Sinopsis Reply 1988 Episode 1 Part 1

“Tahun 1988. Dunia dingin, tetapi hati kami berapi-api. Dan tak banyak yang kami miliki, tetapi hati orang-orang terasa hangat. Tentu saja jika kau membandingkan dengan keadaan sekarang, tahun-tahun itu adalah zaman analog, tak berbeda dengan zaman batu. Meski demikian, kami menjalani hidup 18 tahun kami dengan canggih.
Kami adalah generasi pertama dalam sejarah yang mengenakan sepatu sneaker slip-on, dengan bawahan denim. Kami mendengarkan lagu-lagu baru dengan walkman.
Anak laki-laki tergila-gila dengan Jaime Sommers dan Joey Wong, Sophie Marceau, dan Guru Jimena... dan kami para gadis tergila-gila pada Pierce Brosnan, Tom Cruise, Richard Gere dan New Kids on The Block.
Bagaimana pun, terlepas dari jenis kelamin, ada satu film yang disukai generasi muda. Dan film itu adalah..
A Better Tomorrow 2
September, 1988.
Seoul, Dobong-gu, Ssangmun-dong.
[Anak-anak Ssangmun-dong menonton film A Better Tomorrow 2]
A Better Tomorrow sudah memasuki klimaks cerita—mood-nya sedih. Harusnya begitu. Tapi Dong-Ryong tak sengaja memecah konsentrasi teman-temannya. Ia tak hati-hati membuka bungkusan snack hingga membuat isinya berhamburan keluar.
Embeeeeeeeekkkk~
Kacaooo.
“Mian...” ucap Dong Ryong pendek saja.
Nama anak ini Ryu Dong Ryong. Meski terlihat nerd, dia adalah Konselor di kompleks ini.
“Dasar, kau ini. Apa kau tak bisa melakukan itu nanti saja?!”
“Ini Kim Jung Hwan, yang rumahnya di atas rumah kami. Ia juga dikenal sebagai Gae (anjing). Dia belum menjadi manusia seutuhnya.
Anak selanjutnya adalah...
“Taek. Pemilik ruangan. Seorang pemain baduk profesional. Tapi, apa yang akan dilakukannya dengan baduk jika ia bodoh dalam hal lain?”
Jung Hwan menyuruh Taek mengambilkan lap. Dong Ryong ikut-ikutan meminta Taek membawakan alkohol dan susu. Sunwoo kesal dan memarahi Dong Ryong—kau bisa mengambilnya sendiri!
“Ini pertama kali dia—Taek—pulang ke rumah setelah sekian lama.
“Namanya Sunwoo, dia yang paling waras di kompleks ini.”
Deokseon berteriak marah. Ia memukuli Jung Hwan yang tepat duduk di sampingnya. “Aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan!”
“Kenapa kau marah padaku? Balas Jung Hwan.
“Aku tak tahu! Ini gara-gara kamu!
... Umm... ini aku, 27 tahun silam. Poniku bergelombang hingga mungkin bisa berselancar di sana, dipadu ptongan rambut pendek. Dan yang tidak terlalu pink, tapi warna magenta yang mencolok. Itulah yang terbaik dulu.”
Duksun sekali lagi berteriak kesal, masih penasaran siapa nama anak perempuan d film yang mereka tonton.
“Kamu juga tak dengar,” sela Jung Hwan.
“Sung Ho-Yin.” Sunwoo menjawab. Yeokshi.
“Tahu dari mana?” tanya Dong Ryong.
“Dari subtitle-nya.”
Teng! Terdengar dentang jarum jam menunjukkan tepat jam 6 sore. Di saat yang sama, Taek muncul di depan pintu kamar membawa pesanan Jung Hwan dan Dong Ryong.
“Kim Jung Hwan! Makan malaaam!” Terdengar panggilan keras dari luar sana. Anak-anak Ssangmun-dong saling tatap.
“Kim Jung Hwaaaan! Kubilang makaaaan!” kata suara itu sekali lagi tak kalah kencangnya dari yang pertama.
Tebak, siapa yang berteriak berkali-kali itu?
Yep, emaknya Jung Hwan—Ra Mi Ran. “Kim Jung Hwaaaaan! Ibu bilang makaaaan!”
Puas berteriak memanggil anaknya., Ra Mi Ran masuk kembali ke rumah. Ibu yang lain pun menyusul keluar memanggil anaknya.
“Sunwoo! Waktunya makan malam!
“Deokseon! Ayo makan!” Ibunya Deokseon tak mau kalah.
Satu per satu anak-anak Ssangmun-dong meninggalkan kamar Taek.
Tak berapa lama ayahnya muncul, memanggilnya makan.
[Diiringi lagu Byun Jin Sub, tampaklah suasana Ssangmun-dong di tahun 1988. Sebuah pemandangan yang barangkali tidak akan kita temukan lagi di era smartphone seperti sekarang ini . 88’ bukanlah tahun-nya saya, tapi menikmati dan mengkilas balik masamasa tersebut dari mata seorang Sung Deokseon mendatangkan perasaan mengharu biru, seolah saya pernah hidup dan bernapas di masa itu.]
Seoul, Dobong-gu, Ssangmun-dong, kompleks kami. Aku dilahirkan dan dibesarkan di kompleks ini. Dulu, tak ada internet atau smartphone. Jika kuingat lagi masa-masa itu sekarang, bagaimana kami menghabiskan waktu-waktu kami dulu?
[Episode 1 : Kebersamaan]
H-9 Olimpiade, Seoul.
Kesibukan terlihat di rumah Deokseon. Ia dan ibunya sedang menyiapkan makan malam. Ayahnya belum pulang kerja. Peralatan masak yang digunakan masih sederhana. Saya penasaran kenapa Deokseon menyimpan mangkok berisi nasi untuk ayahnya di bawah selimut. (?), supaya cepat dingin? Kenapa ga dimasukan ke kulkas saja? Mungkin nikmatnya berkurang kalau dimasukan ke kulkas kali yaaa...
Dasar Deokseon nyari mati, dia sengaja menginjak kaki kakak perempuannya yang sedang tengkurap sambil baca buku.
“Ya! Kau mau mati?!” teriak kakaknya.
“Ini kakakku, Sung Bo Ra. Dia mahasiswa tingkat dua di Universitas Seoul jurusan Pendidikan Matematika, dan paling gila di kompleks kami.”
