“Rest paves the long road ahead.”
—Sinopsis
Ami,
seorang gadis dari Jepang melakukan perjalanan ke Taiwan sebagai backpacker. Ia
bertemu Jimmy secara tak sengaja di tempat anak laki-laki itu bekerja paruh
waktu. Ami yang saat itu sedang mencari pekerjaan setelah kehilangan dompet
kemudian diterima bekerja di tempat Jimmy. Di sana lah kedekatan mereka
bermula. Jimmy jelas sekali menyukai Ami. Namun Ami tiba-tiba memutuskan
kembali ke Jepang. Sebelum berpisah, Ami dan Jimmy saling berjanji untuk terus
bertukar kabar melalui surat. Mereka akan bertemu kembali apabila Jimmy telah
mencapai mimpinya.
Tahun-tahun
berlalu, situasi Jimmy sedang memburuk terkait pekerjaannya. Dalam keadaan yang
tidak begitu menyenangkan, ia mengunjungi rumah orang tuanya dan menemukan
postcard yang pernah dikirimkan Ami padanya 18 tahun silam. Jimmy memutuskan
melakukan perjalanan ke Jepang. Usai menyelesaikan pekerjaan di sana, ia
menempuh solo traveling ke kampung halaman Ami di Fukushima.
Akankah
ia bertemu kembali dengan Ami sesuai janji mereka di masa lalu, 18 tahun silam?
Bagaimana kabar Ami setelah 18 tahun berlalu? Bagaimana dengan janji yang
pernah tersilang di antara mereka berdua? Masihkah ia hidup dan bernapas?
Film
bernuansa sendu yang menggunakan alur maju-mundur ini akan membawa kita
mengikuti perjalanan Jimmy menemui Ami. Jarak Tainan dan Fukushima yang dingin
merentangkan kisah Jimmy dan Ami yang akan membuat hati seperti diberati
kesedihan yang aneh—film yang murung tetapi menjanjikan kelegaan.
—Mengandung Spoiler—
18
x 2 Beyond Youthful Days adalah film hasil kerjasama Jepang-Taiwan yang ditayangkan di Netflix.
Film ini diangkat dari Esai Perjalanan Bluefoxing yang berjudul Qing Chun 18x2 Riben Manche Liulang Ji (青春18×2 日本慢車流浪記). Greg Hsu (Someday or One Day)
dan Kiyohara Kaya (Okaeri, Mone)
didapuk sebagai pemeran utama.
Sewaktu memutuskan menonton 18
x 2 Beyond Youthful Days, saya tidak membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Saya
hanya tahu drama ini merupakan project bareng Jepang-Taiwan yang menceritakan
perjalanan seorang laki-laki Taiwan ke Jepang untuk menemui gadis yang menjadi
cinta pertamanya. Hanya itu. FYI, saya nonton film-nya di saat mood nonton
sedang ambyar. Ini semacam ingin menguji seberapa betah saya menonton film
dengan durasi yang lumayan panjang, dua jam-an wkwk. Surprisingly, saya
berhasil menyelesaikan filmnya dengan tenang tanpa skip. Nggak berasa
loh dua jamnya. Ntah karena nuansa filmnya, atau scoring-nya yang bikin saya
menikmati setiap menitnya. Padahal saya nontonnya setelah lembur kerja, dalam
keadaan badan yang lelah fisik dan hati yang sedang patah, di jam-jam yang
seharusnya saya sudah tertidur nyenyak—LENGKAP SEKALEEEE, tapi ternyata saya
bisa betah sampe filmnya berakhir yang ditutup dengan nangis sedih. Ini mah bawaan
kondisi hati juga kali. HAHAHAHA. Niat amat curhatnya.
Well, saya tidak menyesal menonton
18x2 Beyond Youthful Days, memang dari segi materi ceritanya terkesan pasaran, namun pesan yang ingin disampaikan kepada penonton
ngena banget. Selain itu, plot twist-nya di beberapa bagian
menjelang akhir membuat drama ini layak dinonton. Menurut saya, cara film
bertuturnya yang sederhana justru menjadi kekuatan 18x2 Beyond Youthful Days. Sebagai
penonton saya diajak mengikuti kisah pertemuan Jimmy dan Ami hingga pada
kedekatan mereka, tidak ada yang terkesan diburu-buru. Meskipun saya sudah bisa
menebak rahasia apa yang disimpan film ini ketika mendengar sepotong
kalimat Ami pada Jimmy, saya tetap sabar menunggu sampai tiba saatnya rahasia
tersebut dibuka. Saya pikir saya sudah berhasil menebak plot
twist-nya, ehh taunya ada plot twist lain menunggu—dan bagian ini semakin
menguatkan efek nyeri di hati dan
membuat saya sadar, sedari awal, 18x2 Beyond Youthful Days tidak semata-mata
hanya ingin mengisahkan cinta pertama Jimmy dan Ami, lebih dari itu—film ini
merupakan kisah perjalanan Jimmy menemukan kembali makna hidupnya yang hilang
bersama Ami. Saya jadi teringat kutipan sebuah buku yang pernah saya baca,
kurang lebih isinya bilang begini, “perjalanan terjauh yang bisa ditempuh
manusia adalah perjalanan menuju hatinya sendiri.”
