;untuk Amelie

SINOPSIS

Cha Ji-won (Moon Chae-won) dan  Baek Hee-sung (Lee Jun-ki) menikmati kehidupan pernikahan mereka. Kehadiran Baek Eun-ha, puteri semata wayang mereka semakin melengkapi kesempurnaan kebahagiaan tersebut. Cha Ji-won adalah seorang detektif, sedangkan Baek Hee-sung membuka sebuah usaha di bidang kerajinan logam.

Kehidupan keluarga kecil itu terguncang ketika sebuah insiden yang berhubungan dengan masa lalu Baek Hee-sung terungkap. Cha Ji-won shock, suaminya yang tampak normal dan penyayang itu ternyata menyimpan masa lalu kelam dan mengerikan.

Cha Ji-won dilema. Di satu sisi ia terluka dengan fakta mengejutkan tentang Hee-sung, di sisi lain, ia tidak bisa begitu saja melenyapkan rasa cintanya yang sedemikian besar pada suaminya.

Jalan manakah yang akan ditempuhnya? Apakah kebahagiaan dan cinta yang ditampakkan suaminya selama ini hanya kamuflase belaka?

16 episode drama tvN yang mengusung genre suspense melodrama ini berhasil menyajikan cerita yang menawan dan tidak terlupakan bagi viewers-nya.

***


Saya termasuk orang yang terlambat menonton Flower of Evil, padahal saya excited banget sewaktu keluar berita Lee Jun Ki dan Moon Chae Won mau main drama bareng lagi setelah Criminal Minds (2017). Kayaknya sih waktu FOE tayang, karena satu dan lain hal, saya menjauhkan diri dari tontonan yang punya materi berat.


Di temlen saya, yang nonton FOE semuanya kompak bilang drama ini keren banget. Spoiler bertebaran tapi syukurnya enggak sampe ngebongkar secara utuh cerita dramanya, jadi ketika saya (akhirnya) nonton, efek surprise-nya masih bisa saya rasakan.


Apa sih yang membuat Flower of Evil disukai penontonnya? Apakah hanya karena chemistry dua pemeran utamanya? Atau ada hal lain? Materi ceritanya kah? Konflik? Apa?


Menurut hemat saya, materi cerita yang bagus hanya akan menjadi sebuah drama bagus kalau didukung cara bercerita yang apik. Sebuah drama memiliki ide cerita yang mungkin biasa—berulang, recycle, tapi bila pengemasannya melampaui ekspektasi penonton, di situlah poin yang membedakannya dengan drama lain. Banyak drama yang punya materi bagus tapi gagal dieksekusi dengan baik, yang ujung-ujungnya malah berakhir antiklimaks. Flower of Evil hadir memenuhi ekspektasi baik segi penceritaan, penokohan, plot, maupun alur konflik. Seperti piramida, semakin bertambah jumlah episode semakin mengerucut konflik. Drama ini memiliki banyak layer atau misteri (?) yang membuat penontonnya semacam menyimpan keraguan dan was-wasnya sendiri ketika menonton.


Sudah banyak drama yang mengangkat tema psikopat, dari yang levelnya soft, sampe yang sifat karakter psikonya semacam mau nyaingin setan kepala tujuh. Baik yang menggunakan sudut pandang psikopatnya sendiri, atau si korban, atau orang-orang yang berada di luar lingkaran tersebut. Flower of Evil mengambil jalur ekstrim—menipu penonton. Dan ini sukses besar mengaduk-aduk perasaan yang nonton. Mana posternya mendukung banget untuk kita suujonin Baek Hee-sung.. . Plot twist-nya Flower of Evil suka ngagetin sih. Udah mikir A eh kejadiannya malah D. Nebaknya gini, yang terjadi beda. Bener-bener apik.



Prolog dramanya yang disimpen di episode pertama sangat meresahkan. Potensi patah hatinya besar sekali. Dramanya kayak yang... yaaak yeorobun yang baik hati, tolong tissue-nya disiapin yaaa. YANG BANYAK!! /sambil masang senyum penuh misteri/


Hayooo, siapa yang was-was sendiri takut Baek Hee-sung bener-bener jahat?

Nonton drama ini ibarat menaiki roller coaster. Emosi naik-turun. Bikin baper. Bikin banjiiir. Gregetan .


