[Pieces of Me] Sudut Pandang
ㅡ
“Apa
yang terpikirkan olehmu mengenai benda itu?”
Pada satu kesempatan yang
tidak begitu cerah, di bawah langit pukul lima sore, di antara lalu lalang
kendaraan yang ramai, Senja mendadak melemparkan pertanyaan itu kepadaku
setelah kami terdiam cukup lama karena kehabisan topik pembicaraan.
Itu pertemuan kesepuluh kami.
Kuikuti
arah telunjuknya. Alisku bertaut. “Itu?”
Ia mengangguk.
“Apa yang kamu pikirkan?”
Yang ia
tunjuk adalah sebuah tong sampah besar yang terletak di pojok kiri halte.
Kukembalikkan tatapanku kepada Senja. “Itu hanya... tong... sampah?” ucapku
hati-hati.
“Hanya
itu? Hanya tong sampah?”
Bola
mataku terangkat ke atas. Berpikir. Namun, alih-alih mencoba mencari opsi
jawaban lain terhadap pertanyaan aneh Senja, aku malah sibuk menebak maksud di
balik pertanyaan lelaki berkacamata itu. Seharusnya aku tidak lupa, Senja
selalu mengagetkanku dengan lompatan-lompatan pikirannya. Bahkan sejak
pertemuan perdana kami, di halte itu.
“Memangnya
ada sebutan lain untuk tong sampah?” Aku tahu, saat itu aku terdengar sangat
tolol. Aku sungguh tidak tahu apa istimewanya sebuah tong sampah besar berisi
sampah yang mengeluarkan bau busuk itu.
Tapi
Senja tidak tertawa. Wajahnya berubah serius. “Kamu benar-benar hanya memikirkan
tong sampah?”
Aku
menggeram jengkel. “Oh c’mon, Senja Dirgantara, bisa nggak kita
langsung ke poin intinya saja? Ada apa sih dengan tong sampah? Katakan padaku
apa yang membuatmu begitu tertarik pada tong sampah?”
Senja
tergelak. “As always, di antara kita berdua, selalu kamu yang paling
nggak sabar.”
Aku
tidak membantah.
“Aku
sedang membicarakan sudut pandang, Jingga.” Senja memulai. Dan aku tidak
memiliki pilihan lain, kecuali menyimak.
“Tong
sampah itu, jika kamu bertanya pada—setidaknya sepuluh orang yang mampir di
halte ini, aku yakin ada satu atau dua dari mereka yang akan memberimu jawaban
berbeda. Mungkin ada ibu-ibu yang akan mengomel mengapa para petugas kebersihan
selalu terlambat mengangkut sampah-sampah di dalam tong itu, mungkin ada
seorang bapak parobaya yang dengan segera akan menceritakan padamu tentang
seorang peminta-minta yang mati keracunan kemarin malam setelah memakan
sepotong roti sisa yang ia temukan di antara tumpukan sampah di dalam tong itu.
Ini tentang sudut pandang, Jingga.”
Kuhela
napas, hati-hati.. “Tapi aku benar kan? Itu hanya tong sampah?”
“Bagi
kamu, itu memang hanya tong sampah. Tapi bagi orang lain, benda itu
bisa memiliki arti berbeda. Kamu masih belum menangkap maksudku?”
Aku
menggeleng lemah.
Senja
menatapku lama sekali. “Mungkin, kita perlu sekali-kali mengganti sudut
pandang agar bisa memahami segala sesuatu dengan lebih adil. Aku tahu itu tidak
mudah, tapi... apa yang akan kita ketahui jika tidak mencoba?”
Ada
percikan kesedihan yang belum kering di bola mata cokelat Senja. Tanpa sadar,
ingatanku melayang pada potongan koran yang diperlihatkan Senja padaku sepekan
lalu. Judul berita utamanya terdengar menggembirakan sekali, mengenai seorang
pemimpin daerah yang berhasil menyabet penghargaan internasional karena
dianggap berhasil memberikan perubahan yang signifikan terhadap pembangunan
daerahnya, padahal beliau baru setahun memimpin. Ia begitu dielu-elukkan. Media
cetak dan online dipenuhi namanya,
memenuhi Trending topic Twitter selama berhari-hari.
“Meski dalam
keadaan paling buruk sekali pun?” tanyaku. Kuusahakan menggunakan tone nada
paling tenang yang kumiliki.
Senja
mengangguk. Senyumnya kembali. “Meski dalam keadaan paling buruk sekali pun,”
ulangnya.
Kurasa,
Senja telah menemukan jawaban mengapa ia harus merelakan sebuah rumah singgah
untuk anak jalanan yang ia bangun dari nol bersama teman-temannya diratakan
dengan tanah oleh PEMDA atas nama pemerataan pembangunan.
Aku
terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa.
Senja
juga.
Lalu
lalang kendaraan di depan halte semakin ramai mendekati jam pulang kantor.
Sebentar lagi, serapah dan bunyi klakson yang melengking silih berganti akan
terdengar dari berbagai penjuru. Di jalanan, keramaian selalu punya namanya
sendiri.
“Betapa
bisingnya...” ada getir yang gagal kusembunyikan.
“Seperti
isi kepala kita...”
ㅡ Perbincangan di Halte; Sebuah
Kolaseㅡ
=♥=
Pernah,
suatu ketika saya mendengar cerita yang tidak seragam mengenai satu urusan.
