Review Shining For One Thing (Movie Version)

---DISCLAIMER : INI REVIEW SUKA-SUKA DARI SAYA YANG MENYAYANGI ZHANG WANSEN, LIN BEIXING DAN SHINING FOR ONE THING---

★🌕🚀


Siapa yang masih inget ending episode 24 Shining for One Thing? Yang dibikin gagal move on sama payung item dan salju? Yang mewek tiap denger The Entire World-nya Baby J?


SAYA!!!


Gara-gara open ending, banyak spekulasi soal nasibnya Zhang Wansen. Wansen masih hidup atau udah mati. Kalau mati, di mana kuburnya?—HEHHH DIEM.


Dan gara-gara open ending itu juga, mulailah bermunculan suara-suara dukungan fans di mainland agar SFOT dibikinin versi movie. Makin lama makin kenceng. Alasannya tak lain dan tak bukan, orang-orang ingin tau kepastian hidupnya Wansen setelah terjatuh dari mercusuar tuh gimana? Kita pengen tau banget yang nyodorin payung item ke Lin Beixing di akhir episode 14 Wansen atau bukan? Ya, walaupun udah pada yakin sih itu Wansen. Intinya, tim Wansen garis keras ingin mendapatkan closure yang baik. Yang udah terlanjur sayang sama Wansen emang mustahil nggak sedih sama nasibnya dia. Mau bilang suka aja perjuangannya sampe ngorbanin diri sendiri. Hari gini nemu spesies laki kayak Wansen perbandingannya 1 : 1000 alias syuliiiit shayyy. Di Fiksi mah banyaaakkk, se ijo hutan paru-paru dunia juga adaaaa.
Lama menunggu, setelah rilis pengumuman tersebut, belum ada kabar lanjutan mengenai proses syuting. Fans mulai ragu. Jangan-jangan batal nih. Dibuat waswas lagi deh segenap warga penyayang Wansen.

Hingga kemudian kabar baik itu benar-benar terealisasi. Foto-foto syuting mulai bertebaran. Ngeliat Wansen lagi dalam balutan seragam auto bikin haru-biru ini hati dengan harapan-harapan. Semoga di versi filmnya, Wansen bisa bahagia. Semoga ga ada mercusuar lagi, ga ada payung item lagi, semoga kata aku menyukai-mu tidak lagi membuat penonton trauma. Dan semoga musim dingin tidak lagi membuat orang-orang ingin memanggil Wansen dengan penuh kesedihan. Terlalu banyak semoga yang membuat saya merasa perlu untuk mengingatkan diri  agar tidak menaruh ekspektasi tinggi ke filmnya. Pokoknya asal Wansen bahagia, itu cukup—semoga ini bukan ekspektasi yang ketinggian.


Akhir tahun 2023 kemarin, SFOT versi film-nya pun dirilis di bioskop-bioskop di mainland. Efek Wansen ternyata masih sangat besar di sana. SFOT laris manis. Jujur, saya tidak begitu mengikuti perkembangan film ini secara detail, salah satu alasan saya adalah saya kuatir kecipratan spoiler. Makanya sebisa mungkin saya menjaga radar agar tidak menangkap spoiler-spoiler yang bertebaran di temlen. Kalo udah terlanjur tau bocoran jalan ceritanya, bisa nggak seru lagi dong nontonnya. Udah nggak ada efek surprise-nya.


Mengikuti jejak Someday or One Day, film Shining for One Thing ternyata ditayangkan di Indonesia. Sayang sekali, domisili saya jauh dari akses bioskop yang menayangkan film ini. Saya sabar saja menunggu rilisan dari platform resmi kayak Aiciyi yang juga menayangkan SFOT versi drama.


13 Februari 2024, SFOT movie akhirnya dirilis di platform resmi hanya saja sepertinya tidak berlaku untuk regional Indonesia. Nasib. Sambil menunggu, kemarin saya menonton di situs China yang menyediakan engsub. Bagaimana reaksi saya bertemu Zhang Wansen setelah dua tahunan menunggu kelanjutan nasibnya?


Wansen tidak berubah. Dia tidak pernah berubah. Dia masihlah Wansen yang mencintai Xingxing tanpa tapi, diam-diam, dari jauh, seraya mengumpulkan keberanian untuk mengenalkan dirinya kepada Xingxing.


Shining For One Thing versi drama dan film konsisten membuat saya menangis sesenggukan.