“Kau sengaja kan?” Tuduh Bo Ra pada Deokseon. Dan seolah tak puas dengan memarahi adik perempuannya, ia juga berteriak tanpa alasan pada adik laki-lakinya yang lewat di depannya.
“Adik bungsuku, Sung No Eul. Berbeda dari penampilan (wajahnya) yang terlihat tua, sebenarnya dia masih 17 tahun.”
Deokseon bertanya mau ke mana No Eul saat dilihatnya adiknya itu bergegas keluar dengan jaketnya. Menjemput Ayah, sahut No Eul tanpa menolehkan wajahnya. Menjemput Ayah? Kening Deokseon mengerut.
Sudah hampir jam tujuh malam. Jung Hwan dan kakaknya, Jung Bong, masih setia menunggu kepulangan ayah mereka. Jung Hwan sudah hampir-hampir menyerah. Lalu sebuah panggilan telepon masuk. Dari ayah Jung Hwan.
“Kupikir tadi kau bilang sudah makan sebelum pulang ke rumah!” ucap Ra Mi Ran pada suaminya di seberang sana. Oh. Mereka tidak sedang menunggu ayah mereka, tapi gara-gara panggilan telepon itu—mereka harus menunggu. Jung Hwan menutup kembali mangkok nasinya. Sendokan Jung Bong tak jadi menyentuh kuah sayur, keburu diambil kembali ibunya. Saat hendak memanaskan sayur, gas habis. Toko penyedia gas ditelepon. Saat hendak mengambil nasi untuk suaminya—nasi habis. Terpaksa Jung Hwan yang diutus meminta nasi ke rumah bawah—rumah keluarga Sung. Ibunya membekali-nya dengan semangkuk salad, jelas sirat keberatan di wajah Jung Hwan, tapi ia beranjak juga mengikuti perintah ibunya. Anak baik.
Setibanya di rumah Deokseon, gadis itu tengah mencuci sayur. Entah iseng entah apalah itu, Jung Hwan menyodok bagian bawah tubuh Deokseon menggunakan lututnya, hingga gadis itu terjerembab di atas tempat cuci piring, menimbulkan keributan yang nyaring.
Il Hwa membuka pintu, ia segera tahu kedatangan Jung Hwan. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Deokseon, Jung Hwan berkata pada ibu Deokseon bahwa ibunya menyuruhnya membawakan semangkuk salad.
“Ibu juga tanya apakah kami boleh meminta semangkuk nasi.”
“Oh, tentu saja.”
Il Hwa mengambilkan semangkuk nasi untuk Jung Hwan, tak lupa pula ia memberikan kimchi lobak. Sekali lagi, Jung Hwan ingin menolak—tapi ditelannya bulat-bulat keinginan itu. Cerita kirim-tukar makanan masih jauh dari selesai. Seusai meletakkan nasi dan kimchi lobak di atas meja, Ra Mi Ran menyuruh Jung Hwan mengantar semangkuk daging ke rumah Sun Woo. Berselang sekian detik, Sun Woo muncul membawa kari. Ia dan Jung Hwan saling tatap, sebelum pergi Jung Hwan menarik napas panjang seraya menepuk pundak Sun Woo HAHAHAHAHA.
Di rumah Sun Woo, Jung Hwan dibekali sekeranjang jeruk HAHAHA. Sun Woo yang mengantar kari ke rumah Deokseon, pulangnya membawa kimchi lobak HAHAHA. Duh, masih panjang banget ini. Entah gimana alurnya hingga seluruh makanan yang diantar-dituker berakhir di meja makannya keluarga Choi ㅋㅋㅋㅋ
[Scene anter-tuker makanan ini keliatannya emang lucu, ekspresi anak-anak yang disuruh nganter plus suara ‘mbeek’ di belakang menggenapkan humor. Tapi jauh di dalam hati, saya terharu. Di jaman modern seperti saat ini, apakah masih ada kebiasaan tuker-tuker makanan ala geng Ssangmun-dong? Yang saya lihat, makin modern, makin canggih kehidupan manusia—makin selfish seseorang. Tidak semua. Tapi....]
Deokseon bertemu ayahnya dan No Eul di lorong kompleks. Ayahnya membawa sesuatu. Hari itu, Sung Appa gajian. Pantesss mukanya cerah.
Mereka berempat duduk di ruang serba guna di rumah mereka (ruang makan, iya. Ruang keluarga, iya juga. Bahkan sebagai ruang tidur juga), ayah dan anak; Sung Dong Il, Sung Bo Ra, Sung Deokseon, dan Sung No Eul minus Lee Il Hwa Eomma. Sambil menunggu makan malam selesai disiapkan, keempatnya nonton tivi. Iklan yang ditampilkan saat itu adalah promosi es krim Haitai. Wait, Haitai? HAITAI? ㅋㅋㅋㅋ
Dong Il kaget harga es krim Haitai 200 Won. Bagaimana rasanya harga es krim 200 Won itu? Diliriknya No Eul seraya berkata kalau harga es krim Piala Dunia 300 Won—No Eul membalas ayahnya dengan senyum ringkas. Well, keduanya bertukar senyum penuh rahasia Senyum yang mencurigakan.
“Dengan 300 Won, kau bisa membeli sebungkus rokok,” ucap Dong Il lagi.
Tanpa sadar No Eul menimpali kalau harga rokok sekarang 600 Won. Sudah lama harganya naik. Santai saja dia. Dong Il memberikan tatapan tajam pada anak bungsu laki-lakinya. Ia mengomeli No Eul, sementara satu tangannya yang lain memukuli kepala No Eul. Kaget mendapat serangan mendadak begitu, No Eul entah keceplosan entah hendak membela diri mengatakan Nuna-nya (Bo Ra) yang menyuruhnya membeli rokok. Mendengar itu Deokseon mengulas senyum bahagia—ia pikir Bo Ra akan terkena hukumanm tapi...
Malang bagi No Eul, Bo Ra malah balik menyudutkannya. Ia menghantamkan buku yang dibacanya ke kepala No Eul. Tak tahan, akhirnya No Eul mengaku, benar dia yang merokok. Terpaksa. Daripada ancur... Poor our No Eul ㅠㅠ

