[POV] Novel Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982
Yeay! Akhirnya saya bikin
POV buku pertama di MS, dan ini adalah pertama kalinya saya nulis POV buku. Seingat saya sih begitu.
Jadi, karena ini POV buku pertama saya, mon maap kalau isi-nya
nggak sebagus di blog-blog yang lain. Namanya juga masih belajar hehe #ngelestetep
jadijurusterjitu.
Tentang novel Kim
Ji-yeong, Lahir Tahun 1982, saya memutuskan membeli bukunya di Buka
Buku, tobuk online langganan saya, setelah membaca tanggapan teman-teman di
medsos terhadap filmnya. Iya. Novel yang kemunculannya telah memicu kontroversi
di negara asalnya—Korea Selatan ini memang sudah dibuat versi filmnya, dibintangi
Goblin Ahjussi eh Gong Yoo dan Jung Yu Mi. Kabar gembiranya, meski terus
mendapatkan protes, versi film Kim Ji Yeong disambut positif penonton. Inilah
yang semakin menguatkan minat saya memasukkan novel ini ke keranjang belanja
saya mendampingi buku nonfiksi Sebuah
Seni Untuk Bersikap Bodo Amat-nya Mark Manson.
Karena nggak bisa nonton filmnya—bioskopnya jauh,
saya tinggal di pulau—jadi saya baca bukunya aja dulu.
Saya segera membaca Kim Ji-yeong, Lahir Tahun
1982 begitu bukunya tiba di tangan saya. Saya tidak membutuhkan waktu lama
menamatkannya, saya baca di sela-sela pengawasan PAS. Hasilnya? Saya tidak terlalu
terkejut dengan apa yang diceritakan di novel yang berjudul asli 82 년생
김지영.
Judul
: Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun
1982
Penulis : Cho Nam-joo
Alih Bahasa :
Iingliana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
November, 2019
Blurb
Kim Ji-yeong adalah
anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang memgharapkan anak laki-laki,
yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan
ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalan pulang dari sekolah di
malam hari.
Kim Ji-yeong adalah
mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di
perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan
istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.
Kim Ji-yeong mulai
bertingkah aneh.
Kim Ji-yeong mulai
mengalamu depresi.
Kim Ji-yeong adalah
sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.
Namun, Kim Ji-yeong
adalah bagian dari semua perempuan di dunia.
Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah
novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah
kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini
membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis dan penindasan
institusional yang relevan bagi kita semua.
***
Dari petikan blurb-nya
sudah ketahuan seperti apa potret kehidupan Kim Ji-yeong yang diceritakan di
dalam novel ini. Diskriminasi, perlakuan berbeda yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan itu terbaca jelas. Inilah realitas sesungguhnya
yang dialami perempuan-perempuan di Korea Selatan. Sekian dekade telah berlalu,
namun praktik misoginis, patriarki, masih betah mengakar pada
sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.
Novel setebal
192 halaman ini memiliki alur maju-mundur yang dibagi menjadi 6 bagian memakai
kurun waktu 1982, kelahiran Ji-yeong sampai 2016, mencakup hari kelahiran Kim
Ji-yeong, masa-masa sekolahnya, kehidupan pekerjaan hingga pernikahannya, yang
pada setiap fase itu kita bisa melihat secara terang-terangan dan gamblang
betapa tak adil-nya lingkungan di Korea Selatan memperlakukan perempuan.
Dan kehidupan Kim Ji-yeong merangkum seluruhnya tanpa terkecuali.
Kim Ji-yeong
terlahir dari seorang perempuan hebat yang meski telah dibuat babak belur oleh
pilihan-pilihan yang tidak diinginkannya tapi mesti diambilnya karena ia
perempuan, Oh Mi-sook tidak lantas luruh begitu saja dalam
ketidakberdayaan. Oh Mi-sook melawan dengan caranya sendiri. Ia adalah
sebuah pengecualian. Di dalam rumahnya, Oh Mi-sook memegang peranan
besar.