Flower of Evil menghidupi genre-nya. Suspense melodrama. Dua-duanya dapet. Kesan misteriusnya juga hidup banget. Seimbang sih menurut saya.  Keharmonisan keluarga Cha Ji-won dan Baek Hee-sung yang menjadi latar utama Flower of Evil berhasil menawan hati yang nonton. Bikin iri, apalagi kalau melihat interaksi bapak-anak, Baek Hee-sung dan Baek Eun-ha. Demi apaaaa manis banget. Potret nyata seperti yang orang-orang bilang, ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Mau dilihat dari sudut pandang mana pun, kasih sayang yang dicurahkan Baek Hee-sung ke anaknya pure lahir dari hati.



Ini kali kedua saya menonton dramanya Jun-ki jadi bapak dan punya anak perempuan. Pertama di Two Weeks—enggak kalah bapernya juga. .


Setiap kali saya selesai menonton satu drama, selalu disusul satu kesimpulan utama di kepala saya tentang pesan yang bisa saya ambil dari drama tersebut. Usai menonton, tampaklah gambar besarnya. Dari Flower of Evil, sekali lagi saya diingatkan bahwasanya manusia pada satu titik tertentu mampu mengubah dirinya menjadi makhluk paling manipulatif, terhadap dirinya sendiri juga pada orang lain. Entah untuk alasan yang mana, kita selalu bisa menemukan jalan untuk menyenangkan atau memuaskan diri meski itu harus ditebus dengan mengorbankan orang lain. Dari sudut pandang diri sendiri, kebenaran menjadi sesuatu yang samar-samar dan ambigu.


Pertanyaan yang pernah menghinggapi saya sewaktu menonton Come and Hug Me turut pula muncul saat menonton Flower of Evil ini; apakah sifat psikopat bisa diturunkan kepada anak? Ayah psikopat apakah menjadi jaminan utama si anak akan mengikuti sang ayah?


Menalar dari sudut pandang saya, tidak ada anak yang terlahir dengan sifat dan sikap iblis. Saya percaya di dalam tubuh kita tidak ada itu yang namanya gen psikopat, tidak ada asam amino yang mengkode kebengisan macam itu. Tetapi jika dikaitkan dengan lingkungan, apakah kelakuan itu bisa menurun? Anak hakekatnya akan mengikuti apa-apa yang diserapnya dari lingkungan, dan lingkungan paling dekat pertama yang membentuk arah hidupnya adalah keluarga. Jika ia terbiasa melihat, mendengar, dan mengalami hal-hal buruk, besar kemungkinan ia akan mengikuti itu. Menjadi orang tua bukanlah pekerjaan mudah. Tanggung jawabnya berat. Berat sekali. Saya belum merasakan menjadi orang tua, tapi belajar dari orang tua saya, dari mereka yang telah menggenapi hidup dengan tanggung jawab itu, saya bisa melihat dengan sejelas-jelasnya; menjadi orang tua berarti perjalanan menaklukan ego sendiri dimulai. Its the hardest journey. Sometimes. It can be like that.


Dengan kondisi ayahnya yang luar biasa mengerikan itu, saya tidak bisa membayangkan kehidupan Baek Hee Sung jika tak ada kakaknya di sisinya. Kakaknya lah yang selalu menjadi benteng pertahanan pertama bagi Hee Sung, yang berusaha sekuat hati menetralisir pergolakan batinnya. Sedih sekali melihat kisah hidup dua kakak-beradik ini .


Jika tidak bertemu Cha Jiwon, apakah Baek Hee Sung masih memiliki kesempatan membuktikan ke dirinya sendiri kalau ia memiliki sifat penyayang dan lemah lembut? Saya bisa merasakan sepanjang episode Flower of Evil, kita dibawa untuk melihat usaha Baek Hee Sung untuk tampil normal—sesekali melatih wajah senyumnya di depan cermin, apakah itu menandakan ia sedang belajar memanipulasi dirinya, Cha Jiwon dan putrinya? Saya meragukan itu. Baek Hee Sung terlanjur memercayai stigma yang dilekatkan orang kepadanya; ia orang jahat; ia tidak berhak bahagia. Baek Hee Sung percaya ia palsu—sama palsunya dengan nama yang ia gunakan. Sebelum menjalin hubungan dan menikah, ia berulang kali mendorong Cha Jiwon agar tidak menyukainya. Karena ia percaya Cha Jiwon terlalu baik untuk orang seperti dirinya.



