Review : The First Frost

 


Starring : Bai Jing Ting, Zhang Ruonnan, Zhang Miaoyi, Edward Chen


***

Yang berdarah di matamu adalah waktu-waktu yang kau peluk sendirian

Sedang yang bernapas di ingatanku adalah mekar kenangan tentang matamu yang teduh

 

Tapi aku sanggup menerabas jarak yang jauh itu

Hingga ku temui kembali rupa matamu yang teduh itu

Yang pada kedalamanannya ada kisah-kisah rahasia yang kau tuturkan sendirian hanya pada hening

 

Yang tidak kuketahui, bahwa mencintaimu juga adalah mencintai luka-lukamu yang belum berhenti berdarah

Bahwa mencintaimu, juga adalah memeluk kecamuk badai di matamu yang menyimpan sendu itu

Bahwa mencintaimu tidak pernah mudah

 

Aku tahu

Dan aku telah bersedia untuk seluruhmu bahkan jauh sebelum kau sadari kehadiranku

Selalu

Kataku, kepada namamu yang kubaca sebagai doa.

(AZZ)

 💚💚💚


DISCLAIMER : INI ADALAH REVIEW SUKA-SUKA, JANGAN DIBAWA BERANTEM YA.


Prolog


Orang-orang lagi nge hype Hidden Love sewaktu Mbak Kie mengenalkan saya pada novel The First Frost. Berbulan-bulan saya membiarkan link novel tersebut nganggur di kotak DM karena urusan real life yang bikin gubrak-gubrak bikin saya belom dapet mood baca.

 

Pada akhirnya saya mulai juga membaca novel karya Zhu Yi ini.

 

Dan saya jatuh cinta. Pada Wen Yifan dan kesedihannya. Pada Sang Yan dan cintanya yang setia. Sambil menunggu adapatasi The First Frost tayang, saya bolak-balik membaca ulang novelnya. Saya se-jatuh cinta itu sama The First Frost.

#1 Sinopsis


Hidup Wen Yifan kehilangan nyawanya tepat di hari kematian ayahnya. Hanya berselang beberapa bulan kemudian, ibunya menikah lagi. Oleh ibunya, Yifan dititipkan kepada neneknya. Namun karena kondisi kesehatan neneknya memburuk, Yifan dipindahkan ke rumah pamannya. Sejak saat itu, hidup Yifan tidak pernah terasa mudah lagi.


Pada masa-masa yang sulit itu, Sang Yan selalu berada di sisi Yifan. Meski Yifan kemudian pindah sekolah dari Nanwu ke Beiyu, anak laki-laki itu masih tetap rajin menemui Yifan. Betah sekali mondar-mandir Nanwu-Beiyu. Keakraban yang terjalin itu membuat mereka berani saling menukar janji—lulus nanti mereka akan kuliah bareng di Universitas Nanwu.


Akan tetapi sebuah insiden berat membuat Wen Yifan harus mematahkan janji yang sudah disepakatinya bersama Sang Yan. Ia tidak memilih Universitas Nanwu melainkan Yihe. Wen Yifan meminta Sang Yan agar jangan pernah menemuinya lagi.


Mereka berpisah dan dipertemukan kembali 6 tahun kemudian. Jelas sekali, cinta itu masih di sana. Lalu bagaimana kah Wen Yifan dan Sang Yan memaknai waktu-waktu mereka yang hilang? Jalan pulang seperti apa yang akan mempertemukan hati mereka kembali?

***

#2 Cast and Characters


—Bai Jingting sebagai Sang Yan


Sang Yan adalah sulung dari dua bersaudara. Kalo di Hidden Love anak laki-laki ini digambarkan sebagai sosok kakak laki-laki yang umm—galak tapi sayang adek, usil tapi sayang adek, si jutek tapi sayang adek, demen ngajak berantem tapi sayang adek. Si paling sayang adek pokoknya mah. The First Frost mempertemukan kita dengan sudut pandang baru tentang karakter satu ini. Di TFF (saya akan mulai memakai singkatan ini ya), Sang Yan tampil sebagai cowok cool, cuek, jaim, agak nyombong dikit (think highly about himself), nggak banyak omong tapi sekalinya ngomong pengen banget diapain gitu itu mulut alias omongannya bisa pedes banget, nyelekit, jutek, dingin. Sang Yan nih tipe cowo yang nggak suka basa-basi. Yang doyan carmuk auto tiarap mentalnya ketemu Sang Yan wkwk. Garis wajah dan ekspresinya aja udah intimidatif begitu.


Kalo ngeliat karakter Sang Yan, cowok ini termasuk yang sirkel pertemanannya gitu-gitu aja tapi awet. Hanya yang udah kenal dekat dan lama yang bisa betah temenan sama orang se nggak friendly Sang Yan.


Yang nonton Hidden Love tapi nggak baca novel The First Frost, kaget nggak ketemu cetakan Sang Yan begini? Nggak bakalan kaget kok kalau sedari awal udah paham POV adek vs POV crush nggak bakalan sama. Benang merah karakter pasti ada karena mereka adalah satu karakter utuh dan padu, tapi kalau mau nyamain enggak bakalan sama persis juga, maksudnya ngarep versi Sang Yan cerewet dan ribut di HL diangkutin ke TFF, muskil lah. Yang dihadapi di TFF kan crush-nya bukan adeknya. Saya nggak tau ya rasanya punya kakak laki soalnya saya sulung perempuan dan hanya punya adik laki-laki satu aja. Tetapi ada satu kejadian yang bikin saya pengen ngakak kencang gara-gara ada anak perempuan yang kayaknya demen sama adek laki-laki saya, dia cerita tentang adek laki-laki saya itu. Cerita yang bikin saya nggak yakin beneran nih yang lagi dia ceritain tentang adek laki-laki saya? Imej dia di mata saya nggak gitu deh wkwk.

Begitulah.