“Lihat,
Seoul ada di sini. Bentuknya hanya satu titik. Saat ini, kita hidup di dalam
titik ini. Walaupun kalian mungkin tidak akan mengunjungi semua tempat yang
ada, aku ingin kalian tahu bahwa dunia ini sangat luas.” –Oh Mi-sook (hal
47)
Itulah yang
dikatakan Oh Mi-sook pada kedua putrinya saat menunjuk sebuah peta dunia
berukuran besar yang tergantung di dinding kamar mereka. Betapa ia ingin agar
anak-anaknya tak bernasib sama dengannya—terpaksa memangkas habis
mimpi-mimpinya karena tanggung jawab yang harus diembannya, sebab, lagi-lagi
karena ia perempuan.
Namun sayang,
harapan ibunya gagal mewujud pada Kim Ji-yeong. Karena ia perempuan yang
dilahirkan dan tumbuh besar dalam lingkungan yang pelik, yang memandang
perempuan sebagai sumber masalah, bahwa perempuanlah yang patut
disalahkan bila ada hal-hal buruk menimpanya, Kim Ji-yeong terbiasa menelan
bulat-bulat kemarahannya. Perempuan malang itu, entah di mulai dari titik mana,
telah kehilangan suara-nya.
Kim Ji-yeong
menikah dengan Jeong Dae-hyeon saat dirinya berumur 31 tahun, lalu melahirkan
anak pertamanya—Jeong Ji-won setahun setelahnya.
Di suatu
pagi, Jeong Dae-hyeon menyaksikan sendiri perubahan aneh terjadi pada diri
istrinya. Kim Ji-yeong bertingkah dan berbicara seperti orang lain. Awalnya
Jeong Dae-hyeon tidak menganggap serius hal tersebut. Namun ketika Kim Ji-yeong
tiba-tiba menirukan Cha Seung-yeon—sahabat Ji-yeong yang sudah meninggal akibat
emboli air ketuban saat melahirkan anak keduanya, Jeong Dae-hyeon mulai dihinggapi
kekhawatiran.
Kulminasi
keanehan juga kesedihan hidup Kim Ji-yeong terjadi pada musim gugur 2015. Saat itu adalah perayaan Chuseok. Jeong
Dae-hyeon mengajak Kim Ji-yeong dan putri mereka mengunjungi orang tuanya di
Busan. Di hadapan kedua orang tua Dae-hyeon, Ji-yeong bertingkah tidak wajar.
Ia mengomeli ibu Dae-hyeon, mertuanya sendiri. Dan lagi-lagi, saat
melakukannya, ia seperti bukan Ji-yeong biasanya. Ia berubah menjadi orang
lain. Jeong Dae-hyeon memutuskan membawa istrinya ke psikiater.
Apa
sebenarnya yang terjadi pada Kim Ji-yeong? Benarkah keanehan demi keanehan yang
terjadi padanya semata karena depresi pascamelahirkan?
Kilas balik
kehidupan Kim Ji-yeong sebelum dan setelah dilahirkan, suasana rumah, perlakuan
sistem dan guru-gurunya di sekolah terhadap anak-anak perempuan, kehidupan
perkuliahan hingga lingkungan kerja, dan sampai akhirnya ia pada kehidupan
pernikahannya, telah membuktikan apa yang dialami Kim Ji-yeong bukan hanya
tersebab depresi pascamelahirkan. Itu adalah rangkaian rel panjang kemarahan,
rasa ketidakadilan yang mengendap lama, berkarat di lubuk terdalam memori Kim
Ji-yeong. Ji-yeong tak mampu lagi menampung lebih lama, maka meledaklah ia.
Rel-nya macet. Dunia Kim Ji-yeong berhenti berotasi.
Lalu mengapa
Ji-yeong tidak mencoba melawan seperti ibunya?