Dong Il mengancam akan memberikan pelajaran kepada No Eul malam nanti. Pintu belakang terbuka, Dong Il meneriaki Il Hwa agar cepat mencuci seladanya. Tsk. Il Hwa eomma muncul membawa selada segunung HAHAHA. Padahal itu sudah dibagi-bagi ke tetangga, katanya. Dong Il pura-pura kesal. Mereka bukan kambing. Apakah gajinya selama ini dilarikan ke sayuran? Omong-omong soal gaji—Il Hwa segera ingat hari itu suaminya gajian. Ia menodong Dong Il, gajinya mana? Usai menghitung, uangnya kurang 110.000 Won. Dong Il sudah mengantisipasi kemarahan istrinya, ia mengaku uangnya dibelikan buku. Suk Jin, anaknya Young Chul menandatangi kontrak tapi kehilangan segala-galanya—ia ditipu. Ia mendatangi bank-nya Dong Il dan menjual buku padanya. Makanya Dong Il membelinya. Ia tidak tega melihatnya seperti itu.
“Apakah hanya dia satu-satunya yang sekarat? Kita juga! Kita sekarat gara-gara hutangmu! Siapa yang akan menolong dalam situasi seperti ini?” Kemarahan Il Hwa mencuat ke permukaan.
“Meski begitu, kita masih punya sesuatu untuk bertahan,” ucap Dong Il pelan. Tangannya memegang tumpukan selada di atas meja.
“Kita hampir-hampir tidak bisa bertahan! Aku bahkan belum bisa membayar biaya sekolah No Eul dan Deokseon. Dan bagaimana dengan uang kuliah Bo Ra tahun depan? Kau membuatku terlihat seperti orang jahat. Aku bahkan tak bisa membelikan orang secangkir kopi karena berhemat. Dan kau... kau berlagak seperti tetangga yang baik dan akulah yang jahat!” Dong Il hanya berucap satu kalimat, Il Hwa membalasnya dengan satu paragraf.
“Kau ini... sudahlah. Tidak apa-apa. Apa yang mesti dikhawatirkan? Kita punya uang dan hutang,” kata Dong Il.
Il Hwa kecewa mendengar sahutan suaminya.
“Maksudku... aku baik-baik saja, kau sehat. Dan ketiga anak kita juga sehat... dan mereka juga rajin belajar.”
“Deokseon peringkat ke-999 di sekolah kali ini. Dan No Eul, dia menempati tempat ke 1000! Aku melahirkan sekumpulan orang bodoh!”

[Iya, saya tahu adegan ini cukup... um cukup menegangkan dan membuat hati down, tapi.. tapi... pas Il Hwa menyebut ranking Deokseon dan No Eul, saya tidak bisa menahan ketawa HAHAHA]
Tak mau kehilangan akal, Dong Il memuji Bo Ra. Mereka masih punya Bo Ra. Dia cukup cerdas. Mahasiswa di Universitas Seoul, universitas terbaik di negara mereka. Dengan semua itu, ia tak khawatir se-inci pun.
Pertengkaran suami-istri teralihkan ketika Sung Bo Ra meminta dibelikan kacamata baru. Dong Il menyela bukankah belum cukup setahun Bo Ra dibelikan kacamata baru? Bo Ra beralasan penglihatannya memburuk. Ia tak bisa belajar jika tak bisa melihat apa pun. Karena ulang tahunnya minggu depan, ia menginginkan kacamata itu sebagai kado.
“Aku mau merayakan ulang tahun sendiri tahun ini!” cetus Deokseon tiba-tiba. “Aku tidak akan merayakannya dengan eonni! Oke?”
Reaksi berbeda ditampakkan Dong Il, ia memberikan gestur hendak memukulkan daun selada yang diambilnya di atas meja kepada Deokseon. Duh.
“Ulang tahun kalian hanya beda tiga hari, untuk apa merayakannya dua kali? Lagipula akan sulit bagi ibu kalian, jadi... tidak.”
Seolah tak peduli pada adiknya, Bo Ra dengan santainya bertanya kembali pada ibunya apakah ia akan dibelikan kacamata baru. Ia tetap ngotot minta dibelikan meskipun sudah tahu kondisi keuangan mereka. Sigh.

