[Pieces of Me] Things Will Be Fine When You Turn 30
Semua akan baik-baik saja saat kamu memasuki usia
tigapuluh.
Pesan itulah yang coba disampaikan drama Korea Be
Melodramatic kepada penontonnya. Kutipan di atas di ambil dari judul drama yang
menjadi bagian cerita Be Melodramatic. Saya nggak akan ngebahas dramanya, saya
akan membahasnya di postingan lain. Saya tertarik mengajukan pertanyaan
lain kepada diri saya setelah menonton drama tersebut. Jika usia duapuluh
dianggap sebagi gerbang peralihan dari remaja menuju kedewasaan, maka tigapuluh
adalah angka di mana seseorang telah dianggap mapan. Memasuki bilangan angka
ini, seseorang tak boleh lagi terlalu banyak main-main, pilihan-pilihan
menyoal hidup sudah tak seramai ketika kamu masih belasan atau dua puluhan. Dan
bagi perempuan, seringkali oleh lingkungan sosial angka ini dijadikan patokan
mengenai keberhasilan baik itu menyangkut perkara pekerjaan dan urusan pribadi.
Saya tumbuh dan besar di lingkungan yang memandang terlambat menikah di usia
tiga puluh adalah sebuah persoalan besar. Orang-orang menaruh
keingintahuan yang terlalu besar tentang mengapa perempuan yang bersangkutan belum
menikah dan kapan kiranya?
Apakah semuanya benar-benar akan baik saja?
Saya bertanya kepada diri saya sendiri.
Kurang dari dua bulan lagi, saya akan memasuki
akhir dari usia dupuluhan saya. Tak banyak yang berubah. Beberapa dari sedikit
perubahan yang saya alami, misalnya kemampuan saya mengelola emosi yang sudah
jauh lebih baik selama lima tahun terakhir, serta upaya saya agar lebih terbuka
kepada orang lain dengan meninggalkan lingkup antisosial saya yang parah,
perlahan membuahkan hasil. Saya tidak se-introvert seperti yang saya sangka.
Dan saya sudah banyak tertawa.
Saya masih belum yakin, apakah
perubahan-perubahan ini menandakan saya sudah sepenuhnya sembuh dari trauma
masa lalu. Karena seringnya, pada satu keadaan tertentu saya secara sadar
kembali kepada melankoli kesedihan yang familiar—ingatan-ingatan masa lalu yang
terang benderang tentang kesakitan dan ketidakmampuan menikmati apa itu namanya
kelegaan. Barangkali selama ini bukan kesedihan-kesedihan yang tidak ingin
pergi, namun alam bawah sadar sayalah yang menahannya agar tetap tinggal.
Mungkin memang benar adanya. Hidup ada perjuangan
melawan serentetan kesedihan yang datang dari berbagai penjuru.
Ketika memasuki usia tertentu, biasanya
orang-orang dengan semangatnya membuat target-target yang ingin dicapai, dulu
saya juga turut mengamininya—ingin menikah di usia 23 tahun, berkeluarga dan
hidup bahagia. Lalu targetnya dimajukan di angka 26 karena beberapa alasan
hingga akhirnya saya menyerah dengan target itu sendiri. Akhir-akhir ini,
banyak sekali tekanan berupa pertanyaan-pertanyaan yang beruntun datang kepada
saya dan ini erat kaitannya dengan bilangan usia saya.
Kapan menikah?
Kenapa belum menikah?
Ah. I don’t think everything will be fine when
I’m turning 30...
Pertanyaan kapan menikah akan semakin
tidak terelakkan jika kamu telah melewati angka-angka krusial usiamu dan
terihat (seolah) masih betah sendiri. Kamu juga tidak akan berdaya untuk
sekadar menyalahkan se-siapa yang bertanya, terlebih bila kamu tinggal di
lingkungan yang orang-orangnya bersepakat belum menikah di usia 30 adalah sebuah
bencana.
Sigh.
Sejujurnya, pertanyaan kapan menikah tidak
membuat saya alergi. Saya berusaha semampu saya untuk mengambil sisi postifnya.
Saya anggap mereka secara tidak langsung sedang mendoakan agar saya lekas bertemu
pasangan sehidup semati saya meski dengan cara yang tidak terlalu
menyenangkan. Namun di sisi lain, saya lelah disodori pertanyaan yang saya
sendiri pun tidak tahu bagaimana jawaban pastinya. Lalu tanpa disadari efek
dari pertanyaan itu telah berkelindan memenuhi ruang-ruang berpikir saya.