Ya, Cha Jiwon lah yang berhasil meyakinkan Hee Sung bahwa ia berhak dicintai, ia berhak bahagia.

Betapa sudut pandang yang kita lekatkan kepada orang lain entah sengaja atau tidak, entah atas dasar apa, motif apa, tampaknya itu memiliki memiliki peluang cukup besar untuk turut berkontribusi pada pembentukan karakter orang tersebut. Terlebih jika obyeknya adalah anak-anak.  Hati-hati.


Dan menonton 16 episode drama yang disutradai Kim Cheol Kyu (Emergency Couple, Mother, Chicago Typewriter) dan penulis skenario Yoo Jung Hee (Naked Fireman) ini, sekali lagi, membuat saya mengingat kembali prinsip sederhana yang masih tetap saya pegang hingga saat ini; bersikap baiklah pada orang lain. Kebaikan bisa datang dari mana saja, sama halnya dengan kesadaran. Kita tidak pernah tahu, kata-kata yang baik yang hangat yang terlepas dari penghakiman bisa memasuki hati orang lain dengan cara tak terduga dan membuat satu perubahan besar, alangkah melegakannya bila itu berasal dari kita. Seperti Cha Jiwon kepada Baek Heesung—ketulusannyalah yang telah menyelamatkan jiwa yang terluka parah itu.

Dunia sudah sedemikian amburadul dan kacau, janganlah lagi ditambah dengan sikap dan perlakuan buruk kita kepada orang lain.

Tepuk tangan meriah untuk akting brilian dari Lee Junki yang gak pernah gagal membuat kita kagum dengan aktingnya, untuk Moon Chae Won yang berhasil menghidupkan karakter Cha Jiwon dengan sangat baik, lalu di kecil Jung Seo-yeon—Baek Eun Ha-nya Hee Sung appa yang pinter, imut dan lucuuu. Gemesin deh kalo dia ngomong sama bapaknya...



Dua supporting role yang mau saya kasih jempol. Pertama, Kim Moo-jin (Seo Hyun Woo), teman masa remaja Baek Hee Sung yang selalu setia, banyakan debatnya tapi kita tau dia sayang banget sama Hee Sung, beneran sayang bukan karena dia mau ngemodusin kakaknya Baek Hee Sung, Doo Hae Soo (Jang Hee Jin)  ㅋㅋㅋ



Supporting role kedua, Choi Jae Sub (Choi Young Joon), rekan Cha Jiwon di kepolisian. Pak detektif satu ini, meskipun hasratnya menuntaskan kasus sangat besar, tetapi ketika berhadapan dengan kasus Baek Hee Sung, ia memilih mundur karena nalurinya (atau kemanusiaannya?) menyuruhnya demikian.



Daaan scene stealer kita berikan kepada Kim Ji Hoon, akting psikonya sangat membekas di hati penonton. Btw baru kali ini liat psikopat ketakutan HAHAHAHAHA.

Casting director drama ini hebat euy bisa nge-cast aktor-aktor yang meranin masa muda para karakter utama, miriiip banget aslik!


Oke, mari kita akhiri review singkat yang tidak mirip review ini dengan satu pesan pengingat dari Hello, Monster kurang lebih seperti ini, “setiap manusia memiliki dua sisi, baik dan jahat, siapa yang menang tergantung sisi mana yang kamu beri makan”.

Saya percaya, tidak ada manusia yang terlahir dengan membawa sifat-sifat buruk di pundaknya.


Rating : 4/5

Highly recommended!

💝💝💝

Sampai jumpa di review saya yang lain,

Tabik,

Azz

.

.

.

[Review] Flower Of Evil (tvN/2020)

by on 3/26/2021 06:42:00 AM
;untuk Amelie SINOPSIS Cha Ji-won (Moon Chae-won) dan   Baek Hee-sung (Lee Jun-ki) menikmati kehidupan pernikahan mereka. Kehadiran Baek...



/nulis sambil dengerin ost Ashes of Love yang Unsullied-Mao Buyi/ BAAAPEEEERRRRRR .

