Review Shining For One Thing (Movie Version)
Siapa
yang masih inget ending episode 24 Shining for One Thing? Yang dibikin gagal
move on sama payung item dan salju? Yang mewek tiap denger The Entire World-nya
Baby J?
SAYA!!!
Gara-gara
open ending, banyak spekulasi soal
nasibnya Zhang Wansen. Wansen masih hidup atau udah mati. Kalau mati, di mana
kuburnya?—HEHHH DIEM.
Hingga
kemudian kabar baik itu benar-benar terealisasi. Foto-foto syuting mulai bertebaran.
Ngeliat Wansen lagi dalam balutan seragam auto bikin haru-biru ini hati dengan harapan-harapan.
Semoga di versi filmnya, Wansen bisa bahagia. Semoga ga ada mercusuar lagi, ga
ada payung item lagi, semoga kata aku
menyukai-mu tidak lagi membuat penonton trauma. Dan semoga musim dingin
tidak lagi membuat orang-orang ingin memanggil Wansen dengan penuh kesedihan. Terlalu
banyak semoga yang membuat saya merasa perlu untuk mengingatkan diri agar tidak menaruh ekspektasi tinggi ke
filmnya. Pokoknya asal Wansen bahagia, itu cukup—semoga ini bukan ekspektasi
yang ketinggian.
Akhir
tahun 2023 kemarin, SFOT versi film-nya pun dirilis di bioskop-bioskop di mainland. Efek Wansen ternyata masih
sangat besar di sana. SFOT laris manis. Jujur, saya tidak begitu mengikuti
perkembangan film ini secara detail, salah satu alasan saya adalah saya kuatir
kecipratan spoiler. Makanya sebisa mungkin saya menjaga radar agar tidak
menangkap spoiler-spoiler yang bertebaran di temlen. Kalo udah terlanjur tau
bocoran jalan ceritanya, bisa nggak seru lagi dong nontonnya. Udah nggak ada
efek surprise-nya.
Mengikuti
jejak Someday or One Day, film Shining for One Thing ternyata ditayangkan di
Indonesia. Sayang sekali, domisili saya jauh dari akses bioskop yang
menayangkan film ini. Saya sabar saja menunggu rilisan dari platform resmi
kayak Aiciyi yang juga menayangkan SFOT versi drama.
13
Februari 2024, SFOT movie akhirnya dirilis di platform resmi hanya saja
sepertinya tidak berlaku untuk regional Indonesia. Nasib. Sambil menunggu,
kemarin saya menonton di situs China yang menyediakan engsub. Bagaimana reaksi
saya bertemu Zhang Wansen setelah dua tahunan menunggu kelanjutan nasibnya?
Wansen
tidak berubah. Dia tidak pernah berubah. Dia masihlah Wansen yang mencintai
Xingxing tanpa tapi, diam-diam, dari jauh, seraya mengumpulkan keberanian untuk
mengenalkan dirinya kepada Xingxing.
Shining
For One Thing versi drama dan film konsisten membuat saya menangis sesenggukan.
☆
—tulisan di bawah ini mengandung spoiler—
Pertanyaan
yang paling ingin saya temukan jawabannya di SFOT versi filmnya adalah apakah
Zhang Wansen berhasil menemukan bahagianya?
Setelah
menonton separuh jalan film berdurasi 1 jam 47 menit ini, saya mulai tidak
yakin dengan harapan saya. Saya dengan mudah bisa berasumsi kalau film ini
tidak dibuat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya kemudian dengan sangat
yakin mengatakan SFOT versi film bukanlah kelanjutan cerita dari versi dramanya
usai menontonnya. Pupus sudah harapan saya untuk melihat Wansen, si anak baik
bisa memeluk kebahagiaan yang layak ia dapatkan.
Lantas
apakah tidak ada hubungan antara drama dan filmnya selain 4 tokoh utamanya yang
sama? Ada. Saya melihat itu pada jalan ceritanya. Nanti saya akan jelaskan
menurut sudut pandang saya, bagaimana saya membaca
SFOT versi drama dan film.
Wansen
mendarat di bulan. Di sana, ia bertemu Xingxing.
Tapi
ini bukan tentang pendaratan mereka di bulan.