Sebenarnya, kalau mau melihat dari jarak dekat, imej Sang Yan di HL dan TFF punya kesamaan dan bisa dibilang nyatu. Ruang perdebatan soal karakter Sang Yan di HL dan TFF harusnya nggak ada. Yang saya rasa agak off dikit cuman interaksi Sang Yang dan Duan Jiaxu versi HL dan TFF. Silly dan cerianya-nya DJX kepada Sang Yan di HL ga berasa di TFF. Tapi ya udahlah ya, di TFF fokusnya ke main couple aja. Mau bahas HL di thread-nya HL aja.


Coba sini, ngaku, siapa yang protesnya paling kenceng banget sewaktu diumumkan pemeran Sang Yang bukan Victor Ma (Hidden Love) tetapi Bai Jingting? NGAKU GAK! Setelah nonton adaptasi The First Frost, masih kenceng nggak nih protesnya? HAHAHAHAHA.


Sejak menonton acting Bai Jingting sebagai Xing Kelei di You Are My Hero (2021), saya yakin banget dia bisa memerankan Sang Yan dengan baik, nggak ada sedikit pun keraguan di kepala saya. Kalo baca (bukan) review singkat saya tentang You Are My Hero di blog ini lalu menonton dramanya (bagi yang belum nonton) pasti bakal mikir lagi deh kalau mau protes soal peran Sang Yan. Bai Jingting tuh termasuk actor yang bisa ngenakin karakter. Dia memahami watak karakternya dengan sangat baik, sampe ke detailnya. Selain skill acting, ini juga penting dimiliki seorang pelakon. Hanya dengan pemahaman penuh mengenai karakter yang akan ia perankan, barulah ia bisa masuk dan menghidupi karakter tersebut. He is diligent actor.


Saking eneg-nya baca komen protes, saya dengan kesadaran penuh nyumpahin orang-orang yang protes tersebut dengan mengatakan moga-moga tar pas dramanya tayang tu orang-orang yang protes kemakan omongan sendiri wkwk. Peletnya Xiao Bai nggak main-main loh. Serius, sekali kena bakal susah lepasnya.



Saya tidak bisa membayangkan actor lain bisa memerankan Sang Yan se-akurat Xiao Bai. Ini sama aja sosok fiksi Sang Yan divisualisasikan dengan sempurna oleh Xiao Bai. Mukanya Xiao Bai dapet banget ekspresi cocky nya. Karena memiliki garis wajah yang unik dengan sorot mata yang ekspresif itulah ia memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan rupa-rupa emosi yang detail. Dan semuanya berjalan dengan sangat natural. Bayangan saya tentang Sang Yan saat membaca novelnya menjadi padu dengan visualisasi Xiao Bai. Sosok abstrak Sang Yan di novel kalo dibayangkan wujud nyatanya seperti apa ya persis kayak di drama. Nggak ada ruang kritik di kepala saya untuk Xiao Bai sebagai Sang Yan.


Demi peran Sang Yan, Xiao Bai ikut turun langsung menangani outfit yang dipake Sang Yan di drama. Kurang total gimana lagi coba? Dia juga usaha banget untuk mendalami karakter Sang Yan. Tau kenapa? Dia paham sebesar apa cinta yang dimiliki fans novel TFF kepada Sang Yan dan dia menghargai ini. Profesionalitas-nya Xiao Bai ga perlu diragukan. Saya inget, di YAMH ada adegan dia ketindihan batu, supaya terlihat realistis (nyata), dia bela-belain tuh batu gede nutupin badannya untuk beberapa lama. Makanya saya rada marah baca-baca komentar miring yang meragukan potensi Xiao Bai sebagai Sang Yan. Kalau belum pernah nonton aktingnya Xiao Bai okelah ya. Tapi kalo alasannya malah bawa-bawa actor lain, udah beda cerita. Beri kesempatan dan dia akan membuktikan kemampuannya. Tapiiii, jika setelah itu masih ada juga yang berisik perkara casting Sang Yan, berarti masalahnya emang ga bisa move on aja.


Btw, kalo ngikutin Xiao Bai pasti setuju, antara dia dan Sang Yang punya kesamaan karakter. Ehm. YTTA. Wkwk.


—Zhang Ruonan sebagai Wen Yifan


Ayahnya, balet dan Sang Yan. Tiga hal ini membuat hari-hari Wen Yifan terasa hidup. Yifan bukan anak perempuan yang ekspresif, cenderung pendiam, ngalah, nrimo, ga asik (di mata banyak orang), sedikit kaku (?) dan cantik.


Kehilangan ayahnya secara mendadak meredupkan hidup Wen Yifan. Tak berapa lama ia harus merelakan dirinya lepas dari balet. Lalu untuk sebuah alasan, ia pun harus tega melepaskan Sang Yan.

Lalu apa yang tersisa dari kehidupan Yifan? Tidak ada, kecuali dirinya sendiri. Ia hanya memiliki dirinya sendiri.


Menyelami sudut pandang Wen Yifan, tidak ada satu pun porsi hidupnya yang tidak membuat hati nyeri, beberapa kali bikin saya nangis, pengen meluk erat sambil bilang, “Wen Shuanjiang, terima kasih sudah bertahan. Terima kasih sudah menjadi kuat. You deserve happiness.”

Tidak mudah menjadi Wen Yifan.


