[Review] The Red Sleeve
Saya patah hati. Jenis patah hati yang tidak bisa disembuhkan dalam
waktu dekat.
Semula, tidak ada yang menyangka The Red
Sleeve akan berhasil menarik perhatian penonton domestik dan internasional. Terlebih bila melihat drama pesaing di slot waktu
(akhir pekan) yang bersamaan dari stasiun tivi lainnya yang diisi
nama-nama besar.
Saya juga tidak menaruh ekspektasi besar terhadap drama sageuk MBC ini.
Mulai menonton gara-gara melihat reaksi teman-teman yang sudah menonton duluan episode
pilotnya, banyak yang bilang bagus.
Dan drama yang tidak terlalu diperhitungkan ini nyatanya menjadi kuda
hitam di akhir tahun 2021. Memulai episode perdananya di kisaran rating 5%, The
Red Sleeve berakhir dengan tone yang sangat memuaskan, raihan rating dua
episode terakhirnya menembus 17%, pencapaian tertinggi drama MBC selama
beberapa tahun terakhir. Melihat prestasi The Red Sleeve, muncul pertanyaan
menggelitik di benak sayaㅡapakah MBC
tidak menyesal hanya memberikan 16
episode + 1 untuk drama yang mendapuk Lee Se-young dan Lee Jun-ho sebagai
pemeran utamanya? Episode 15, 16, 17 mendapatkan waktu tambahan, yang kalau
dihitung-hitung lagi, dengan menggunakan waktu normal The Red Sleeve berakhir
di episode 18-19 (?). nanggung sekali. Dan memang, 16 episode untuk sageuk agak
kurang, minimal 20 episode-lah. Tapi, ya sudahlah… The Red Sleeve sudah
menyelesaikan masa penayangannya. Meninggalkan saya yang masih saja terus
menangis dilatarbelakangi OST I’ll Leave You yang dinyanyikan penyanyi senior
Korea Selatan, Lee Sun Hee. Akhirnya saya paham mengapa Lee Sun Hee disimpan di
urutan paling akhir pengisi OST The Red Sleeve. I’ll Leave You menjadi OST
pamungkas, OST penutup yang menjadi klimaks kesedihan kisah Deok-im dan Yisan,
yang akan terus terngiang di telinga penonton. I’ll Leave You membawa kesedihan
yang begitu dalam dan setia yang membuat saya tanpa sadar menarik napas panjangㅡpanjang sekali dan menahannya beberapa detik saat mendengarkannya. Saya
berakhir menangis sedih. Saya tidak bohong. Oh iya, saya menulis draft ini
dengan mata bengkak.
Geudae… geudaega… geuriwoyo…
Sampai di episode 15 pekan lalu, saya masih fokus mengamati perkembangan
kisah cinta Yisan dan Deok-im. Berempati pada Yisan yang sudah berkali-kali
ditolak Deok-im, namun tetap setia dengan perasaannya. Padahal di posisinya
sebagai penguasa Joseon, ia memiliki kuasa untuk memaksa Deok-im yang hanya seorang dayang istana menjadi
selirnya, namun itu tidak dilakukannya. Yisan menghormati Deok-im. Dalam
catatan sejarah juga tertulis demikian. Yisan bahkan rela menunggu selama 15
tahun. 15 tahun bukan waktu yang ringkas untuk menahan perasaan cinta. Tapi
Yisan bisa.
Saya tidak menangis menonton episode 13-15. Kesedihan yang saya rasakan
membentuk nyesek dan rame-rame
ngumpul di dada—ya bayangin aja gimana rasanya sedih ga ketulungan tapi ga bisa
nangis. Air matanya nggak mau keluar tapi bengep di rongga dada. Rupanya
tabungan nyesek saya memang disimpan untuk meledak sempurna di episode penutup.
Episode 16-17. Saya menonton dua episode terakhir The Red Sleeve dengan hati
yang berat sekali. Sungguh episode penutup yang keterlaluan sedihnya. Belum
juga memasuki pertengahan episode 16, air mata saya sudah menyerah pada
gravitasi. Tumpah ruah. Saya tidak kuat. KENAPA BISA SE SEDIH INI SIIIIH
KENAPAAAAA? ARRRGGHHHHH.
Saya mulai menangis di adegan Deok-im yang dititahkan agar memenuhi undangan Jeongjo ke kediaman pribadinya.
Titah Raja tidak bisa ditolak.
Pertahanan Deok-im terhempas. Sumpah ya, saya nangis sediiiih banget liat raut
wajahnya Deok-im. Matanya kehilangan cahaya.
Dia terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan seluruh apa yang ada
padanya,. Seseorang yang dipaksa menyerah dan dia tidak punya pilihan lain.
