Tentang Kapan Menikah dan Suara-suara yang Lahir Kemudian
💦
Jadi,
kapan menikah?
😂😂😂😂
Kayaknya udah template-nya ya, seseorang yang melewati angka 25 sudah mulai dikejar pertanyaan ini, lalu semakin menjadi-jadi mendekati 30-an. Pas masuk 30-an, yang ditanya udah sebodo amat. Paling sering kena tuh kaum perempuan. Yang bikin miris, terlambat menikahnya seorang perempuan kerap dikaitkan dengan hal-hal yang mengarah ke faktor biologis. Saya malah pernah diceletuki seseorang yang bilang kalau perempuan yang sudah melewati usia 30 an sudah mulai turun mesin. If you know what I mean—yeah, seolah-olah perempuan kalo udah lewat 30-an sudah kadaluarsa, makin sulit melahirkan anak bla bla bla. Saya nggak tersinggung, cuman miris aja. Segitunya rendah-nya posisi perempuan di masyarakat.
Saya sendiri mendefinisikan pernikahan bukan sebagai suatu upaya untuk mengikuti tren di
masyarakat.
Saya
pernah berpikir, saya akan gelisah bila sahabat dekat saya menikah lebih dulu.
Ketika itu terjadi, saya malah santuy saja. Lalu saya berpikir lagi, oh mungkin kalau
adik perempuan saya menikah, saya akan terbebani dengan pertanyaan kapan
menikah. Nyatanya saya masih juga adem ayem. Tidak merasa perlu terburu-buru.
Bertanya-tanya kira-kira jodohnya siapa, udah pasti sering lah, tapi nggak
sampe baper atau kepikiran kok saya nggak nikah-nikah juga ya. Selama bertahun-tahun saya terbiasa menghabiskan
waktu luang saya sendirian dengan melakukan banyak hal.
Dalam
hidup, ada momen-momen ketika saya melihat ke belakang dan menyadari sudut
pandang dan prinsip yang saya jalani
selama ini rupanya mengalami proses bertumbuh. Ada yang direvisi atau
dilepaskan. Ada fase naik-turun yang kadang terasa ekstrim tetapi tidak membuat
saya menetap di satu titik. Dan saya merasa lega. Begini ya rasanya menjadi dewasa,
kamu bersedia menerima kenyataan kalau tidak semua yang kamu yakini, tidak semua
yang kamu pikirkan adalah benar atau tepat untukmu. Apa yang hari ini kamu
pikir cocok untuk dijalani, belum tentu akan selamanya seperti itu. Bertumbuh
adalah bersedia kehilangan sesuatu yang pernah kita yakini dengan
teguh juga.
Tidak
jarang di masa lalu, saya dirayapi perasaan “kok
hidup saya gini-gini aja ya?”
Rasanya
kayak nggak ada yang berubah, saya merasa kalau saya masih lah si manusia yang belum mampu berjarak dari masa lalu yang
membuat saya bolak-balik babak belur.
Di
saat mempertanyakan kondisi mental saya yang seperti itu, tanpa disadari saya
sedang berada di fase bertumbuh itu. Ketika sedang merasa tidak melakukan
apa-apa pun sebenarnya adalah sebuah situasi di mana saya sedang melakukan apa-apa. Perasaan tidak melakukan apa-apa itu juga adalah sebuah proses. Nah loh.
Bingung? Munculnya perasaan tidak melakukan apa-apa adalah bahasa lain dari
kesadaran. Menurut saya, lebih baik kita masih bisa merasa sedang stuck ketimbang tidak merasakan apa-apa.
Karena level tertinggi dari kehilangan diri adalah ketika kita tidak lagi
memiliki kemampuan untuk membaca warna emosi sendiri yang membuat kita bahkan
tidak sadar sedang tidak melakukan apa-apa. Hidup saja seperti pohon kering,
meranggas, mati sebelum benar-benar mati.
Proses
bertumbuh yang saya alami salah satunya adalah menyoal pernikahan. Saya pernah
berada di satu keadaan di mana saya sangat menginginkan pernikahan. Di awal
usia duapuluhan, saya berpikir bahwa jalan keluar dari gonjang-ganjing hidup
yang saya jalani adalah dengan menikah. Saya pikir dengan menikah saya akan
bertemu kebahagiaan. Entah dari mana saya mendapatkan ide untuk meromantisasi
kehidupan pernikahan seperti itu.