Mendapuk Zhang Ruonan sebagai Wen Yifan adalah keputusan terbaik yang diambil tim produksi TFF. Kalo nggak salah inget, saya pertama kali menikmati acting Nannan di film The End of Endless Love (2021) dan langsung bisa mencuri perhatian. Aktingnya terlalu realistis sebagai orang yang sedang berperang dengan mental health. Di masa-masa itu saya lagi struggling sama kondisi mental sendiri jadi ga heran bisa ngerasa relate sama film yang perlu diberi TW ini. Di tahun yang sama, saya juga menonton juga Be Yourself—sebuah drama bertema girl centric yang mengambil latar kampus, pairing-nya dengan Zhai Zilu bikin gemes dan ada terharunya juga. Setelahnya saya emang nggak ngikutin semua project film dan dramanya Nannan, tapi begitu diumumkan peran Wen Yifan diberikan kepada dia, saya seketika bernapas lega. Bersyukur banget. Aktingnya udah jaminan mutu. Mukanya Nannan cocok banget meranin karakter melo yang kalo nangis berasa ngajakin orang untuk ikutan nangis bareng dia. Jadilah penonton menangis berjamaah.


Wen Yifan adalah wajah The First Frost.


Suka banget style, outfit dan make up nya Nannan di TFF. CANTIK BANGET. Definisi cantik yang bersinar. Mau mode berantakan kek mode rapi kek, auranya awur-awuran. Tim outfit dan make upnya juara deh. Yifan era gloomy dan Yifan era healing keliatan bedanya.


Wen Yifan adalah salah satu peran terbaik yang pernah dilakoni Zhang Ruonan. Tokoh yang memiliki emosi yang rumit dan sulit ini membuka peluang yang luas kepada Nannan untuk mengeksplor spektrum aktingnya. She’s the perfect fit.


—Zhang Miaoyi sebagai Zhong Si Qiao


Besar sekali cinta saya kepada Su Zai Zai. Tapi itu tidak bisa menjadikan saya menikmati peran Miaoyi sebagai Zhong Si Qiao di TFF. Sebagai sahabat Wen Yifan, oke, tetapi tidak sebagai love interest-nya Su Hao An dan porsi mereka sebagai 2nd couple. No offense. Sebagai pembaca novel TFF, saya nggak bisa merasakan bonding cerita Su Hao An- Zhong Si Qiao pada storyline TFF versi drama. Saya mungkin terdengar bias, tapi itulah yang saya rasakan. Saya lumayan kaget juga di drama dua orang ini dipasangkan sebagai pasangan.

Saya tidak bisa menulis banyak tentang karakter Zhong Si Qiao, selain dia adalah sahabat Yifan yang selalu ada dalam situasi apa pun.


—Edward Chen/Chen Haosen sebagai Su Hao An


Sama seperti kesan saya terhadap karakter Zhong Si Qiao, saya bisa menerima porsi cerita Su Hao An sebagai teman Sang Yan, tidak dengan side story hidupnya.

Saya sudah memaksa diri untuk menikmati adegan-adegan side story, I’m so sorry I can help myself. Saya betah mencet layar dua kali setiap kali adegan side story kehidupan Su Hao An muncul di layar.


—Zhai Xiao Wen sebagai Xiang Lang



Karakter lain yang mengalami perkembangan adaptasi TFF. Kasarnya nih Xiang Lang hanya muncul saat dibutuhkan untuk menggerakkan plot. Unpopular opinion : saya nggak sreg sama style-nya Awen sebagai Xiang Lang. Kacamatanyaaaaa. Saya sayang Awen kok. Hihi.

***

Sang Zhi dan Duan Jiaxu juga muncul sebagai cameo di sini tapi perannya digantikan artis lain. It’s okay. Kenapa bukan Zhao Lusi dan Chen Zheyuan? Tolong inget ya, ini drama China. Nggak semudah itu ngajakin artis lain apalagi artis yang jam terbangnya udah lumayan tinggi. Ya udah sih terima aja. Kalau pengen liat Zhi Zhi dan Jiaxu, tinggal nonton Hidden Love aja. Aman kan?


Mu Cheng Yun yang diperankan Yuan Ye diubah jadi sosok yang annoying di drama. Beda jauh dari versi novelnya. Ngeselin. Kalo niatnya untuk menghadirkan situasi biar lebih drama, terang aja ini bikin kecewa.


Zhao Yuan Dong, emaknya Yifan adalah karakter lain yang bikin saya emosi dan nggak ada sedikit pun tersisa rasa simpati setelah si Che Xing De dan keluarganya. Sekilas ada yang ngebatin nggak, kok bisa ada ibu modelan begitu? ADA. BANYAK. ADA BANYAK IBU DI DUNIA INI YANG JAGO MEMANIPULASI ANAK. Saya nggak ingin memahami sudut pandang ibunya Yifan.



IMHO. Secara keseluruhan, selain Wen Yifan dan Sang Yan, tokoh-tokoh lain tidak cukup mampu mengikat minat dan perhatian saya sebagai pembaca TFF. Bukan soal acting, tapi penokohannya kurang atraktif dan masuknya mereka ke arus cerita tidak memiliki power yang begitu signifikan dalam menjaga mood saya sebagai penonton agar tetap tinggal dan menikmati setiap menit kehadiran mereka, alias dicepet-cepetin juga nggak bakal rugi ketinggalan keseluruhan plot. Fokusnya sudah terlanjur terikat pada Yifan dan Sang Yan. Ini hanya sudut pandang saya saja ya, sangat bias sebab terlalu dipengaruhi status sebagai pembaca novelnya. Die hard reader.


#3 Plot & Storyline

Hhh. Mulai dari mana ya?

Novel vs drama? Oke.


Sudah ada beberapa novel romantic China favorit saya (yang udah dibaca ya) diadaptasi ke drama, di antara beberapa judul tersebut, You Are My Glory masih memegang tahta tertinggi sebagai drama adaptasi novel yang berhasil memenuhi ekspektasi saya menilik sisi pemeran, chemistry dan eksekusi cerita, yang bikin saya nge klik dengan visualisasi ceritanya. Setelah menonton novel-novel favorit saya diadaptasi menjadi drama dan nggak semuanya bisa saya nikmati seperti saat saya membaca novelnya, saya pun tiba pada kesimpulan bahwa adaptasi novel romance China bisa tricky banget. Menghidupkan jiwa novelnya ke dalam bentuk visual dengan natural sangatlah tidak mudah. Takarannya harus pas—eksekusi cerita, chemistry pemerannya. Bagi yang nggak baca novelnya, ini mungkin nggak gitu ngaruh, rasa-nya akan berbeda bagi mereka yang membaca novel-novel tersebut. Ruang untuk kecewa akan selalu ada.