Deok-im tidak berdaya. Mana adegan itu diiringi suara menyayat Lee Sun Hee.
Manalah bisa saya pura-pura strong. KEREN GILAK AKTINGNYA LEE SE YOUNG. Saya tersihir. ㅜ.ㅜ
Saya pikir, sebelum menonton episode 16-17, yang akan membuat saya
ambyar, patah sepatah-patahnya hati adalah bagaimana kisah Yisan-Deok Im
diakhiri. Bagaimanapun sedihnya, saya sudah berusaha semampunya menyiapkan
diri. Toh sejarah aslinya memang Yisan ditinggal mati Deok-im kan?—ini kisah
yang sudah berulang kali saya khatamkan merujuk pada banyak sumber. Di Twitter,
di website sejarah dll. Saya rasa-rasanya sudah membaca semuanya, sudah biasa
terpotek berulang kali sebelum dibikin K.O di episode terakhir.
…. Ternyata derita kekalahan, kehilangan, dan kesedihan yang meng-ada
dan bernapas di mata Deok-im lah yang membuat saya menangis hingga terisak lama
sekali. Episode 16-17 menyadarkan saya kembali mengapa drama ini diberi judul
The Red Sleeve. Drama ini, meskipun mengambil latar sejarah Raja Jeongjo, namun
pov yang digunakan sejak awal adalah pov Sung Deok-im sebagai dayang istana.
Sedangkan kisah cintanya dengan Raja Jeongjo adalah salah satu bagian dari
tuturan hidup dan pikiran-pikirannya yang di-capture dan dikisahkan dengan
sangat baik oleh The Red Sleeve. Ini adalah drama fiksi berbasis sejarah, apa
yang ditampilkan didasarkan pada apa yang sudah terjadi dan tercatat sejarah
dengan sedikit penambahan namun tidak
melenceng jauh dari kisah aslinya. Walaupun Deok-im tidak meninggalkan satu pun
tulisan atau bukti mengenai
kehidupannya (dari yang saya baca ya, tolong dikoreksi jika saya keliru), The
Red Sleeve berupaya menuturkan apa saja yang mungkin terjadi dan berkelindan di
benak Deok-im pada masa-masa 15 tahun penolakannya terhadap cinta Jeongjo.
Jika menilik sejarah, keberadaan Sung Deok-im sebagai selir Jeongjo, kehidupan
berikut kisah cinta dan kematiannya, hampir semuanya diceritakan atau bersumber
dari King Jeongjo. Maka tidak mengherankan bila yang banyak dibicarakan ratusan
tahun kemudian adalah betapa besar kasih sayang dan cinta yang telah diberikan
Jeongjo kepada Deok-im. Jeongjo hidup di era di mana perempuan berada jauh di
bawah laki-laki dalam segala hal, ditambah posisinya sebagai raja Joseon—semakin
seuperior lah Jeongjo. Namun terlepas dari keuntungan dan kelebihan yang
dimilikinya, Jeongjo bisa memperlakukan Deok-im setulusnya perlakuan bahkan
setelah Deok-im meninggal. Setidaknya itulah yang tersirat dari tulisan-tulisan
yang ditinggalkannya untuk mengenang Selir Uibin.
Lalu, bagaimanakah perasaan Sung Deok-im kepada Jeongjo? Sayang sekali,
jawaban untuk pertanyaan itu tidak ditemukan di lembar sejarah. Melalui The Red
Sleeve jawaban itu coba dihadirkan se-wise mungkin. The Red Sleeve adalah
tentang Sung Deok-im, dayang istana yang berakhir di posisi selir dengan gelar
Ui-bin.
Seperti Deok-im, saya mencoba membayangkan akan seperti apa jadinya bila
saja Yisan bukanlah raja Joseon, bila saja ia hanya seorang pria Joseon biasa,
dengan segenap cinta yang ia miliki untuk Deok-im, betapa bahagianya kehidupan
mereka…. dan Deok-im bisa memeluk hangat kehidupan biasa yang diimpikannya tanpa perlu kehilangan dirinya sendiri.
Sedih sekali. Karena based on kisah
nyata, himpitan nyeseknya The Red Sleeve nggak bisa dikalkulasikan. Drama ini
dengan segala yang ada padanya berhasil menyakiti
banyak hati penontonnya. Datang dengan komikal, lalu pergi meninggalkan tangis
yang tidak tahu mesti diapakan supaya membikin lega. Kesedihan yang akan terus
diingat untuk waktu yang lama.
Mengapa The Red Sleeve terasa spesial di hati saya? Saya mencoba
merangkumnya berikut ini, melalui hal-hal yang menjadi alasan saya tidak bisa
melepaskan diri darinya.
