Review Salon de Nabi
Iseng
nyoba nonton dan berakhir jatuh suka di episode pertama. Kira-kira seperti
inilah gambaran situasi yang saya alami ketika menonton Salon de Nabi. Drama
yang ditayangkan melalui platform Prime Video ini berjumlah 16 episode, disutradarai
Kim Da-ye dan Kim Bo-kyeong, sedangkan naskahnya ditulis writer-nya Age of
Youth, Park Yeon-sun. Di jejeran cast-nya ada nama besar Choi Daniel, Kim Hyang
Gi, dan Oh Yoon Ah.
Saya tidak menaruh ekspektasi pada Salon de Nabi. Saya bahkan nggak
nyoba nyari synopsis atau spoiler dramanya. Namanya aja modal iseng dan kepo
setelah bales-balesan twit dengan Nad. Twit paling atas yang dibahas dracin, eh
nyambung ke Salon de Nabi wkwk. Saya nggak akan tau ada drama berjudul Salon de
Nabi andai nggak disinggung Nad. Malah sempat saya sangka drama Thai atau
China, soalnya saya ngerasa pernah baca sekilas ntah di temlen Twitter atau di
IG. Samar-samar aja. Taunya drakor ㅋㅋㅋ
Dan ya,
usai menamatkan 16 episodenya, saya tiba-tiba saja merasa sedih kenapa drama
sebagus ini nggak banyak yang nge-hype? Apakah karena nggak ditayangin di
stasiun tv berbuntut pada promosi yang minim, ataukah karena jejeran cast-nya
yang… maaf—tanpa mengecilkan nama besar Choi Daniel dan Kim Hyang Gi—nggak menarik minat?
♥
Mengapa
Salon de Nabi bisa membuat saya jatuh suka dan sukses menamatkan 16 episodenya
tanpa merasa boring di tengah jalan?
Ini
drama slice of life yang nggak
terkesan menggurui, katanya Nad. Saya setuju.
Drama
tipe slice of life yang bagus menurut
definisi sederhana saya adalah drama yang terus menerus mampu mengejutkan saya
dengan materi ceritanya sejak episode perdana hingga episode terakhir—yang
setibanya di penghujung menit terakhirnya, saya dibuat menarik napas panjang
lalu menghembuskannya dengan penuh kelegaan dan rasa haru yang tidak
putus-putus. Drama yang cerita dan pesan moralnya banyak kita temukan di
sekitar kita.
Drama slice of life favorit saya dalah drama
yang di setiap episodenya mengajak saya melihat hidup saya sendiri. Dari sekian
drama Korea yang pernah saya nonton dan materi ceritanya mengusung slice of
life, masing-masing memiliki cara berceritanya sendiri untuk menyentuh dan
mempengaruhi hati penontonnya. Dan paling sering dan paling bisa bikin nangis
kejer ya drama yang kayak gini. Yang nonton berasa punya temen cerita dan ngerasa nggak sendirian. Dua drama slice of life
yang terakhir saya ikuti—My Liberation Notes dan Our Blues, sukses besar bikin
mata bengkak. Bikin nangis PARAHHHHH. ㅠ.ㅠ Berasa jadi tokoh yang diceritain kisahnya di drama,
ya nggak sih? Cerita fiksi yang nyata adanya. Dan menontonnya membuat kita
semakin meluaskan perspektif terhadap banyak hal. ㅠ.ㅠ
Beberapa
tahun belakangan ini, saya memang lebih mudah terhipnotis drama Korea yang mengangkat
cerita yang relate ke kehidupan—saya
menyebutnya sebagai salah satu jurus memulihkan hati memulihkan jiwa dari luka
masa lalu. And it works, at keast for me.