Baru aja saya kambek ke Kdramaland, baruuu aja saya hepi-hepi karena (akhirnya) berhasil memberanikan diri untuk nonton ongoing buanyak drama meskipun genre-nya berat-berat semua, episode 3 Beyond Evil mengandaskan semuanya—ongoing drama saya .. Anxiety saya kambuh setelah nonton ep 3 Beyond Evil, malemnya perasaan udah ga enak, cemas berlebihan, ga bisa ditinggal sendirian—sampe insomnia parah. Ke trigger. Udahlah, saya nyerah aja—ongoing drama disimpen dulu. Pengalaman ngerasain panic attack  ga bisa saya anggap remeh, se-mengerikan itu buat saya .


Tapi saya tetep pengen nonton. Mikir-mikir bagusnya nonton apa yah untuk memperbaiki mood? Kepikiran ke drama Cina, pas banget di temlen lewat tuh pic-nya main couple Ashes of Love—drama kolosal Cina yang pernah direkomendasiin sama Yuyu dan Ori kapan tau. Ga tau kenapa satu pic doang itu bikin saya penasaran, padahal bukan gambar main couple mesra-mesraan loh, atmosfir nya sedih malah—tragis.


Saya coba tengok sinopsisnya dan jumlah episodenya, EALAAAHHHH 63 episode bangettt /menangis/ kepentok episode yang bejibunㅠㅠㅠㅠㅠㅠ


Rekor episode terbanyak yang pernah saya nonton apa yah? Pokoknya saya termasuk penonton yang mikir banget kalo liat jumlah episode satu drama, suka ga kuat donlotnya. Belum donlot aja udah ngerasa cape HAHAHAHA. Dengan modal nekat-kalau ga sesuai selera-drop aja gampang, saya pun mendonlot 6 episode Ashes of Love. Bener-bener ga pake ekspektasi nontonnya, walaupun udah kenceng banget dikomporin Ori dan Yuyu, saya (sok) selow bae.

DAAAAN....DAN APAKAH YANG TERJADI SETELAHNYA?? GUESS WHAT?!

Baru nonton episode1 aja saya udah langsung nge klik, maunya lanjut terus terus teruuusss HAHAHAHA. .

Luar biasa sekali ya saya. 63 episode siap saya jabanin. Udah ga pake mikir-mikir lagi. Digaskeun, sudah. Saya berhasil membuktikan bahwa di mana ada niat dan kemauan di situ pasti ada jalan (halah) PWAHAHAHA. Sebenernya kerjaan lagi padet merayap banget, persiapan akreditasi sekolah, ujian kelas 12 dan 9—banyak banget. Syukurlah saya nonton maraton Ashes of Love di akhir pekan. Jumat, Sabtu, Ahad-saya diisi dengan menonton saja. Tadinya mau saya sambi dengan Boss Koi-nya Mone, tapi ternyata enggak bisa, enggak bisa dijeda dengan tontonan lain Ashes of Love-nya.


Apa sih yang bikin saya se-suka ini sama Ashes of Love? Bener-bener yang—wahhh kereen banget iniiii! Yang saya nonton ulang lagi dan lagi tiap ada kesempatan, yang beberapa scene-nya tetap bisa bikin saya nangis, nyesek, walau sudah dinonton berulang kali .. Dan saya bisa jamin ini bukan hanya semata-mata karena saya kepincut sama kharisma dan pesonanya Xu Feng, si Dewa Perang itu. Banyak aspek drama ini menurut saya jadi kunci sukses kepopulerannya saat ditayangkan 2018 silam.


1. Storyline yang tidak membosankan


Ashes of Love adalah drama yang diangkat dari novel karya Dian Xian berjudul Heavy Sweetness, Ash-like Frost, dengan total 63 episode.

63 episode ini mau nyeritain apa sih? Kalo baca sinopsisnya, gak menggugah, ga menarik perhatian. Hal pertama yang muncul di kepalsaya ketika membaca jumlah episode Ashes of Love adalah kekhawatiran jangan-jangan tar ada bagian ngebosenin dari ceritanya. 63 banget ini. Dasarnya karena saya belum punya pengalaman yang banyak dengan drama kostum Cina jadinya ya begini. Dan lagi, bicara kualitas cerita, umumnya C-drama sering banget kentang di tengah jalan. Sulit menemukan C-drama yang bisa konsisten pada plot, pace, dan character development-nya.