ㅡDeok-im’s pov
Melalui The Red Sleeve saya belajar banyak tentang kehidupan istana pada
masa Joseon. Aturan-aturan kerajaan yang mengikat seluruh manusia yang hidup di
dalamnya. Saya pernah bilang di postingan sebelumnya kalo saya ini bukan fans
drama sageuk. List tontonan sageuk saya nggak banyak. Seingat saya, selagi
menonton, saya tidak begitu memperhatikan detail yang berhubungan dengan
tradisi dan budaya yang dibawa oleh drama sageuk yang saya nonton itu.
Kebanyakan drama sageuk tersebut memfokuskan pada raja dan konflik politik yang
menjadi latar utama penceritaannya. Emosinya sudah tersita habis untuk itu. Berbeda
dengan The Red Sleeve, ada begitu banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan
dari drama ini, tentu saja dengan bantuan informasi tambahan dari penonton lain
yang memang tahu dan mengerti aspek-aspek tradisional Joseon baik yang
berbentuk symbol pada makanan, aksesoris, dll juga aturan-aturan.
The Red Sleeve bermula dari sudut pandang Sung Deok-im sebagai dayang
istana. Adegan Dayang Jo dan Deok-im kecil menatap iring-iringan yang mengantar
jenazah mendiang neneknya Yisan, Royal Consort Yeong. Mungkin dari situlah
Deok-im mulai menumbuhkan jarak dengan kehidupan istana. Meneguhkan niatnya
bahwa ia hanya sekadar pelayan raja. Ia tidak menginginkan lebih dari itu.
Kalau saya tidak salah mengingat, ini pertama kalinya saya menonton
sageuk berlatar istana jaman Joseon yang tampak tidak mau terlalu repot membahas konflik politik kerajaan yang
sudah pasti akan membuat naik darah. Saya tidak menganggap pemberontakan Dayang
Jo sebagai sesuatu yang berat. Pernah ada yang lebih kejam
dan tragis dari itu.
Menjadi dayang istana artinya bersedia kehilangan kebebasan dan hanya mendedikasikan hidup sebagai Wanitanya Raja. Sekira 700-an dayang
hidup di bawah payung istana, mereka tidak diperbolehkan jatuh cinta dan
menikah dengan pria lain. Jika nekat melanggar, hukumannya berat. Hukuman mati.
Deok-im sebagai salah satu dayang istana memimpikan kehidupan yang
bebas. Statusnya sebagai wanitanya Raja
tidak lantas membuatnya mau begitu dilamar Jeongjo. Ia tahu resikonya bila
bersedia menyambut tangan Jeongjo. Cinta Jeongjo tidak cukup kuat menopang
kebebasannya. Sebaliknya, cinta yang luar biasa besarnya itu mengurung Deok-im
dalam perangkap kasatmata. Seperti memiliki tetapi tidak. Seperti berbahagia
tetapi semu.
Episode 16-17 didedikasikan untuk Deok-im dan kehilangan-kehilangannya atas haknya sebagai manusia merdeka, juga sebagai
perempuan. Di sini saya dibikin mengerti mengapa Deok-im mati-matian
menampik Jeongjo. 15 tahun masa penolakannya.
Begitu Deok-im mendapatkan kepastian mengenai kehamilannya, ia berharap
Jeongjo segera menemuinya. Di satu sisi, Jeongjo memang suaminya, namun
statusnya sebagai raja, Jeongjo bukanlah
milik Deok-im secara legal. Dan Jeongjo selalu menempatkan prioritasnya
sebagai raja pada urutan paling utama. Jeongjo tidak bisa segera menemui
Deok-im betapapun inginnya ia melihat Deok-im. Jeongjo belok ke kediaman Ratu
untuk menghiburnya. Kehamilan Deok-im sudah barang tentu membawa kesedihan
untuk Ratu.
Kematian Putra Mahkota Munhyo ibarat kematian
kecil bagi Deok-im. Statusnya sebagai selir tidak memberikannya hak melihat
anaknya di kala sakit dan untuk terakhir kalinya di hari kematiannya. Terlalu
kejam. Ironisnya, Jeongjo memaksa Deok-im harus bersikap tegar dan kuat. Deok-im
tergeletak tak berdaya bak orang yang tidak lagi memiliki semangat hidup,
membuat siapa saja yang melihatnya ikut bersedih. Nyeri hati mendengar
ucapannya kepada Jeongjo.
“Do I have to endure everything just because
I got something I have never wanted?” –Sung Deok-im
Deok-im tidak pernah menginginkan posisi selir. Yang ia inginkan adalah
kehidupan normal tanpa aturan-aturan kerajaan yang memisahkan manusia dari haknya.