Drama-drama yang ngasih kita pelukan hangat yang selama ini kita rindukan. Kebanyakan
nyampur sama bumbu romance sih, tapi
nggak masalah, nggak ngerusak ruh slice
of life-nya. Ini ngebantu banget buat healing. Jenis drama seperti ini
memilih menyentuh potongan-potongan
kehidupan yang kerap diabaikan, bagian-bagian dari proses hidup yang dianggap
biasa, nggak berarti, dibiarkan lewat begitu aja, atau terlalu menyakitkan
untuk sekadar diingat, hal-hal sederhana namun rupanya penuh nilai bila kita
mau melihat atau membacanya dari
sudut pandang berbeda dari yang selama ini kita gunakan. Visualisasi drama
melalui tokoh-tokoh yang datang dari situasi yang berbeda dengan hidup kita
nyatanya mampu menyuguhkan apa yang paling kita butuhkan sebagai
manusia-manusia yang hatinya diberati trauma dan luka masa lalu. Bahwa kita tidak sendirian di dunia yang
bising ini.
Saya
dengan senang hati menambahkan Salon de Nabi ke dalam list drama slice of life
favorit saya. Drama ini memilih gaya bercerita yang kocak namun menyentuh. Topic-topik
yang dibahas nggak jauh dari hubungan manusia dengan dirinya, manusia dengan
manusia lain, dan bagaimana interaksi-interaksi tersebut mempengaruhi
tokoh-tokohnya. Dari drama ini saya kembali diingatkan bahwa untuk bisa
mengenali diri sendiri, kita nggak mungkin menutup diri dari orang lain. Maksud
saya, kehadiran orang lain dengan segala warna yang dibawanya akan membantu
kita mengurai warna kita sendiri, yang sepanjang proses ini sangat berpeluang
membuat kita jatuh bangun dan babak belur. Tidak ada proses healing yang tidak
menyakitkan. Penting memberikan validasi pada perasaan kita sendiri, namun yang
tidak kalah penting adalah kemampuan kita menentukan arah ke mana dan mau
diapakan perasaan yang sudah divalidasi kehadirannya itu. Kita tidak mungkin memaksa hidup kita dinapasi luka-luka
yang sudah membusuk, bukan? Harus ada cara untuk membebaskan diri. Cara untuk bernapas lega.
Sinopsis
Salon de
Nabi mengisahkan rutinitas para peñata rambut dan pemagang serta interaksi
mereka dengan pelanggan yang terjadi di sebuah salon rambut bernama 날아올라라 나비, kalo di subtitelnya ditulis
Salon de Nabi. Salon Nabi. Tapi versi English-nya jadi Fly High, Butterfly.
Di episode
1 diceritakan kesulitan yang dihadapi Gi-ppeum dalam upayanya bersosialisasi
dengan orang-orang di lingkungan kerjanya—tiga peñata rambut (Michel, Gwang-su,
dan Jen), serta tiga orang lainnya yang merupakan pemagang seperti dirinya; Woo
songsaeng, Moo-yeol, dan Soo-ri. Penampilan Gi-ppeum yang kikuk, pemalu dan
bersuara rendah ketika berbicara ditambah poni memanjang yang menutupi matanya
membuatnya terlihat aneh, menyeramkan dan antisosial di mata orang-orang.
Banyak pengunjung salon yang merasa tak nyaman dan terganggu dengan kehadiran
Gi-ppeum.
Saya pikir
episode berikutnya hanya akan berputar pada masa transisi dan transformasi
Gi-ppeum. Eh ternyata enggak. Bukan kayak gitu mau ceritanya. Ceritanya rame dan variatif. Setiap episodenya
ngasih cerita yang berbeda tapi konflik per episodenya memiliki benang merah
dengan proses perkembangan karakter 7 tokoh yang bekerja di Salon de Nabi. Menonton
Salon de Nabi sungguh sebuah perjalanan yang menyenangkan bagi saya. SANGAT
MENYENANGKAN. GA NYESEL NONTON, SERIUS.
Mengapa
Salon de Nabi bisa membuat saya jatuh cinta? Saya punya beberapa alasan bagus,
yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk kamu yang belum menonton dramanya.
Coba kita
lihat satu-satu ya.