Adegan
berikutnya, terlihat Wansen berlari terburu-buru di bawah deras hujan,
menerobos kerumunan orang-orang yang menunggu Gaokao selesai. Kirain mau ngapain,
ternyata cuma demi tiket nonton konser doang, yang apesnya pas nyampe di
loketnya ternyata tiketnya udah abis. Dua tiket terakhir dibeli seorang gadis.
Iyak bener. Dia adalah Lin Beixing. Yang bikin terkejut, sewaktu Wansen pengen
nego biar Xingxing mau jualin lagi tiketnya ke dia, Xingxing balesnya jutek
banget. “TIKETNYA GA DIJUAL!” Gitu jawabnya Xingxing sambil berlari
meninggalkan Wansen.
Di
sini saya udah ngerasa nggak enak. Kok Xingxing galak sama Wansen? Galaknya tuh
bukan yang nyenengin tapi nyebelin buat saya yang udah nonton dramanya.
Xingxing di drama kan manis dan lucu huhuhu. Xingxing ah, who are you?
Sejak
saat itu, Wansen semakin giat nyari-nyari kesempatan untuk deket-deket sama
Xingxing. Bela-belain jadi volunteer di acara konser demi Xingxing meskipun
kemudian konsernya dibatalkan karena alasan keamanan. Di saat yang sama, saya
membaca gelagat Xingxing yang berusaha berjarak dari Wansen. Saya kasian sama
Wansen. Mukanya minta dipukpuk sepenuh kasih sayang. Tiap dia mau ngenalin namanya kepada Xingxing, gadis itu seperti tidak
ingin mendengarnya. Kalo di drama, untuk bilang aku suka kamu aja tantangannya
luar biasa. Lah, di film malah lebih parah. Mau ngenalin diri aja ga bisa-bisa.
Heran.
Belakangan
adegan-adegan yang menimbulkan tanya ternyata memiliki alasannya masing-masing
tentang apa dan mengapa.
Ini
tentang sudut pandangnya Wansen dan Xingxing, yang membentuk satu gambar utuh.
Selalu ada jawaban untuk setiap pertanyaan. Meski jawabannya tidak selalu
membuat napas lega.
Jika
paruh pertama film ini mengajak saya menertawakan tingkah kikuk dan lucunya
Wansen ketika bersinggungan dengan Xingxing—kita yang udah familiar dengan
kelakuan Wansen di drama nggak mungkin nggak ngikik sih liat dia di sini.
Kerasa banget kangennya Ya Allah huhuhu kangen banget sama nih anak. Nah di paruh
kedua hingga akhir sukses bikin nyesek sampe nangis parah, saya beneran nangis
sejadi-jadinya. Apalagi duapuluh menit menuju ending… ini dada kayak dipenuhi
jenis kesedihan yang nggak bisa dijelaskan. SAYA TUH NUNGGU SFOT MOVIE BUKAN
UNTUK INIIIII. Masa udah dibikin nangis jelek di drama, eh di filmnya malah
disuruh lanjut nangis jeleknya. 😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Wansen
lu kenapa sih?? Kenapa sulit banget untuk bahagia? Kenapa matamu harus selalu
dipenuhi penerimaan yang tulus?? KENAPAAAAAAAAAAA???
Bentar.
Saya mau nangis dulu.
….
😭😭😭
Serius, saya
beneran nangis sambil nulis ini. Mana pas banget yang keputer The Entire
World-nya Baby J.
Sebenernya,
dari poster perdana pas pengumuman kalo SFOT mau dibikin versi movie, udah
kebaca sih plotnya bakal kayak gimana. Di drama, Xingxing yang melintasi waktu,
di versi movie, Wansen lah yang berpetualang ke semesta lain. Cuman saya nggak
nyangka kalo ceritanya bakal se-konsisten ini bersetia pada soul dramanya. Plot twist-nya bikin
kaget nggak kaget. Walaupun saya udah curiga tapi tetap aja saya nangis kenceng
bareng Wansen. Nasibmu, sungguhlah… 💔
Versi
filmnya hanya ingin menegaskan kembali, tidak ada masa lalu yang bisa diubah
sebesar apa pun penyesalan yang kita miliki. Apa yang sudah terjadi, apa yang
sudah berlalu di dalam waktu, tidak mungkin bisa kembali. Tidak ada penyesalan
yang bisa ditebus dari seseorang yang waktunya telah berhenti berdetak.