Iconic scene yang powerful sekaligus menyempurnakan pov Deok-im sebagai
wanita yang pernah menjadi dayang lalu menjadi selir diperlihatkan jelang akhir
episode 16. Selir Uibin mengucapkan selamat tinggal kepada Sung Deok-im,
dirinya yang dulu begitu bebas, berani, dan boleh tertawa lepas. Nangis banget
bagian ini. Mencelos hati. Deok-im ah…. Sung Deok-im… Sedih sekali. ㅠㅠ
“Every time I am alone, I keep
calculating. What have I earned here? What have I lost?”
Monolog Deok-im sembari berbaring sendirian di kamarnya semakin
mematahkan hati.
Seperti kata Ratu Jeongsoon kepada Lady Hyegyeong di episode 17,
“The palace is such a dazzling prison.”
Episode 16-17 berkesan sekali bagi saya. Saya yakin, kelak setiap kali
saya teringat drama ini maka yang muncul pertama kali di ingatan saya adalah
wajah Deok-im diiringi lagu I’ll Leave You. Deok-im yang mengucapkan salam
perpisahan kepada dirinya sendiri. Nyesek, nyesek dah. ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
ㅡDrama vs realitas sejarah
Kalo saya bilang bu penulis scenario dan bu sutradara, mengemas The Red
Sleeve dengan jenius, lebay nggak? Whatever. Saya mau ngasih apreasiasi
tertinggi kepada mereka berdua. Saya menonton The Red Sleeve sambil membaca
sejarah kehidupan Jengjo termasuk keberadaan Deok-im di dalamnya. Bagaimana
penulis scenario dan sutradara menghidupkan
ruh cerita sejarah ke dalam drama, membawa spirit kisah Jeongjo dan Uibin masuk
ke dalam visual drama bener-bener bikin saya apa ya… rasanya luar biasa.
Perasaan sedih dan amaze sewaktu membaca kisah Jeongjo dan Uibin, seperti
bertemu pawang-nya di drama. Ada
perasaan yang digenapi. Di drama tidak serta merta diceritakan persis seperti
sejarah aslinya, dan memang cerita kehidupan Selir Uibin tidak banyak ditemukan.
Bahkan tentang mengapa kemudian ia menerima lamaran Jeongjo setelah 15 tahun
menolak, tidak diketahui jelas alasannya. Ada sumber yang mengatakan bawah Lady
Hyegyeong, ibunya Jeongjo-lah yang berperan besar atas luluhnya hati Deok-im. Di
drama, bagian ini diceritakan. Secara tidak langsung, Lady Hyegyeong
menjembatani hubungan Jeongjo dan Deok-im.
The Red Sleeve berhasil memvisualisasikan sejarah tanpa merusak, namun turut
membantu menghidupkan semangat yang
sudah terkubur dalam-dalam pada bilangan tahun yang jauh itu; cinta Jeongjo
kepada satu-satunya wanita yang dipilih oleh hatinya.
“It’s too small. I did not know you were
this small. And I loved you who was this small.” –King Jeongjo
Di episode 17, Jeongjo menangisi seragam dayang milik Deok-im. Heartbreaking
moment untuk Jeongjo. Mungkinkah pada saat itu Jengjo (akhirnya) menyadari cintanya
terlalu besar untuk Deok-im? Terlalu besar untuk diterima Deok-im. Ah.
Lagi-lagi sebuah metafora. The Red Sleeve jago sekali menggunakan metafora.
Salah satu poster promosi The Red Sleeve sebenarnya sudah memberikan hint plot utamanya. Simbolik. Di drama,
porsi pengaruh Deok-im begitu besar terhadap kehidupan Yisan/Jeongjo. Besar
sekali hingga kehilangannya membuat Jeongjo linglung dan seperti kehilangan
separuh hidupnya. Poster ini, setelah dilihat-lihat lagi usai menyelesaikan 17
episode The Red Sleeve rupanya membawa firasatnya sendiri tentang apa yang
(akan) terjadi pada dramanya. Deok-im di belakang Jeongjo, tatapan tegas dan
ambisius Jeongjo, serta ekspresi sedih Deok-im. ㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Bagi yang sudah membaca sejarahnya sebelum The Red Sleeve diubah bentuk menjadi drama, mungkin akan bertanya-tanya,
kira-kira seperti apakah rupa kepribadian
wanita yang dicintai Jeongjo? Lalu hadirlah The Red Sleeve mencoba menjawab.
Berkat The Red Sleeve, kisah cinta Raja Jeongjo dan Sung Deok-im yang
bittersweet akan selalu diingat. Tidak hanya itu, kita pun bisa paham mengapa
Jeongjo se-cinta mati itu kepada Deok-im, selir Uibin. Titel selir Ui yang
melekati nama Deok-im juga dipilih sendiri oleh Jeongjo. Ui yang artinya beauty, harmony, precious, appropriate, mild
and gentle (1). Bahasa cintanya Jeongjo ini ya… luar biasa sekali, sayang
sekali cinta mereka terhalang kasta, tahta dan jaman. ㅠ.ㅠ
Tapi kasihan juga sama Uibin, ntah gara-gara kepending 15 tahun apa
gimana, setelah resmi jadi selir, Jeongjo rajin banget mengunjungi Uibin.