—tulisan di bawah ini mengandung spoiler—





Pertanyaan yang paling ingin saya temukan jawabannya di SFOT versi filmnya adalah apakah Zhang Wansen berhasil menemukan bahagianya?


Setelah menonton separuh jalan film berdurasi 1 jam 47 menit ini, saya mulai tidak yakin dengan harapan saya. Saya dengan mudah bisa berasumsi kalau film ini tidak dibuat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya kemudian dengan sangat yakin mengatakan SFOT versi film bukanlah kelanjutan cerita dari versi dramanya usai menontonnya. Pupus sudah harapan saya untuk melihat Wansen, si anak baik bisa memeluk kebahagiaan yang layak ia dapatkan.


Lantas apakah tidak ada hubungan antara drama dan filmnya selain 4 tokoh utamanya yang sama? Ada. Saya melihat itu pada jalan ceritanya. Nanti saya akan jelaskan menurut sudut pandang saya, bagaimana saya membaca SFOT versi drama dan film.


Wansen mendarat di bulan. Di sana, ia bertemu Xingxing.

Tapi ini bukan tentang pendaratan mereka di bulan.


Adegan berikutnya, terlihat Wansen berlari terburu-buru di bawah deras hujan, menerobos kerumunan orang-orang yang menunggu Gaokao selesai. Kirain mau ngapain, ternyata cuma demi tiket nonton konser doang, yang apesnya pas nyampe di loketnya ternyata tiketnya udah abis. Dua tiket terakhir dibeli seorang gadis. Iyak bener. Dia adalah Lin Beixing. Yang bikin terkejut, sewaktu Wansen pengen nego biar Xingxing mau jualin lagi tiketnya ke dia, Xingxing balesnya jutek banget. “TIKETNYA GA DIJUAL!” Gitu jawabnya Xingxing sambil berlari meninggalkan Wansen.


Di sini saya udah ngerasa nggak enak. Kok Xingxing galak sama Wansen? Galaknya tuh bukan yang nyenengin tapi nyebelin buat saya yang udah nonton dramanya. Xingxing di drama kan manis dan lucu huhuhu. Xingxing ah, who are you?


Sejak saat itu, Wansen semakin giat nyari-nyari kesempatan untuk deket-deket sama Xingxing. Bela-belain jadi volunteer di acara konser demi Xingxing meskipun kemudian konsernya dibatalkan karena alasan keamanan. Di saat yang sama, saya membaca gelagat Xingxing yang berusaha berjarak dari Wansen. Saya kasian sama Wansen. Mukanya minta dipukpuk sepenuh kasih sayang. Tiap dia mau ngenalin namanya kepada Xingxing, gadis itu seperti tidak ingin mendengarnya. Kalo di drama, untuk bilang aku suka kamu aja tantangannya luar biasa. Lah, di film malah lebih parah. Mau ngenalin diri aja ga bisa-bisa. Heran.


Belakangan adegan-adegan yang menimbulkan tanya ternyata memiliki alasannya masing-masing tentang apa dan mengapa.



Ini tentang sudut pandangnya Wansen dan Xingxing, yang membentuk satu gambar utuh. Selalu ada jawaban untuk setiap pertanyaan. Meski jawabannya tidak selalu membuat napas lega.


Jika paruh pertama film ini mengajak saya menertawakan tingkah kikuk dan lucunya Wansen ketika bersinggungan dengan Xingxing—kita yang udah familiar dengan kelakuan Wansen di drama nggak mungkin nggak ngikik sih liat dia di sini. Kerasa banget kangennya Ya Allah huhuhu kangen banget sama nih anak. Nah di paruh kedua hingga akhir sukses bikin nyesek sampe nangis parah, saya beneran nangis sejadi-jadinya. Apalagi duapuluh menit menuju ending… ini dada kayak dipenuhi jenis kesedihan yang nggak bisa dijelaskan. SAYA TUH NUNGGU SFOT MOVIE BUKAN UNTUK INIIIII. Masa udah dibikin nangis jelek di drama, eh di filmnya malah disuruh lanjut nangis jeleknya. 😭😭😭😭😭😭😭😭😭


Wansen lu kenapa sih?? Kenapa sulit banget untuk bahagia? Kenapa matamu harus selalu dipenuhi penerimaan yang tulus?? KENAPAAAAAAAAAAA???

Bentar. Saya mau nangis dulu.


….


😭😭😭

Serius, saya beneran nangis sambil nulis ini. Mana pas banget yang keputer The Entire World-nya Baby J.