Ia marah saat Deokseon menyela tak ingin ulang tahunnya dirayakan bareng dirinya. Bo Ra menarik kasar rambut adiknya. Ia bahkan tak berhenti meskipun ibu dan ayahnya berteriak melerai. Huft. Benar-benar bukan malam yang diharapkan.
[Di episode ini, saya tidak menyukai Bo Ra. Saya paham maksud Shin PD dan Writer Lee yang ingin menggambarkan seberapa tinggi posisi Sung Bo Ra dalam hirearki keluarga Sung, tapi tindakan kasarnya ke Deokseon tidak bisa saya terima dengan baik. Temperamen Bo Ra tidak bisa ditoleransi. Saya ingat sekali ketidaksukaan saya pada Bo Ra di episode ini mencapai ubun-ubun hehe. Menjadi yang tertua, tidak berarti kamu punya hak sewenang-wenang kepada adik-adikmu, apalagi orang tuamu.]
Sementara itu, di ruang makan keluarga Kim...
Tiga orang sedang dalam posisi menunggu. Ra Mi Ran dan kedua anaknya—Jung Bong dan Jung Hwan. Yang ditunggu siapa lagi kalau bukan sang kepala keluarga. Kim Appa. Begitu mendengar kedatangan Kim Appa, ketiganya segera bergerak. Ra Mi Ran ke dapur, Jung Bong dan Jung Hwan menyambut ayah mereka. Ndilalah... alih-alih menyentuh meja makan. Kim Appa terlebih dahulu menampilkan satu pertunjukan. Ia meng-copy sebuah acara lawak Fan Guru berjudul Humor 1st Ave. Sedihnya tak ada satu pun yang memberikan respon menyenangkan. Orang lapar butuh makan, bukan humor BHAHAHAHAK.
Kim Appa mengetuk pelan bahu Mi Ran dengan dua ujung jarinya. Mi Ran menoleh.
“Kau harusnya menjawab begini... ‘Maja... maja... maajaaa...’” ucap Kim Appa sambil memeragakan sebuah gaya.
“Aku akan bersihkan bagianmu (makanan Kim Appa),” ancam Mi Ran dengan wajah dingin-nya.
Dangsin... perlakukan aku dengan baik saat aku di sini. Aku adalah Phoenix (Phoenix bisa juga berarti seseorang yang mudah dimanfaatkan).”
Niatnya sih becanda-an ya, tapi Ra Mi Ran bukan seseorang yang cocok dengan selera humornya Kim Appa, jadi yaaaah gitu deh. Gagal. Malah suara si mbek yang kedengeran di belakang. Melihat reaksi istrinya, Kim Appa langsung fokus ke meja makan HAHAHAHA. Hunusan tatapan menyeramkan Ra Mi Ran itu loh HAHAHAHA.
Ta’ kirain makan malam akan berlangsung nyaman... tahu-tahu Jung Bong nyeletuk, “Oh! Eomeoni, aku menemukan seseorang bernama Bong Yi-ah. Wow... betapa menariknya...” Lihatlah Jung Bong dan kebahagiaannya atas penemuannya dari sebuah buku. HAHAHAHA Oiya, pengucapan ‘Bong Yi-Ah mirip Phoenix dalam bahasa Korea.
Kim Jung Bong. 24 tahun. Mencoba masuk ke universitas untuk yang ke-6 kalinya. Tertarik dengan segala hal, kecuali belajar.
[HAHAHAHA. Tertarik dengan segala hal, kecuali belajar. Saya ulangi, kecuali belajar.]
Ra Mi Ran hanya menatap tak minat pada Jung Bong. Ia beralih pada Jung Hwan, “Bagaimana Deokseon terpilih sebagai picket girl? Apakah kau mengambil ujian dulu? Dia bahkan tak bisa belajar, bagaimana caranya dia bisa mendapatkan posisi itu?”
“Dia mendapatkannya begitu saja,” jawab Jung Hwan, terkesan cuek. Ia lahap menyantap makanannya.
Kim Appa mengeluh. Tatapannya menyentuh kari di atas meja. “Pasti ibu Sun Woo yang membuat ini, kan? Sangat sulit membuat kari terasa tak enak.”
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Mi Ran.
“Itu sudah jelas...” lalu Kim Appa memiringkan bibir dan menjulurkan lidahnya ke samping. What the....
Mi Ran sudah mencapai limit kesabarannya atas tingkah suaminya. Ia mengambil mangkok nasi Kim Appa, dikembalikannya isinya ke rice cooker. Dan Kim Appa masih keukeuh mempraktekkan wajah jelek-nya sambil mengajukan tanya ke diri sendiri. Am I not funny? Aigo ya....
[Kim Appa sarkas juga ya. Coba baca ulang ini, “sangat sulit membuat kari terasa tidak enak” yang artinya membuat kari yang enak itu bukan sesuatu yang sulit. Hanya orang yang benar-benar tidak punya bakat masak yang membuat rasa kari buruk—kemampuan masak ibunya Sun Woo mengkhawatirkan.]
Makan malam keluarga Sung. Bukan Sung yang di basement. Tapi Sung yang lain. Rumah Sun Woo.
Sun Woo menyuapi adiknya. Jin Joo. Ibunya bertanya apakah makannya enak, Sun Woo mengangguk, meski detik berikutnya kunyahannya terhenti karena ia menggigit... batu?
“Sepertinya Deokseon belakangan ini kesulitan, ya?” Sun Young menambahkan sesendok kuah kari ke piring puteranya. “kulitnya jadi gelap dan terlihat tidak ceria. Tapi walaupun begitu, bukankah sesuatu yang luar biasa ia bisa terpilih?”
“Tentu saja. Dia harus bekerja keras. Hanya ada tiga siswi SMA di antara picket girls itu,” terang Sun Woo. Ia mengambil piring yang ditutupkan Jin Joo ke wajahnya, dibersihkannya sisa-sisa makanan yang menempel di sana. “Dia hampir mati terbakar di stadium Hyochang selama musim panas ini,” lanjut Sun Woo.
“Tapi... negara mana yang diwakilinya? Ibu pernah dengar, tapi lupa.”
“Meski aku bilang, aku yakin ibu akan lupa lagi.” Sun Woo membantu ibunya memotong kimchi dengan sumpitnya.