Selama kurun waktu berapa tahun itu, sejak menjadi selir, Uibin mengandung
dalam jarak waktu yang dekat. Semacam siklus hamil-melahirkan-hamil-melahirkan,
dan Uibin wafat dalam keadaan hamil besar. Another
heartbreaking fact. ㅠ.ㅠ
Sepeninggal Uibin, Jeongjo masih sering mengunjungi makamnya, hingga
akhir hayatnya tetap menempati bangunan yang rencananya akan dijadikan kediaman
mendiang Pangeran Munhyo sebagai tempatnya bekerja. Sebesar itu cintanya. Hidup
bersama kenangan orang yang meninggalkan. Karena cintanya yang besar pula,
Jeongjo meninggalkan kenangan berupa tulisan-tulisan yang memuat perasaannya agar
generasi berikutnya dan seterusnya lagi tidak akan melupakan satu nama,
satu-satunya wanita yang ia cintai sepenuh hati; selir Uibin. Sung Deok-im
namanya. Kalo ga diabadikan Jeongjo dalam tulisan, mungkin dunia tidak akan
mengenal Deok-im. Yang dikenal hanya
Uibin, selir yang pernah melahirkan putra mahkota dan tidak berumur panjang,
sebatas itu. Jeongjo memahami betul pentingnya mengabadikan sejarah dalam
tulisan. Bukan hal yang biasa pada saat itu bagi seorang raja menunjukkan
afeksinya kepada perempuan tertentu. Tampaknya Jeongjo tidak peduli. Membaca riwayat
hubungan Jeongjo-Uibin nih makin bikin nangis. Saya nyimpulinnya, Jeongjo
menganggap Uibin sebagai rumahnya, tempat
ia selalu kembali. Rumah yang selalu menerimanya tanpa pretensi apa-apa.
Jeongjo dan Selir Uibin disiratkan sebagai pasangan yang harmonis. Kecerdasan
yang dimiliki Selir Uibin bisa mengimbangi Jeongjo. Makin dibaca sejarahnya,
makin paham kenapa Jeongjo sebucin itu. ㅠ.ㅠ
Jadi, sebenarnya nih ada dua cerita utama yang coba diangkat The Red Sleeve yang saling beririsan satu sama lain. Cinta Yisan/Jengjo kepada Deok-im dan kehilangan yang dirasakan Deok-im atas hidup yang diinginkannya. Fokusnya di dua hal ini. Disayangkan sekali kisah kehilangan-nya Deok-im dirangkum hanya dua episode saja. Yang nonton berasa dihantam kesedihan beruntun nggak putus-putus. Tapi kalo dibanyakin juga yhaaaa apa kabar mata dan hati penonton? Bisa bengep tiap minggu. Nangisin Deok-im.
ㅡcharacter and acting wise
Phenomenal.
Ketika detail karakter bertemu akting yang punya detail bagus hasilnya
sudah bisa ditebak. Edan. Gila. Awesome.
Sebut apa saja. Itulah yang terjadi pada The Red Sleeve. Setiap aktor/aktris
tahu apa maunya karakter yang diperankan, ini tidak terlepas dari arahan bu
sutradara juga sih. Mayor dan minor cast semuanya oke banget.
Respek sama semua pemeran di The Red Sleeve. Semuanya tanpa terkecuali.
Pengen bahas satu-satu tapi takut kepanjangan huhuhu. Ini aja udah masuk halaman kedelapan Ms Word.
Tanpa mengecilkan cast lain, selain Junho dan Se Young, ada dua cast
yang meninggalkan kesan kuat sekali bagi saya. Pertama Lee Deokhwa sebagai King
Yeongjo. Semenyebalkan gimana pun karakternya saya dibuat nyaman menonton setiap scene beliau. Power aktingnya bagus sekali.
Diksi dan intonasi pengucapan dialog-dialognya enak betul kedengarannya. Udah
gak mengherankan sih, senior banget beliau ini.
Kedua, Kang Mal-geum sebagai Hyebin Hong atau Lady Hyegyeong, ibunya
Yisan/Jeongjo. Alasan mengapa saya terkesan dengan beliau kurang lebih sama
dengan alasan saya menyukai acting Lee DeokHwa. Pertama kali menonton acting
Kang Mal-geum di Missing The Other Side. Kesan pertama saya terhadap beliau
tertinggal kuat di ingatan, makanya saya senang sekali mengetahui beliau muncul
di The Red Sleeve.