Sebenernya, dari poster perdana pas pengumuman kalo SFOT mau dibikin versi movie, udah kebaca sih plotnya bakal kayak gimana. Di drama, Xingxing yang melintasi waktu, di versi movie, Wansen lah yang berpetualang ke semesta lain. Cuman saya nggak nyangka kalo ceritanya bakal se-konsisten ini bersetia pada soul dramanya. Plot twist-nya bikin kaget nggak kaget. Walaupun saya udah curiga tapi tetap aja saya nangis kenceng bareng Wansen. Nasibmu, sungguhlah… 💔


Versi filmnya hanya ingin menegaskan kembali, tidak ada masa lalu yang bisa diubah sebesar apa pun penyesalan yang kita miliki. Apa yang sudah terjadi, apa yang sudah berlalu di dalam waktu, tidak mungkin bisa kembali. Tidak ada penyesalan yang bisa ditebus dari seseorang yang waktunya telah berhenti berdetak.


Menonton drama, lalu menonton filmnya, kita bebas menerjemahkan makna dua versi ini. Apakah mereka saling terhubung atau berdiri sendiri? Kita bebas-bebas saja memilih. Tapi saya ingin memilih kedua-duanya. SFOT versi drama dan film bisa dianggap berdiri sendiri, namun di sisi lain, dua versi ini memiliki hubungan akrab yang tidak bisa dipisahkan.


Selama ini, sebelum perilisan versi filmnya, di kepala saya sudah ada scenario singkat mengenai kelanjutan nasibnya Wansen. Setelah dia terjatuh dari mercusuar, Wansen koma entah dimana, lalu dalam komanya dia mengalami perjalanan waktu ke dimensi lain. Parallel world. Saya membayangkan upgrade-nya Wansen bukan lagi dalam balutan seragam sekolahan. Dalam perjalanannya tersebut, Wansen berhasil menemukan Xingxing. Demikianlah ekspektasi saya. Wansen pasti bisa menemukan bahagianya. Wansen masih hidup. Happy ending yang saya inginkan akan terjadi. Saya nih udah jadi bucinnya Wansen kayaknya. Positive thinking banget sama nasibnya Wansen. Optimis.


Trus begitu nonton opening filmnya, scenario itu lenyap tak bersisa dari kepala saya.


Filmnya jelas-jelas bukan lanjutan cerita dramanya. Cerita dan alurnya berbeda meski isinya masih tentang Wansen, seorang anak laki-laki yang jatuh suka seberat-beratnya pada anak perempuan bernama Lin Beixing. SFOT versi drama masih banyakan momen lucunya, sedangkan versi film agak gloomy. Padat. Berat di perasaan. Kelucuan Wansen di paruh pertama tidak sanggup menyelamatkan saya dari kesedihan yang dalam di paruh kedua. Kesedihan itu masih tertinggal bahkan setelah SFOT versi film menghabiskan detik terakhirnya.




Seperti yang sudah saya ungkap sebelumnya, kita juga bisa menganggap film ini sebagai bagian dari dramanya sendiri, kita bisa menganggap film dan dramanya merupakan bagian dari dunia parallel. Dalam urusan ini, kita setidaknya bisa memastikan satu hal, pada semesta mana pun, akan selalu ada Wansen yang mencintai Xingxing, dan akan selalu ada penyesalan yang lahir kemudian, entah itu dari sisi Wansen maupun Xingxing.

Sebab, “Space-time rules have already determined the end of our story, our separation.” –Lin Beixing (Shining for One Thing The Movie).

Saya takut, pertanyaan saya di drama akhirnya terjawab di sini. Wansen memang benar-benar sudah tidak ada. Kita kehilangan Zhang Wansen di mercusuar itu. Selamanya.


Happy Ending?


Lagi-lagi, penulis skenarionya memilih open ending. Penonton disuruh menyimpulkan sendiri. Karena saya adalah penonton yang nggak mau rugi, maka saya akan menerjemahkan sendiri apa maksud dari kambeknya si payung item dan salju di post credit film ini sesuka hati saya HAHAHAHA.


It’s a happy ending, but it’s not the happy ending that we want so bad. It’s a happy ending, but, it wasn’t a happy ending for the boy who fell from the Lighthouse. Ini happy ending untuk Zhang Wansen dan Lin Beixing yang saling mencintai dan akan selalu saling mencintai meskipun mereka terlahir di semesta yang berbeda-beda.