Materi Cerita
Saya tuh suka heboh sendiri kalo nonton satu drama trus nemu sesuatu
yang menarik tentang dramanya, misalnya benang merah antara cerita drama dan
judul yang dipilih, suka ngerasa speechless
sendiri—lebay ya ㅋㅋㅋㅋ. Beneran takjub dan muji-muji
writer-nya. Gak abis pikir, keren ya, kok bisa gitu nemu ide kayak gitu. Ide-ide
fresh yang diramu apik. Alumni Age of Youth pasti masih inget dong dengan nama
kosan Song Jiwon cs? Yes, Belle Epoque—nama yang diambil dari sebuah era yang
mewakili kejayaan masyarakat Perancis jaman dulu yang pernah dicatat oleh
sejarah dan filosofi Belle Epoque atau Golden Age inilah yang menjadi gambar
besar perkembangan cerita Age Of Youth. Dan sekali lagi, Park Yeon-sun
menggunakan pattern tersebut pada Salon de Nabi.
Awalnya saya nggak ngeh. Tapi setelah nonton 4 episode saya mulai mikir.
Nabi… Butterfly… bagaimana cerita dibuka di episode perdana, progress cerita
dan perkembangan karakter-karakter Salon de Nabi. Dan taraaaa! Semacam ada
bohlam lampu menyala terang di atas kepala saya. Pas nyadar itu, saya cuma bisa
tertawa sambil bergumam. Wah… cakep nih
Park Yeon-sun jakkanim. KEREN. Bisa gitu kepikiran ngambil setting tempat salon rambut. Saya yang ga pernah masuk salon jadi tau banyak tentang salon rambut. Nggak ngasal. Ada etikanya juga.
Jadi tuh, tiap episode Salon de Nabi semacam punya porsi khusus untuk 7
orang yang bekerja di sana yang juntrungannya berkaitan dengan pengenalan
sekaligus character development.
Bagaimana keseharian mereka setelah lepas jam kerja, dan ini semua nggak bisa
terlepas dari singgungan cerita pelanggan yang datang ke salon mereka. Formula
storytelling yang unik, menarik, ga bikin bosen, asik banget banget. Konfliknya
nggak monoton.
Humor Yang Receh Tapi Ga Boring
Coba
bayangin, satu adegan serius banget, nuansanya gloomy banget, dark. Di detik yang ga terduga, bisa
tiba-tiba membuatmu ketawa kenceng banget sampe keluar air mata (SAYAAAAAAAAA
KORBANNYAAAA). Apakah saya yang selera humornya receh atau emang ini drama
lucunya nggak nanggung. Parody rambut mangkuk PSJ di Itaewon Class diiringi
ost-nya Gaho aja sanggup bikin saya kelepasan ngakak. Beberapa detik doang
padahal. Bisa-bisanya gitu kepikiran….
Adegan
lucu Salon de Nabi nggak maksa, natural di saat yang ga terduga. Sumpah, Choi
Daniel nggak ada harga dirinya di sini, nggak ketolong. Wibawa ambrooool. Masih
nggak bisa lupa adegan bunga mawar di episode 10. Bukan adegan yang dibuat
untuk ngelawak tapi astagfirullah saya cape ngakak sampe takut sendiri. Kan
nggak boleh ketawa berlebihan ya… ㅠ.ㅠ
Yang demen humor recehnya Wise Prison Life mungkin akan ngeklik juga dengan humornya Salon de Nabi, miriip. Saya acungin jempol untuk sutradara dan music directornya. Angle dan editing per scene plus bgm yang nyatu jadi perpaduan yang membuat hidup ceritanya. Music scoring-nya OKE. Mau lucu, sedih, haru, bikin kesal, pokoknya semua nuansanya dapetttt banget. Pas takarannya. Jauh dari lebaiii.
Setiap Orang adalah Tokoh Utama Dalam
Kehidupannya Sendiri
Everyone
has their own story.