Seperti yang
ditulis Kim Go Yeon-ju, seorang Sarjana Kajian Perempuan di penutup buku ini,
ada waktu-waktu di mana Kim Ji-yeong ingin melawan, ingin bersuara namun urung,
karena sejumlah alasan. Kim Ji-yeong sudah terlanjur pesimis terhadap suara-nya
sendiri. Sebagai golongan minoritas, di tengah ‘masyarakat misoginis’—Ji yeong
memilih diam, karena jika pun ia memilih menyuarakan pendapatnya yang berbeda
dari nilai-nilai yang sudah mengakar di masyarakat tersebut, maka ia akan
dianggap hanya sebagai suara sumbang yang tak jelas artikulasinya.
Konsekuensi yang mesti ditanggungnya sangat besar. Terlampau berat untuk
ditanggungnya. Begitu pula akhirnya, sudah terang benderang. Peluang
dikucilkan, dijadikan bulan-bulanan sangat besar.
Saya teringat
potongan kalimat Jang Geurae dari Misaeng, “in life there are many things
you start even if you know the end.” Walaupun kita sudah tahu hasil
akhirnya, kita tetap memulainya dengan harapan akan terjadi perubahan. Bagi
Kim Ji-yeong, berlaku hal sebaliknya. Karena sudah tahu akhirnya, maka ia
memilih tidak melakukan apa-apa. Mengapa mencoba sesuatu yang sudah
jelas hasil akhirnya. Sebuah sikap kalah yang muncul karena hilangnya harapan.
Ironis bukan?
Apa-apa yang
diceritakan di dalam novel ini tidak terlalu mengejutkan saya karena
kejadian-kejadian yang menimpa Kim Ji-yeong sudah cukup sering kita temukan di
drama, sebut saja Misaeng, atau yang
paling terbaru—kisah jaksa perempuan yang mengalami keguguran di Miss Hammurabi. Tidak mengejutkan bukan
berarti tidak bisa membuat hati saya nyeri, bukan? Kehadiran novel ini kian
menegaskan kefatalan sistem sosial memperlakukan perempuan di Korea Selatan,
dan dunia pada umumnya.
Di sinilah
letak ironinya. Mengapa orang-orang bersuara keras terhadap kehadiran novel
ini, padahal jika menyoal isi bukunya, sudah bukan lagi menjadi hal
baru? Mengapa harus marah? Tersinggung? Apakah karena Kim Ji-yeong secara
blak-blakan menelanjangi kebrutalan pandangan dan perlakukan masyarakat
umum terhadap perempuan di sana sehingga orang-orang ini takut akan munculnya
gelombang tuntutan perubahan dalam tatanan sosial masyarakat terhadap perempuan?
Memangnya apa salah bila perempuan menyuarakan ketidakadilan yang menimpanya?
Bukankah perlakuan tidak adil pada perempuan di Korea Selatan sudah sering
divisualisasikan di drama? Semestinya kehadiran novel yang diterbitkan pertama
kali di tahun 2016 ini dijadikan momentum baik untuk mengurai benang kusut isu
misoginis di Korea Selatan—andai orang-orang yang menentang Kim Ji-yeong itu
mau mengoreksi sudut pandang akut mereka tentang posisi perempuan di lingkungan
sosial, maka Kim Ji-yeong adalah angin segar. Sayangnya itu tidak terjadi.
Pelecehan
seksual, verbal abuse, dan bentuk diskriminasi lain dalam lingkungan
pekerjaan, sudah sering kita saksikan di drama-drama Korea dan kehidupan para
artis-artisnya, harusnya itu menjadi kritik sosial yang ampuh untuk
menghancurkan pondasi ketidakadilan pada perempuan di Korea Selatan. Saya tidak
tahu banyak mengenai produk hukum di negara itu, namun membaca bagaimana
penanganan kasus pelecehan pada perempuan yang kerap berat sebelah, saya tidak
yakin orang-orang benar-benar menganggap serius isu misoginis. Kasus artis
pemeran Boys Over Flower yang bunuh diri itu, lalu kasus mendiang Go Hara yang
berlarut-larut dan malah menyerang pribadi Hara—banyak sekali... perempuan-perempuan
yang memilih untuk bersuara seolah berusaha diredam dengan macam-macam
cara. Mengapa? Apa yang salah pada perempuan?