Saya—seperti orang-orang itu—diam-diam dalam diam rajin menggumamkan pertanyaan
kepada diri saya sendiri; kenapa ya saya belum menikah? Jodoh saya di mana? Apa
yang sedang dia lakukan? Apakah dia sedang bersama orang lain, hingga datang
begitu terlambat kepada saya? Ataukah ia pun juga sedang berusaha mencari saya
di belantara waktu? Atau yang lebih sedihnya—kata temen saya sambil
bercanda—jangan-jangan jodoh saya belum lahir?
Saya tidak tahu rupa-rupa jawabannya, dan tidak
tahu mesti ke mana mencari jawabannya. Satu-satunya yang bisa menjawab hanya
Tuhan. Mungkin saja selama ini Tuhan sudah memberikan jawaban-jawaban kepada
saya, namun saya yang hatinya sedemikian kerdil dan seringkali alpa ini tak
lihai membaca tanda. Entahlah.
Memasuki usia 30, saya tidak bisa menampik ragam
ketakutan dan kekhawatiran yang sudah menunggu. Tak terelakkan. Banyak
mimpi-mimpi saya masih membeku di tempat di mana ia dirumuskan. Dan seujujurnya—tanpa
saya sadari—menikah tidak pernah menjadi prioritas utama saya. Namun menjadi
(sok) cuek dan bermasa bodoh dalam situasi seperti ini bukanlah pilihan yang
tepat. Jika hanya berpijak pada diri sendiri, saya bisa saja bersikap nothing
to lose—menikah bukan sebuah beban, bukan pula sebuah target yang mesti
dikejar sampai dapat. Adalah sosok ibu—mamah saya, yang meski tak begitu
nampak, tapi beliau jelas menyimpan kekhawatiran dan kegelisahan yang teramat
sangat menyangkut kehidupan masa depan saya. Saya pikir ibu mana pun akan
bereaksi seperti Mamah. Terlebih bila selama hampir sepuluh tahun terakhir anak
perempuan sulungnya tidak pernah terlihat dekat dengan seorang lelaki.
Lucu mengingat betapa dulu, semasa sekolah, Mamah
mewanti-wanti—jika tak mau disebut melarang—agar saya tidak menyeriusi pacaran.
Sekolah dulu yang bener, kalau sudah sudah sukses, nanti jodohnya
dateng sendiri. Kata mamah saya begitu.
Bukan tersebab larangan Mamah hingga pengalaman
pacaran saya cuman seuprit—satu-satunya yang saya anggap serius hanya
cinta pertama saya HAHAHAHAH DEMI APAAAAHHHH. Ya begitulah. Seringnya,
inisial-inisial nama yang inginnya dengan mereka saya serius—tak pernah
benar-benar menyentuh isi cerita, sebatas rumusan yang gagal. Mengenai tipe
ideal, saya tidak pernah memasang standar tinggi—untuk apa coba? Mengutip dari
Novel Aditya Mulya, Sabtu Bersama Bapak, “membangun sebuah hubungan butuh
dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan.”
Saya ingin bertemu laki-laki seperti yang
dikatakan tokoh Saka itu.
Hhhhhhhh. Saya tidak bisa egois mementalkan
begitu saja ekspresi penuh harap Mamah setiap kali—bila secara tak
sengaja—obrolan kami menyerempet ke urusan nikah. Ditambah makin mengecilnya
jumlah teman seangkatan saya yang sudah mengakhiri masa lajangnya. Wajar bila
Mamah khawatir. Anak perempuannya masih sendiri di usia di mana beliau dulu
telah memiliki saya dan kedua adik saya (si bungsu lahir saat mamah saya 35
tahun).
“Banyakin doa. Mendekat sama Allah. Minta sama
Allah supaya didekatkan jodohnya. Tahajud. Shalat,” ucap Mamah di akhir
kalimatnya. Pesannya tidak pernah berubah. Selalu seperti itu.
Kalau sudah seperti itu, sodokan rasa bersalah
seketika menyentuh ulu hati saya. Mamah seperti bisa membaca kelakuan saya.
Saya tidak mau berbohong. Trauma masa lalu masih menggenapi hari-hari saya.