Kembali ke ending episode 24 ketika Lin Bexing menatap butiran salju yang berjatuhan seraya memanggil nama Zhang Wansen. “Zhang Wansen, it’s snowing. How are you doing? I miss you. I miss you so much.”


Saat Xingxing hendak melangkah dan seseorang memayunginya dari belakang. Coba ingat-ingat lagi lagi ekspresi wajah Xingxing. Itu bukan ekspresi orang yang kaget atau bingung melainkan reaksi lega dan bahagia seolah-olah ia sudah tahu siapa yang memegang payung di belakangnya itu. Seolah-olah itu bukan kali pertama baginya.

Sewaktu menonton adegan itu, saya sudah bertanya-tanya kenapa Xingxing bereaksi seperti itu? Mengapa ia bisa seyakin itu mengenali pemegang payung hitam yang sudah bikin penonton ngereog puluhan purnama?

Barulah setelah menonton versi filmnya saya menemukan jawabannya. Inilah alasan mengapa saya bilang film SFOT bisa saja dianggap lanjutan versi dramanya, tergantung sudut pandang mana yang saya pilih.

Wansen dan Xingxing bertemu lagi di tahun 2022 setelah melintasi semesta demi semesta, setelah melewati patah hati demi patah hati yang bikin remuk perasaan. Dan bagaimana jika kali ini mereka memiliki semacam satu mantra ajaib yang bisa membuat mereka saling menemukan?


“I miss you. I miss you so much.”


Saya membayangkan setelah ending episode 24 itu, Wansen dan Xingxing masih akan terus bersama dalam waktu yang lama asal nggak ada yang kepleset bilang “I like you”, atau mengatakan “Hi, Lin Beixing. I’m Zhang Wansen”.

Emang udah paling bener dipanggilnya Apollo 11 aja.


Jadi, demikianlah. Kita tidak perlu lagi menunggu kejelasan kabar anak laki-laki yang terjatuh di mercusuar. Juga tidak perlu mempertanyakan siapa sosok Lin Beixing dan Zhang Wansen yang melakukan perjalanan waktu itu. Itu tidak menjadi penting lagi. Yang terpenting Lin Beixing dan Zhang Wansen sudah menemukan closure dari perasaan yang gagal tersampaikan saat mereka masih ada kesempatan di masa lalu.


Saya menyukai cara Xingxing dan Wansen berpisah di film. Bikin banjir, tapi sedihnya lebih ke lega, dapet banget closure-nya. Mereka menyadari betul bagaimana semesta memeluk kisah mereka. Dan mereka bersedia menerima.


Siapa yang nggak ingat betapa nyeseknya perpisahan Wansen dan Xingxing di episode 23 drama Shining for One Thing? Wansen cuma bisa bilang “I like you” dari jauh trus ngilang. Nggak ada satu pun perpisahan Wansen-Xingxing di drama yang nggak bikin nyesek, nangis-nangis ga terima yang ada. Seenggaknya di versi film mereka saling menggenggam tangan, saling tersenyum, saling merelakan dengan sebenar-benarnya penerimaan.


Lin Beixing nggak sendirian lagi melakukan perpisahan.


I’m okay… I’m okay… NOOOOOOOOOO I’M NOT OKAY. 😭💔😭💔


Tentang adegan Wansen dan Xingxing main-main di bulan, saya nggak menganggap adegan ini sebagai sesuatu yang nggak punya arti. Di pembukaan film, ada monolog Wansen tentang sejarah pendaratan pertama manusia di bulan. Pada tahun 1969, tepatnya tanggal 20 Juli Pukul 20.17 UTC (Universal Time Coordinated), misi pendaratan pertama manusia di bulan milik Amerika Serikat yang diberi nama Apollo 11 berhasil mendaratkan Modul Lunar Apollo Eager di satelit Bumi tersebut. Neil Amstrong menjadi manusia pertama yang menginjakkan kakinya di daratan Bulan. Proyek Apollo ke 17 menjadi misi terakhir milik Amerika yang mendaratkan manusia di bulan, pada Desember 1972. Wansen berandai-andai, jika suatu saat muncul lagi manusia-manusia lain yang bisa melakukan perjalanan ke bulan, bisakah ia dan Xingxing pergi ke  bulan bersama?


Terlepas dari kontroversi pendaratan fenomenal pertama Neil Amstrong di bulan puluhan tahun silam, pasca misi Apollo berakhir, kita tahu hingga saat ini belum ada lagi manusia lain yang melakukan pendaratan di bulan. Sekarang, silakan tebak sendiri, apa maksud adegan pendaratan Wansen dan Xingxing di bulan yang muncul di penghujung film ini.