Isu
diskriminasi terhadap perempuan bukanlah hal baru, itu tidak hanya terjadi di
Korea Selatan, tapi juga di dunia. Dan di sekitar kita. Selama tiga puluh tahun
hidup saya, saya tumbuh dan melihat bagaimana perempuan-perempuan di sekitar
saya memanggul kesedihannya sendirian karena diperlakukan tidak adil. Saya
kenal seorang perempuan, seorang istri. Ia sudah terbiasa mengalah dalam
banyak hal, menerima kesalahan yang bukan miliknya. Saya tidak
pernah bisa mengerti. Ketika suatu saat saya bertanya mengapa tidak melawan, ia
menjawab saya dengan memasang wajah teduhnya, “demi anak-anak...”
Demi
anak-anak sering jadi alasan para perempuan yang telah
menjadi ibu, mengorbankan apa-apa yang seharusnya menjadi milik-nya. Pada
kejadian lain, seorang perempuan yang menjadi korban perkosaan justru
disalahkan orang-orang. Pakaiannya, kata mereka. Jika masalahnya hanya berkisar
pada pakaian, lalu bisakah orang-orang bersuara sama ketika pelecehan tersebut
menimpa perempuan yang berpakaian sopan? Mengapa perempuannya melulu yang
disalahkan? Mengapa kita kerapkali gagal menangkap gambar besar sebuah masalah?
Novel Kim Ji-yeong sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan menjadi internasional best seller—populer tak hanya di Korea Selatan—tidakkah ini menyiratkan memang ada yang salah pada tatanan sosial kita?
Sepatutnya
kita sadar bahwa persoalan diskriminasi pada perempuan tidak terbatas pada
hal-hal teknis, ada hal-hal mendasar yang sudah mengurat-akar pada masyarakat
kita yang kerap memandang perempuan sebagai sebagai objek pelampiasan.
Kim Ji-yeong
adalah sebuah kritik keras terhadap tatanan masyarakat sosial dalam pandangan
dan perlakuannya terhadap perempuan. Kim Ji-yeong adalah simbol suara-suara
perempuan yang dipaksa memilih redam oleh pesimisme, oleh ketakutan, oleh
kekecewaan, oleh banyak hal yang membuatnya tampak kerdil tak berdaya... Kim
Ji-yeong, sesuai namanya yang populer di tahun 80-an, adalah teriakan frustasi
yang mewakili perempuan-perempuan di
Korea Selatan, dan dunia.
Kim Ji-yeong adalah
bagian dari semua perempuan di dunia....
Dari sekian
banyaknya potongan-potongan cerita kehidupan menyakitkan Kim Ji-yeong di novel
ini yang membuat saya menghela napas panjang—kesal, marah, sebut saja apa pun
itu—saat membacanya, saya tuliskan bagian-bagian paling membekas saja.
Seorang ibu meminta
maaf kepada keluarga suaminya karena melahirkan anak
Ketika Kim
Ji-yeong lahir, Ibu memeluknya sambil menangis dan meminta maaf kepada Nenek. (Hal. 25)
Karena Oh
Mi-sook melahirkan dua anak perempuan berturut-turut, bukan anak laki-laki,
sebab itulah ia meminta maaf. ㅠ.ㅠDan
yang paling menyesakkannya lagi, penyambutan kelahiran Jeong Ji-woon tak
berbeda jauh dari ibunya, Kim Ji-yeong. Para ibu (Ibu Kim Ji-yeong dan ibu
mertuanya) yang sudah tahu rasa dan beban melahirkan anak
perempuan semestinya tak perlu lagi mengulang perlakuan yang sama pada Kim
Ji-yeong. Luka itu tak perlu diturunkan. Tapi, itulah yang terjadi.