Sama seperti perempuan kebanyakan, saya pun ingin menikah. Tapi di di bagian
lain hati saya, masih kental ketakutan untuk menjalani kehidupan bersama orang
lain di bawah satu atap. Kepada sahabat, saya pernah terang-terangan
mengungkapkan ketakutan saya untuk menikah. Saya takut bertemu orang yang
salah. Saya takut memori-memori menyakitkan masa kecil hingga remaja saya yang
terekam di otak akan direka ulang dengan saya sebagai pelakon utamanya.
Saya benar-benar takut. Maka di ujung pergolakan batin itu, saya hanya bisa
mendesah pasrah. Dan lagi-lagi saya gagal pro aktif mengetuk pintunya Allah.
Kata sahabat saya, saya harus banyakin Istigfar.
Minta maaf sama Allah. Mungkin dulu saya pernah melontarkan kata-kata yang
tidak bagus, dan tentu saja setiap kata yang kita keluarkan telah mewujud doa,
sudi atau tidak sudi.
Kadang kepikiran, melihat anak-anak, mengakrabi
mereka, mendengar celoteh bebas mereka, saya membatin akan seperti apa rasanya
bila saya bermain dengan anak-anak saya sendiri? Menyaksikan mereka tumbuh
berkembang.... Luar biasa mengingat betapa dulu saya enggan bersinggungan
dengan anak-anak, dan sekarang justru sebaliknya, anak-anak menjadi magnet kuat
yang selalu berhasil menarik perhatian saya—kecintaan saya kepada mereka begitu
dalam di hati saya. Juga, sering ada waktu-waktu di mana saya tak sadar
berharap ada seseorang di samping saya yang akan dengan sabar menanggapi
lompatan-lompatan pikiran saya mulai dari hal-hal remeh hingga yang topiknya
serius. Tampaknya, tubuh dan pikiran saya mengikuti porsinya secara alamiah.
Well, saya tidak ingin
menjadikan urusan menikah ini sebagai beban. Alih-alih memikirkannya sampai
kepala sakit, saya akan membiarkannya mengalir begitu saja, nggak mau ngoyo,
seraya—tentu saja memperbaiki niat dan kualitas diri saya.
Saya tidak tahu apakah saya akan baik-baik saja
ketika memasuki usia tiga puluh saya. Saya ingin baik-baik saja, senantiasa
sehat dan bahagia. Saya ingin menikmati hidup saya.
Huaaaa... kak Azz aku terharu baca postingan kakak.. semoga kakak diberikan jalan yang terbaik oleh Allah.. semoga kakak segera didekatkan dengan jodoh kakak.. Percayalah kak semuanya sudah Allah atur sedemikian rupa agar kakak bahagia.. Allah adalah chaka-nim terbaik yg kadang kala kita sebagai hamba tidak pernah tau apa skenario yang akan Allah mainkan untuk kita.. Ya ampun sepertinya aku sudah keracunan drama Extraordinary You ini mah.. semoga kak Azz senantiasa bahagia di on stage maupun di shadow.. aku cuma bisa bantu doa kak.. sukses celalu untuk Kak Azz..
ReplyDeleteAamiin Ya Allah...
ReplyDeleteGiliran aku yang terharu baca komentarnya Fina ã… ã… ã… ã… ã… ã… ã… ã… ã… ã… ã… ã…
Ga nyangka postingan non dramaku akan dibaca. Mulai sekarang sepertinya aku akan ngisi MS dengan hal-hal di luar drama, isi kepalaku yang lain, tentang apa aja.
Alhamdulillah ada yang ngedoain aku huhuhuhu makasih banyak banyak, Fin. Ini berarti banget buatku. Sungguh.
HAHAHAHAHA Fina udah mulai nonton Extraordinary You, YESSEUUUU! Kayaknya sih kamu nangkep 'pesan' dramanya persis seperti yang aku pikirkan *kepedean* hihi
i feel you kak Azz.. bener bener ngerasain apa yang kak Azz rasain. KAKAK NGGA SENDIRI KAK!
ReplyDeleteMakasih, Fatimah ã… .ã…
Deleteand I love you too... ^^
Semoga kita disabarkan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang kita sendiri pun bingung mau ngasih jawaban seperti apa :D
umur segini emang paling bingung sih kak kalo ditanya tanya :D tetep semangat kak!
ReplyDelete