Kalo karakter yang selalu menyelamatkan
ketegangan di hati penonton udah pasti Kang Tae-oh si pengawal utama
Jeongjo yang diperankan Oh Dae-hwan. Suka ada aja kelakuannya yang bikin saya
ngakak. Comic relief-nya The Red
Sleeve duet sama Kasim-nya Jeongjo ㅋㅋㅋ.
Dayang Seo (Jang Hye-jin) juga, beliau nih udah kayak ibunya Deok-im.
Dayang Seo yang menjadi saksi bagaimana Deok-im mati-matian mempertahankan
(harga) dirinya di saat ia telah sebenar-benarnya jatuh cinta pada Jeongjo.
Dayang Seo juga yang paling tahu, seperti apa hancurnya hati Jeongjo
sepeninggal Deok-im.
Lalu kuartet empat dayang kesayangan yang bersahabat sejak kecilㅡDeo Im, Bok Yeon, Young Hee an Kyeong Hee. Erat sekali persahabatan
mereka. Deok Im di akhir hidupnya mengatakan kepada Jeongjo bahwa ia sedih
meninggalkan teman-temannya di belakang, bahwa teman-temannya hanya memiliki
dirinya, part ini menunjukkan bond yang
terjalin kuat di antara mereka. Deok Im ingin setia hingga akhir.
Izinkan saya menyediakan satu ruang untuk mengapresiasi akting dan
karakter Lee Se-young dan Lee Jun-ho sebagai tokoh utama The Red Sleeve.
ㅡLee Se-young sebagai Sung Deok-im
Saya tidak tahu kapan tepatnya saya telah dibuat jatuh cinta
sedalam-dalamnya dengan acting Lee Se-young di The Red Sleeve. Saya ingetnya,
setiap kali Deok-im muncul di layar, saya mengalami apa yang namanya kena lovestruck hanya dengan melihat matanya.
Lee Se-young memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengirimkan emosi Sung
Deok-im melalui ekspresi matanya. Marah, kecewa, sedih, panik, senang, bahagia,
kesalㅡsemuanya, semua detail emosi yang dimiliki Deok-im,
Lee Se-young selalu bisa menampakkannya dengan sempurna. Tidak ada satu pun
yang gagal. Dan tidak hanya itu, Lee
Se-young juga mengucapkan dialog-dialognya dengan penjiwaan yang luar biasa
bagusnya. Kata per katanya, sehingga saya yang menonton seperti kena sihir. Menonton acting Lee Se-young
sebagai Sung Deok-im memberikan saya pengalaman yang tidak akan terlupakan
sebagai penonton The Red Sleeve. Saya jatuh cinta dengan aktinya Lee Se-young.
Berikutnya—ini yang paling, paliiiing membuat saya speechless kehilangan kata-kata. Transisi Sung Deok-im sebagai
dayang dan selir Uibin. Saya bertanya-tanya bagaimana Lee Se-young bisa
melakukan itu dengan sempurna? Saking sempurnanya, sehingga setiap kali saya
mengingat Deok-im dengan red sleeve-nya, lalu beranjak pada Selir Uibin, hati
saya terasa sakit sekali. Perubahan itu begitu jelas terlihat. Bandingkan saja
ekspresinya Deok-im dan Selir Uibin, tone dan power suara, sorot mata, garis
senyum, tidak ada lagi yang sama—seperti ada kekuatan besar tak terlihat menyerap
habis energi Deok-im. Deok-im sebagai Selir Uibin diisi kepasrahan, luka, juga
kekosongan menyakitkan.
Saya merindukan Deok-im yang senang berlari-lari kencang sambil
tersenyum bahagia. Kangen dengan suara lantangnya yang tak kenal takut itu.
Sorot matanya yang penuh determinasi dan optimisme…. ㅠ.ㅠ
ㅡLee Junho sebagai Yisan
(King Jeongjo)
Seperti yang dilontarkan teman-teman di paguyuban, saya juga lebih
menyukai Yisan semasa masih menjadi Putra Mahkota. Vibes-nya menyenangkan,
gradasi warna emosinya tidak segelap setelah berganti title menjadi Raja
Jeongjo. Yisan setelah jadi raja keliatan banget kayak nanggung beban berat.
Kalo ngeliat latar belakangnya Yisan bisa dipahami sih kenapa dia seperti itu.
Nggak lentur, tegas. Nggak tebang pilih. Ia sejak kecil akrab dengan sebutan anak criminal, riwayat kehidupan ayahnya,
Pangeran Sado sudah menjadi legenda menyakitkan
dan menjadi pengalaman traumatis baginya. Yisan tidak ingin mengulangi
kesalahan ayah dan kakeknya. Ia tidak ingin melewati jalur yang sama. Makanya
satu-satunya cara ya membuktikan tudingan orang-orang kepadanya itu salah dan
tidak berdasar. Ia berbeda dari ayah dan kakeknya.