Kala
itu, saya sudah berani membayangkan akan seperti apa kehidupan saya setelah
menikah. Saya tidak menyadari, nun jauh di dalam sana, di dalam kepala saya,
ada gunung api yang siap menghancurkan saya kapan saja.
Saya
selalu merindukan kebahagiaan untuk diri saya sendiri. Sesungguhnya, demikian.
Mungkin
boleh jadi karena ini; anak-anak yang pernah atau sedang bertumbuh di tengah-tengah situasi pelik orang tuanya dipaksa menciptakan sebuah pelarian berupa alternative universe di mana ia bisa hidup bahagia bersama orang
yang disayanginya. Kayak ingin meyakinkan diri kalo suatu saat dia bisa kok
memiliki keluarga yang harmonis nggak kayak orang tuanya. Ada dendam yang ingin
ditebus. Kondisi ini tampak seperti sebuah upaya menghibur diri yang semu,
memang. Sebab begitulah, tak jarang luka batin yang kita usahakan dengan
mati-matian—dengan segala cara agar tak berhasil membunuh justru malah semakin memperpanjang napas luka itu sendiri.
Kita merasa menjadi kuat karena luka, padahal yang sebenarnya terjadi, kita
hanya berpura-pura. Kita hanya berpikir untuk lolos dari serangan sakitnya,
bukan memikirkan bagaimana cara agar luka batin dan rasa sakitnya itu tidak
lagi membuat kita seperti pesakitan yang pasrah menunggu mati. Yang terjadi,
bertahun-tahun saya tidak pernah siap menghadapi trauma yang hidup di dalam
kepala saya. Saya bersembunyi di
dalam luka batin itu. Cari aman yang
nggak bikin aman, pada akhirnya.
Beberapa
tahun lalu saya bertemu Sabtu Bersama
Bapak secara tidak sengaja.
Ucapan tokoh Saka dari film yang diadaptasi dari novel karya Adhitya Mulya ini,
kemunculannya menyerupai bunyi lonceng panjang, membangunkan saya dari ilusi
menyenangkan yang diciptakan pikiran-pikiran di dalam kepala saya mengenai dua
orang yang terlibat dalam pernikahan.
Begini
bunyinya :
“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang
solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk
menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab
orang lain.”
DEGH BANGET SAYA.
Sebelum bertemu film ini, ada doktrin tak tertulis yang
dibangun pikiran saya bahwa berbekal cinta, dua orang yang saling menyayangi
akan saling mengisi kelemahan masing-masing. Saya akan mengisi kelemahan
pasangan saya, begitupun sebaliknya. Karena hanya dengan begitu kami akan
menjadi kuat. Indah sekali ya definisi saling melengkapi ini? Ada romantis-romantisnya
kayak di film-film.
Dipikir-pikir lagi, upaya mengisi kelemahan ini menjadi semacam
jebakan betmen yang berbahaya sekali. Mengapa saya kebagian tanggung jawab menutupi kekurangan pasangan saya?
Apakah saya sudah cukup mampu untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain
sementara di sisi lain saya memiliki kekurangan/kelemahan yang tidak sederhana?
Apakah saya mampu memberi ruang penerimaan sebesar itu jika menerima diri
sendiri saja saya masih tertatih? Saling mengisi kelemahan apa nggak capek
ntar? Alih-alih bertumbuh bersama, yang terjadi malah munculnya upaya saling
menyakiti dengan luka masing-masing yang belum sembuh.
Misalnya, saya ini kesulitan meregulasi emosi trus nyari
pasangan yang sabarnya setinggi langit, apakah saya tidak terdengar egois? Kasian orang yang akan menjadi pasangan saya.
Dia bakal kebagian peran menjadi samsak kelabilan emosi saya yang mengerikan
ini. Orang yang memiliki kesulitan mengontrol emosi berpotensi besar menyakiti
pasangannya. Ego-nya tinggi.