[Nah, dari tiga keluarga yang diperlihatkan acara makan malamnya, manakah favoritmu? Saya, jelas... Sun Woo. Keluarganya Sun Woo. Sepadan dengan perkenalan karakter oleh Deokseon dewasa di awal episode ini—Sun Woo yang paling waras. Lihatlah bagaimana dia merespon pertanyaan-pertanyaan ibunya. Sesuatu yang tidak kita dapatkan dari Jung Hwan atau meja makan Keluarga Family yang sudah seperti arena perang. Acara makan malam di rumah Sun Woo berlangsung hangat dan damai. Dia menyuapi adiknya, memuji makanan ibunya meski kenyataannya masakan ibunya tidak enak. Ya, Sun Woo anak seperti itu.]
Deokseon latihan sebagai pocket girl di kamar. Bo Ra ada di sana juga, belajar. Deokseon menari ke sana-ke mari sambil memegang papan bertuliskan Madagaskar. Suasanya berubah menegangkan saat ia tak sengaja menghantam wajah Bo Ra dengan papannya HAHAHA eh kok ketawa.
Deokseon seketika jadi bulan-bulanan kakaknya.
“Apa kau sebangga itu menjadi bagian rencana pemerintah? Apa kau sebangga itu berpartisipasi dalam indoktrinasi pemerintah? Kau tahu berapa banyak masalah yang disebabkan Olimpiade pada negara kita, hah?!”
“Apa yang kaukatakan?” Deokseon berteriak. Ia berusaha menghindar dari hantaman bantal di tangan Bo Ra.
[Oke. Sung Bo Ra adalah mahasiswa yang aktif di organiasi. Ia tidak suka pemerintah. Tapi apakah Bo Ra memahami apa arti picket girl bagi Deokseon? Deokseon yang tidak pintar di kelas, Deokseon yang menempati ranking ke-999... Deokseon tidak tahu apa-apa soal perpolitikan. Ia hanya merasa senang menjadi satu dari tiga siswa SMA seluruh Korea Selatan yang dipilih sebagai pocket girl. Jadi saya tidak tahu apakah alasan Bo Ra memukuli Deokseon sebrutal itu karena adiknya itu tak sengaja menghantamkan papan itu ke wajahnya atau—karena Deokseon begitu semangatnya melatih diri sebagai pocket girl, bagian dari Olimpiade yang disebut-sebut membawa banyak masalah bagi negara itu?]
H-8 Olimpiade Seoul 1988.
Ssangmun-dong pagi hari.
Choi Appa menyapu lorong.
Di tivi sedang ditampilkan iklan coca cola. Jin Joo sudah duduk manis meminum coca cola-nya dari sedotan. Hm. Sepagi itu....
Sun Woo siap-siap berangkat ke sekolah. Ia singgah mendaratkan kecupan di pipi adiknya. Ia pamit pada ibunya.
“Doshirak!” teriak ibunya. Dikejarnya Sun Woo ke depan pintu keluar. Sun Woo meminta 1000 Won untuk keperluan sekolah. Untuk keperluan apa? Tanya ibunya.
“Wali kelas kami akan menikah. Kami memutuskan untuk mengumpulkan dana dan membeli kado untuknya.”
“Benarkah? Akhirnya dia menikah juga dengan guru sejarah itu.”
Sun Woo mengangguk.
“Bukankah mereka sudah putus? Kudengar sebelumnya ia menimbulkan kehebohan gara-gara itu?”
“Ya. Tapi dia sudah hamil.”
“Benarkah?” Sun Young tertawa malu mendengarnya.  “Oh Tuhan, sungguh memalukan! Gurumu yang malang! Memalukan!”
“Bukankah hal yang sama terjadi pada ibu juga?” kejar Sun Woo. Excited-nya Sun Young terhenti seketika. Omaigat Sun Woo...
“Kau butuh berapa?” tanya Sun Young.
“1000 Won,” ulang Sun Woo tersenyum lebar.
Sun Woo meminta 1000 Won pada ibunya, Jung Hwan meminta berkali lipatnya. 30.000 Won.
Bo Ra dan No Eul meminta telur goreng untuk sarapan pagi pada ibunya. Sedang di kulkas, telur sisa dua butir. Il Hwa menatap Deokseon yang sementara mengisi mangkok nasi. Tahu sedang  ditatap, Deokseon berkata ia baik-baik saja. Ia tidak ingin telur goreng.
Jadilah dua telur goreng untuk Bo Ra dan No Eul. Il Hwa (yang merasa bersalah) memberikan kacang hitam pada Deokseon.
“Akan sangat bagus kalau sekolah Deokseon punya seragam. Kita tak akan menghabiskan banyak uang  pada pakaian. Jauh lebih hemat dan efisien.” Berkata Il Hwa.
“Sekolah Nuna (Deokseon) akan mulai menggunakan seragam tahun depan.” Menyahut No Eul.
“Dia bahkan tak sering ke sekolah, untuk apa seragam untuknya?” sela Bo Ra kasar.
“Aku ke sekolah, kok!” Deokseon membela diri.
“Apakah kau akan ke sekolah setengah hari lagi hari ini? Karena Olimpiade atau apalah itu?”
Deokseon mengiya-kan pertanyaan ayahnya.  Ia sudah izin setelah istirahat kedua. Kalau keadaannya seperti itu, Sung Appa ragu apakah Deokseon mampu melanjutkan ke tingkat universitas.
“Tentu saja tidak. Bagaimana bisa perangkat ke-999 lanjut kuliah?”
So rude, Bora. Why are you being like that?
Sebelum pecah perang episode kesekian, Kim Appa segera melerai.
“Deokseon, kau hanya perlu menderita seminggu lagi,” kata Il Hwa eomma. “Waaah, wajah putriku akan muncul di tivi internasional! Mengagumkan.”
“Itu karena aku cantik,” sambung Deokseon tersenyum.
“Kau pasti tidak waras,” sindir No Eul. ㅋㅋㅋ
“Ngomong-ngomong, wajah putri kita sangat cantik. Sungguh suatu keajaiban,” Sung Appa memulai. “Kau ingat saat dia lahir? Kita benar-benar menangis karena dia seperti makanan yang setengah dikunyah!”
“Aku bingung, meski aku melahirkannya. Aku bertanya-tanya haruskah ia kumasukkan kembali...”
“Kita memasukkan dia kembali agar bisa menarik dia keluar.”
[Cara memuji Sung Appa dan Il Hwa eomma bener-bener dah... beyond my imagination. Aneh.]
“Mereka bilang bayi yang jelek jadi cantik ketika ia tumbuh dewasa,” ucap Deokseon. Ia menatap Bo Ra sambil berkata begitu. Bo Ra tersinggung. Bukan hanya karena kata-kata Deokseon, tapi karena Deokseon menampakkan ekspresi mengejek.
“Ya, Sung Deokseon... Apa yang ada di bibirmu?  Itu milikku.”
“Bukan.”
“Benar. Milikku.”
Deokseon masih menyangkal. Tone suaranya menurun. Tak seyakin tadi. Il Hwa dan Dong Il membeku di tempatnya. Bo Ra ini ya, kalau marah nge-bossy banget.
“Jika kau sentuh make up-ku, kubunuh kau. Paham?”
Deokseon tak menjawab.
“Aku tanya, kau paham atau tidak?!”
Deokseon hanya menatapi Bo Ra tanpa suara.
“Ya! Sung Deokseon!” Bo Ra berteriak, dibantingnya sumpitnya di atas meja. Deokseon terhenyak kaget.
“Aku paham.”
HHHH.
Gak makan malam, gak makan siang, sejauh ini belum ada yang berakhir menyenangkan di ruang makan keluarga Sung.
Btw, di tengah keheningan yang mencekam itu—Sung Appa mengambil telur goreng milik No Eul dan memasukan ke mulutnya dengan sekali suapan. No Eul speechless. HAHAHAHA. Lawak amat, Appa...