Menonton
drama, lalu menonton filmnya, kita bebas menerjemahkan makna dua versi ini.
Apakah mereka saling terhubung atau berdiri sendiri? Kita bebas-bebas saja
memilih. Tapi saya ingin memilih kedua-duanya. SFOT versi drama dan film bisa
dianggap berdiri sendiri, namun di sisi lain, dua versi ini memiliki hubungan
akrab yang tidak bisa dipisahkan.
Selama
ini, sebelum perilisan versi filmnya, di kepala saya sudah ada scenario singkat
mengenai kelanjutan nasibnya Wansen. Setelah dia terjatuh dari mercusuar,
Wansen koma entah dimana, lalu dalam komanya dia mengalami perjalanan waktu ke
dimensi lain. Parallel world. Saya membayangkan upgrade-nya Wansen bukan lagi
dalam balutan seragam sekolahan. Dalam perjalanannya tersebut, Wansen berhasil
menemukan Xingxing. Demikianlah ekspektasi saya. Wansen pasti bisa menemukan
bahagianya. Wansen masih hidup. Happy ending yang saya inginkan akan terjadi.
Saya nih udah jadi bucinnya Wansen kayaknya. Positive thinking banget sama
nasibnya Wansen. Optimis.
Trus
begitu nonton opening filmnya, scenario itu lenyap tak bersisa dari kepala
saya.
Filmnya
jelas-jelas bukan lanjutan cerita dramanya. Cerita dan alurnya berbeda meski
isinya masih tentang Wansen, seorang anak laki-laki yang jatuh suka
seberat-beratnya pada anak perempuan bernama Lin Beixing. SFOT versi drama
masih banyakan momen lucunya, sedangkan versi film agak gloomy. Padat. Berat di
perasaan. Kelucuan Wansen di paruh pertama tidak sanggup menyelamatkan saya
dari kesedihan yang dalam di paruh kedua. Kesedihan itu masih tertinggal bahkan
setelah SFOT versi film menghabiskan detik terakhirnya.
Seperti
yang sudah saya ungkap sebelumnya, kita juga bisa menganggap film ini sebagai
bagian dari dramanya sendiri, kita bisa menganggap film dan dramanya merupakan
bagian dari dunia parallel. Dalam urusan ini, kita setidaknya bisa memastikan
satu hal, pada semesta mana pun, akan selalu ada Wansen yang mencintai
Xingxing, dan akan selalu ada penyesalan yang lahir kemudian, entah itu dari
sisi Wansen maupun Xingxing.
Sebab,
“Space-time rules have already determined the end of our
story, our separation.” –Lin Beixing (Shining for One Thing The
Movie).
Saya
takut, pertanyaan saya di drama akhirnya terjawab di sini. Wansen memang
benar-benar sudah tidak ada. Kita kehilangan Zhang Wansen di mercusuar itu.
Selamanya.
Happy Ending?
Lagi-lagi,
penulis skenarionya memilih open ending.
Penonton disuruh menyimpulkan sendiri. Karena saya adalah penonton yang nggak
mau rugi, maka saya akan menerjemahkan sendiri apa maksud dari kambeknya si
payung item dan salju di post credit film ini sesuka hati saya HAHAHAHA.
It’s
a happy ending, but it’s not the happy ending that we want so bad. It’s a happy ending,
but, it wasn’t a happy ending for the boy who fell from the Lighthouse. Ini
happy ending untuk Zhang Wansen dan Lin Beixing yang saling mencintai dan akan
selalu saling mencintai meskipun mereka terlahir di semesta yang berbeda-beda.
Kembali
ke ending episode 24 ketika Lin Bexing menatap butiran salju yang berjatuhan
seraya memanggil nama Zhang Wansen. “Zhang Wansen, it’s snowing. How are you doing? I miss
you. I miss you so much.”
Saat Xingxing hendak melangkah dan seseorang memayunginya dari belakang. Coba ingat-ingat lagi lagi ekspresi wajah Xingxing. Itu bukan ekspresi orang yang kaget atau bingung melainkan reaksi lega dan bahagia seolah-olah ia sudah tahu siapa yang memegang payung di belakangnya itu. Seolah-olah itu bukan kali pertama baginya.