Muncul pertanyaan, bukankah memang sudah begitu
konsekuensinya. Menerima seseorang dalam kehidupan artinya kita sudah bersiap
dengan semua resikonya, kita sudah bersedia menerima kelebihan dan
kekurangannya? Woiya dong. Cuman seringnya, kita sudah terlanjur memenuhi
kepala kita dengan ekspektasi-ekspektasi tinggi terhadap pasangan kita hingga
akhirnya kita dibuat terluka bukan oleh pasangan melainkan
ekspektasi-ekspektasi tersebut. Kita terbiasa
hidup dalam ekspektasi-ekspektasi terhadap pasangan hingga akhirnya
kenyataan menampar telak titik sadar kita. Belum lagi kita masih harus
berurusan dengan masalah yang mengakar di dalam diri kita sendiri. Benturan
demi benturan akan sangat sulit dihindari. Kalau tidak bisa menemukan jalan
tengah, akhir ceritanya sudah bisa ditebak.
Sejak menonton Sabtu Bersama Bapak, saya mulai berpikir lebih
dalam lagi mengenai pernikahan. Upaya ini mengantarkan saya pada kenyataan
berikutnya; saya belum siap menikah. Aha. Ekspektasi saya yang sudah siap.
Kenyataan lainnya adalah saya belum selesai dengan diri saya sendiri. Belum selesai dengan
masalah-masalah yang mengakar kuat pada mental saya sebagai orang dewasa. Saya
masih membawa luka batin masa lalu. Trauma-trauma yang saya dapatkan sejak
kecil masih bernapas di memori saya. Saya pernah dengan pongahnya mengecilkan
trauma tersebut bertahun-tahun lamanya hingga saya merasakan efek buruk yang
sulit diterima tubuh dan pikiran saya.
Sejak mulai bisa mengajak dialog diri, tidak sekali-dua kali
saya menatap tembok atau langit-langit kamar seraya bertanya apa yang salah
dengan diri saya? Sambil menangis tanpa suara, sambil memanggil-manggil nama
Tuhan. Kenapa saya terus-terusan merasa menjadi orang gagal? Mengapa saya tidak
nyaman dengan diri saya sendiri? Tidak nyaman bersama orang lain. Jika memang
ada yang salah, di titik mana saya harus mulai memperbaikinya? Saya bahkan
pernah menganggap diri saya menetap dan tinggal di sebuah labirin yang sampai
kapan pun tidak akan sanggup saya kenali sepenuhnya. Kepala saya serupa sebuah
kampung asing, temaram dan sunyi. Teriakan-teriakan saya hanya menggema
sendirian. Saya (pernah) merasa sendirian berjuang di tengah usaha keras agar
tetap waras. Tulisan-tulisan saya pada periode ini berisi teriakan-teriakan yang tak dipahami orang lain. Mereka bilang
tulisan saya sulit dicerna. Ya. Saya sendiri bahkan tidak mampu mencerna pikiran
saya sendiri. Jika kepala saya sedang ramai, saya menulis puisi. Ketidakmampuan
saya mempercayakan keramaian kepala saya kepada orang lain, membuat saya melarikannya kepada kata-kata. Saya
beruntung masih memiliki kata-kata sebagai
teman dekat.
Orang-orang mungkin ada yang menganggap saya berlebihan.
Namun, percayalah hidup bertahun-tahun bersama childhood trauma yang sering dikecilkan orang rasanya tidak pernah
menyenangkan. Saya memilih membungkam suara saya daripada menerima tatapan atau
kata-kata melemahkan dari orang lain. Bayangkan setiap hari kamu berjuang agar tidak kalah dari
suara-suara gelap dari dalam kepalamu di saat yang sama kamu berusaha tampil
selayaknya orang normal agar orang-orang tidak menganggapmu aneh—saya tidak
akan pernah lupa, semasa SMA, ada seorang teman yang menyebut saya gila karena pembawaan saya yang tidak
seperti remaja kebanyakan. Saya tahu dia hanya bercanda. Tapi candaan itu
nyatanya melukai saya sangat dalam. Saya ingat, saya menangis di kelas saat
itu. Karena kejadian itu, saya memutuskan untuk semakin meluaskan jarak dari
orang lain.