Deoseon is Deokseon. Baru juga beberapa saat lalu diancam Bo Ra, dia masuk ke kamar, sambil joget, happy. Tujuannya? Peralatan make up-nya Bo Ra. Mbak Deokseon... Mbak Deokseon...
... dan inilah hasil akhirnya. *istigfar*

Di kelas-nya Sun Woo. Sudah masuk istirahat, jam itu diisi dengan makan siang. Dong Ryong dan Jung Hwan makan dengan gerakan super cepat. Senior sudah menunggu mereka. Pemainnya kurang makanya mereka butuh pemain tambahan. Sebab itu Sun Woo diajak.
“Apa kau tak lihat cuaca di luar sana? Bermain sepakbola dengan cuaca seperti ini? Kau akan pingsan karena kepanasan.” Sun Woo menggerutu.
Sementara itu...
Di sebuah stadion, Deokseon dan rekan-rekan sesama pocket girl sedang latihan. Deoseon tertatih-tatih membawa papan nama bertuliskan Madagaskar. Um, make p-nya agak... nganu... itu... .

Michael tiba-tiba muncul entah dari mana, Dong Ryong mengomel kaget. Ia hampir tersedak makanan ㅋㅋㅋ
“Bagaimana ini?”
“Apa yang terjadi?” Wajah khawatir Sun Woo mencuat seketika.
Michael mengaku semua uang yang dikumpulkan teman-teman sekelas dicuri. Sun Woo, Jung Hwan dan Dong Ryong serempak berseru. Michael menyemburkan keluhan tertahan. Kepalanya tertunduk. Pusing.
Ternyata uangnya hilang karena Michael dipalak preman. Ia salah mengambil rute jalan. Yang paling pusing Sun Woo—dia ketua kelas. Baik dirinya, Dong Ryong dan Michael, mereka sama-sama tak punya uang. Sun Woo bertanya kepada Jung Hwan berapa ia diberi uang saku ibunya pagi tadi. Jung Hwan yang tahu arah pertanyaan Sun Woo menolak mentah-mentah.
Saat itu, suara galak kakak senior terdengar dari depan pintu kelas. Jung Hwan dipanggil. Sontak, Sun Woo dan Dong Ryong pura-pura tertidur di atas meja masing-masing. Jung Hwan berusaha membangunkan Sun Woo dan Dong Ryong—keduanya bergeming. Kakak senior berteriak tak sabar, nadanya mengancam. Merasa tak punya pilihan, Jung Hwan melemparkan dompetnya kepada Michael. Sun Woo melihat itu—ia pun segera bangun, disusul Dong Ryong.
“30.000 Won?” Il Hwa membelalak tak percaya. Ia tak percaya Jung Hwan meminta uang saku sebanyak itu pada ibunya. Mi Ran membenarkan. Ia memberikan anaknya sebanyak itu. Sun Young berusaha mengoreksi, yang dibutuhkan hanya 1000 Won.
“Kau harusnya bertanya lebih dulu sebelum memberikan uang sebanyak itu! Bagamana jika uang itu digunakan untuk hal-hal buruk?” cetus Sun Young.
Mi Ran berdalih, ia yakin Jung Hwan memburuhkan uang itu untuk membeli sesuatu. “Jin Joo memakai make up.” Mi Ran mengalihkan obrolan.
“Siapa yang ditirunya, mendandani dirinya seperti itu?” kata Sun Young. Diambilnya lipstick dari tangan Jin Joo.
“Dia mungkin menirumu,” sambar Il Hwa. “Apa mungkin dia meniru ayah Sun Woo yang norak?”
Sun Young tertawa saja mendengarnya.
“Oya, uang yang mereka kumpulkan itu akan digunakan untuk apa?” Il Hwa kembali ke topik uang lagi. Mi Ran tidak tahu, Jung Hwan tak memberi tahunya.
Yang menjawab Sun Young. “Kelihatannya wali kelas mereka akan menikah dengan guru sejarah.”
“Benarkah? Kukira tadinya dia lajang!” potong Il Hwa antusias.
“Sudah setahun sejak mereka mulai berpacaran. Dia sangat terkenal di sekolah karena kecantikannya. Awalnya mereka pacaran diam-diam, tapi ketahuan Michael saat mereka berpegangan tangan.” [Emaknya Sun Woo kalau sedang ngegosip tuh... semangat buanget buanget buanget yah. Jadi ketahuan Sun Woo mewarisi sifatnya siapa. Jelas bukan ibunya.]
Siapa Michael? Bertanya Il Hwa.
“Sekretaris kelas mereka. Anak itu punya kulit gelap dan bibir tipis. Kalian tahu... dia seperti karakter dari Dooly. Anak-anak bilang mereka mirip, makanya ia dipanggil demikian.”
Il Hwa tertawa, ia tak menyangka Sun Young bisa tahu sebanyak itu.
“Sun Woo menceritakan semuanya padaku. Tidak ada rahasia di antara kami.” Senyum Sun Young lebar sekali.
Mi Ran mempunyai pandangan lain. Menurutnya Sun Young hanya menjadi pengganggu bagi Sun Woo.
“Tidak,” tampik Sun Young. “Tanpa kuminta ia datang padaku dan menceritakannya. Dia 100 kali lebih baik dari Jung Hwan, yang pulang ke rumah dan tidak mengatakan apapun. Bagaimana kau bisa melaluinya situasi membosankan seperti itu?”
“Dia memberitahukan padaku apa yang dia butuhkan.,” kata Mi Ran tak mau kalah. “Kau tak usah khawatirkan puteraku, tapi khawatirkan puterimu.” Pandangan Mi Ran mengarah ke Jin Joo yang sedang main kuda-kudaan. “Dia akan berakhir membunuh kuda itu.”
Oke, Jin Joo lagi-lagi menjadi distraksi obrolan emak-emak di petang itu.
“Tidak apa-apa. Kau tahu betapa kuatnya kuda itu.”
Mi Ran mendesah mendengar ucapan Sun Young. “Bahkan kuda itu penuh energi.”
Sun Young terdiam sejenak. Il Hwa melirik sekilas. Tampaknya mereka tahu apa yang dipikirkan Mi Ran. [So... I guess we should give this topic rate um like 25+? Topiknya sudah mulai merangkak ke... kau tahu... itu. Iya. ITU.]