Sejak masih jadi Putra Mahkota pun, Yisan sudah menunjukkan karakter
kuatnya sebagai seorang pemimpin yang baik. Memperjuangkan apa yang dianggap
benar dan tepat, tidak menolerir hal-hal yang sifatnya abuse power.
Aktingnya Junho sebagai Yisan/King Jeongjo luar biasa bagusnya. No
debat. Saya terkesan dan terkesima. Sama seperti karakter Sung Deok-im-selir
Uibin, transisi Yisan ke Jeongjo juga memiliki detail yang sempurna di mata
saya. Lonely nya Jeongjo menjelang akhir episode 17 kayak mimpi buruk. Sorot
mata yang kehilangan api-nya. Beda
banget sewaktu ia ditolak Deok-im. Ditolak Deok-im masih jauh lebih baik, masih
keliatan warna emosinya. Ini sepeninggal Deok-im, blasssss kosong. ㅠ.ㅠ
Yang nge-cast Se Young-Junho nih patut diberi apresiasi setinggi-tingginya.
Kok bisa ya punya ide memadukan dua orang ini? Kok bisa? Hasilnya luar biasa
sekaliii. Nggak yakin bakal sebagus
ini visualisasi kisah Jeongjo-Uibin kalo yang meranin nggak punya kekuatan acting
sebagus mereka. Perfect casting membuat dramanya sempurna.
Kelar The Red Sleeve saya resmi nge-fans dengan aktingnya Se
Young-Junho.
ㅡSinematografi dan musik
Sinematografinya detail sekali. Beginilah jadinya kalau sutradara paham apa maunya scenario.
Storytelling lewat detail angle gambar dan sinematografi berjalan sukses bikin
penonton speechless. Filter yang digunakan sesuai dengan mood cerita adegan
yang ditampilkan. Makin bangga setelah tahu sutradara dan penulis skenarionya
perempuan.
Detail on set-nya juga keren. Saya takjub. Saya bukan tipe
penonton yang bisa memperhatikan sampe ke detail property/set setiap adegan.
Saya fokusnya ke plot dan acting saja. Hebatlah penonton yang bisa menangkap
detail yang berhubungan dengan property/set. Salut saya. Yang paling hebat udah
tentu sutradara dan timnya yang niat dan total banget menghadirkan adegan
se-perfect mungkin.
Saya mau ngasih jempol banyak-banyak ke music director-nya The Red
Sleeve. OST dan BGM-nya bagus banget, penempatannya juga.
ㅡmake up dan
costum team
JUARAAAAKKKKK!
Orang-orang di belakang team ini harus banget dikasih apresiasi. Saya
kasih satu contoh aja ya. Se Young sebagai Deok-im sebelum terlibat perang
perasaan dengan Yisan, kemudian setelah Yisan naik tahta di mana ia semakin
gigih memenangkan hati Deok-im, raut wajah Deok-im berubah drastis, make up
team nya membuat wajah Se Young yang sebelumnya cerah ceria menjadi gloomy dan lelah,
berasa keliatan beban hidupnya lewat wajahnya itu. Pas jadi Uibin juga, ini sih
makin daebak transisi make up nya. Yang nonton ikut tertelan kepedihan liat
wajah Uibin.
Hampir nggak ngenalin Junho dengan kumis dan cambangnya. Bikin pangling. Parah nih.
Keren.
Kostumnya juga pada bagus-bagus. Perpaduan warnanya enak dilihat. Saya
suka kostumnya Selir Uibin dan Yisan semasa muda.
ㅡending
Pain. Pain. Pain is everywhere.
The Red Sleeve ternyata benar-benar memberikan hanya satu episode Deok-im dan Yisan bahagia. Tapi kok ya saya enggak merasa bahagia ya? Episode 16 tidak membuat saya bahagia. Alih-alih bahagia, yang menyeruak keluar dari rongga dada saja justru pedih perih yang nggak ada ujungnya. Mungkinkah ini yang dirasakan Deok-im kepada Jeongjo? Harusnya bahagia tapi nggak bisa dinikmati bahagianya. Sedih sekali. Demi apapun. INI CARA RECOVERY NYA GIMANAAA COBA. I’m emotionally drained. It hurts so bad. ㅠㅠㅠㅠㅠ
Mengapa Deok-im meminta Jeongjo agar berpura-pura tidak mengenalnya dan
melewatinya saja bila kelak di kehidupan berikutnya mereka bertemu? Karena
Deok-im, sekali lagi, akan memilih bersama Jeongjo jika Jeongjo menghampirinya.