Tidak semua orang mengerti makna suara dan bahasa saya. Saya
masih suka nangis haru dan meluk diri sendiri kalo inget masa-masa saya
menangis frustasi, bingung, stress, pasrah, sampai saya pernah nggak bisa
nangis lagi walaupun sedang sedih ga kepalang—you know how does it feel? Yeah, it’s
another level of pain. Saya bertanya-tanya kenapa saya nggak bisa nangis? Saya
pernah mengalami mati rasa. Emosi saya kering. Kerannya mampet. Bisa kebayang
rasanya? Saya berdoa, semoga siapa pun kamu yang membaca tulisan ini tidak
pernah mengalami apa yang saya rasakan. Dan kepada mereka yang sedang mengalaminya,
semoga Tuhan menguatkanmu. Semoga kamu bisa segera membebaskan diri dari sana.
Dengan kondisi mental seperti itu, apakah mungkin saya bisa
berbagi hidup dengan orang lain?
Dengan pasangan saya? Mustahil. Jikapun saya memaksa, saya hanya akan
memindahkan neraka dari kepala saya ke kepala orang lain dan kami akan terbakar
bersama lalu mengabu dalam sejarah. Saya tidak boleh menggunakan kondisi ini
untuk mencari kebahagiaan pada orang lain. Saya tidak sedang hidup di drama
atau novel romantis. Saya hidup di dalam sebuah realita waktu yang tidak selalu
ramah tamah, saya adalah tokoh utama yang bertanggung jawab atas dirinya
sendiri. Tanggung jawab ini tidak bisa saya berikan kepada orang lain.
Saka benar. Menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing
orang. Dan untuk menjadi kuat, saya harus menyelesaikan unfinished problems yang terus-terusan membuntuti saya ke mana pun
saya melangkah. Saya percaya, untuk bahagia, saya tidak perlu menunggu
kehadiran pasangan yang akan melengkapi. Bahagia harus saya usahakan sendiri.
Ini baru benar.
Saya pikir setelah memasuki usia 30-an, saya akan terbebani
dengan pertanyaan kapan menikah. Kenyataannya, awal 30-an saya gunakan untuk memeluk diri saya lebih dekat lagi, lebih
sayang lagi, lebih ikhlas, dan lebih tulus lagi. It’s a fun ride! (BO ONG DING. SAYA BABAK BELUR DIBUATNYA HAHAHAHA)
Saya sedang memasuki pertengahan tigapuluh. Pertanyaan kapan
menikah tidak lagi terdengar menyeramkan atau menyakitkan di telinga saya.
Tidak ada yang lebih menyeramkan daripada menghabiskan seumur hidup bersama
seseorang yang salah. Dan saya tidak ingin menjadi orang yang salah dalam kehidupan orang lain, begitu pula
sebaliknya. Maka yang harus saya lakukan adalah berhenti melarikan diri lalu mulai
mengumpulkan keberanian untuk menolong diri sendiri.
Saya teringat lirik lagu The Script yang judulnya If You
Don’t Love Yourself, bunyi liriknya begini,
“How can you
love if you don’t love yourself?
If you don’t
love yourself, you can love no one else.
Iya kan? Kamu mati-matian ingin dicintai dan mencintai orang
lain, namun di satu sisi kamu terbiasa menenelantarkan dirimu sendiri.
Bagaimana bisa manusia mencintai manusia lain bila ia tidak pernah belajar
mencintai dirinya sendiri? Bahkan ada orang yang karena cinta, ia memilih
mengorbankan diri dan perasaannya demi orang lain.
What is love?
Di Twitter, saya beberapa kali bilang, sebagai anak dan
sebagai orang dewasa, saya punya banyak sekali alasan untuk tidak menikah. Biar
1.000 orang datang kepada saya untuk mempengaruhi saya dengan cerita-cerita
menyenangkan tentang kehidupan pernikahan, apa yang pernah saya alami dan
rasakan sebagai anak dan orang dewasa, apa yang saya lihat di kehidupan nyata,
sudah lebih dari cukup bagi saya untuk tidak terpengaruh. Saya tahu menikah
bukan semata perjalanan panjang mencari kebahagiaan.