Di saat ketiga ibu-ibu Ssangmun-dong itu saling menggoda malu-malu tentang kuat, belut, bla bla bla and lalala... Sung Appa tampak dari depan lorong, baru pulang kantor. Sempat-sempatnya Sun Young dan Mi Ran sempat-sempatnya menggoda Sung Appa dan Il Hwa. Katanya Sung Appa pulang cepat untuk membuat adik untuk No Eul. GEZZZZ emak-emak ini yah... usil. [Kau tahu siapa yang paling semangat ngegodain? Emaknya Sun Woo. Tahu kan emaknya Sun Woo sudah lama memilih sendiri sejak ayah Sun Woo meninggal? Emang deh di mana-mana yang sendiri yang paling kenceng suaranya. Owh, don’t count me in. I really love my single life.]

Di atas bale kini hanya menyisakan Mi Ran, Sun Young dan Jin Joo.
“Ayah Jung Hwan agak telat hari ini,” Sun Young celingukan. “Dia selalu pulang tepat jam 7 malam, kan?”
“Aku yakin dia sedang menahan seseorang dengan lelucon buruknya di suatu tempat,” balas Mi Ran.
BINGO! Choi Appa sedang beres-beres di toko. Ia hendak menutup tirai saat Kim Appa lewat dan berhenti di hadapannya. Choi Appa membungkuk, memberikan salam dan sejumput senyum ramah. Namun, detik berikutnya hanya ekspresi tak tertebak tertinggal di wajahnya. Apa pasal? Kim Appa memamerkan lelucon buruk-nya di seberang sana. [Saya juga pernah mempraktikan, waktu kecil dulu. Tangan dimasukan di dalam jaket, seolah-olah kita punya dua pasang tangan di dalam sana. Lucunya di mana? Hanya Kim Appa yang tahu.]
Choi Appa menarik tirai dengan kasar. Kim Appa pun berlalu dengan taawa lepas nan bahagia. HAHAHAHAHA saya ketawa bukan karena lelucon Kim Appa tapi scene ini nyampenya ke penonton, lucu.
Begitu tiba di depan bale, Kim Appa disambut Sun Young. Mi Ran tanpa ekspresi. Seolah tak jera, Kim Appa melakukan sesuatu yang menjengkelkan pada istrinya. Ia memanggil namanya, ketika Mi Ran menoleh—telunjuk Kim Appa tepat mengenai pipinya. Mi Ran tidak bisa menahan kekesalannya. Ia menyerang suaminya dengan sayuran di atas bale. Tsk tsk.

H-7 Olimpiade Seoul
Sekolah Ssangmun-dong khusus laki-laki. Di kelas Sun Woo. Wali kelas memberikan pesan sebelum keluar kelas. Siswa meneriakan ucapan selamat atas pernikahan wali kelas mereka sebelum guru perempuan itu keluar kelas. Ia tersenyum malu-malu seraya mengacungkan kado. Terimakasih, katanya.
Jung Hwan membuka dompetnya. Tak banyak tersisa. 500 Won. Ia bertanya kepada Dong Ryong apakah ia punya uang. Sebagai jawabannya, Dong Ryong merogoh sakunya—uang receh bergemerincing. Ia juga hanya memiliki 500 Won. Ia dan Jung Hwan beranjak dari kursi.
“Kalian mau ke mana?” cegat Sun Woo.
“Dobong Shopping Complex, mau membeli paket NES Remix.”
Mereka mengajak Sun Woo, tapi ditolak cowok itu. Ia sudah janji menemani Jin Joo bermain. Aih, kakak yang baik.
Dalam perjalanan, Jung Hwan berpisah sebentar dengan Dong Ryong—ia ingin ke toilet. Sesudah dari toilet, langkah Jung Hwan terhenti, di depannya, berjarak sekian tombak—Dong Ryong berjalan diapit dua pria bertubuh gempal. Dipalak? Sekarang, ia mengerti kenapa Michele bisa mengalami hari nahas—dipalak, kemarin. Keberadaan lorong di sekitar tempat itu membingungkan yang bila tidak hati-hati akan bertemu duo tukang palak yang terkenal di kalangan anak sekolahan itu. Ia lantas menguntit dari belakang sambil mengambil ancang-ancang hendak menyerang. Ia sudah berada dalam posisi siap, kecuali satu; ragu-ragu. Di kepalanya muncul segala macam strategi hingga akhirnya mereka memasuki lorong sepi. Keraguannya menghasilkan sesuatu yang jauh lebih tidak menyenangkan. Ia ikut kena palak. [Ah. Karakter Jung Hwan sudah digambarkan segamblang ini sedari awal. Hati-hati menaruh harapan pada seorang peragu. Prepare your heart, in case that person won’t fulfil your wish. Seharusnya kita selalu sadar bahwa di Reply Series—tidak ada satu pun scene dimunculkan hanya sebagai filler scene.]