Terkadang, kita baru tersadar
setelah sekian lama bahwa untuk bisa melepaskan rasa sakit menahun yang
mengendap di batin di ingatan, kita hanya butuh sebuah closure ‘sederhana’ dan bagi Jimmy sendiri, closure
tersebut berupa perjalanannya menemui Ami di kampung halamannya di
Fukushima.
Adegan flashback masa lalu dan
masa sekarang-nya tidak mengganggu karena filter atau tone gambar yang
digunakan membantu saya sebagai penonton untuk membedakan keduanya. Dan lagi
pemilihan tone gambarnya mengena sekali dengan nuansa cerita filmnya ditambah
aktingnya Greg Hsu yang emang udah oke banget, ya pas lah. Btw, ini Greg Hsu
awet muda banget ya. Jadi anak laki-laki yang baru tamat SMA trus 18 tahun
kemudian tampil sebagai mas-mas ganteng dewasa nan murung tuh bisa keliatan
beda banget.
Chemistry-nya Greg dan Kaya
bagus banget bangeeett. Dua-duanya punya acting yang luwes, alus, jadi nggak
heran lagi deh. Keberadaannya Ami di Tainan, gimana dia hidup di
lingkungan asing, nggak ada awkward-nya. Thank you Manga! Dan Jimmy si pecinta
Slam Dunk. Alih-alih kikuk terkendala perbedaan bahasa, keberadaan Jimmy yang
sedikit-sedikit bisa berbahasa Jepang sangat membantu Ami beradaptasi.
Bahasa Jepangnya Greg lumayan
alus, dialek-nya juga nggak aneh di kuping. Nggak menggangu sama sekali. Salut
sama Greg! Sebuah totalitas.
“Taking a breather
gives us perspective about what’s important in our lives.”
18x2
Beyond Youthful Days adalah film yang mengusung tema perjalanan, dua jenis perjalanan;
perjalanan fisik dan perjalanan batin. Hanya setelah kita berani menemui
wajah luka, kesedihan, atau apa pun namanya yang selama ini menahan langkah
kaki kita, hanya setelah kita mampu menghadapinya dengan berani, di saat itulah
simpul pelepasan itu terbuka; kita akhirnya bisa bernapas lega. Itulah yang
terjadi pada Jimmy di akhir film ini.
Jika
di antara kalian ada yang sedang berada pada situasi seperti yang dialami
Jimmy—jalan di depan mengalami kebuntuan, seperti halnya Jimmy, barangkali yang
kita butuhkan saat ini adalah jeda; sebuah ruang istirahat untuk mengatur
ulang napas. Dan pada jeda tersebut, ada yang perlu dilepaskan.
Tampaknya
quote dari Dr. Joe Dispenza cocok untuk Jimmy, dan mungkin kita (juga).
“We cannot create a new
future, by holding on to the emotion of the past.”
Saya
relate dengan perjalanannya Jimmy selama di Jepang, bukan ke Jepangnya, tapi
bagaimana ia selalu dipertemukan dengan orang-orang baik selama
perjalanan tersebut. Kebetulan-kebetulan yang menyenangkan. Saya pernah
mengalaminya. Sewaktu saya bepergian ke beberapa tempat yang masih terasa
asing, saya selalu bertemu dengan orang-orang baik yang membuat perjalanan saya
terasa menyenangkan dan aman. Melalui perjalanan itu pula, saya
mendapati bagian diri saya yang lain, yang sebelumnya tidak saya ketahui ia
ada. Saya hidup dengan mempercayai bahwa saya adalah introvert parah,
nyatanya tidak sepenuhnya benar. Perjalanan yang saya tempuh seorang diri
membawa saya mengenali diri saya sendiri. Saya merasa nyaman berada di
tempat asing, bertemu dengan orang-orang baru.
“… Yang terpenting sebenarnya bukan seberapa jauh kau pergi,
atau seberapa berbahaya tempat yang kau datangi itu, melainkan seberapa dalam
kau bisa menemukan dirimu di mana pun kau berada.” (Berjalan Jauh,
Fauzan Mukrim)
Kalau
kamu suka film tenang yang mengandalkan dialog, dengan balutan music yang
lembut, dan didukung sinematografi khas musim dingin, bolehlah mencoba 18x2
Youthful Days.
Pairing-nya
Kaya dan Greg bagus banget. Enggak keliatan gap usia dan lintas negaranya.
Pengen deh liat mereka se-project lagi tapi di drama! Ahahaha.
Tabik,
Azz