ANTOLOGI
Pada suatu
hari, sepulang dari tugas mengajarnya, Shin So Yi yang lelah menemukan sebuah
paket kiriman dari Paman dan Bibinya di kampung, isinya macam-macam hasil
kebun. Di bagian terbawah paket itu, So Yi menemukan sebuah buku tebal mirip
album. Kata bibinya, buku itu ditemukannya di rak perpustakaan sekolah saat
sedang bersih-bersih. Ia tahu itu milik So Yi.
Membuka buku
itu, membuat ingatan So Yi terlempar ke masa lalu. Kembali ke masa-masa ketika
ia harus pindah dari Seoul dan tinggal di Nonsan bersama nenek dan pamannya. So
Yi yang masih enambelas tahun marah pada ibunya. Ia merasa telah diabaikan dan
dibuang. Menjelmalah ia seorang gadis pemarah, sensitif dan tidak ramah. Di
hari pertamanya sekolah, ia bahkan terlibat perkelahian dengan seorang murid
perempuan Di sekolah barunya itu, So Yi dipertemukan dengan Jin Hyun—si ketua
kelas yang berprestasi.. Dan dari situlah buku itu berasal. Wali kelas memberi
tugas kepada mereka agar membuat sebuah antologi kelas yang memuat surat dari
setiap murid yang isinya tentang mimpi mereka di masa depan dan juga surat
kepada teman-teman mereka. Mengabadikan kenangan, maksudnya.
Perkenalan So
Yi dan Jin Hyun membawa perubahan yang baik pada karakter gadis itu. Well,
bisa ketebak sih kelanjutannya—mereka saling jatuh cinta. Namun perasaan So Yi
terhempas tiba-tiba ketika di suatu pagi, ia menemukan Jin Hyun telah
menghilang bersama keluarganya. Ayahnya terlibat penipuan, dan membawa lari
uang iuran warga.
Sekian tahun
berlalu, So Yi menyangka Antologi itu tidak pernah selesai bersama hilangnya
Jin Hyun hingga bibinya menemukan antologi itu terselip di antara buku-buku di
rak perpusatakaan.
Antologi itu
ibarat penyejuk di tengah mumetnya hari-hari So Yi. Ia mengingat-ingat kembali
bagaimana rupa masa lalunya. So Yi remaja bermimpi bisa kuliah di Harvard,
bertemu pria tampan seperti Brad Pitt, dan tinggal di Beverly Hills. Dan
lihatlah bagaimana kehidupan So Yi dewasa sekarang? Ia hanya lulusan
universitas tak jelas di Amerika, karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan ia
pun kembali ke kampung halamannya—Seoul. So Yi akhirnya bekerja sebagai guru
bimbel swasta, single, dan tinggal di sebuah apartemen sempit. Tapi So
Yi tidak menyesali mimpi masa remajanya. Ia malah menyemangati murid-muridnya
agar berani bermimpi. Mumpung bermimpi tidak membutuhkan uang.
ã…¡Itulah
cuplikan singkat Anthology,
salah satu episode Drama Stage yang ditayangkan tvN di tahun 2018 ini. Drama satu episode ini dibintangi
oleh One, dan Shin Eun Soo—dua aktor muda potensial Korea Selatan.
Adalah narasi
Shin So Yi menjelang ending drama ini yang membuat saya terpikat pada
Anthology. Ini drama sederhana dengan moral story yang menyentuh titik sadar
saya.
“Hidup
tidak semudah yang kau pikirkan. Berlubang, berliku dan penuh rintangan. Sewaktu-waktu
kau bisa terjatuh di dalamnya. Andai diriku saat 17 tahun melihat hidupku yang
sekarang, bagaimana dia akan memercayainya?
Aku berpikir kalau 17 tahunku adalah saat paling kelam dalam hidup.
Namun, di suatu musim gugur... ia berubah menjadi pelangiku. Jika aku bisa
kembali, aku akan menceritakan aku hari ini. Bahwa hidupku sekarang tidak
apa-apa... tidak seburuk itu.”
Saya melihat
sosok masa remaja saya pada So Yi enambelas tahun.
Saat itu,
persis seperti So Yi, saya menganggap hidup saya diberati masalah-masalah yang
seolah tak memiliki pangkal-ujungnya. Yang (bisa) terpikir oleh saya kala itu adalah
run away, melarikan diri sejauh-jauhnya dari rumah. Saya menyangka
dengan melakukan itu, saya bisa menemukan jalan keluar. Selang sekian tahun
berlalu, dan saya diberi kesempatan menoleh pada masa lalu—saya tidak bisa
menolong diri saya untuk tidak tertawa. Betapa syahdu, melankolik, dan lucu-nya
saya pada saat itu. Masalah yang saya hadapi di usia belasan ternyata masih kalah
berat dan rumit dibandingkan apa yang saya hadapi di akhir usia 20-an
saya saat ini.
Saya berdiri
di ambang kesadaran, bahwa hidup adalah siklus melewati satu ujian untuk
menyelami ujian lain, yang setiap fasenya memiliki takaran kesulitan yang berbeda—semakin
berat saja tampaknya. Dan bila kita telah melewati satu ujian hidup,
maka itu menandakan kita telah menjelma jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ujian
hidup bagi setiap orang berbeda-beda. Hanya seringkali, kita khilaf menuduh
ujian berupa masalah yang datang pada kita lebih sulit dari apa yang dihadapi
orang lain.
So Yi benar,
hidup tidak semudah yang kita pikir. Tapi, bukan berarti, karena tidak mudah,
lantas kita memilih menyerah dan kalah saja. Saya tidak berbicara dalam nada
sok tahu dan sinis, karena saya tahu benar, untuk bisa meluangkan ruang
selapang-lapangnya di dalam hati bagi pemakluman dan pengertian bahwa ujian
hidup adalah sebuah ke-ada-an yang pasti, tidaklah semudah membicarakannya. Untuk
tiba di sana, kita harus melewati perjuangan yang tidak sederhana. Kita
butuh waktu, keikhlasan, juga keberanian. Dan bukan mustahil kita pun akan
merasakan banyak sekali kehilangan karenanya.
Saya percaya.
Nanti, akan datang hari di mana kita mengingat masa-masa sulit itu seraya
tersenyum malu-malu diiringi syukur yang tak habis-habis. Untunglah, saya
tidak menyerah....
Hidup ini
penuh kejutan. Dengan ekspektasi atau pun tidak, ia tetap mampu
mengejutkanmu dengan caranya yang rahasia.
Azz
*)tulisan ini pernah diposting di blog saya yang lain (Blossom Memories)
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