Dan kekhawatiran saya enggak terbukti. Nonton Ashes of Love tuh ga kerasa waktu 1 episode tau-tau udah kelar aja. Part ngebosenin? Nggak ada. Saya sibuk ketawa, ngakak, baper, nangis,  ketawa—dah gitu aja siklusnya, yang ending-nya saya sedih banget, ga mau Ashes of Love tamat... pengen lanjut nonton kehidupannya Xu Feng dan Jin Mi. .

Ashes of Love menceritakan tentang ujian cinta 10.000 tahun yang harus dijalani Xu Feng dan Jin Mi. Ashes of Love dipenuhi intrik dan tragedi, dibalut dendam, romansa, pengkhianatan, dan kehilangan.

Saat kelahiran Jin Mi, ibunya yang merupakan Dewi Bunga memberikannya Yun Dan sebuah pil yang membuat Jin Mi tidak bisa merasakan cinta. Sebelum kematiannya yang tragis Dewi Bunga melihat di masa depan puterinya akan mengalami ujian cinta yang bisa membahayakan nyawanya sendiri, sebab itulah ia meninggalkan Yun Dan di tubuh Jin Mi.

Tapi takdir, jika telah digariskan, tidak ada yang bisa membelokkan atau menahannya agar tidak terjadi.

Jin Mi bertemu Xu Feng (Phoenix) yang dijuluki Dewa Api, putera dari Raja Langit dan Permaisuri Langit. Garis takdir mereka yang dipenuhi tragedi pun dimulai.


1st half Ashes of Love banyak diisi ke-uwu annya Jin Mi dan Xu Feng. Saya nggak bisa menahan kegemasan saya ngeliat interaksi mereka. Duh, menggemaskan sekaliiii. Xu Feng jatuh cinta duluan sama Jin Mi, sementara itu Jin Mi-nya belom mudheng, enggak ngeh apa itu cinta, di jantungnya masih ada Yun Dan—pil penahan rasa cinta itu. Nah ini yang bikin gemas. Si polos Jin Mi harus meladeni Xu Feng yang tangguh, yang sok cuek tapi merhatiin diem-diem ADUUUHHHHH XU FEENGGGG-nya manis banget di periode ini. Saat Jin Mi masih tinggal di istananya Xu Feng .


Sebenernya wujud aslinya Jin Mi dan Xu Feng sudah bertolak belakang banget, kayak nggak akan pernah ketemu. Jin Mi, Bunga Es, dan Xu Feng si Dewa Api. .


Second half Ashes of Love tidak lagi berisi keuwu-an, tapi air mata di mana-mana. Nyesek, baper parah banget.

Run Yu yang merupakan kakak Xu Feng dari ibu yang berbeda merebut tahta kerajaan langit dari ayahnya. Upaya perebutan tahta tersebut berhasil mengubah peta cerita Ashes of Love. Di masa lalu, Raja Langit dan Dewa Air—ayah Jin Mi, telah mengikat janji untuk menjodohkan anak tertua mereka. Jadi, Jin Mi dan Run Yu itu sudah ditunangkan orang tua mereka jauh-jauh hari. Kebayang kan konfliknya? Kakak beradik jatuh cinta pada orang yang sama. Xu Feng bersedia menyerahkan semuanya pada Run Yu, kecuali Jin Mi, sedangkan Run Yu, ia merebut tahta demi mempertahankan Jin Mi di sisinya walaupun ia sadar hati Jin Mi hanya untuk Xu Feng.


Ujian 10.000 tahunnya Xu Feng-Jin Mi bener-bener menguras emosi. Dari yang saling cinta, saling benci, dan upaya mereka untuk bersatu kembali mengharu biru sekali, ini hati berasa diaduk-aduk, patah hati, marah, nangisin nasibnnya Xu Feng, aku sampe kesel banget ke Jin Mi, pengen nyekik abis nonton ending ep 45, dan di sisa episode berikutnya aku gantian nangis bareng Jin Mi..


Akankah kekuatan cinta Phoenix dan Frost berhasil menaklukan kutukan ujian cinta 10.000 tahun?