Sewaktu menonton adegan itu, saya sudah bertanya-tanya kenapa Xingxing bereaksi seperti itu? Mengapa ia bisa seyakin itu mengenali pemegang payung hitam yang sudah bikin penonton ngereog puluhan purnama?
Barulah
setelah menonton versi filmnya saya menemukan jawabannya. Inilah alasan mengapa
saya bilang film SFOT bisa saja dianggap lanjutan versi dramanya, tergantung
sudut pandang mana yang saya pilih.
Wansen
dan Xingxing bertemu lagi di tahun 2022 setelah melintasi semesta demi semesta,
setelah melewati patah hati demi patah hati yang bikin remuk perasaan. Dan
bagaimana jika kali ini mereka memiliki semacam satu mantra ajaib yang bisa membuat mereka saling menemukan?
“I miss you. I miss you so much.”
Saya
membayangkan setelah ending episode 24 itu, Wansen dan Xingxing masih akan
terus bersama dalam waktu yang lama asal nggak ada yang kepleset bilang “I like you”, atau mengatakan “Hi, Lin Beixing. I’m Zhang Wansen”.
Emang
udah paling bener dipanggilnya Apollo 11 aja.
Jadi,
demikianlah. Kita tidak perlu lagi menunggu kejelasan kabar anak laki-laki yang
terjatuh di mercusuar. Juga tidak perlu mempertanyakan siapa sosok Lin Beixing
dan Zhang Wansen yang melakukan perjalanan waktu itu. Itu tidak menjadi penting
lagi. Yang terpenting Lin Beixing dan Zhang Wansen sudah menemukan closure dari
perasaan yang gagal tersampaikan saat mereka masih ada kesempatan di masa lalu.
Saya
menyukai cara Xingxing dan Wansen berpisah
di film. Bikin banjir, tapi sedihnya lebih ke lega, dapet banget
closure-nya. Mereka menyadari betul bagaimana semesta memeluk kisah mereka. Dan mereka bersedia menerima.
Siapa
yang nggak ingat betapa nyeseknya perpisahan Wansen dan Xingxing di episode 23
drama Shining for One Thing? Wansen cuma bisa bilang “I like you” dari jauh trus ngilang. Nggak ada satu pun perpisahan
Wansen-Xingxing di drama yang nggak bikin nyesek, nangis-nangis ga terima yang
ada. Seenggaknya di versi film mereka saling menggenggam tangan, saling
tersenyum, saling merelakan dengan sebenar-benarnya penerimaan.
Lin
Beixing nggak sendirian lagi melakukan perpisahan.
I’m
okay… I’m okay… NOOOOOOOOOO I’M NOT OKAY. 😭💔😭💔
Tentang
adegan Wansen dan Xingxing main-main di
bulan, saya nggak menganggap adegan ini sebagai sesuatu yang nggak punya
arti. Di pembukaan film, ada monolog Wansen tentang sejarah pendaratan pertama manusia
di bulan. Pada tahun 1969, tepatnya tanggal 20 Juli Pukul 20.17 UTC (Universal Time Coordinated), misi pendaratan pertama manusia di bulan milik Amerika Serikat yang diberi nama Apollo 11 berhasil mendaratkan Modul Lunar Apollo Eager di satelit Bumi tersebut. Neil Amstrong menjadi manusia pertama yang menginjakkan kakinya di daratan Bulan. Proyek Apollo ke 17 menjadi misi terakhir milik Amerika yang mendaratkan manusia di bulan, pada Desember 1972. Wansen berandai-andai, jika suatu saat muncul lagi manusia-manusia lain
yang bisa melakukan perjalanan ke bulan, bisakah ia dan Xingxing pergi ke bulan bersama?
Terlepas
dari kontroversi pendaratan fenomenal pertama Neil Amstrong di bulan puluhan
tahun silam, pasca misi Apollo berakhir, kita tahu hingga saat ini belum ada lagi manusia lain yang
melakukan pendaratan di bulan. Sekarang, silakan tebak sendiri, apa maksud
adegan pendaratan Wansen dan Xingxing di bulan yang muncul di penghujung film
ini.
Semua
berawal dari dua bocah yang keseringan telat dijemput orang tua masing-masing
yang akhirnya membuat mereka jadi teman bermain di depan gerbang sekolah. Pas
mau pisahan karena ada yang bakal pindah sekolahan, si anak laki-laki bertanya
kepada anak perempuan yang kalau dilihat dari postur tubuhnya sepertinya
berusia beberapa tahun di atasnya. “Are
we good friends?”