Tidak
ada tokoh utama yang menjadi satu-satunya pusat cerita di Salon de Nabi. Setiap
dari mereka, terlepas seberapa banyak atau sedikit screentime kemunculan
mereka, sedikit banyaknya bisa memberikan gambaran seperti apa kehidupan yang
mereka jalani. Inilah yang membuat Salon de Nabi unik. Ia—drama ini bisa membuat berarti
hidup tokoh-tokohnya dengan cara yang tak terduga. Siapa sangka si bapak
pemilik usaha real estate yang setiap
kedatangannya ke Nabi bikin Gwangsu-ssaem mules sampe ngetem lama di toilet
gara-gara permintaan ubah model rambut si bapak suka aneh-aneh, ternyata
memiliki heartbreaking story? Atau sebuah pesan singkat pengunjung Nabi yang ga
sengaja dilihat Woo songsaengnim bisa bikin seisi salon gempar dan berakhir
membuat mereka memeluk diri sendiri. ㅠ.ㅠ
Seberapa
besar pengaruh kita terhadap kehidupan orang lain, atau sebaliknya, seberapa
kuat pengaruh kehadiran orang lain dalam hidup kita? Apakah metamorfosa hidup
kita sesungguhnya nggak bisa berjalan sempurna jika tanpa campur tangan atau
pengaruh orang lain? Lalu sampai sejauh mana kita boleh saling mengurusi hidup orang lain?
Seperti
apa sih definisi metamorfosa kehidupan yang sempurna itu? Saya percaya kita
memiliki jawaban yang bervariasi soal ini.
Yang
saya lihat di Salon de Nabi, kita ga akan bisa menghindari koneksi dengan orang
lain, bahkan dengan orang yang tidak kita sukai sekalipun. Kita sedang, pernah
atau akan menjadi apa, nggak bisa terlepas dari pengaruh orang lain. Diakui
atau tidak, keputusan-keputusan hidup yang kita ambil, besar kecilnya
dipengaruhi oleh eksistensi orang lain. Sebenarnya saya sudah lama mengamini
ini, namun coba diingatkan kembali sama Salon de Nabi. Saya nggak nyadar tuh
menggumam “eh iya ya…” atau “bener juga ya…” Gitu, selama nonton
dramanya.
Karena
kadang, kita menemukan cermin terbaik untuk melihat diri kita dari jarak paling
dekat dengan melihat orang lain, dengan mata dan hati yang dibuka
selebar-lebarnya. Hanya dengan membuka mata dan hati kita bisa melihat ke dalam
cermin. Dari sana keputusan-keputusan yang berhubungan dengan eksistensi kita
dibuat oleh kita sendiri, dan ya, tentu saja beserta seluruh konsekuensinya.
***
Penokohan
di Salon de Nabi bagus sekali. Realistis, nggak perfect banyak flaws-nya. Nggak
ada momen dramatis yang mengubah dalam sekejap tokoh-tokohnya. Perkembangan
karakternya berjalan natural—yang kalo saya perhatiin sejak ep 1 hingga 15,
perkembangan karakter tokoh-tokohnya seperti melihat metamorfosa kupu-kupu--step by step, melalui kontemplasi yang dalam,
dengan berinteraksi dengan orang lain,
mereka secara naluriah melihat kembali ke dalam diri mereka, tentang apa yang
perlu diubah atau tidak, tentang hal-hal yang bisa dikompromikan atau tidak. Di
sana kita menemukan upaya-upaya mengenal diri sendiri, ada persahabatan, kasih
sayang, ruang saling pengertian, pertentangan, kepedulian dan rupa-rupa
perasaan yang dilahirkan hati—semuanya terjadi di sebuah salon rambut yang baru
berdiri, Salon de Nabi.
Selama 9
bulan Salon de Nabi berdiri, banyak sekali kejadian yang terjadi, entah dengan
para pelanggan atau para pekerja di salon Nabi, yang di penghujung hari, kita
melihat perubahan yang terjadi pada diri mereka. Saya teringat salah satu
filosofi kupu-kupu, “Kalau tidak ada yang berubah, maka tak ada perubahan.”
Terharu melihat bagaimana Park Yeon-sun memperlakukan
tokoh-tokohnya bahkan ke supporting roles-nya juga—para pelanggan salon, karena
ruh cerita Salon de Nabi terletak
pada pelanggan ini, pada cerita-cerita kehidupan yang mereka bawa bersama
problem rambutnya masing-masing. Nggak banyak drama yang bisa membuat penonton
inget dengan tokoh-tokoh di luar para tokoh utama, kecuali karakter-karakter
minor ini memiliki ciri khasnya. Nah, Salon de Nabi bisa.