Kesalahan
sebesar apakah yang ditanggung seorang perempuan hingga kelahirannya membuat
ibunya harus meminta maaf kepada suami dan keluarganya? Bisa dibayangkan, jika
kelahirannya saja sudah disambut dingin, bagaimanalah rupa jejak-jejak
kehidupannya kelak...
Pelecehan seksual
berkedok minum-minum bersama
Terdengar
tidak asing, bukan? Saya tidak bisa menyebutkan secara spesifik di drama apa
saya pernah melihat adegan semacam ini, tapi saya ingat sudah banyak drama
mengangkat isu ini. Perempuan yang bekerja diposisikan di tempat serba salah.
Tidak ikut acara minum-minum dipastikan akan mendapat kritik dan respon negatif
dari atasan dan rekan kerjanya, ikut—artinya membuka peluang selebar-lebarnya
untuk dipermainkan atasannya.
Perlakuan tidak
menyenangkan terhadap perempuan hamil
Di salah satu
episode Miss Hammurabi dikisahkan dengan sangat baik ketika seorang jaksa
perempuan mengalami keguguran karena dipaksa bekerja melampaui jam kerja oleh
atasannya.
Perusahaan
tempat Ji-yeong bekerja memberikan keringanan keterlambatan tiga puluh menit
untuk karyawati yang hamil, namun yang menyakitkan justru datang dari rekan
kerjanya yang pria. Mereka—saya merasakan nada sinis—berkomentar, “wah enak sekali. Sekarang kau bisa datang terlambat”,
(hal. 138). Itu terdengar seolah-olah Ji-yeong sengaja memanfaatkan
kehamilannya ckck. Lalu ini, “orang yang
berkeliaran di kereta bawah tanah dengan perut buncit demi mencari uang masih
ingin punya anak?” (hal 140), ucapan yang dilontarkan seorang gadis
(mahasiswa), BAHKAN SESAMA PEREMPUAN JUGA MEMPERLAKUKAN JI-YEONG SEKASAR ITU!
SAKIT.
Saya hanya
bisa menyebutkan tiga kejadian di atas, selebihnya silakan baca sendiri
novelnya.
Novel ini tak
banyak menonjolkan karakter Jeong Dae-hyeon, jadi saya tidak bisa membahas
karakternya lebih jauh. Hanya saja sebagai suami, Dae-hyeon memiliki tingkat
kepekaan yang minim terhadap penderitaan istrinya. Okelah, Dae-hyeon sudah
berinisiatif membawa Kim Ji-yeong ke psikiater, tapi itu bukan satu-satunya
jalan keluar untuk menyembuhkan istrinya. Untuk mengembalikan suara Kim
Ji-yeong yang hilang, Dae-hyeon harus terlebih dahulu menerima fakta
bahwa yang mengambil suara Ji-yeong bukanlah depresi pascamelahirkan
melainkan orang-orang, lingkungan yang mengelilinginya, termasuk suaminya
sendiri.
Kim Ji-yeong,
Lahir 1982 bukanlah tipikal kisah yang mengikuti alur novel biasa, yang
pada setiap konfliknya selalu di akhiri dengan kesimpulan—sad ending, happy
ending, atau open ending. Tidak ada akhir untuk kisah Kim Ji-yeong.
Dan sebagai pembaca, saya tidak menuntut itu. Bagi saya, novel ini sangat
sukses membuka mata saya mengenai isu misoginis, diskriminasi perempuan, sistem
patriarki di Korea Selatan, yang segera saja menggiring pikiran saya mendekat
pada kehidupan di sekeliling saya. Mereka—Kim Ji-yeong-Kim Ji-yeong lain ada
dan hidup di dekat kita. Saya tidak tahu riwayat isu itu
sudah mengakar jauh lama di sana, yang membutuhkan rangkaian waktu yang tidak
pendek untuk bisa, setidaknya, pelan-pelan memperbaiki tatanan yang sudah rusak
itu.