Nggak bisa dipungkiri, novel yang udah bolak-balik dibaca ulang, tanpa disadari sudah barang tentu akan meninggikan ekspektasi saya. Jadi, meskipun saya percaya sepenuhnya Bai Jingting dan Zhang Ruonan bisa menghidupkan Sang Yan dan Wen Yifan dengan baik, saya masih ragu dengan eksekusi ceritanya. Ini yang membuat saya deg-degan. Excited tapi khawatir tuh gimana ya? Bener-bener secinta itu saya sama novel The First Frost.


Novel The First Frost menggunakan POV Wen Yifan sebagai materi utama dan pusat konflik cerita. Ringkasnya, novel ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang berjuang menghidupi hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan kepala tegak, dengan seutuhnya meski ia berkali-kali dibuat babak belur. Wen Yifan menolak menyerah. Ia ingin mencintai hidup yang dijalaninya. Berkali-kali hati saya serasa diremas membaca novel TFF. Berkali-kali saya menarik napas panjang, mengambil jeda sambil membayangkan situasi wajah emosi Yifan. Yifan kuat banget. Tapi kuatnya dia menimbulkan getir yang rumit bagi siapa pun yang membaca kisahnya. Bagimana anak perempuan itu bisa bertahan? Ayahnya meninggal, ibunya membuangnya dengan menitipkannya pada orang lain—anak perempuan yang terbiasa mendapatkan limpahan kasih sayang dari ayahnya itu harus menjalani hidup dengan perasaan sebagai orang terbuang yang tidak diinginkan bahkan oleh ibunya sendiri. Bagaimana bisa dia melewati semua itu dan tetap bisa tumbuh menjadi perempuan dewasa yang tidak pernah kehilangan dirinya sendiri? Bagaimana bisa?


Novel The First Frost bukan hanya sekadar kisah cinta lama butuh kelanjutan antara Wen Yifan dan Sang Yan. Namun lebih dari itu. The First Frost adalah tentang Wen Yifan dan hidupnya, dan upayanya menolak menyerah pada setiap hal yang memaksanya tunduk. Saya terus bertanya-tanya, apakah yang membuat Yifan bisa sekuat dan setangguh itu? Saya tahu Sang Yan selalu berada di samping Yifan, tetapi saya tidak melihat Sang Yan sebagai alasan utama yang membuat Yifan begitu kuat.


Lalu tibalah saya pada satu hipotesa. Cinta ayahnya.

Itu yang membuat Yifan tahan banting.


Cinta kasih luar biasa yang diberikan ayahnya yang membuat Yifan memiliki asa melanjutkan hidup. Ayahnya memang pergi lebih dahulu, tetapi ia tidak meninggalkan anak perempuan yang lemah. Saya nggak tau apakah Yifan menyadari ini atau tidak. Saya tidak menemukan alasan lain yang lebih kuat daripada ini. Sejak kepergian ayahnya, hidup Yifan penuh ketidakberuntungan. Ia selalu berteman dengan kehilangan-kehilangan. Dunianya sunyi. Saya nggak berani membayangkan berada di posisi Yifan. Dia hebat banget bisa bertahan dengan kepala tegak.


Kunci adaptasi novel TFF terletak pada karakter Wen Yifan, Sang Yan menyusul setelahnya. Apabila tim scenario mampu mengangkat visualisasi dua tokoh ini dengan baik, meramu garis cerita dan konflik dari novel ke drama tanpa merusak mood yang sudah terbentuk—yang bikin penonton sekaligus pembaca novelnya nggak punya ruang untuk kecewa dan nggak melahirkan protes saking akurat-nya perasaan yang dipindah-alihkan dari sebatas rasa kata ke rasa mata—maka adaptasinya berhasil.


Sampai di sini, perasaan saya campur aduk. Ruang kecewa itu ada. Tetapi bukan pada karakterisasi versi drama Wen Yifan dan Sang Yan, melainkan garis cerita secara keseluruhan. Entah untuk alasan apa, tim scenario membagi fokus cerita ke beberapa karakter, yang menurut saya cukup fatal menjaga mood saya sebagai penonton yang membaca novel TFF. Saya memang terhitung bias saat mengatakan ini, melihat posisi saya sebagai pembaca novel TFF, tapi ini ungkapan jujur yang saya rasakan selama menonton TFF, penambahan sub-plot, side story dan konfliknya ke dalam ramuan cerita utama membuat drama ini tidak enjoyable lagi. Side story-nya nggak bisa nge-blend, nggak menyatu dengan main story, terlalu banyak mengonsumsi porsi waktu. Maksud hati ingin menyentuh hati, ingin menghidupkan keharuan dengan memasukkan sub-plot kisah cinta para senior, jatuhnya malah maksa. Terlalu memaksa. That’s how you ruined the adaptation.


Jadi, menurut saya, adaptasi cerita secara keseluruhan, TFF tidak berhasil. Satu-satunya yang bikin saya setia nonton adalah cerita Wen Yifan dan Sang Yan. Hanya itu. Maaf—


Saya tidak akan sanggup bertahan sampai akhir jika bukan karena ditahan Wen Yifan dan Sang Yan. Mereka adalah bagian terbaik dari TFF, seharusnya tim produksi hanya fokus pada mereka. Yakin deh nggak bakalan ada yang protes. Eh, jangan-jangan yang protes keras begini cuman saya aja? Wkwk.


