[Pieces of Me] It Takes Time
“Apa jadinya jika saya benar-benar menikah di
usia 23 tahun seperti keinginan saya dulu?”
Saya sedang membuka-buka lembaran sebuah novel
favorit saya di kamar ketika sepotong tanya menggelitik itu muncul di kepala
saya. Ya, apa jadinya saya? Apakah saya akan baik-baik saja? Bila mengingat
kondisi mental kejiwaan saya selama sepuluh tahun terakhir, maka saya—dengan
nada yakin dan penuh kesedihan—bisa menjawab, tidak. Saya tidak akan baik-baik
saja. Saya (mungkin) memiliki keyakinan menggebu-gebu pada saat itu, bahwa saya
bisa melewati hari-hari yang sulit dengan pasangan saya, tapi saya yang saat
ini bisa melihat jelas, kenyataan tidak akan seindah yang saya bayangkan. Saya
tidak memiliki kesabaran tanpa batas seperti ibu saya, saya di masa lalu ibarat
sekam kering, dengan kondisi mental yang tidak stabil, reaktif seperti
Hidrogen, sedikit percikan saja akan membakar diri saya sendiri, juga pasangan
saya. Potensi saya untuk membuat seluruhnya berantakan sangat besar. Oh, tidak.
Saya tidak sedang meragukan dan menjatuhkan diri sendiri dengan semena-mena,
memang sudah seperti itulah gambaran keadaan jika saya benar-benar menikah di
usia 23 tahun, seperti keinginan saya dulu. Menikah bukan soal kita ingin atau
belum, tapi soal kesiapan kita menempuh perjalanan asing, yang menuntut
kecakapan kita menerima dan menjalani hal-hal baru, dihidupi olehnya.
Jika menikah dalam keadaan mental yang kacau, maka saya tak ubahnya sedang
menciptakan neraka baru bahi hidup saya.
So, what are you really talking about, gurl?
Still talking about marriage like before?
HAHAHAHA. Nope. I’ll talk about something
else. Bear with me, okay?
Sebenarnya pertanyaan itu hanya satu dari sekian
banyak deret tanya yang diawali kata jika, andai, misal yang semuanya
itu erat hubungannya dengan waktu-waktu yang sudah saya lewati. Masa lalu.
Jika saya tidak pernah memutuskan pacar saya
karena tidak ingin berada dalam situasi penuh kepura-puraan, apakah saya akan
baik-baik saja?
Jika saya lulus tepat waktu, akan seperti apa
dunia kerja yang saya tinggali? Apakah itu jenis pekerjaan yang membuat saya
betah?
Jika saya benar-benar meninggalkan rumah kala itu,
pergi ke tempat yang jauh, meninggalkan unfinished problems—lari, apakah
itu berhasil membuat saya sembuh?
Jika saja saya tetap percaya bahwa saya lebih
baik menutup pintu hati saya rapat-rapat...
Jika saja saya tetap percaya bahwa saya tidak
akan bisa melakukan apa-apa untuk hidup saya...
Jika saja saya memutuskan tetap tinggal di dalam
keyakinan bahwa saya bukan orang berhati hangat, bahwa saya jahat, bahwa saya
judes, ketus, membenci laki-laki sepenuh hati, bahwa bersikap dingin adalah
jurus terjitu melindungi diri sendiri dari luka dari kekecewaan, dari apa-apa
yang telah dan bisa membuat saya babak belur... jika saya tetap memercayai itu
semua saya tidak akan pernah mampu menghadapi diri saya sendiri, selamanya saya
akan percaya bahwa saya adalah korban dari kegagalan orang-orang dewasa
mengatasi ego mereka sendiri.
... Hari-hari panjang yang saya lewati yang
acapkali disebut hari yang gagal itu, nyatanya telah membantu saya menemukan jalan
pulang. Berdamai dengan diri sendiri.
Melepas usia 20-an, saya mencoba menoleh sekali
lagi pada tahun-tahun panjang itu, betapa banyak pertolongan yang Allah berikan
kepada saya agar tetap mampu merawat kewarasan. Dulu, saya berpikir hidup saya
terlanjur berantakan, tidak bisa diperbaiki lagi, nyatanya, pandangan saya
terlampau picik. Saya terlalu cepat menghakimi proses yang sedang saya jalani.
Jika saya tidak mengalami hal-hal buruk itu, saya tidak akan menjadi saya yang
sekarang.
It takes time.
Butuh waktu yang panjang bagi saya hingga bisa
sepenuhnya pulih dari luka yang dirawat dengan telaten oleh diri saya
sendiri, untuk menerima kenyataan bahwa kita yang dibesarkan
kesakitan-kesakitan sesungguhnya adalah sosok yang kuat, bahwa melalui itu semua,
hati dan nurani kita diasah agar lebih peka, lebih sabar, lebih tabah—they
say everything happens for reason.
Kita bisa saja mengalami kesakitan serupa, tapi alasan mengapa harus
kita yang mengalaminya, bisa jadi berbeda. Pun prosesnya. Tidak pernah ada yang
benar-benar sama. Tapi, dengan melalui itu semua, kita jadi tahu seberapa mampu
kapasitas hati kita menampung kesedihan. Dengan melalui itu semua, kita bisa
mengantisipasi agar kelak, kejadian-kejadian buruk itu tidak perlu diwariskan. Bahwa
perjalanan setiap luka akan membawa kita lebih dekat kepada Tuhan, dan diri
kita sendiri. Hanya jika kita berani dan mau belajar.
It takes time.
Setiap nama menyimpan ceritanya sendiri. Dan
setiap cerita tidak selalu punya alur yang manis, yang bahagia. Selalu ada
cerita yang stuck di titik yang sama, tidak ke mana-mana. Juga ada
cerita berulang dengan objek yang sama namun memiliki ending berbeda.