Ketidakseragaman itu berasal banyak sekali mulut. Berpindah-pindah. lalu lahir
kembali dengan modifikasi yang tidak sedikit. Tapi ini bukan tentang gosip.
Pada
kesempatan lain, pernah juga saya berasa di tengah-tengah dua orang yang saling
salah paham. Dan setelah saya mencoba menarik diri, memberi jarak pada apa
sebenarnya yang membuat keduanya tidak menyukai satu sama lain, inilah yang
saya dapatkan; bahwa mereka hanya tidak menyukai cara berbicara
masing-masing. Bahwa versi si Mbak satu, si A sangat annoying, gila
urusan, apa-apa dikomentarin. Yang membuat saya berpikir keras, mengapa ketika
saya berinteraksi dengan si A, saya
tidak menemukan identifikasi annoying pada dirinya? Ah—atau mungkin
belum? Entahlah. Ataukah annoying versi si Mbak berbeda dengan annoying
versi saya?
Voila! Sepertinya
ini persoalan sudut pandang.
Mengenai
dari sudut mana kita melahirkan pandangan. Penilaian. Soal angle. Sebuah
kamera akan menghasilkan gambar berbeda dari satu objek jika saya mencoba
memotretnya dari titik yang berbeda; padahal objeknya sama. Dan tentu hasil
jepretan saya akan sangat berbeda pula kalau kamera yang saya gunakan adalah
360. Kamera 360, sebuah fatarmogana tentang keindahan, kamuflase yang
menyenangkan tapi menipu. Jebakan Betmen HAHAHAHA.
Well, saya
tidak ingin membahas Camera 360.
Hari-hari
belakangan ini, saya tidak lagi mencoba memaksakan kepala saya untuk
menerjemahkan situasi dengan ngotot. Bila persoalannya memang mengenai
sudut pandang, maka benar, atau salah menjadi sesuatu yang variatif. Sudut
pandang berkaitan juga dengan standar baik atau buruk yang berbeda pada
setiap orang. Ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat saya yang kerap
terperosok dalam penilaian yang dilandasi kejengkelan alias emosional. Sudut
pandang membuat kita bisa sangat berbeda, tapi kita tidak perlu saling
menebaskan kata-kata tajam untuk membunuh langkah. Sudut pandang bukan
alat untuk menciptakan musuh sebanyak-banyaknya, sebanyak perbedaan yang kita
panjangkan dari hari ke hari. Sudut pandang tidak lantas mengajarkan kita
mengeja kebencian yang tidak habis-habis pada orang lain.
Sudut
pandang, pada titik lain sanggup menciptakan kesalahpahaman yang
berlarut-larut.
Pernah ndak,
kamu sepenuh hati kesal kepada seseorang karena penilaian sepihakmu? Namun,
ketika kamu mencoba berjarak dari kekesalanmu, kamu mencoba mencerna persoalan
dengan jernih, kamu menyadari segalanya akan jauh lebih baik seandainya
sedari awal kamu membuka jalur komunikasi—bukan malah meletupkan kekesalan.
Dari 100 orang yang kamu kenal, mustahil sekali keseratus orang tersebut pas
dengan standardisasi sifat dan sikap yang kamu miliki. Tidak sekali
dua kali hal seperti ini terjadi pada saya, yang belakangan ini membuat saya
banyak sekali merenung, tak terhitung berapa kali saya menghela napas berat.
Khawatirnya, semakin banyak saya berburuk sangka kepada orang lain, maka akan
semakin sulit pula saya mengenali diri saya sendiri, karena terlalu
sibuk meng-upgrade ketidaksukaan saya pada orang lain.
Saya
tersentil ketika menonton Episode 11 Miss Hammurabi, ada satu scene yang
menunjukkan Hakim Park Cha Oh Reum mengeluh pada neneknya dengan nada frustasi..
Setelah menjadi hakim, Cha Oh Reum meyadari ternyata banyak sekali orang jahat
di dunia ini, orang yang tak merasa bersalah atas apa yang mereka perbuat, dan
juga tak pantang mundur. Hakim Park rasa-rasanya ingin berhenti
melakukannya—berhenti menjadi hakim...
Apa yang
dikatakan neneknya kemudian yang berhasil menyentil saya.
“Oh Reum-ah, do you know what the dirtiest thing in the world
is? What about the purest thing in the world? You see, in my over 80 years of
life, i’ve realized that everything, from the ugliest and the prettiest, to the
most evil and most benevolent, as well as the cruelest and even the most
sympathetic thing... all comes down to people.~
Perhaps, we’re all born into this world to learn to be patient.
Maybe that’s the lesson we’re here to learn. “
ㅡbelajar
untuk sabar.
...
sabar menghadapi manusia lain.
...
sabar menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan standardisasi yang kita
miliki
...
sabar menghadapi diri sendiri,
Hidup
ya, belajar menjadi sabar di waktu dan tempat yang tepat.
Andai di
dunia ini ada sekolah yang menjadikan sabar dan ikhlas sebagai skripsi,
sepertinya saya akan lama lulusnya ㅋ
Tapi
kalau klausulnya ditambah, misalnya sabar dalam menunggu jodoh, Insyaa Allah
saya bisa lulus cepet HAHAHA.
*)Tulisan ini pernah saya posting di blog saya yang lain (Blossom Memories).
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