J-Dorama : Koinaka/Love Relationship (Fuji TV-2015)
Starring : Sota Fukushi, Tsubasa
Honda, Shuhei Nomura, Taiga, Sakurako Ohara
=oOo=
Hubungan saya
dengan Dorama Jepang tak semesra dan sedekat seperti ketika saya berinteraksi dengan Drama Korea. Tak
banyak yang pernah saya tonton—bisa dihitung jari, pun aktor/aktrisnya sangat
tidak familiar di telinga serta lidah saat mengucapkannya. Saya dan drama Korea
merupakan kebalikan dari sahabat saya—dia akrab dengan Jepang dan
kebudayaannya, bahkan salah satu dosen pembimbing tugas akhirnya semasa kuliah
adalah Doktor lulusan salah satu universitas dari negeri Matahari Terbit itu.
Seringkali perkenalan saya dengan
sebuah dorama atau film Jepang terjadi akibat ketidaksengajaan—oke, ini pattern yang tak berbeda saat saya
menonton drakor. Pernah, suatu hari saya sedang berada pada masa peralihan
setelah menamatkan satu drakor keren. Saya mengalami kesulitan untuk move on ke drama lainnya. Mood saya untuk nonton drakor mendadak tumpul. Kesimpulan paling masuk akal
yang bisa saya ambil adalah bahwa saya butuh menonton sesuatu yang bernuansa
dan memiliki feel yang bertolak
belakang dengan drakor. Apalagi kalau bukan dorama? Maka mulailah saya Searching sana-sini, tanya orang-orang
yang dekat dengan Jdorama....
Saya sempat
mikir cukup lama sebelum mendonlot Koinaka—review yang saya baca mengenai drama
ini kebanyakan penuh komentar negatif yang merujuk pada storyline hingga akting para pemainnya. Tapi saya sudah kadung
penasaran dengan sosok Sota Fukushi, si jangkung bertubuh kurus yang seumuran
Bogum itu. Strobe Edge live action adalah
film yang memperkenalkan saya dengan Sota pertama kali. Tau gak apa komentar
pertama yang keluar dari mulut saya saat melihat Sota?
“Kurus
banget nih cowok, mungkin doi kurang makan...”
Azz... Azz, ckck...
Kalau ditanya
apa yang sering membuat saya tertarik memerhatikan seseorang hingga akhirnya
benar-benar jatuh cinta? Jawaban saya bisa terdengar sangat absurd dan sedikit
ingin terdengar romantis. Apakah itu gerangan? Mata. Eyes. Entah ini bakat alam atau bisa jadi karena saya terlalu menikmati pembawaan saya yang kelewat
sensitif dan perasa—saya tanpa sadar
selalu berusaha keras memerhatikan di kedalaman mata seseorang. Dan selama ini
saya cukup sukses membaca karakter
seseorang lewat itu. Saya bisa tanpa ragu-ragu mengesampingkan wajah tampan dan
hanya fokus pada mata. Wait—sebenarnya
saya cuma mau bilang kalau saya langsung menyukai Sota Fukushi setelah melihat
matanya, tapi kenapa prolognya bisa se-lebay ini? Huuuh ã…¡.ã…¡
Tak lengkap
rasanya membahas Koinaka tanpa mengenal Sota terlebih dahulu—maafkan saya. Tak
banyak aktor yang bisa memanfaatkan matanya dalam mengolah emosi ketika
berakting, tanpa dialog, bisa membuat kita—penonton, tanpa sadar turut larut
bersamanya. Dan Sota Fukushi punya modal untuk itu. Hanya saja dia belum tiba
pada tahap excellent. Masih berada
pada tahap sedang—butuh belajar banyak, mungkin dengan memerankan karakter yang
bisa memaksa-nya bekerja lebih keras
lagi.
Apa yang bisa
kamu harapkan dari sebuah drama yang dipenuhi kritikan menyedihkan? Ceritanya
klise, akting para pemeran utamanya yang jauh dari memuaskan, belum lagi plot
cerita yang membosankan—kamu mungkin akan segera menebas mati rasa ingin
nontonmu. Tapi tidak dengan saya. Saya dibuat penasaran, sejelek apakah Koinaka
hingga jadi bulan-bulanan ketidakpuasan banyak penontonnya? Cuusss, dengan
percaya dirinya, saya mendonlot kesembilan episodenya dan segera menontonnya.