Seharusnya, menikah adalah perjalanan panjang melanjutkan kebahagiaan. Yang kita tahu, tidak ada perjalanan yang isinya
melulu kebahagiaan saja. Apalagi perjalanan yang ditempuh berdua. Jadi, sebelum
memutuskan melanjutkan kebahagiaan, kita harus menyiapkan bekal yang tepat. Dua
orang yang memutuskan melanjutkan perjalanan berdua, mestilah sama-sama
memiliki kesadaran yang setara, bahwa akan banyak kompromi yang harus
dibicarakan selama perjalanan dan komunikasi tidak bisa berjalan jika hanya
diusahakan satu orang saja.
Apakah saya penakut? Apakah saya berlebihan?
Tidak. Perasaan saya valid. Ini bukan tentang ketakutan. Saya
hanya sedang mencoba realistis.
Saya belajar banyak dari kehidupan pernikahan orang tua saya.
Tidak ada anak yang bisa memilih ingin terlahir dari orang
tua seperti apa. Pun sebagai orang tua, setiap orang yang memutuskan menikah
lalu dikaruniai anak—itu akan menjadi kali pertama ia menjadi orang tua.
Pengalaman pertama yang akan membuatnya belajar banyak. Namun bagi seorang
anak, luka yang sengaja atau tidak sengaja diberikan orang tuanya entah oleh
alasan apa pun akan ia ingat itu sebagai bagian terpenting memorinya,
mempengaruhi proses tumbuh kembangnya, bagaimana ia menghadapi dunia di depan
matanya.
Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana
sulitnya kehidupan anak-anak yang dibiarkan tumbuh sendirian. Anak-anak yang
terpaksa belajar mengenali luka-luka yang diberikan orang lain kepadanya, yang
kehilangan kesempatan melewati tahapan-tahapan hidup dengan semestinya. Di
sekitar saya banyak sekali anak-anak yang kebingungan atas hidupnya,
bertanya-tanya untuk apa ia dilahirkan jika hanya untuk ditelantarkan?
Menikah bukan hanya tentang memenuhi standar social masyarakat atau tetangga. Menikah bukan ajang perlombaan soal siapa yang duluan siapa yang terlambat. Bukan juga tentang batasan-batasan usia.Pernikahan yang diisi dua kepala yang belum selesai dengan dirinya hanya akan melahirkan satu generasi gagal berikutnya. Pola pewarisan lingkaran setan ini akan terus berlanjut.
Saya sering bilang, cukuplah ketidakberuntungan pengasuhan berakhir di generasi kita, jangan
lagi diwariskan kepada generasi berikutnya. Kita tau bagaimana rasanya hidup
dalam kesakitan batin, verbal dan non verbal. Rasa sakit itu kita
jadikan sebagau pelajaran dan pengingat.
Menikah bukan hanya tentang kemantapan finansial, kesiapan
mental pun harus masuk perhitungan serius.
Saya sadar betul, dari kacamata seorang anak, saya memiliki
trauma yang cukup dalam. Salah satu efek trauma tersebut membuat saya tumbuh
menjadi anak yang kesulitan mengatur emosi. Di masa lalu, saya juga menyadari
kalau saya memiliki kecenderungan menghindari konfrontasi dengan pasangan jika
terjadi perbedaan pendapat yang butuh didiskusikan berdua. Saya tidak ingin
terlihat egois meskipun itulah yang sebenarnya terjadi. Pada level tertentu,
tubuh saya merespon dengan cepat bentuk-bentuk kekerasan verbal.
Butuh tahun-tahun panjang yang dilewati jatuh bangun untuk
bisa survive dengan kondisi mental
seperti itu. Saya mati-matian menolak menggunakan itu
untuk menyakiti orang lain, meskipun dalam perjalanannya saya banyak menyakiti
orang lain dengan perangai saya yang keras dan brutal kata-katanya. Percayalah, saya berjuang keras menenangkan diri.
Saat ini saya merasa sudah sedikit lebih baik. Setidaknya
saya sudah menerima kondisi diri saya apa adanya. Saya bersedia menangani dari
nol mental saya yang sudah hancur-hancuran ini. Regulasi emosi juga perlahan
membaik. Saya benar-benar ingin menjadi versi terbaik diri saya.