Satu lagi yang bikin saya respek, pov Yifan sebagai korban KS diceritakan dengan terang-terangan di sini. Maksud saya, bagaimana reaksi dan respon orang-orang, lalu penguatan yang diberikan Sang Yan kepada Yifan. Ini situasi yang nyata. Seringkali korban KS diposisikan sebagai seseorang salah bahkan oleh orang-orang terdekatnya. Sewaktu membaca novel TFF, bagian ini cukup menguras emosi saya. Apalagi membaca kata-kata Yifan, membayangkan situasi horror yang dialaminya. Yifan benar ketika mengatakan ia tak punya sia-siapa di dunia ini. Efek KS bisa dilihat dari rasa insekyur yang muncul pada diri Yifan melalui monolog berikut,


“Recently, I kept doubting whether I’m in the real world. Not only am I loved by Sang Yan, A also have a group of really good friends. Do I really deserve to be treated like this by everyone?”


Melalui Wen Yifan, TFF mengirimkan pesan hangat kepada siapa pun di luar sana yang sedang melewati masa-masa sulit, untuk mereka yang mungkin pernah mengalami situasi seperti yang dialami Yifan, kalian layak dan berhak menerima cinta sebanyak-banyaknya.


#4 Cast & Chemistry

Di bagian ini, saya nggak mau ngomongin yang lain, pengen fokus sama Wen Yifan dan Sang Yan saja.


Memasangkan Bai Jingting dan Zhang Ruonan di drama adalah salah satu dream pairing yang nggak pernah saya bayangkan bisa terjadi dan beneran kejadian dong di drama hasil adaptasi novel favorit saya. Saya nge fans dengan aktingnya Xiao Bai dan Nannan. Ngeliat mereka main drama bareng menjadi semacam kejutan yang bikin hepi. Ini unexpected pairing yang chemistry-nya BAGUS BANGET. One of the most natural chemistry I’ve ever seen in romance drama. Natural yang saya maksud adalah interaksi mereka—gestur, suara, the way they talk to each other, sorot mata, everything about them feels so real and genuine, nggak berasa lagi acting. Untuk sampe ke level ini di drama romance nggak mudah. Nggak banyak pairing drama China yang bisa bikin saya ngerasain sensasi kayak gini. Kebanyakan, masih berasa lagi acting atau feeling kayak oh mereka lagi acting. Level-nya masih sebatas itu. Nah Xiao Bai dan Nannan ngasih sesuatu yang beda. Saya udah ngerasain sensasi acting romance-nya Xiao Bai di drama You Are My Hero ketemu Sandra Ma yang emang udah masuk kategori aktris veteran, interaksi mereka enggak keliatan jomplang atau kebanting. Sedangkan Nannan, tanpa bermaksud mengecilkan power acting Nannan, dari semua drama romance Nannan yang pernah saya nonton—saya sengaja bold  ya. YANG PERNAH SAYA NONTON, chemistry –nya dengan Xiao Bai ini yang paling mengena di saya. Saya pengen bilang di TFF, baik Nannan maupun Xiao Bai berhasil melewati apa yang saya sebut their own skill (?). Upgrade skill di romance drama. They have the sizzling chemistry. It’s magical.


Tek tok an acting mereka nge klik banget. Nyatu. Ga ada awkward-nya. Saya nggak melihat mereka sebagai Zhang Ruonan dan Bai Jingting tetapi Wen Yifan dan Sang Yan di dunia nyata. Jangan khawatir, saya masih bisa menahan diri untuk nggak nge-ship kok. WALAUPUN SYULIIIIIT SEKALI, TUAN. HAHAHAHA.


#5 Ending


“I wish that beside me, there will be many people who love you.” –Sang Yan


Sang Yan is a big deal.


Drama The First Frost diakhiri dengan rasa haru. Sang Yang melamar Wen Yifan di bangku kelas yang pernah mereka duduki dahulu. Itu adalah satu dari beberapa adegan lamaran paling menyentuh yang pernah saya nonton di drama. Oh God, the genuine feeling I’ve got—nggak bisa dijelasin. Terlalu banyak detail gesture, detail emosi yang tumpah bersama-sama. Satu adegan itu nggak sekadar adegan lamaran biasa yang berusaha untuk terlihat romantis tetapi juga menjadi kulminasi dari seluruh perjalanan yang dilalui Wen Yifan dan Sang Yan, sebagai individu dan sebagai dua orang yang sepakat memilih menjadi kita. Saya belum pernah melihat sorot mata Sang Yan se syahdu itu di sepanjang episode terdahulu TFF. Sorot mata yang sarat dengan banyak makna. Ada sedih dan haru menyelinap tetapi bukan jenis kesedihan dan keharuan menyakitkan. Sang Yan ngasih tau Yifan melalui sorot matanya itu bahwa ia bersedia memberikan seluruhnya agar Yifan selalu bahagia, tidak hanya sekadar merasa bahagia. Saya membaca ada kelegaan pada sorot mata Sang Yan, semacam mau bilang akhirnya…


You know it’s beyond words. Sang Yan yang selalu mengusahakan segala sesuatunya untuk Wen Yifan.


Sang Yang berulang kali mengatakan kepada Yifan bahwa ia akan mengabulkan setiap apa pun keinginan Yifan, dan Sang Yan selalu bisa menepati janjinya dengan atau tanpa sepengetahuan Yifan—sebesar itulah ia menyayangi Yifan.


Pada salah satu episode The First Frost, Sang Yan membaca sebuah puisi seraya menatap punggung Wen Yifan yang berjalan menjauh di depannya. Puisi  tersebut berjudul When You Are Old, dimuat dalam buku koleksi puisi milik William Butler Yeats yang dirilis pada tahun 1989. Membaca bait-baitnya yang dalam menyiratkan tentang sebuah cinta tanpa syarat yang melindungi dan membebaskan, dan ini dengan mudahnya mempertemukan saya dengan wajah cinta Sang Yan kepada Wen Yifan. Wajah cinta yang tidak pernah berubah meski tahun-tahun yang panjang pernah membawa mereka menjauh pada jarak yang tak terbilang.