“Mungkin masa
lalu seperti benang kusut. Sekalipun tidak suka, kau tidak bisa memotongnya.
Sekalipun ketidaksempurnaan tetap ada, kau hanya perlu terus merajut.Awalnya,
kau hanya akan melihat ketidaksempurnaan. Tapi perlahan, itu akan menyatu
dengan pola lainnya. Dan suatu hari, kau berharap itu menjadi sesuatu yang
tidak terlihat, kecuali kau mencarinya.
Siapa sangka kita bisa menemukan filosofi kehidupan di
salon rambut, pada para peñata rambut dan asistennya, pada rambut-rambut
pelanggan….
♥
“Sebenarnya kita semua terhubung, satu-satunya
perbedaan adalah kau bisa melihat hubungannya atau tidak.”
Ada 7
tokoh yang mengisi Salon de Nabi, mereka yang bekerja di salon.
Oh Yoon
Ah sebagai Michelle
Sajang-nim
alias pemiliknya Salon de Nabi. Single
Mom untuk dua anak perempuannya. Michelle dua kali mengalami kegagalan
pernikahan. Karakter Michelle sebagai bu bos dan ibu tunggal membawa warna
tersendiri untuk cerita Salon de Nabi. Apa yang dilakukan Michelle atau
reaksinya terhadap hal-hal yang terjadi di rumah dan di salon tidak tampak
sebagai sesuatu yang berlebihan. Terhadap anak-anaknya, ia bereaksi selayaknya
seorang ibu dengan segala ketidaksempurnaan dan usahanya melakukan yang
dirasanya paling baik untuk anak-anaknya.
Michelle
adalah seorang chatter yang luwes, gesit tapi gampang panikan HAHAHA. Kalo udah
liat Michelle ngobrol sama customer wadoh, jago banget. Dia bisa masuk ke
segala topic walaupun suka dibikin waswas sama omongannya. Pernah kejadian,
lagi semangat-semangatnya ngehosipin iparnya si customer en ndilalaah si mbak
ipar ternyata ada salon itu juga. ㅋㅋㅋㅋ
Sebagai
pemilik salon, Michelle baik banget. Pas awal ketemu di episode 1 bikin suujon,
padahal aslinya mah baik. Baik banget.
Choi
Daniel sebagai Gwang-soo
Si
narsistik yang… menghadeh sekali kelakuannya. Jangan bayangin sosok Choi Daniel
yang selama ini banyak meranin karakter kharismatik, di sini nggak ada itu
kharismatik! Tiap dia muncul dengan segala keanehan,
kehaluan dan kelakuan narsisnya,
saya pengen teriak, “MAS, UDAH MAS. STOP. JANGAN MALU-MALUIN DIRI SENDIRI. SAYA
YANG IKUTAN MALU, MAS! PLIS, SETOOOOOP!”
Gwang-soo
adalah potret nyata dia yang berpikir bahwa dunia hanya berputar mengelilingi
dirinya—pake POV narsistik. Puncak komedinya Gwang-soo ada di episode 10. Demi
apa, ngakak banget. Saya ngakak sambil nangis. ENGAP. ㅠ.ㅠ
Namun
meskipun jiwa narisistiknya kerap bikin perut saya mules, terselip bijaknya
Gwang-soo. Ada momen-momen penting yang menunjukkan sisi manusiawinya
Gwang-soo.
Sim
Eun-woo sebagai Jen
Dijuluki
si mata panda, karena kebiasaannya memakai riasan tebal pada matanya. Ada ceita
menyesakkan di balik itu. Jen menampilkan diri sebagai sosok perempuan yang kuat, galak, ga suka basa-basi.
Menurut
saya, terlepas dari trauma yang dibawanya, Jen sudah tiba pada titik bahwa ia
menyayangi dirinya lebih dari kasih sayangnya pada orang lain. Dan selalu ada
ruang kompromi untuk hal-hal disayanginya tanpa perlu kehilangan sebagian
dirinya. I love the way she fights for
her love.