Jika ada yang menanyakan kapan saya menikah, atau bertanya mengapa saya belum menikah, saya hanya bisa tersenyum atau tertawa. Soal kapan, saya tidak punya jawabannya. Saya sendiri tidak tahu kapan saya akan menikah.
Lalu, apakah saya
bahagia? Ya.
Meskipun memasuki pertengahan tigapuluhan masih sendirian
saja? Ya.
Meskipun teman-teman saya sudah sibuk dengan keluarga kecil mereka?
Ya.
Apakah saya tidak merasa cemburu? Tidak. Saya bersyukur Allah
ngasih saya hati yang tidak terbiasa mencemburui dalam konotasi negatif kebahagiaan orang lain.
Lagipula, saya tidak pernah menjadikan bahagia orang lain sebagai standar
bahagia yang harus saya capai. Sekarang saya bisa bilang dengan perasaan lega
saya menikmati hidup saya.
Sudah sejak lama saya menolak kalau definisi bahagia yang
sempurna bagi perempuan adalah dengan menikah dan memiliki anak. Bagi saya,
kebahagiaan saya sebagai perempuan adalah ketika saya berhenti menyakiti diri
dengan ekspektasi-ekspektasi manusia-manusia lain atas hidup saya. Ukuran
bahagia saya tidak akan pernah sama dengan orang lain, jadi saya tidak perlu
membandingkan. I’ll choose my own path. Kasihan
ke diri sendiri sih jika saya dengan tega membebaninya dengan urusan-urusan yang
saya sendiri tidak memiliki jawaban yang jelas. Diri saya pantas menerima kebahagiaan yang saya usahakan bukan menunggu diberikan orang lain.
Apakah saya menolak pernikahan?
Tentu saja tidak. Manusia
diciptakan salah satunya ya untuk berpasangan. Saya percaya aturan Allah adalah
yang terbaik. Lalu apa tujuan saya menulis sepanjang ini?
Semakin nambah usia, semakin luas pandangan mata, semakin
terang benderang pandangan saya mengenai pernikahan. Dalam hemat saya,
sebaiknya memang jangan terburu-buru menikah dulu. Jangan takut dengan angka pada usia kita yang terus bertambah. Daripada diombang-ambing galau, kenapa nggak nyoba mendekati diri, mencari-cari apakah masih ada yang perlu dibereskan, misalnya kayak hal-hal di bawah ini—
#Kamu
memiliki masalah masa lalu yang berhubungan dengan kehidupan pernikahan orang
tuamu
Tidak semua anak lahir di keluarga cemara.
Jangan sekali-kali menyepelekan childhood trauma, ini tidak sesederhana “kamu aja yang kebanyakan takutnya”. Saya beberapa kali hendak dikenalkan pada nama-nama, teman saya baru sebatas “saya mau kenalkan kamu—“ tubuh saya melompati perasaan saya dengan mengeluarkan respon paling jujur; jantung saya berdebar, cemas mengarah ke takut, saya menghargai niat baik itu, namun jujur, saya tidak pernah merasa tidak nyaman jika ada yang berniat menjodohkan saya. Saya tidak bisa semudah itu memercayai laki-laki. Syukurnya, tidak ada satu pun dari nama-nama yang hendak dikenalkan itu benar-benar berinteraksi dengan saya. Entahlah, saya lega. HAHAHAHA.
Saya pernah berpikir, saya akan sembuh jika bertemu dengan
pasangan yang mengerti kondisi saya.
Ya, mungkin bisa. Tapi itu hanya bisa terjadi apabila saya bertemu jodoh yang
tepat. Bagaimana bila tidak? Bagaimana kalau yang saya temui adalah orang yang
juga belum selesai dengan masa lalunya? Saya tidak seberani itu bertaruh di
atas masa depan saya. Menyadari hal ini, saya mulai menata hidup saya,
pelan-pelan menangani kecemasan-kecemasan yang bersumber dari luka batin yang
selama ini memberati hati saya. Saya belajar menerima, berdamai, memaafkan diri
saya, memaafkan orang lain—karena hanya dengan begini saya bisa leluasa
mencintai diri saya. Jadi, bisa ketebak kan kenapa saya nggak baperan atau
pusing dengan kejaran pertanyaan kapan menikah di usia yang sudah melewati
tigapuluhan ini? Yes. Saya sedang sibuk
menikmati proses menjadi versi terbaik diri.