2. Character Development


Drama yang gagal ngebangun karakter-karakter yang mengisi cerita akan terasa sangat membosankan, flat. Selain jalan cerita yang konsisten, dukungan character development pun memegang peranan penting. Karakter-karakter di Ashes of Love menunjukkan perkembangan yang baik, sejak drama dimulai hingga selesai, bahkan untuk pemeran pendukungnya juga keliatan jalan perkembangan karakternya.


Di drama ber-genre fantasi ini, tidak ada karakter yang bener-bener jahat atau baik, mereka tidak digambarkan hitam dan putih. Setiap tindakan yang diambil selalu jelas motif-nya. Walaupun setting kehidupan para tokohnya adalah alam langit, alam iblis, dan lain-lain, tapi penggambaran sifat-sifat karakternya sangat  manusia. Filosofi yang mengikuti drama sangat erat dengan ajaran-ajaran kehidupan manusia. Makanya saya bisa relate ke dramanya.


Drama ini menganut paham apa yang kamu tanam itulah yang kamu petik. Setiap karakternya memiliki closure nya masing-masing. Setiap tindakan mendapat ganjaran. Kita tidak bisa memaksa memiliki apa-apa yang sejak awal memang tidak diperuntukkan pada kita. Menurut saya Ashes of Love ini bukan sekadar drama fantasi romance, banyak ajaran hidup yang bisa diambil dan dipahami. Sisi gelap emosi manusia banyak diperlihatkan, betapa ambisi dan dendam bisa menghancurkan apa saja.

Adegan favorit saya banyak, wabilkhusus antara Xu Feng-Jin Mi, tapi satu adegan antara Run Yu dan Xu Feng di ep 63 yang cuman beberapa detik doang tapi efeknya wahhhhh nangiiiiissss.

Xu Feng manggil Run Yu “kakak”, setelah semua yang telah mereka hadapi, setelah semua kehilangan-kehilangan yang telah tejadi... Run Yu berusaha menahan gejolak kesedihannya. “Take care.”  Tanpa balik badan Run Yu membalas panggilan Xu Feng. . 

Supporting roles favorit saya jatuh pada Dewa Bulan dan Puchi.

3. CGI



ASLIK KEREN BANGET.

Alus banget CGI-nya. Jujur nih, yang bikin saya terpesona di episode 1 dan bisa ngerasa nyaman nonton adalah CGI Ashes of Love. Paling suka CGI-nya alam bunga. Dipenuhi warna-warni yang memanjakan mata. Pilihan warnanya juga bagus banget.

Tiap alam nuansanya beda dan punya ciri khas. Pokoknya keren! Kagum banget sama CGI-nya, bukan kacangan.

Eh, kostum-kostumnya juga bagus. Temanya sesuai dengan asal tokohnya. Pemilihan warna kostumnya disesuaikan dengan sifat-sifat atau pembawaan tokoh-tokohnya.

CGI untuk adegan perang di ep 61 GILAAKKKK. Dahsyat!!


4. Dubbing

Sudah jadi hal biasa drama Cina di-dubbing. Tapi saya kadang keganggu banget dengan dubber-nya.  Mood ngedrama bisa buyar gara-gara itu. Suka nggak pas aja di kuping. Syukurnya, dubbing di Ashes of Love aman. Ketiga tokoh utamanya pake suara sendiri. Suaranya Xu Feng (Deng Lun) enak banget huhuhuhu.

5. Akting dan chemistry-nya ciamik!


Main drama fantasi punya tantangan tersendiri. CGI main banyak, jadi si aktor harus bisa akting seolah-olah ia melihat yang tidak ada—sisanya biar CGI yang bertindak wkwk. Jadi enggak mudah. Harus bisa dipercaya banget aktingnya. Nah, di Ashes of Love ini akting pemerannya kece-kece euy. Ekspresinya kayak beneran. Akting kesakitan dihantam cahaya dll. Selama syuting pasti keliatan lucu itu, tapi merekaa berhasil menyuguhkan kualitas akting yang bagus banget. Salut.


Luo Yunxi—wah. Cocok banget dia meranin Run Yu yang keliatan kalem, lemah, tapi sebenernya menyimpan sesuatu. Dari yang soft berubah jadi ganas dan ambisius. COCOK sekali.