Kim
Hyang-gi sebagai Gi-ppeum
Saya
udah ngasih gambaran karakter yang diperankan Kim Hyang-gi di pembuka tulisan
ini. Si introvert parah. Tapi Gi-ppeum mau berubah. Seenggaknya dia tahu ada
yang perlu diubah dari dirinya. Gi-ppeupm berubah bukan sekadar agar bisa
diterima di lingkungan sosial. Dia berubah demi dirinya sendiri. Hingga akhir
Gi-ppeum masih-lah Gi-ppeum yang introvert tetapi ia telah versi terbaik
dirinya. Gi-ppeum versi upgrade sangat menggemaskan, lucu, dan manis. Dia udah
berani menyuarakan isi pikirannya sendiri. Anaknya soft banget sih. Pantes aja ada mas-mas cakep yang sekalinya jatuh
cinta nggak bisa lepas lagi dari Gi-ppeum. Ehm. HAHAHAHA.
Moon
Tae-yoo sebagai Woo ssaem
Karyawan
magang sama seperti Gi-ppeum. Si paling gede dan paling mengejutkan rahasianya
di Salon de Nabi. No spoiler.
Kim
Ga-hee sebagai Soo-ri
Karakter
ini mewakili orang-orang yang sering jadi objek buli body shaming, penghakiman, atau bulan-bulanan orang-orang hanya
karena fisiknya yang dipandang tidak
biasa seperti orang kebanyakan.
Di
episode 3 yang membahas tentang jiwa insecure, narrator-nya berkata, “Jika
kau melihat ke cermin dengan tenang, itu memberitahumu banyak hal. Hal-hal yang
pernah kaudengar. Kata-kata yang orang katakan di belakangmu. Kata-kata itu
terbentuk di suatu tempat di telingaku, mataku, dan tubuhku satu per satu, lalu
mereka kembali hidup melalui cermin. Jika kau berpikir seperti itu, semua cermin di dunia ini
seperti cermin yang dimantrai di Putri Salju, dan setiap individu seperti
cermin yang bisa bicara.”
Mengatasi
rasa tidak percaya diri adalah sesuatu yang tidak mudah. Itulah yang dihadapi
Soo-ri. Naik-turun emosi Soo-ri di beberapa episode ada yang membuat tidak
nyaman. Tapi itulah kenyataan yang terjadi di dunia nyata. Apa yang kita anggap
biasa, boleh jadi merupakan sesuatu yang terasa berat bagi orang lain. Setiap
orang memiliki insecurity nya masing-masing dan itu adalah area sensitive yang
tidak bisa sembarangan kita masuki atau komentari seenak jidat.
Park
Jung-woo sebagai Moo-yeol
Di-cap
playboy karena keseringan ketangkep basah lagi ngobrol asyik sama customer. Si
paling sering adu mulut sama Gi-ppeum wkwk. Apakah Moo-yeol beneran seorang
playboy cap kampung? Nonton sendiri dramanya. Jangan lupa siapin hati,
kalau-kalau tertawan pesona si soft boi Moo-yeol HAHAHAHA. He is a good boy. Seperti halnya tokoh lain, Moo-yeol menyimpan
cerita masa lalu yang masih memberati kakinya.
Paling
suka ada satu episode yang membahas 7 tokoh ini, dimulai ketika mereka lahir
hingga perjumpaan mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Koneksi. Saya masih orang yang percaya bahwa tidak ada yang terjadi secara
kebetulan di hidup kita, meskipun tampaknya seperti kebetulan. Semua yang
terjadi, atau dengan siapa kita bertemu hari ini pasti memiliki maksud terhadap hidup kita, besar
kecilnya pengaruh yang dibawanya. Kita hanya perlu mengubah sudut pandang. Cara
kita memandang atau menanggapi sesuatu benar-benar bisa mempengaruhi tindakan
kita selanjutnya.