But one man loved the pilgrim soul in you,

And loved the sorrows of your changing face;


Sang Yan telah dan akan selalu menjadi satu-satunya orang yang mencintai jiwa peziarah di dalam diri Wen Yifan, mencintai kesedihan wajahnya yang berubah.


—When you are old and grey and full of sleep,

And nodding by the fire, take down this book,

And slowly read, and dream of the soft look

Your eyes had once, and of their shadows deep;


Puisi ini juga ditulis Sang Yan di papan tulis di hari ia melamar Yifan.


Saya menyukai bagaimana drama ini diakhiri. Kalo di novelnya diceritain sampe masuk bonus chapter Yifan dan A Yan punya anak, sedangkan di drama hanya sampe lamaran saja. Siapa sih yang nggak pengen liat mereka nikah dan punya anak? We would love to see if that happen, right? Tapi adegan lamaran penuh haru di ruang kelas yang pernah menjadi tempat favorit mereka sudah cukup bagi saya. Melihat wajah Yifan yang bahagia tanpa kekhawatiran, melihat matanya yang berbinar, tidak ada lagi jejak sendu di sana. Ia benar-benar bahagia.


Apa lagi yang kita harapkan selain melihat Wen Yifan bahagia? She deserves happiness after all bad things she went through.

So it’s more than enough for me.


The First Frost ditutup dengan sebuah kutipan, ini merupakan pesan utama yang ingin disampaikan drama ini kepada penontonnya,


“Treat yourself well, and the world will hold more love for you.”


Inilah yang dilakukan Wen Yifan, tidak sekali pun ia pernah kehilangan dirinya, atau membiarkan dirinya hancur. Untuk seluruh yang datang kepadanya dan memintanya hancur, Yifan menolak. Ia melawan dengan seluruh yang dimilikinya. Bahwa ia adalah perempuan yang tangguh, ini jelas. Tidak ada sedikit pun keraguan.


Dicintai dengan ugal-ugalan seperti Sang Yan kepada Wen Yifan itu impian banyak orang, banyak perempuan, tetapi pernahkah terbesit, dengan limpahan cinta sebesar itu, mampukah hati kita menampungnya saat mencintai diri sendiri saja kita masih tertatih? Diri ini, mestilah menjadi sumber segala kasih segala cinta bagi kita sendiri. Hanya dengan begitu barulah kita mampu mencintai, menerima dan mampu memaknai cinta dari luar diri kita dengan tanpa tapi dan kalkukasi. Kesadaran ini muncul setelah saya melewati jungkir balik hidup sebagai anak-anak, remaja lalu menjadi dewasa. Tidak heran, ketika membaca novel The First Frost lalu dilanjutkan dengan menonton visualisasinya lewat drama, saya bisa langsung nge klik dan masuk ke dalam sudut pandangnya. Wen Yifan dan emosi-emosinya hidup dan bernapas di hati banyak nama yang sampai detik ini masih struggling dengan dirinya sendiri, dengan trauma-traumanya, dengan luka-lukanya.


Jangan menunggu dicintai untuk merasakan definisi bahagia dan merasa lengkap. Kita harus mulai belajar mencintai diri sendiri, memperlakukannya dengan baik dan adil. Bahwa sebelum menjadi kita, menjadi aku seharusnya dijadikan prioritas utama.


#6 Epilog


“Only a family like this can raise someone like you.” –Wen Yifan


Hati saya berkali-kali dibikin patah oleh Wen Yifan. Sering banget ada adegan dia diam sendirian sambil menatap jauh entah apa di depan sana, wajahnya yang sendu, sunyi dan sedih… Dia pernah menjadi anak perempuan yang hidupnya digenapi kasih sayang.


Dari latar belakang kehidupan 4 tokoh utamanya, saya melihat ada usaha untuk memberikan gambaran seperti apa pengaruh lingkungan keluarga terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Sang Yan yang paling menonjol. Nggak sering muncul tapi kehangatan keluarganya terasa banget. Hanya keluarga seperti ini yang bisa membesarkan anak sepertimu, Siapa yang tidak nyeri hatinya ketika mendengar Yifan mengatakan ini kepada Sang Yan? Kita semua tahu keluarga macam apa yang membesarkan anak seperti Sang Yan dan Sang Zhi. Dua kakak beradik ini tumbuh besar di lingkungan yang cinta dan kasih sayangnya tercukupi sempurna. Maka kita tidak perlu lagi bertanya-tanya mengapa Sang Yan dan Sang Zhi bisa mencintai sedemikian dalam, berani dan setia pada satu nama. Siapa yang nggak nyeri hatinya melihat Yifan dimarahi tantenya di depan orang banyak? Di depan Sang Yan dan ayah-ibunya? Hal paling sulit bagi seorang anak adalah saat semua traumanya datang dari keluarga. It will destroy everything.


Muncul pertanyaan, siapa yang paling besar cintanya, Sang Yan kah atau Wen Yifan? Saya bilang dua-duanya memiliki cinta yang setara. Pernah. Jauh sebelum mereka menjalani hubungan yang resmi, saat statusnya masih sebatas love interest, sebenarnya rasa saling sukanya udah ketemu di tengah. Tapi setelah insiden demi insiden mampir ke hidup Yifan, skemanya jadi berubah, tidak total, hanya saja memang ada yang hilang dari Yifan. Keraguan dan ketakutan-ketakutan Yifan jadi nggak sederhana lagi. Ada bagian emosinya yang nggak stabil dan ini bikin dia selalu merasa nggak layak dapet modelan kayak Sang Yan, dia berpikir Sang Yan layak dapet yang lebih baik. Penyebab utamanya adalah trauma.