Semua berawal dari dua bocah yang keseringan telat dijemput orang tua masing-masing yang akhirnya membuat mereka jadi teman bermain di depan gerbang sekolah. Pas mau pisahan karena ada yang bakal pindah sekolahan, si anak laki-laki bertanya kepada anak perempuan yang kalau dilihat dari postur tubuhnya sepertinya berusia beberapa tahun di atasnya. “Are we good friends?”


Si anak perempuan berjalan, sambil menunjuk ke arah langit berkata,“If you can climb up there, we’re good friends then.”


Yang dimaksud Xingxing : Bianglala

Yang ditangkap Wansen : Bulan


Hanya karena sewaktu Wansen melihat ke arah langit yang ditunjuk Xingxing, yang tersisa adalah bulan yang membulat penuh. Lampu bianglalanya mati makanya nggak keliatan. Salah pahamnya berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian. Wansen bermimpi bisa mendarat di bulan karena Xingxing, karena ia salah paham, menyangka Xingxing baru akan mengganggap mereka teman baik jika Wansen berhasil manjatin bulan. SENIAT ITU. YA ALLAH WANSEN LU EMANG TERLAHIR UNTUK JADI BUCIN YA.


Kalau diperhatikan, walaupun cerita versi film dan dramanya berbeda, tapi bagaimana Xingxing menanggapi fakta ketidakmungkinan antara dirinya dan Wansen memiliki gelagat yang sama—Xingxing berusaha berjarak dengan Wansen sampai kemudian ia menyadari jika Wansen juga sama seperti dirinya.

☆★☆



Shining For One Thing tidak mengecewakan saya. Saya adalah fans berat drama ini, penyayang nomor satu-nya Zhang Wansen sampai kapan pun tidak akan berubah. Meskipun saya tidak mendapatkan happy ending seperti yang pernah saya bayangkan, saya tidak kecewa atau merasa tidak terima. Saya malah berterima kasih sebesar-besarnya pada penulis scenario dan seluruh tim Shining For One Thing.


Terima kasih telah menjaga kisah Zhang Wansen dan Lin Beixing dengan baik. Kisah yang indah, tentang cinta yang terlambat disadari, tentang penyesalan yang tidak akan pernah bisa ditebus, tentang pelajaran menerima apa yang sudah ditakdirkan.


Seperti Someday or One Day, Shining For One Thing juga memilih setia pada pesan yang ingin disampaikan. Pesan ini telah menjadi nyawa dramanya, lalu dilanjutkan dengan movie version-nya. It’s all about regret. Saya percaya sejak awal, film Shining For One Thing dibuat bukan untuk memuaskan keinginan penonton dramanya. Tapi ia hadir untuk sekali lagi mengingatkan, kisah Zhang Wansen adalah wujud penyesalan yang tidak bisa direka ulang. Kalau ada yang merasa kecewa dengan versi filmnya, wajar ya. Namanya juga penonton, setiap kepala pasti menyimpan ekspektasinya sendiri.


Bagi saya, Shining For One Thing movie version sudah memenangkan hati saya saat saya akhirnya bisa melihat gambar utuh cerita film ini. Saya paham untuk apa film ini dibuat. Saya menemukan jawaban meskipun itu bukan jawaban yang saya inginkan sejak lama. Film ini telah memberikan saya closure yang bisa saya terima tanpa tapi.


Saya juga menyukai kalimat penguat yang diberikan pemilik toko buku Ocean of Spacetime kepada Wansen dan Xingxing.


“Many things written down may never be read by anyone. But those who have read them, will keep them in mind forever.”


Kalimat ini bisa mewakili siapa saja atau apa saja. Ia bisa saja mewakili Wansen, saya, kamu, kita, atau perasaan-perasaan yang selama ini diabiarkan mekar sendiri.

Atau bisa juga mewakili Shining for One Thing. Siapa yang tahu, mungkin saja sebelum mewujud drama, original story Shining for One Thing hanyalah cerita yang dibiarkan melayang di dalam kepala penulis skenarionya. Lalu, ketika akhirnya diputuskan untuk divisualisasikan—cerita anak laki-laki yang biasa ditemukan sebagai second lead di drama-drama romance berhasil membuat banyak hati ikut terseret kesedihannya.