Deng Lun dan Yang Zi.... wah... detail ekspresinya kereeeennnnn. Jadi, ada satu scene Xu Feng menghantam Jin Mi dengan kekuatannya, scene yang emosional banget. Nun jauh di dalam hatinya Xu Feng tidak tega, tapi dia harus melakukan itu karena ia kecewa pada Jin Mi. Ya ampun, tolonglah itu ekspresinya Xu Feng.... kayak yang, please, Jin Mi... kamu cepet pergi biar aku bisa berhenti nyakitin kamu... Sedih banget liatnya. Deng Lun aktingnya juaraaaaa.

Bicara chemistry main couple, Yang Zi dan Deng Lun berhasil menghidupkan karakter Jin Mi dan Xu Feng. Mantap jiwa chemistry-nya.

Ini kali pertama aku nonton aktingnya Yang Zi dan Deng Lun. Bagus banget. Perkembangan emosi-nya detail. Jin Mi di awal-awal episode terlihat polos, lucu, menggemaskan, memasuki paruh kedua, senyum Jin Mi hilang berganti muram dan kesedihan yang tiada berkesudahan. Pun dengan Xu Feng. Xu Feng semasa di kerajaan langit dan Xu Feng di alam iblis sangat jauh berbeda, garis-garis emosi di wajah dan matanya memiliki perbedaan yang besar. Apa coba namanya ini kalau bukan karena kekuatan akting yang bagus? Dah lah, Xu Feng memang dilahirkan untuk diperankan oleh Deng Lun.

Interaksinya Deng Lun dan Yang Zi di bts-bts nya gokil dan lucu. Bisa banget ya mereka, di belakang ngakak-ngakak, tapi di drama bikin kita yang nonton percaya kalo mereka bener-bener saling cinta saling sayang. Susah sih udah temenan lama dari jaman jebot, makanya chemistry-nya bagus banget.

Akting nangisnya Yang Zi.... ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ


6. Musik



Selain CGI, musik yang menjadi latar Ashes of Love cukup besar pengaruhnya dalam membangun mood saya menonton drama ini. BGM dan OST yang mengisi Ashes of Love menyatu dengan dramanya, dan turut memberikan nuansa-nuansa emosional yang semakin menguatkan point of view setiap adegannya.

OST favorit saya adalah Heaven and Earth, dan Unsullied.

Sebelum nonton Ashes of Love, saya termasuk tipe penonton yang mikir banget kalo nemu drama yang punya jumlah episode bejibun, saya termasuk penikmat Cdrama yang selalu ragu-ragu nonton kalo direkomendasiin drama kostum, tapi setelah nonton Ashes of Love, mood saya terhadap genre satu ini berubah total. Untuk drama kostum, fantasi atau sejarah, Ashes of Love adalah standar saya. Kalau bagusnya kayak Ashes of Love, berapa pun jumlah episodenya akan saya nonton.

Tidak pernah terpikirkan saya akan se-enjoy ini menonton drama kostum Cina.

Ashes of Love dirilis tahun 2018, dan saya menonton di tahun 2021 ini. Tidak ada kata terlambat untuk drama bagus, iya kan?

Tau ga sih, sambil nonton Ashes of Love, saya teringat masa kecil. Saya ingat Bibi Lung dan Yoko—iconic character yang menemani masa kecil kita, anak-anak gen 90. Saya juga teringat, dulu sering main pendekar-pendekar dengan teman sebaya, meniru drama-drama Cina, pake selendang-selendang juga HAHAHAHAHA.

Saya menutup short review (yang nggak mirip) review ini dengan satu kutipan yang saya ambil dari satu adegan di Ashes of Love, satu kutipan yang terus menghantui saya.

“Have you ever loved me?”

“Never.”


Ashes of Love adalah drama fantasi dengan paket lengka. Cerita yang solid, penokohan yang kuat, plot dan konflik yang berkembang dinamis, CGI yang rapi dan alus banget, disertai OST yang keren. Oh, dan tentu saja akting para aktor dan aktris-nya yang juga solid. Saya tidak menyesal menghabiskan akhir pekan saya menonton drama ini. 👏👏👏👏

Anyway, Its happy ending. 💗😍

[Review] Ashes of Love (2018)

by on 3/10/2021 10:44:00 AM
/nulis sambil dengerin ost Ashes of Love yang Unsullied-Mao Buyi/ BAAAPEEEERRRRRR ㅠ . ㅠ Baru aja saya kambek ke Kdramaland, baruuu aja say...