Si anak perempuan
berjalan, sambil menunjuk ke arah langit berkata,“If you can climb up there, we’re good friends then.”
Yang
dimaksud Xingxing : Bianglala
Yang
ditangkap Wansen : Bulan
Hanya
karena sewaktu Wansen melihat ke arah langit yang ditunjuk Xingxing, yang tersisa
adalah bulan yang membulat penuh. Lampu bianglalanya mati makanya nggak keliatan.
Salah pahamnya berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian. Wansen bermimpi bisa
mendarat di bulan karena Xingxing, karena ia salah paham, menyangka Xingxing
baru akan mengganggap mereka teman baik jika Wansen berhasil manjatin bulan. SENIAT ITU. YA ALLAH WANSEN LU EMANG
TERLAHIR UNTUK JADI BUCIN YA.
Kalau
diperhatikan, walaupun cerita versi film dan dramanya berbeda, tapi bagaimana
Xingxing menanggapi fakta ketidakmungkinan antara dirinya dan Wansen memiliki
gelagat yang sama—Xingxing berusaha berjarak dengan Wansen sampai kemudian ia
menyadari jika Wansen juga sama seperti dirinya.
☆★☆
Shining
For One Thing tidak mengecewakan saya. Saya adalah fans berat drama ini,
penyayang nomor satu-nya Zhang Wansen sampai kapan pun tidak akan berubah.
Meskipun saya tidak mendapatkan happy ending seperti yang pernah saya
bayangkan, saya tidak kecewa atau merasa tidak terima. Saya malah berterima
kasih sebesar-besarnya pada penulis scenario dan seluruh tim Shining For One
Thing.
Terima
kasih telah menjaga kisah Zhang Wansen dan Lin Beixing dengan baik. Kisah yang
indah, tentang cinta yang terlambat disadari, tentang penyesalan yang tidak
akan pernah bisa ditebus, tentang pelajaran menerima apa yang sudah
ditakdirkan.
Seperti
Someday or One Day, Shining For One Thing juga memilih setia pada pesan yang
ingin disampaikan. Pesan ini telah menjadi nyawa dramanya, lalu dilanjutkan
dengan movie version-nya. It’s all about
regret. Saya percaya sejak awal, film Shining For One Thing dibuat bukan
untuk memuaskan keinginan penonton
dramanya. Tapi ia hadir untuk sekali
lagi mengingatkan, kisah Zhang Wansen adalah wujud penyesalan yang tidak bisa direka ulang. Kalau ada yang merasa
kecewa dengan versi filmnya, wajar ya. Namanya juga penonton, setiap kepala
pasti menyimpan ekspektasinya sendiri.
Bagi
saya, Shining For One Thing movie version sudah memenangkan hati saya saat saya
akhirnya bisa melihat gambar utuh cerita film ini. Saya paham untuk apa film
ini dibuat. Saya menemukan jawaban meskipun itu bukan jawaban yang saya
inginkan sejak lama. Film ini telah memberikan saya closure yang bisa saya
terima tanpa tapi.
Saya
juga menyukai kalimat penguat yang diberikan pemilik toko buku Ocean of
Spacetime kepada Wansen dan Xingxing.
“Many things written down may never be read by anyone. But those who
have read them, will keep them in mind forever.”
Kalimat ini bisa mewakili siapa saja atau apa saja. Ia bisa saja mewakili Wansen, saya, kamu, kita, atau perasaan-perasaan yang selama ini diabiarkan mekar sendiri.
Atau
bisa juga mewakili Shining for One Thing. Siapa yang tahu, mungkin saja sebelum
mewujud drama, original story Shining for One Thing hanyalah cerita yang
dibiarkan melayang di dalam kepala penulis skenarionya. Lalu, ketika akhirnya
diputuskan untuk divisualisasikan—cerita anak laki-laki yang biasa ditemukan
sebagai second lead di drama-drama romance berhasil membuat banyak hati ikut
terseret kesedihannya.