Hasilnya? Ouch. Tak ada asap bila tak ada api, kritikan-kritikan itu sangat
beralasan—Koinaka memang penuh kekurangan. Lantas, apakah saya menyesal telah
membuang paket kuota internet saya demi Koinaka? Tidak. Saya malah menonton
ulang part Aoi-Akari yang saya suka ã…‹ã…‹ã…‹. Dasar aneh.
Koinaka
bercerita tentang tentang Aoi Miura
(Sota Fukushi) dan Akari Serizawa (Tsubasa Honda), dua orang yang sudah
bersahabat sejak kecil. Kehidupan mereka yang baik-baik saja pelan-pelan
berubah setelah kehadiran Aoi Shota
(another Aoi yang diperankan Shuhei Nomura) dan mencapai
klimaksnya menyusul kebangkrutan usaha galangan kapal milik ayah Akari. Akari
menghilang setelah malam sebelumnya menghabiskan waktu bersama Aoi di festival
kembang api musim panas. Akari meninggalkan sebuah memo di antara helai komik
One Piece milik Aoi yang tak sengaja terjatuh tak jauh dari rumah Akari. Gadis
itu tak sadar telah meninggalkan kesalahpahaman yang luar biasa rumitnya di
hati Aoi. Aoi berpikir Shota dan Akari saling menyukai—yang disaat yang sama,
mereka bertiga sudah dekat satu sama lain. Aoi mengorbankan perasaannya sendiri
(suer, ini Enoshima Prism banget).
Tujuh tahun kemudian, Shota membawa Akari bertemu Aoi. Jadi mereka berdua
menjalin hubungan dan pacaran tanpa sepengetahuan Aoi. Yang sebenarnya terjadi
adalah tujuh tahun silam, di hari Akari menghilang, Shota mencuri komik One Piece berisi memo yang diletakkan Akari di dalam
laci meja Aoi. Shota membuat saya kehilangan respek sedini itu.
Bagaimanakah
hubungan Aoi dan Akari setelah bertemu kembali? Shota jelas-jelas tak bisa
semudah itu melepaskan cintanya untuk Akari. Lalu bagaimana dengan perasaan
Akari sendiri?
Sekali lagi,
dorama ini sangat klise. Pola penceritaannya pun cenderung lamban—banyak scene
kesalahpahaman yang berulang dan menurut saya tak perlu ada. Justeru ini akan
dianggap upaya memanjang-manjangan cerita yang berakhir pada kebosanan penonton—tarik
ulur yang tidak memikat sedikit pun. Kenapa tidak ceritanya dikembangkan di
sektor lain? Atau tidak mustahil range cerita
Koinaka terlalu sempit hingga writer-nya
keculitan sendiri mengembangkan plot. Nah, kenapa tidak dipendekkan 6-7 episode
saja? Bukan apa-apa, saya udah keburu esmosi tingkat kabupaten ngeliat Aoi
diam-diam menatap kemesraan Shota dan
Akari dari balik pintu, dari kejauhan. Gak cuma sekali. Berkali-kali. Sebeeel pengen nabok orang.