Bila setiap nama diibaratkan buku, maka buku saya berisi banyak sekali cerita kegagalan.
Gagal menemukan warna diri, gagal memeluk kata maaf dengan setulus hati, gagal
mengurai kemarahan yang bertumpuk-tumpuk—saya pernah terbiasa membenci hidup
saya, membenci orang-orang yang menempatkan saya di titik kesakitan paling dalam.
Pernah, saking sesaknya dada saya menahan beban, beberapa kali saya
ingin berteriak sekeras yang saya bisa dan hanya berakhir menangis sesenggukan
sembari membekap mulut saya dengan bantal. Sekali waktu, saya pernah mencoba
membayangkan bagaimana rasanya jika pergelangan tangan saya disentuh pinggiran
silet yang tajam dan dingin itu... Saya percaya orang-orang yang mengenal saya
di real life tidak akan memercayai saya pernah mengalami depresi. Karena
bagi mereka, saya terlihat baik-baik saja. Saya terbiasa menyimpan semuanya
sendirian, maka begitulah...
Saya ingat, suatu ketika pernah meminta tolong
kepada Teh Wiwit agar dikenalkan kepada seorang psikolog atau psikiater,
kalau-kalau beliau punya teman—itulah saat-saat saya sering memikirkan bunuh
diri sebagai jalan terbaik. Alhamdulillah, saya masih ditolong Allah
hingga saya akhirnya berhasil mengabaikan.jalan terbaik versi pikiran
gila saya itu.
“...
jangan lebay deh, jangan manja, jangan cengeng, tuh liat di luar sana masih
banyak orang yang masalahnya lebih berat dan mereka masih bisa menahannya.” Please,
jangan ngasih kata-kata semacam ini kepada mereka yang sedang berjuang
mengatasi masalahnya, meskipun niatmu untuk menguatkan. Itu tindakan keliru. Toxic.
Banyak mental illness lahir karena orang-orang memilih menyimpan sendiri
masalah-nya.
Everyone has their own story. You can’t judge
them based on your own perspective.
Dan lagi hidup tidak melulu soal membandingkan
luka siapa yang paling dalam paling sakit paling babak belur. Temanmu
menceritakan kesulitan-kesulitannya kepadamu, bukan berarti dia lemah, bukan
berarti ia ingin dikasihani, mungkin saja ia hanya ingin didengar. Sebatas
itu.
Kita dianugerahkan Tuhan kemampuan berbeda-beda
dalam menangani masalah yang datang kepada kita. Kebisa-anmu melewati
masalah, tidak mungkin sama dengan temanmu, dengan orang lain.
Di masa lalu, mungkin saja situasinya akan
berbeda jika saja tidak memilih memendam semuanya sendirian, jika saja saya
lebih berani menyuarakan isi kepala saya, berani keluar dari tekanan, tidak
memilih meringkuk ketakutan di sudut kamar sembari menangis diam-diam, jika
saja saya tidak mengamini ‘di luar sana masih banyak orang yang masalahnya
lebih besar dari kamu, jadi jangan berisik’, kemarahan dan kebencian saya
tidak akan sepekat yang pernah saya rasakan. Mungkin saja, saya tidak akan
terlalu sulit berdamai dengan hidup saya, dengan orang-orang yang saya benci,
dengan segala hal yang membuat saya percaya bahwa saya tidak berharga.
Karena terbiasa memendam, terbiasa menelan
bulat-bulat kesedihan dan kemarahan yang datang kepada saya, terbiasa
menyalahkan entah keadaan entah mereka, saya membutuhkan waktu separuh dari
usia saya untuk sembuh. Sungguh hari-hari yang melelahkan.
So, it’s okay not to be okay.
Some days are rough and it’s ok to cry. You don’t have to be postivie all
the time.
Tak ada bahagia, senang-senang yang bisa bertahan
selamanya. Kadang kita perlu kesedihan agar tahu harganya bahagia. Untuk menjadi
tangguh, kita mesti melewati fase berkali-kali jatuh. Setiap jatuh, setiap
sedih, setiap luka yang kita alami adalah satu tangga menuju kita yang
kuat. Kadang saat kita begitu bersemangat mendengar cerita sukses seseorang
yang selamat dari cengkeraman jelaga masa lalu, tapi kita tidak
sepenuhnya bisa merasakan dan memahami perjuangannya untuk bisa lolos dari
sana, tidak hingga kita mengalaminya sendiri. Hidup memang seperti itu, lebih
mudah berkata-kata, lebih mudah membayangkan.
It takes time.
Untuk bangkit,
Untuk tidak menyerah,
Untuk memahami,
Untuk menerima
Untuk mengatasi,
Untuk belajar memeluk diri sendiri dengan hangat
seraya berkata, “terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih karena
tidak menyerah. Terima kasih...”
Setiap dari kita sudah punya garis waktunya
masing-masing, jadi, jangan membuat hidup kita seolah-seolah berada di jalur
lomba lari, yang mesti bersaing dengan yang lain demi mencapai finish.
Capek, nanti. Mungkin baik membandingkan pencapaian orang lain dengan tujuan
melesatkan diri, tapi kalau hasilnya justru bikin kita jiwa kita kerdil, untuk
apa?
Pada akhirnya, hari-hari buruk, dan hal-hal buruk
yang seringkali menumbuhkan rasa percaya bahwa kita adalah produk gagal
sejatinya adalah ruang belajar tanpa batas bagi setiap yang mengalaminya.
... and let me say this to my twenties, “You have
worked hard, sayangku... thank you. I
love you so much, I really do.”
-Azz-
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