“Love is about mutual understanding and mutual
tolerance.” –Snow Lover
Dalam sebuah hubungan kasih sayang, saling memahami dan
bertoleransi hanya bisa terjadi bila dua orang berbicara menggunakan bahasa yang sama.
Anak-anak yang tumbuh besar di tengah-tengah hubungan toxic
orang tuanya memiliki dua kecenderungan. Satu, bersemangat menikah untuk
membentuk keluarga kecil yang bahagia tidak seperti kedua orang tuanya. Dua,
kehilangan minat menikah karena terlanjur mati rasa. Saya berada di
tengah-tengah. Saya ingin menikah saat kondisi mental saya sudah membaik.
Alasannya sudah saya tuliskan panjang lebar di atas.
Pada Mama, saya pernah bilang, beberapa tahun lalu sewaktu saya
memberitahu beliau niat untuk berkonsultasi dengan psikolog terkait kondisi
mental saya, apa yang terjadi di masa lalu antara Mama dan Bapak sebenarnya
telah memberikan imbas yang buruk sekali kepada saya. Bagaimana memori saya
seringkali menampilkan rekaman-rekaman kejadian menyakitkan. Saya beritahu
bahwa selama ini saya menjalani silent battles seorang diri sampai akhirnya
saya tidak mampu lagi sok kuat.
Itu adalah kali pertama saya terbuka pada Mama mengenai kondisi saya. Alhamdulillah beliau berusaha memahami. Saya memiliki kesadaran yang utuh perihal kondisi diri saya. Kesadaran inilah yang membuat saya tidak terburu-buru untuk menikah.
Saya selalu mengatakan ini berkali-kali pada diri saya bahwa
untuk bisa sampai di titik ini, saya telah melewati pertempuran yang sangat melelahkan, berkali-kali nyaris ingin
menyerah, berkali-kali nyaris kehilangan diri—dengan perjuangan seperti ini,
saya pikir saya berhak menjalani hidup yang tenang.
Saya berhak mendapatkan pasangan yang baik. Saya tidak ingin mengorbankan
perjuangan saya dengan memburu-burukan menikah. Minimal, jika memang ada yang
ingin mengajak saya menikah (sampai sekarang belum ada yang berani HAHAHAHAHA Alhamdulillah) saya
sudah harus tahu isi pikirannya. Iya, saya tidak akan pernah lupa sepotong
kalimat dari kawan baik saya yang bilang, sebelum memutuskan menyukai
seseorang, saya sudah harus tahu isi kepalanya (pikiran-pikirannya). Saya wajib
mengenal dengan baik siapa yang akan menjadi teman perjalanan seumur hidup
saya.
Masalah-masalah yang belum selesai di dalam diri kita akan
mempengaruhi bagaimana kita menjalani hidup, bagaimana kita berinteraksi dengan
pasangan, dengan anak-anak kita. Mencari pasangan, tidak hanya untuk diri sendiri,
namun pikiran jangka panjangnya, kita juga sedang mencari ibu atau bapak
terbaik untuk anak-anak kita kelak nanti. Bukan hanya masa depan kita yang
dipertaruhkan, hidup anak-anak kita juga.
Pada orang tua, kita belajar tentang orang tua seperti apa
yang ingin kita hidupkan dalam memori
anak-anak kita kelak nanti.
See, menikah nggak hanya soal cinta.
#Kamu
masih memiliki temperamen yang buruk
💦
Masih mudah emosian, egois, maunya ingin didengar namun
enggan mendengar suara orang lain, masih suka menyalahkan pihak lain jika ada
hal-hal yang berjalan tidak sesuai keinginan alih-alih mengintrospeksi diri.
Temperamen seperti ini hanya akan menciptakan lingkungan keluarga yang toxic.
Salah satu pihak akan tersiksa lahir batin.
Saya lupa di podcast siapa, saya pernah mendengar kalimat
kurang lebih bilang begini, “jangan sampai kita tanpa sadar membiarkan pasangan
kita merasa kesepian dalam kehidupan pernikahan”.