Oh, saya tidak
akan lupa menyinggung betapa miskin-nya
ekspresi Sota Fukushi dan Tsubasa Honda sebagai pemeran Aoi dan Akari. Memang
sih tidak semua scene untuk Sota—ia
masih harus belajar mengolah ekspresi wajahnya ketika marah atau kaget tanpa
harus melototkan mata berkali-kali. Saya gak
tega (baca; gak nyaman) liatnya dan terpaksa mengalihkan tatapan dari layar
laptop ke arah lain. Dan untuk Tsubasa, jujur saya tidak bisa menyembunyikan
kekecewaan ketika tahu dia-lah yang mendampingi Sota di Koinaka. Saya sangat
tidak menikmati penampilannya di Ao Haru Ride live action. Ya mau gimana lagi. Saya sudah terlanjur menyukai
versi anime-nya terlebih dahulu ã… .ã… . Paling ilfil tuh kalau udah ngeliat
Tsubasa dalam perannya sebagai Akari, berakting nangis. Gak nyaman banget,
asli. Gak natural. Terkesan maksa. Jelek. *sadis lo, Azz*
Bagian lain dari
drama ini yang bikin saya betah adalah sinematogfari-nya. Pemilihan warna dan
sudut-sudut pengambilan gambarnya terasa familiar. Menurut saya, salah satu
perbedaan mendasar antara drama Korea dan dorama Jepang adalah ini;
sinematografi. Kdrama cenderung smooth dengan
pemilihan warnanya, sedangkan Jdorama
jauh lebih sederhana—seperti memindahkan potret satu tempat di dunia nyata ke
dalam lensa. Tak banyak mengalami pengeditan di sana-sini, namun justru itulah
yang membuatnya lebih terasa dekat dengan kehidupan nyata. Dari segi pendekatan
budaya, saya merasa lebih akrab dengan
sinmetografi dan setting Jdorama. Tentu saja, baik itu kdrama dan Jdorama tetap
bisa memukau dengan orisinalitasnya masing-masing.
Apa yang paling
saya ingat dari Koinaka? Aoi Miura yang kebanyakan lari kenceng. Refleks saya
teringat Propsal Daisakusen. Alih-alih menampilkan kesan dramatis, saya malah
merasa terganggu. Pola yang terulang. Hah.
Bagi saya best part kebersamaan Aoi-Akari yakin
ketika mereka saling bertengkar untuk hal-hal ringan dan saling mengobrol lepas
tanpa menaikan tensi romantisme ke level yang bisa bikin saya lari ke pojokan
kamar—gak kuat nonton. Cringe. Mereka
terlihat jauh lebih natural saat melakoni scene-scene
yang tidak menonjolkan sisi romantis.
Jika kita mau
menoleh ke belakang, tak sedikit drama yang mengusung tema yang sama—first love never die, misalnya—namun tetap
bisa menyerap perhatian penonton. Kembali ke cara bercerita plus pemilihan para
pemeran utamanya. Tak masalah menampilkan tema yang tak baru, asalkan pola
pengembangan ceritanya fresh dari
yang sudah pernah ditampilkan. Sayangnya Koinaka tak punya keduanya. Storyline
yang flat, akting para pemeran utamanya pun tak cukup memuaskan.
“Someone
said that people live in accordance with the blueprint so-called a life. It could be that. In her
blueprint, she planed a life with another Aoi, but not with me. If that is the
case, this is a miracle. It might be that miracles could happen easily. We might
be able to change our destiny no matter how small our first step is. We might
be able to be a bit happier than now. Even though I am like this, I told my
first love how I feel, and have a wonderful day like today.”
Monolog Aoi
Miura menjelang akhir episode benar-benar menggambarkan keseluruhan cerita
dengan sempurna. Saya lalu berpikir ulang, mengingat-ingat apa saja yang bisa
saya dapatkan dari Koinaka. Seseorang pernah berkata kepada saya bahwa, sebuah
karya entah itu berupa tulisan atau dalam bentuk lain, seburuk apa pun kita
menilainya—dia telah melalui sebuah
proses yang mungkin panjang dan tidak mudah bagi pembuatnya. Oke, sebagai
penikmat kita boleh merasa berhak punya hak mengkritisi atau sejenisnya, namun
pada akhirnya kita tak boleh lupa memberikan apresiasi. Saya menghargai niat
baik yang ingin ditampilkan dorama ini. Takdir, ada dua. Ada yang bisa diubah
dan tidak. Saya menyukai ide ini—di buku kehidupan Akari Serizawa, jodohnya
tertulis Aoi. Tak ada yang tahu Aio manakah yang dimaksud Tuhan. Aoi Shota
sudah keliru mengambil langkah awal demi meraih hati Akari, dia mencuri memo
yang diperuntukkan kepada Aoi Miura. Dengan ini rasanya cukup jelas kiranya,
Aoi Shota keluar dari takdir masa depan Akari karena tujuh tahun kemudian, Aoi
Miura mendapatkan kesempatan memperbaiki jalannya
di masa lalu menuju Akari. Ini bukan keajaiban—sejak awal Aoi tulus menyayangi
Akari dan Shota. Ia berhak menjadi pendamping Akari. Drama ini, anehnya seperti
memiliki benang merah yang kuat dengan film Enoshima Prism. Bukan karena ketiga
pemeran utamanya sama dengan Koinaka, melainkan ceritanya. Anggap saja, Koinaka
berhasil menyembuhkan kesedihan saya gara-gara ending Enoshima Prism yang
nyesekkin itu.