“Kita adalah kita, dan orang lain adalah orang lain. Tapi
mungkin keberadaan kita saja membuat kita berarti bagi satu sama lain. Mungkin
kita membuktikan sesuatu hanya dengan tetap hidup. Mungkin keberadaan kita di
sini ember seseorang kekuatan untuk terus maju.”
♥
Porsi Romance-nya Bikin
Senyam-Senyum
Di Asianwiki,
poster yang dipasang adalah foto Kim Hyang-gi berdampingan dengan Choi Daniel.
Sinopsisnya juga seolah-olah ingin mengisyaratkan bahwa Salon de Nabi adalah
tentang dua orang ini, padahal bukan! Hubungan Gi-ppeum dan Gwang-su ssaem
hanya sebatas rekan kerja.
Saya
suka sekali part romantisnya Salon de Nabi. Di sini ada dua kapel. Satu kapel
kiyowo, satunya agak serius. Saya paling suka yang kiyowo—Gi-ppeum dan
Moo-yeol. Gemes banget. Awalnya kayak kucing dan tikus eh lama-lama jadi
sayang. Nggak ada toxic-toxic nya. Chemistry Gi-ppeum dan Moo-yeol cuakepp.
Aktingnya sama-sama oke, kayak masih kagetan Kim Hyang-gi udah gede wkwk (dalam
artian positif), btw dia seumuran si adek bungsu. Enak banget aktingnya
Hyang-gi. Detail ekspresi sayangnya ke Moo-yeol dapet, begitu juga sebaliknya
Moo-yeol ke Gi-ppeum.
Saya
paling suka bagian Gi-ppeum yang galau gara-gara foto Moo-yeol ama mantan ayang
di IG temennya Moo-yeol. Saya semula menyangka Gi-ppeum hanya cemburu, ternyata
ga hanya itu aja. Gi-ppeum mendadak insecure dengan hubungannya dengan
Moo-yeol. Di foto tersebut, Moo-yeol terlihat bahagia. Gi-ppeum mikir, ia juga
berpeluang berakhir seperti si mantan. Masuk akal. Saya sepemikiran dengan
Gi-ppeum. Perasaan suka (cinta, sayang) bisa seumuran jagung usianya.
Orang pacaran buat apa sih? Menyeleksi pasangan hidup? Siapa yang bisa menjamin perasaan ke satu orang akan bertahan lama? Sampai kapan seleksi itu berlangsung? Apa patokannya kita sudah menemukan yang tepat? Apakah itu tidak sama dengan membuang-buang waktu? Boros perasaan. Ngebayanginnya aja udah bikin capek. Enggak tau kenapa ya, sama perasaan sendiri saya suka insecure. Kalo lagi suka sama orang, suka dikuliti sendiri perasaan sayang itu sampe saya akhirnya nggak yakin dengan rasa sayang itu HAHAHAHA.
Narator
Selain
scene wawancara seperti yang dilakukan di Age of Youth, kehadiran narrator yang
menjadi si tukang cerita di Salon de Nabi membuat proses storytelling-nya
semakin menarik dan hidup. Mood-nya dapet banget. Pas sedih, pas lawak. Tiap
episode kan beda tuh topiknya, kebulatan ceritanya sangat terbantu dengan suara
ibu narrator. Berasa didongengin. Suaranya enak. Kocaknya lagi, naratornya
nongol di ending episode ㅋㅋㅋ
Ending
Seumur-umur
nonton drakor baru kali ini ada drama yang endingnya ditutup dengan episode
random. Di preview-nya udah dibuat setegang mungkin, eh taunya penonton kena
prank. Cape ngakak sama kelakuan penghuni Salon de Nabi. Pantes bisa akur,
sefrekuensi sih wkwk.
“Itu bukan sesuatu yang istimewa, kan? Bahkan tujuh
keajaiban dunia dan sepuluh kasus tidak terpecahkan mungkin tidak begitu
istimewa setelah kau menyelidikinya. Orang-orang juga sama. Bahkan orang-orang
yang tampak mustahil dimengerti sepertinya punya alasan untuk bersikap seperti
itu. Apa ada orang aneh di sampingmu? Apa ada sesuatu yang tidak bisa kau
pahami? Mungkin karena ada banyak halaman yang belum dibaca. Orang-orang di
Nabi seperti ini Sembilan bulan lalu. Mereka saling menganggap orang lain
adalah oranag asing yang aneh.