This heart, really wants to cry, really wants to cry...
“Aku ingin menangis...” desah Mi Ran mengikuti lirik lagu dari radio. Ketiga emak sedang berkumpul di atas bale, siang itu.
“Apa yang mengganggumu?” tanya Il Hwa. “Suamimu menghasilkan banyak uang dan anak-anakmu jauh dari masalah. Di antara kita semua, akulah yang paling iri denganmu.”
“Apa gunanya memberi dia makan belut? Itu semua berakhir omong kosong.”
Erg. Jadi bahasan masih berkisar tentang kekuatan dan belut. [inhale and exhale.]
Panjang umur, Kim Appa muncul tiba-tiba. Ia menyambung lagu yang dinyanyikan M Ran (mengikuti penyanyi di radion). Sun Young dan Il Hwa meringis.
Uang Jung Hwan dan Dong Ryong yang tidak seberapa berhasil dicuri. Tak hanya itu, sepatu mahal Jung Hwan juga ikut diambil.
No Eul tergesa-gesa melewati bale. Ia hendak menjemput ayahnya pulang kerja. Menjemput
Sun Woo muncul dari arah lain, ia baru pulang sekolah. Disapanya adiknya. Jin Joo segera bangkit dari duduk dan menyambut tangan Sun Woo. Mi Ran bertanya kenapa Sun Woo tidak pulang bersama-sama Jung Hwan.
“Ia pergi ke suatu tempat dengan Dong Ryong. Ia akan pulang sebentar lagi.”
“Hari ini laporan hasil ujian kalian dibagikan, bukan?” potong Sun Young.
Mi Ran kaget, “Kalian ujian?”
“Ya. Minggu kemarin,” sahut Sun Woo.
“Kau pasti tidak tahu itu,” seru Sun Young.
“Dia memberitahukannya,” bantah Mi Ran tapi raut kecewa tak bisa ia sembunyikan.
Obrolan itu berlanjut, nilai Sun Woo turun, ia lemah di pelajaran matematika. Il Hwa bertanya siapa yang mendapatkan peringkat satu di kelasnya. Belum sempat Sun Woo menjawab, ibunya menegur dari mana Sun Woo mendapatkan luka di wajahnya.
“Apa kau terlibat perkelahian dengan seseorang?”
“Tidak. Aku tidak melakukannya.”
Tak peduli berapa kali ibunya mendesak, Sun Woo tetap menampik ia terlibat perkelahian. Ia kemudian membopong adiknya masuk ke rumah. Sun Young memandang kepergian Sun Woo. Ia masih tidak percaya. Mi Ran menenangkan. Tidak terjadi apa-apa, baik-baik saja.
“Bagaimana jika dia berteman dengan anak-anak nakal?” Sun Young merasa was-was.
“Apakah kau pikir Sun Woo termasuk tipe anak yang akan melakukan itu? Tak seperti anakku. Aku yakin dia terlibat pertengkaran kecil dengan temannya atau apalah...”
“Bagaimana jika dia dipukul oleh anak nakal?”
Il Hwa menengahi. Itu hanya plaster kecil di wajah Sun Woo. Jika itu memang masalah besar, ia yakin Sun Woo akan menceritakannya pada Sun Young.

Jung Hwan dan Dong Ryong datang. Jung Hwan tidak lagi memakai sepatunya, tetapi sandal. Mi Ran menyapa hangat anaknya—dan Jung Hwan hanya membungkuk ringkas tanpa mengatakan apa-apa. Ia memasuki gerbang rumahnya tanpa suara. Mi Ran menelan kekecewaannya.
“Anak perempuan jauh lebih baik. Bahkan meski dia berada di peringkat 999, anak perempuan jauh lebih baik.” Entah Il Hwa hendak menghibur atau apa—tapi itu sama sekali tidak membantu. Mi Ran menghebuskan napas pendek.
Sun Young lalu bertanya kenapa Deokseon belum pulang. Apakah mereka menahannya bahkan di hari Sabtu? Il Hwa bilang Deokseon biasanya pulang cepat di hari Sabtu. Suaminya belum pulang, anak laki-laki yang pergi menemuinya juga belum pulang, anak-anak perempuannya belum pulang. Ke mana mereka semua? Il Hwa mengeluh.
Taraaaaaaa....
No Eul dan ayahnya ada di toko dekat kompleks. Ketahuan kalau selama ini No Eul beralasan menjemput ayahnya hanya agar bisa mereka bertemu di toko itu dan menikmati es krim bersama.

DAAAAAAAAAAN, here is Sung Deokseon, coming out from nowhere. Tahu-tahu sudah berdiri tegak, sambil memasang muka galak di hadapan ayah dan adiknya.
“Oooh, karena ini kau selalu menemui ayah? Kalian makan es krim Piala Dunia setiap hari? Aku juga ingin!”
BAM!. Sung Appa membelikan es krim berukuran besar untuk Deokseon. Ralat, bukan hanya untuk Deokseon, tapi ibu dan kakaknya juga. No Eul menyebut ahjumma juga ada di lorong (yang dimaksud Sun Young dan Mi Ranㅋㅋㅋ). Sung Appa duduk kembali. Deokseon disuruh makan es krim itu bersama. Um, merk es krim di tangan Deokseon, Together.

Sun Woo memarahi  ibunya yang ngotot tidak mau ke dokter ketika secara tak sengaja ia mendapati ibunya meringis tertahan sambil memegangi giginya yang terasa ngilu sehabis meminum air. Sun Young bilang ia punya uang, ia akan ke dokter minggu depan, janjinya.
“Tapi, ngomong-ngomong, Nak. Sungguh kau tak mau cerita? Bagaimana kejadiannya? Ayolah, ceritakan pada ibu.” Sun Young masih menyinggung perkara plaster kecil di wajah Sun Woo. Sun Woo tetap berkilah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan ibunya. Ia pamit ke rumah Jung Hwan.
Jung Hwan terkesiap, kalau tidak mau dibilang kaget sepenuh hati, ia berpapasan dengan Deokseon saat menuruni anak tangga rumahnya. Ia hendak memberi makan anjingnya. Deokseon memakai hanbok putih super besar dan panjang.
“Apa kau hantu?”
Deokseon mendecih. “Apa? Apakah ini kali pertamamu melihat seseorang memakai hanbok?”
Jung Hwan masih mengomel.
“Baju kami diganti dengan ini. Bagaimana? Ini terlihat lebih baik kan?” tanya Deokseon tersenyum.
“Tak usah melakukan apa-apa. Itulah yang terbaik,” kata Jung Hwan dingin.
Wajah Deokseon berubah cemberut.
Pintu gerbang dibukaa, muncul Sun Woo—reaksinya tak berbeda dengan Jung Hwan. Kaget melihat keberadaan Deokseon. “Apa ini? Mereka menggantinya dengan hanbok?” tanyanya mendekati Deokseon.
“Eung. Cantik kan?” sambut Deokseon, tersenyum renyah.
“Tidak sama sekali.” Sigh. Sun Woo-ah...
Belum reda kekecewaan Deokseon menerima respon dingin dari kedua temannya, datanglah Dong Ryong. Ia melengkapi reaksi Jung Hwan dan Sun Woo. Makin menyebalkan bagi Deokseon.
Deokseon manyun. Tak ada satu pun yang memujinya...
= Bersambung ke Part 2 =

No comments:

Post a Comment

Haiii, salam kenal ya. 😊