Saya ingin sekali bertanya ke penulis skenarionya, apakah Zhang Wansen adalah sosok nyata? Apakah ini berdasarkan pengalaman hidup Duan Yule, Xu Xiaoqing, Wang Yichao, atau Zhang Haoxue? Mereka teguh banget menyampaikan pesan tentang penyesalan lewat film dan dramanya. Di kehidupan nyata kita nggak punya dunia parallel, apa yang kita miliki adalah waktu di mana kita hidup saat ini. Mencitailah dengan berani, dengan sebesar-besarnya cinta, sebab waktu tidak punya jalan kembali. Waktu tidak bisa memulangkan apa yang sudah berlalu, termasuk memulangkan kita pada penyesalan.

Love without regret.

Tapi jangan bucin kayak Wansen ya... 


Saya nggak mau nyebut Wansen sebagai Stalker. Di kepala saya, stalker memiliki konotasi negative, mengarah ke tindakan criminal yang membuat orang yang di-stalker merasa tidak nyaman. Sementara apa yang dilakukan Wansen sangat jauh dari itu. Menurut saya Wansen nggak nge stalking Xingxing. Apa yang ia lakukan hanyalah berusaha untuk mengenal Xingxing. Kalo di drama dia pengen melindungi Xingxing, sedangkan di film, Wansen cuman pengen ngenalin diri.


Pengen ngasih jempol ke tim produksi SFOT, saya nggak merasakan perbedaan vibes antara Wansen di drama dan film. Ini nggak terlepas dari acting Qu Chuxiao yang oke banget. Detail karakter Wansen nggak ada yang ilang. Makanya di awal kemunculan Wansen di film, bawaannya udah pengen nangis aja. Nangis haru. Kangen. Dua tahunan nggak tau kabarnya, taunya lagi time travel.

Lin Beixing dan Zhang Jianing juga sama. Style-nya masih Xingxing yang saya kenal. Yang bikin nggak familiar adalah sikap dingin Xingxing kepada Wansen yang sangat berbeda dengan Xingxing di drama. Di film, saya kehilangan lucu dan gemesnya Xingxing. Termyata emang ada alasannya.


Aransemen BGM di setiap scene sangat membantu proses build up emosi penonton. Soundtrack-nya turut menjadi representasi cerita SFOT versi film ini. Lirik lagunya bertema ruang angkasa, langit, bintang-bintang dan cinta sendiri. Setiap kali mendengar Hidden in Your Name, OST yang dinyanyikan Shan Yichun, saya mendadak sedih. Apalagi bagian reff-nya… NYESSS banget rasanya.


“The bright stars twinkle; the universe is responding on my behalf

I approach carefully, holding a heart and your name

The bright stars twinkle; the universe is responding on your behalf

Your firm eyes hide deep feelings that will be proven


Lagu ini memiliki efek yang berbeda dari The Entire World. Isyarat yang ingin disampaikan berbeda. Citarasa kesedihannya berada pada level yang berbeda meskipun jelas; dua lagu ini berhasil mewakili nyawa drama dan filmnya. Jika mendengar The Entire World, hati seperti disusupi kesedihan atas perasaan yang tidak tersampaikan, Hidden in Your Name terdengar seperti sebuah penerimaan, sambil membayangkan sorot matanya Wansen, perjalanannya menuju Xingxing.... 😭😭😭😭😭😭 Kalau mau nambah banjir lagi, coba dengerin bolak-balik lagu ini dan Love Confession-nya Qu Chu Xiao. DAHLAH. AMBYAR ITU HATI.


Saya tidak bisa menahan diri saat lagu ini menutup Shining for One Thing, saat layar hitam dipenuhi nama-nama yang berjasa dalam pembuatan film ini—lalu menyadari ada animasi Si Apollo 11 yang berusaha mencapai dan menggapai sebuah bintang di langit. Usaha yang berkali-kali gagal. Apollo 11—Zhang Wansen, dan si bintang yang paling bersinar—Lin Beixing.

And at the end of this story, they got their happy ending,

and here I Am, crying for their happiness.

🌕


🚀

One day, Zhang Wansen ask :

“So we can say we’ve enjoyed this summer?”

💚

Bye, Wansen-ah. You will be remembered forever. I Promise. 

We love you. 😭


Yang mau baca review Shining For One Thing versi drama silakan mampir ke sini (Review Shining For One Thing Drama Version)

No comments:

Post a Comment

Haiii, salam kenal ya. 😊