Entah bagaimana, tampaknya Sang Yan menyadari bahwa mencintai seseorang yang memiliki luka batin dan trauma sangatlah tidak mudah. Dan memang benar. Yang kamu hadapi adalah trauma yang diisi rasa sakit, ibarat monster tanpa wujud. Ujian kesabaran Sang Yan gede banget. Pake ditinggal dua kali juga. Andai Sang Yan bukan sosok yang datang dari keluarga yang sudah tercukupi bahasa kasih sayang dan cintanya, kita nggak mungkin ngeliat makhluk se-sabar, sebucin dan se-total manusia baik satu ini. Lantas apakah Yifan tidak mengusahakan cinta yang sama? SANGAT DIUSAHAKAN. Tapi nggak mudah. Saya bilang Wen Yifan hanya mampu disayangi dan dicintai manusia macam Sang Yan. Manusia yang nggak butuh validasi lagi, lumbung cintanya sudah terisi. Udah stabil.


Saya nggak akan ragu-ragu bilang kalau cintanya Sang Yan dan Wen Yifan setara. Punya karakter yang berbeda tapi soal cinta, dua-duanya bisa jadi bucin wkwk. Perbedaan ujian hidup juga yang bikin Yifan sempat bikin perasaanya terhadap Sang Yan jalan di tempat.


Jadi bukan soal siapa yang paling besar cintanya, karena Sang Yan dan Yifan selalu mau saling mengusahakan. Soal cinta, mereka berangkat dari titik yang sama. Yifan dan Sang Yan layak saling jatuh cinta.


Saya hepi banget adaptasi drama ini menghadirkan dialog-dialog ikonik di novel, nggak cuman itu aja, eksekusinya bagus banget. Nuansa yang dibangun, chemistry, dan actingnya Bai Jingting dan Zhang Ruonan berhasil menghadirkan kata-kata menjadi sesuatu yang hidup sesuai imajinasi saat membacanya. Inilah salah satu bagian terbaik The First Frost.


Saya tidak keberatan dengan adanya beberapa penyesuaian adegan Sang Yan-Wen Yifan, kecuali menghilangnya adegan di Yihe pasca pertengkaran kecil yang terjadi. Di novel, akhirnya Sang Yan tau sosok yang membuat Yifan trauma, tapi belum sempat dibahas karena dia keburu harus ke Yihe. Ini momen krusial hubungan mereka, nggak ada Yifan yang pergi ninggalin Sang Yan sampe 6 bulan lamanya. Yifan langsung nyusulin ke Yihe, di saat yang sama Sang Yan yang merasa bersalah juga hampir saja terbang kembali menemui Yifan di Nanwu. Ketemuannya malah di bandara. Sang Yan yang sebelumnya alergi dan benci banget sama Yihe akhirnya bisa berdamai dengan Yihe, ehm. Dua-duanya bikin kenangan bahagia di sana HAHAHAHAHA. Yang saya highlight adalah di novelnya, saya bisa ngerasain energinya Yifan yang akhirnya bergerak duluan menghampiri Sang Yan, nggak pake babibu udah langsung gas ngeng nyamperin dan ceritain semuanya. Kesadaran ini bersumber dari dirinya. Dia yang mau. Menurut saya ini penting banget untuk melengkapi potongan perjalanan cinta dua orang ini. Puncak emosinya Yifan dapet banget di momen ini. Nggak ada ruang dramatisasi perasaan yang berlebihan.


Sedangkan di drama, Yifan kan ilang sampe 6 bulan tuh Nah, momen hilangnya Yifan ke Hongkong memberikan Sang Yan ruang untuk mengenali bagaimana hidup yang dijalani seorang diri. Bagian inilah yang tidak pernah bisa dimasukinya sebab Yifan tidak memberikan akses.


Perbedaan ini seperti tidak terlalu signifikan pada plot cerita, tetapi bagi saya yang baca novelnya dan menganggap bagian ini merupakan yang nggak boleh diubah apalagi diilangin, terus terang nggak bisa nyembunyiin kekecewaan. Kesan dramatisasi-nya cukup kencang. Ada plus minusnya juga sih. Ya meskipun Yifan-lah yang kemudian menghubungi Sang Yan duluan, saya tetap tidak bisa memungkiri versi Hongkong membuat Sang Yan tampak seperti pihak yang paling banyak berkorbannya, yang paling gede effort-nya di bagian ini. Sementara versi Yihe di novel, dua orang ini akhirnya menjadi setara soal perasaan dan effort. Versi novel ini membekas banget bagi saya. Saya salut dengan keberaniannya Yifan, pengen banget meluk erat.


Saya pernah nonton cuplikan video yang menunjukkan alasan kenapa bagian ini diubah menjadi Hongkong, tetapi saya terlanjur kecewa.


Soal POV-nya Sang Yan yang dilebarin di drama, saya setuju. Sang Yang diberi keleluasaan untuk memperlihatkan sudut pandangnya. Yang nonton pun turut merasakan bagaimana keadaan Sang Yan terkait pertautan emosinya dengan Yifan, apalagi pasca ditinggal dengan tega begitu.


Kisah cinta Sang Yan dan Wen Yifan adalah salah satu kisah cinta paling romantis yang pernah saya nonton di drama China. Romantisnya nggak sebatas skinship. Build up relationship-nya bener-bener dalam dan punya pondasi kuat. Based on mutual understanding. Nggak bikin eneg. Pas awal awkward-nya dapet banget, begitu masuk fase relasi kasih sayang yang nyata juga nggak digambarkan dengan monoton. Yang nggak baca novelnya tetap bisa enjoy menikmati. Hal yang sama terjadi saat saya menonton You Are My Glory. Saya seperti melihat dua orang yang menjalin hubungan di dunia nyata. Relationship goal yang mahal dan diidamkan banyak hati.