Saya ingin sekali bertanya ke penulis skenarionya, apakah Zhang Wansen adalah sosok nyata? Apakah ini berdasarkan pengalaman hidup Duan Yule, Xu Xiaoqing, Wang Yichao, atau Zhang Haoxue? Mereka teguh banget menyampaikan pesan tentang penyesalan lewat film dan dramanya. Di kehidupan nyata kita nggak punya dunia parallel, apa yang kita miliki adalah waktu di mana kita hidup saat ini. Mencitailah dengan berani, dengan sebesar-besarnya cinta, sebab waktu tidak punya jalan kembali. Waktu tidak bisa memulangkan apa yang sudah berlalu, termasuk memulangkan kita pada penyesalan.
Love without regret.
Tapi jangan bucin kayak Wansen ya...
Saya
nggak mau nyebut Wansen sebagai Stalker. Di kepala saya, stalker memiliki
konotasi negative, mengarah ke tindakan criminal yang membuat orang yang
di-stalker merasa tidak nyaman. Sementara apa yang dilakukan Wansen sangat jauh
dari itu. Menurut saya Wansen nggak nge stalking Xingxing. Apa yang ia lakukan
hanyalah berusaha untuk mengenal Xingxing. Kalo di drama dia pengen melindungi
Xingxing, sedangkan di film, Wansen cuman pengen ngenalin diri.
Pengen
ngasih jempol ke tim produksi SFOT, saya nggak merasakan perbedaan vibes antara
Wansen di drama dan film. Ini nggak terlepas dari acting Qu Chuxiao yang oke
banget. Detail karakter Wansen nggak ada yang ilang. Makanya di awal kemunculan
Wansen di film, bawaannya udah pengen nangis aja. Nangis haru. Kangen. Dua
tahunan nggak tau kabarnya, taunya lagi time travel.
Lin
Beixing dan Zhang Jianing juga sama. Style-nya masih Xingxing yang saya kenal.
Yang bikin nggak familiar adalah sikap dingin Xingxing kepada Wansen yang
sangat berbeda dengan Xingxing di drama. Di film, saya kehilangan lucu dan
gemesnya Xingxing. Termyata emang ada alasannya.
Aransemen
BGM di setiap scene sangat membantu proses build up emosi penonton. Soundtrack-nya turut menjadi representasi cerita SFOT versi film ini. Lirik lagunya bertema ruang angkasa, langit, bintang-bintang dan cinta sendiri. Setiap kali mendengar Hidden in Your Name, OST yang dinyanyikan Shan
Yichun, saya mendadak sedih. Apalagi bagian reff-nya… NYESSS banget rasanya.
“The bright stars twinkle; the universe is responding on my
behalf
I approach carefully, holding a heart and your name
The bright stars twinkle; the universe is responding on your
behalf
Your firm eyes hide deep feelings that will be proven
Lagu
ini memiliki efek yang berbeda dari The Entire World. Isyarat yang ingin
disampaikan berbeda. Citarasa kesedihannya berada pada level yang berbeda
meskipun jelas; dua lagu ini berhasil mewakili nyawa drama dan filmnya. Jika mendengar The Entire World, hati seperti disusupi kesedihan atas perasaan yang tidak tersampaikan, Hidden in Your Name terdengar seperti sebuah penerimaan, sambil membayangkan sorot matanya Wansen, perjalanannya menuju Xingxing.... 😭😭😭😭😭😭 Kalau mau nambah banjir lagi, coba dengerin bolak-balik lagu ini dan Love Confession-nya Qu Chu Xiao. DAHLAH. AMBYAR ITU HATI.
Saya
tidak bisa menahan diri saat lagu ini menutup Shining for One Thing, saat layar
hitam dipenuhi nama-nama yang berjasa dalam
pembuatan film ini—lalu menyadari ada animasi Si Apollo 11 yang berusaha
mencapai dan menggapai sebuah bintang di langit. Usaha yang berkali-kali gagal.
Apollo 11—Zhang Wansen, dan si bintang yang paling bersinar—Lin Beixing.
And at the end of this story,
they got their happy ending,
and here I Am, crying for their happiness.
🌕
🚀
One day, Zhang
Wansen ask :
“So we can say we’ve enjoyed
this summer?”
💚
Bye, Wansen-ah. You will be remembered forever. I Promise.
We love you. 😭
Yang mau baca review Shining For One Thing versi drama silakan mampir ke sini (Review Shining For One Thing Drama Version)
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