Kebayang nggak sakitnya, kamu ingin bercerita tentang
perasaanmu tetapi pasanganmu mengabaikannya, menganggapmu lebay? Dan kamu
terpaksa menelannya sendiri. Ya Allah, semoga saja dijauhkan dengan orang bertemperamen
seperti ini. Saya senang bercerita, aslinya cerewet (ternyata HAHAHAHA). Saya
bisa bercerita tentang apa saja bahkan hal-hal kecil aja saya bisa ceritakan
dengan penuh semangat. Sudah cukup bertahun-tahun saya terpaksa menelan suara
saya sendiri. Semoga saya dipertemukan dengan dia yang bahasa-nya sama dengan saya ya. Aamiin. Biar rame kaan HAHAHAHA.
#Kamu berpikir menikah adalah untuk bahagia
💦
No. Sejauh pengamatan saya, menikah mendatangkan banyak kebahagiaan kalau kamu menikah dengan orang yang tepat. Bakal beda kisah kalau kamu menikah
dengan orang yang salah. Bahagianya kehidupan pernikahan bukan karena diisi
yang indah-indah sepanjang waktu. Nggak gitu ceritanya wkwk. Kehidupan orang
yang menikah itu suka ada aja masalahnya. Nah, kalo misalnya pasanganmu
ternyata orang yang diajak komunikasi aja sulit, masalah yang harusnya bisa
diselesaikan malah mengendap, menumpuk hingga akhirnya meledak kayak gunung
berapi.
Kita nggak nyari orang cerewet, tapi yang tau cara berkomunikasi dengan baik. Jadi, plis, dipikir lagi deh kalau mau menikah untuk mencari atau menemukan kebahagiaan.
Saya pernah menulis di laman IG saya, kurang lebih begini, “tidak ada pernikahan tanpa masalah. Benar,
tetapi setidaknya jika bersama dengan orang tepat kita bisa melewatinya dengan
selamat, iya kan?”
Bagaimana caranya kita tau orang tersebut benar untuk kita atau tidak?
Pertama-tama kita sudah harus mengenal baik-buruknya diri sendiri. Dengan
begini, setidaknya kita tau pasangan seperti apa yang perlu dihindari. Di dunia
ini nggak ada yang sempurna. Benar. Sekali lagi kita nggak nyari yang sempurna
kok, tapi nyari yang tepat. Iya kan?
Kalau sampai lebaran monyet nggak ketemu juga jodohnya,
gimana? Ya udah. Nggak papa-papa. Santai aja. Dunia nggak lantas berakhir hanya
karena tinggal kita sorangan yang belum menikah. Jangan sekali-kali merendahkan
kualitasmu agar bisa sejajar dengan dia yang kamu harapkan akan menjadi pasangan
hidupmu. Hidup ini terlalu singkat untuk membiarkan dirimu hidupmu bersama orang
yang tidak mampu menghargaimu seutuhnya. Saya tidak lupa, setiap orang hidup pada lingkungan yang berbeda-beda. Saya beruntung memiliki orang tua yang tidak begitu ambil pusing (yang saya liat ya) jika anak perempuan tertuanya masih stay single sampai detik ini. Mama pernah bilang kalau harapan terbesarnya adalah melihat saya memiliki pekerjaan tetap ketimbang menikah cepat. Mama saya juga pernah bilang lebih baik 'terlambat' menikah ketimbang buru-buru dan malah berakhir buruk.
Intinya, ini pandangan pribadi saya, saya harus stabil dulu secara
individual, khususnya imannya, mental-nya.
Nun jauh di dalam hati, saya selalu berprasangka baik pada rencana Allah. Saya tidak mengasihani diri karena belum menikah di usia segini. Malah saya bersyukur, untung nggak ngebet pengen cepet-cepet nikah dulu. Nggak baperan ngeliat orang-orang terdekat saya sudah menikah dan punya anak.
Saya menikmati perjalanan menemukan versi terbaik diri saya. Karena dengan menjadi baik pada diri sendiri, saya bisa membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Siapa pun kamu di luar sana, yang sedang berjuang menabahkan diri dari celetukan dan kesinisan orang lain, semoga kamu kuat dan tahan banting.
💜💜💜
Bye-ing
Azz.
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