Pengen punya pasangan kayak Sang Yan—inilah reaksi saya sewaktu membaca novel The First Frost dan menjumpai banyak hal yang dilakukan Sang Yan untuk Wen Yifan. Anak perempuan yang kerap overthinking, ngerasa insekyur, butuh pasangan seperti Sang Yan. The First Frost isinya Sang Yan yang dengan tindakan dan kata-katanya selalu memastikan agar Wen Yifan tau dan merasakan bahwa ia begitu dicintai dengan sedemikian rupa, bahwa dirinya berharga, layak dan berhak dengan semua itu. Sang Yan yang keliatan kayak anak mager-an itu, bisa banget mencintai dengan kata dengan gelagat dengan tindakan.


“You are the fate I refuse to escape.” –Sang Yan


Yeah. Sang Yan si Mr. Consistent. Omongannya nggak cuma diisi kekosongan.


Sampe di sini, makin nyata kan gambaran besar karakternya Sang Yan? Anaknya nggak neko-neko. Biasanya tipikal begini bisa membaca karakter orang dengan cepat. Yang baru kenal akan menganggap dia sombong lah angkuh lah. Persis Yifan juga, yang nggak kenal deket pasti nyangka anaknya dingin, padahal baik banget, lembut dan mudah nolongin orang.


Saya menyukai semua adegan Yifan dan Sang Yan, tapi ada dua adegan yang nggak tau kenapa pas nonton itu pertama kali kayak ada sensasi aneh memenuhi perasaan saya. Pertama, adegan Yifan ngasih hadiah gelang couple untuk Sang Yan, pas masangin gelangnya ke pergelangan tangan Sang Yan, Sang Yan reflex mengelus wajah Yifan dan Yifannya bales dengan senyum cantik—EDYAAAAAAN SAYA TERIAK ASTAGA. Gestur sederhana itu bikin saya pengen guling-guling di kasur huhuhu. Ngelus doang padahal. Pokoknya nggak paham nggak ngerti kenapa buat saya adegan itu kesan romantisnya kuat banget. Angle pengambilan gambarnya cantik sekali. Kedua, adegan Yifan mabuk di pesta sohibnya Sang Yan. GEMES BANGET TOLONG. Udah gitu Sang Yan sabar banget lagi ngeladenin. YA ALLAH MAU SATU KAYAK SANG YANG. Saya nangis di ini, di bagian Yifan dan Sang Yan duduk ngejeplok di halaman apartemen mereka dan Yifan sempat ngobrolin hidupnya ke Sang Yan. Adegan ini saya ulang-ulang.



—Sinematografi

Kesan sendu tapi hangat terasa begitu kuat pada pemilihan color grading TFF. Ada sedikit sentuhan gelap yang mewakili jiwa Wen Yifan. Angle pengambilan gambar TFF juga memiliki detail yang bagus. Beberapa adegan TFF membuat saya teringat pada situasi dan nuansa setelah hujan turun. Langit masih diselimuti muram, dan udara lembab mengisi pori-pori.


—OST dan BGM

Ost yang dinyanyikan Mayday nyantol di kuping saya. Oiya, saya tertarik dengan BGM instrumental, ada yang mengingatkan saya pada A Piece of Your Mind, hehe.


Untuk konflik, yang nggak baca novelnya, angst-nya lumayan berasa ya. Banyak yang bertanya-tanya ada apa dengan Yifan? Berarti TFF lumayan berhasil mengembangkan cerita dong? Saya tetap merasa penambahan side story di luar Yifan dan Sang Yan tidak proporsional dengan main story. Cukup banyak mengonsumsi screentime. Yang 32 episode, bisa banget hanya 24 episode.


Jadi, apakah TFF hanya sekadar kisah cinta lama butuh kelanjutan saja? Tidak. Drama ini ingin menguatkan kita, bahwa mencintai diri sendiri harus selalu menjadi prioritas utama. Untuk survive, untuk tangguh, untuk memeluk hidup… hal pertama yang mesti dilakukan adalah menemui diri sendiri.



KISAH CINTANYA SANG YAN DAN YIFAN INDAH BANGET. POWERFUL. GENTLE. HEARTWARMING.

💚💚💚

Sang Yang perfect? NGGAK. DIA TAKUT HANTU. PENAKUT SAMA FILM HOROR.


Tabik,

Azz

Mohon dimaafkan bila ada tulisan yang menyinggung dan bikin sakit ati. Maaf lahir batin ya teman-teman. Selamat berlebaran. 💞


P.s : Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya lagi mikir keras, ada sesuatu yang hilang rasanya. Kayak ada yang sempat nongol di kepala untuk dituliskan tentang TFF tapi buru-buru dibawa kabur setan sebelum saya ubah menjadi kata-kata. Beneran bablas ilang ga inget mau nulis apa Astagfirullah.

2 comments:

  1. I can't say anything else but terimakasih banyak atas ungkapan indah nya yang mewakili isi hatiku juga ya kak, its means a lot for me..beneran kayak selama nonton tff ini udah ngga bisa berkata apa-apa lagi... terlalu banyak hal yang pengen diungkapin tapi ngga bisa menjabarkan dengan baik.
    For me the first frost is the best cdrama ever.. my comfort cdrama, my safe peace.. my fav couple (tenang ini msh batas wajar kok hehe) sayang yifan banyak-banyak, sayang sangyan jugaa wkwk damn i think i'm at the stage of wanting to protect myself as much as i want to protect them all the cost

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiiii.... Terima kasih sudah meninggalkan jejak sini. Ini berarti banget buat aku. Sejak baca novelnya lalu menonton adaptasi dramanya, dilanjut dengan menonton potongan klip Sang Yan Yifan di temlen, aku ga bosen²nya bilang sayang banget sama mereka. Ga cuma romance nya aja, tapi pesan yang mereka bawa sebagai individu bener² nyampe ke aku sebagai penonton. 😭😭😭😭

      Delete

Haiii, salam kenal ya. 😊