Hatano, inilah yang memicu keduanya memutuskan bunuh diri dengan menggantung diri di Karuizawa.

*) bunuh diri, atas alasan apa pun, tidak bisa dibenarkan. Namun dalam hal ini (kisah nyata dari masa lampau di atas) saya tidak punya hak men-judge. Mereka yang telah selesai dengan hidup mereka. 
Tabik,
Azz