Terlepas dari
banyaknya kredit minus yang diberikan kepada Koinaka, drama ini tetap asik dan
bisa dinikmati di sela-sela waktu senggang. Tolong jangan nonton pas mood buruk—yang lagi putus cinta, yang
dapet nilai C untuk mata kuliah 4 SKS, atau bagi kamu yang sedang meratapi isi
dompet yang menipis padahal masih pertengahan bulan—jangan sekali-kali nyoba
nonton Koinaka. Saya aja yang gak lagi bad
mood sukses dibikin ba-per. Rasa-rasa pengen nge-smash apa aja. Saya memiliki love-hatred
relationship dengan Koinaka. Di satu sisi saya memberikan banyak komentar
negatif namun di sini lain saya tidak bisa menolong diri saya sendiri karena
menyukai drama ini—untuk alasan yang saya sendiri bingung gimana cara
menjelaskannya. Mungkinkah karena Sota Fukushi? Owh. Lihatlah, betapa biasnya
saya ã… .ã…
Ingat, ini hanya
tulisan dari seorang penonton awam yang belum banyak menonton Jdorama. Saya
boleh jadi tidak objektif dengan seluruh apa yang sudah saya tulis. Apa yang
kamu rasakan ketika menonton Koinaka mungkin bertolak belakang dengan isi
pikiran di bawah batok kepala saya ini. Maafkan
☻
Skor
: 6,5/10
Sekali
lagi, jika kau memiliki sesuatu yang ingin kausampaikan kepada seseorang,
bicaralah. Sebab diam tak akan pernah bisa membantumu. Sebelum terlambat,
sebelum waktumu diisi penyesalan.
Apakah
saya percaya dengan cinta pertama? Sayang sekali tidak. Cinta pertama saya
sebentar lagi akan menikah, dan saya baik-baik saya. Cinta pertama sudah lewat.
Ia hanya akan menjadi milik masa lalu.
Bye~ing
=Azz=
Jangan
lupa bahagia ^^
semangat ya author!!!^^
ReplyDeleteApaan sih..orang bagus gini film nya.. aneh aja bilang ini film jelek.. banyak detail yg fresh banget..semisal pas aoi dan akari dengerin musik di handset pas jaman sekolah..penonton ga tau itu lagu apa..tiba2 akari ketawa krn lirik lucu.. tp 7 tahun kemudian di bioskop baru tau lagunya apa dan liriknya gmn.. menurut gua itu ide cerdas.. dan jepang bukan film yg mewek2 kaya korea atau thailand..ekspresinya ampe mewek 7 hari 7 malam.. film jepang mereka memang diajarin buat hidup kuat dan mental kuat.. akting nya pst semua kaya gt di jepang.. film jepang itu jarang peran antagonis yg bikin dendam kesumat.. ujungnya pst persahabatan..saling dukung satu sama lain..
ReplyDeleteIni berdampak juga sm akting yg dinilai datar padahal kebanyakan actress/actor jepang memang begitu adanya.. tp secara plot story film ini secara garis besar bagus mengolah perasaan penonton.. dia mengajarkan kamu untuk bermimpi meraih cita2.. saling mendukung pasangan satu sama lain..
Saat ini film jepang terbaik memang my boss my hero.. dan plot storynya pun ga akan jauh2 dr hal persahabatan..cinta..saling mendukung meraih cita2..
Jadi pst bakalan aneh juga kl penggemar korea beralih ke jepang..krn beda karakter.. sekian