Ketika
membaca berita bahwa film Kim Ji-yeong merajai chart Box Office di Korea
Selatan, saya bertanya-tanya mungkinkah
momentum baik itu telah tiba pada tempatnya yang seharusnya? Semoga saja
masyarakat yang bebal ini mau dan mampu mengoreksi dirinya sendiri. Om Gong Yoo
aja dibikin nangis gara-gara baca naskahnya dan segera neleponin emaknya,
ngucapin makasih. Curiga, yang nggak tersentuh hatinya baca dan nonton kisah
Kim Ji-yeong ini jangan-jangan hatinya terbuat dari plastik daur ulang! /maap/
Omong-omong,
sambil membaca buku ini, terpikir satu pertanyaan menggelitik di kepala saya. Orang-orang
itu, yang mempermasalahkan kehadiran Kim Ji-yeong, yang menganggap dan
memperlakukan perempuan seperti barang, seolah-olah perempuan adalah makhluk
yang datang dari dunia yang jauh yang kehadirannya membawa petaka, dari manakah
mereka terlahir? Batu?
=OoO=
Membaca Kim
Ji-yeong, Lahir 1982 ini bikin saya makin mantap untuk selektif memilih drama
yang saya tonton. Dulu, awal-awal ngikutin drakor saya gampang banget suka sama
tipikal lead male yang sok cool, demen kasar sama lead female-nya,
yang tsundere, yang katanya cinta tapi malah seneng ngejatuhin harga diri orang
yang disukainya—kesannya romantis gitu, sekarang no way! Jauh-jauh sama
karakter kayak gitu. Dan emang sih sadar nggak sadar secara alamiah saya juga
udah nggak seneng nonton drama yang karakter utamanya seperti itu.
Drama-drama kayak gitu tuh yang sudah membantu menumbuhsuburkan praktek
misoginis.
Saya pernah
ngomong ke Hafidh soal pergeseran selera ini. Waktu itu saya nyinggung bacaan
sih, saya bilang kalau sekarang saya udah nggak terlalu minat baca novel-novel
romantis—asli! koleksi buku romantis saya dikiiiiiit banget. Kata dia kurang
lebih gini, memang, seiring bertambahnya usia seseorang, referensi bacaannya
pun akan berubah. Nah, ini juga (sepertinya) berlaku dalam urusan tontonan
drama. Saya cenderung malas mengikuti drama yang cerita dan karakternya,
versi logika berpikir saya nggak realistis. Saya nggak ngomongin genre
ya.
Saya tidak
akan memberikan rating untuk novel ini. Well, POV ini tidak bisa
sepenuhnya disebut review karena saya tidak runut membahasnya, lebih banyak
membahas isi dan tanggapan dari sudut pandang saya sebagai pembaca
ketimbang mengorek hal-hal lain.. Tidak ada kritik, atau masukan.
Kelemahan dan kelebihan novelnya tidak saya urai. Saya memang masih harus
banyak membaca dan belajar dari review orang-orang. Hehe.
Oya, ini
novel terjemahan Korea Selatan yang saya baca setelah Leafie. Dan karena
ini buku terjemahan makanya saya enggan membahas diksi berceritanya.
Saya menyelesaikan bukunya tidak kurang dari 24 jam bukan karena bukunya enggak
menarik, suer, saya nggak pake jurus skip-skip halaman. Saya benar-benar
membacanya halaman demi halaman, menyerap setiap paragrafnya dengan serius.
Karena sudah masuk jadwal PAS, aktivitas ngajar nggak ada lagi, makanya saya
punya waktu luang yang lebih untuk membaca. Lagi pula halamannya tidak terlalu
tebal, hanya 192 halaman.
Oke, adakah
di antara pembaca MS yang sudah membaca novel ini? Yuk, ngobrol! ^^
Azz—yang sedang patah hati ㅋㅋㅋㅋ
P.s
: yang mau ngerekomendasiin buku-buku bagus boleh dong ninggalin komentarnya...
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