Dalem
banget maksud kalimatnya. Masih
banyak halaman yang belum dibaca. Jangan terlalu cepat menyimpulkan, entah itu
berkaitan dengan karakter orang atau hal lain.
Meski
isinya random, episode 16 menjadi episode penutup yang mengamini soal cerita
tentang apa yang disampaikan Salon de Nabi kepada penontonnya. Kisah-kisah
metamorfosa orang-orang di dalamnya. Hearwarming story! RECOMMENDED! Ketika tawa dan renung saling berkawan.
Filosofi
Rambut dan Masa Lalu.
“Begitu rambutmu rusak, itu tidak akan pernah bisa
kembali, seperti sebelumnya. Dalam hidup kita juga selalu ada jejak. Hidup
mungkin kompisisi dari berbagai jejak yang kita alami. Keputusan yang kaubuat
hari ini akan menjadi jejak besok. Jejak itu akan menumpuk dan menjadi
sejarahmu. Beberapa jejak akan menjadi pola dan beberapa jejak akan tetap
menjadi noda.
Sepertinya tidak ada obat ajaib untuk rambut atau
hidupmu. Kau bisa memotong rambutmu,
tapi kau tidak bisa memotong masa lalumu. Kau hanya bisa memastikan itu
tidak terinfeksi dan hidup dengan bekas lukanya.
Kita hanya bisa percaya, meski tidak bisa
menyembuhkannya, kita masih bisa merawatnya, sama seperti rambutmu.” –Salon de
Nabi episode 9
Tabik,
Azz
KAAAAAKKKK AZZ!!!!!!! 😭😭😭😭😭😭😭
ReplyDeleteBACA INI LANGSUNG KANGEN BERAT SAMA ANAK-ANAK NABI 😭😭😭😭😭😭
Sumpah, ya. Tiap beresin satu episode drama ini, aku selalu berandai-andai gimana jadinya kalau drama ini tayang di Korea dan platform internasional yg terkenal. Pasti bakal booming banget banget banget. Drama ini kayak napas segar di tengah gempuran drama sekarang yg temanya berat-berat. Orang-orang pasti bakal suka mengingat komedi drama ini persis kayak komedi Reply Series atau WPL dan Age of Youth sendiri. Terus kaan, slice of life yg diambil drama ini juga pasti bikin orang jatuh cinta. Sedih banget ngebayangin perasaan para pemain yg udh berusaha buat drama sebagus ini malah nggak dapet haknya mereka untuk dapet pujian. Buat penulis juga. Sutradara juga. Kayak... Ya ampun. Harta Karun sebagus ini gitu LHOOO? Aku masih sedih banget mikirin hal ini sampe sekarang. 😭😭😭😭
Tapi ya mau gimana lagi. :"") Aku merasa cukup bangga dan bahagia karena aku nggak melewatkan drama ini. Merasa beruntung banget jadi salah satu penonton yg bisa nemuin dan kenalan sama semua karakter Salon De Nabi yang loveable banget. 😭
Inget banget tiap beres satu episode dramanya, aku bakalan narik napas panjang sambil senyum dan mataku berkabut. Bukan karena sedih, tapi bahagia. Drama ini punya efek magis banget buatku. Kayak suntikan endorfin. 😭😭😭
Asli. Aku kalau disuruh nonton ulang dramanya sepuluh kali lagi, bakal aku jabanin. Salon De Nabi adalah drama tempat aku pulang. Kalau lagi capek sama hidup, bakal keinget drama ini dan aku akan tonton ulang supaya aku ngerasa lebih baik. Drama ini 인생 드라마 aku banget. 😭😭😭😭💙💙💙💙
Makasih Kak Azz udah bikin review yg super mendetail ini. Aku jadi makin sayang sama Salon De Nabi. 😭💙💙💙💙💙💙 Sama kakak jugaaaaa. 💙💙💙💙💙💙💙