Jeongjo tidak pernah sekalipun mencoba membayangkan ia menjalani hidup sebagai
orang biasa. Jadi bisa saja Deok-im menyimpulkan entah di kehidupan berapa pun
Jeongjo ya tetap Jeongjo. Sedangkan Deok-im ingin menjalani hidup seperti yang
ia inginkan. Pada titik ini, Jeongjo sama sekali tidak memahami isi hati
terdalam Deok-im.
“Have you ever loved me even a little? Have
you ever had any feelings for me?” –Jeongjo
Bahkan hingga di detik-detik terakhir Deok-im, Jeongjo masih juga
menyimpan keraguan Deok-im tidak pernah benar-benar mencintainya. Ia masih
mempercayai pikirannya sendiri bahwa satu-satunya yang punya perasaan mencintai
paling besar di antara mereka berdua adalah dirinya.
Dan itu tidak apa-apa baginya, selama Deok-im selalu berada di sisinya.
“Do you still not see it? If I
did not like you, I would have done anything to run away. I decided to stay
with you in the end. It was my choice.” –Deok-im
Jeongjo tidak pernah mengetahui sebesar apa pengorbanan yang telah diberikan Deok-im saat memutuskan menahan tangan Jeongjo. Tampaknya Jeongjo tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan jati diri yang telah mati-matian dipertahankan.
Kepergian Deok-im membawa
kesedihan bagi orang-orang yang mengenalnya. Saya nangis parah banget di sini
(kebayang nggak model saya nonton ep 16-17? Nangis nggak kelar-kelar sambung
menyambung menjadi satu itulah wujud patah hati terdalam), Jeongjo yang
menangisi Deok-im, meminta maaf telah membawanya pergi jauh dari kehidupan yang
diinginkannya, Ratu Jeongsoon yang terpaku dengan kesedihan yang mengambang di
matanya. Teman-temannya yang tersisa, Bae Kyung Hee dan Kim Bok Yeon saling
menangisi kepergiannya... Eksistensi Deok-im di istana begitu kuat.
Scene penutup The Red Sleeve ibarat semacam doa dan harapan yang diberikan oleh siapa saja yang mengetahui betapa
haru birunya kisah Selir Uibin dan Jeongjo, bahwa (semoga saja) mereka akhirnya
bertemu, saling mengasihi tanpa rasa sakit, dan tidak perlu ada lagi
kehilangan-kehilangan yang membuat hati mereka saling menjauh satu sama lain.
“The north wind blows cold, and the snow falls
heavily.
Together with my dear beloved, while shall leave while
holding hands.
Why are you hesitating? We are already pressing on
time.
The north wind blows violently, and the rain and snow
fall furiously
Together with my dear beloved, we shall return while
holding hands.
It is still a fox even if not red, and a crow even if
not black.
Together with my dear beloved, we shall get on the
carriage while holding hands.
ㅡextra part
Menurut saya 4 episode pertama The Red Sleeve memegang peran penting
dalam menangkap perhatian penonton. Saya berasa kayak dimantrai dengan
kegemasan Yisan-Deok Im (nggak terlepas dari aktingnya Se Young dan Junho),
lalu saya pun tanpa ragu menginvestasikan perasaan sayang sebanyak-banyaknya
kepada mereka. Udah terlanjur masuk, nggak bisa keluar. Nggak mau pusing-pusing
nyari jalan keluarnya. Padahal jelas-jelas udah tahu ending seperti apa yang
menunggu di depan sana. Sok setronggg.
Minjem kalimatnya Mr. Oh dari Misaeng, “in life, there are many things you start even if you know the end.”
Kira-kira seperti menonton The Red Sleeve lah. Udah tau endingnya, tetap
aja maju tak gentar karena udah terlanjur kena sihirnya Yisan-Deok Im. Nasib.
Oiya, saya lupa membahas akhir yang diberikan The Red Sleeve kepada
karakter-karakter antagonisnya: Lady Jo, Wol-Hye, Hong Deokro (yang jadi public
enemy), dan Hong Jung Yeo. Drama ini memilih tidak menghakimi karakter antagonisnya dengan kejam. Mereka
diberikan akhir yang tragis tapi tidak memilukan. Apa ya namanya? Wise sekali jalan yang dipilih The Red
Sleeve dalam menceritakan tokoh-tokohnya.
Korea Selatan sudah banyak memproduksi drama sageuk dengan mengambil berbagai macam periode pemerintahan atau kerajaan. Melalui cara ini pula budaya dan seni yang menjadi identitas Negara ginseng tersebut dipromosikan ke pelosok dunia. Bisa dibilang saya cemburu sekaligus ngasih apresiasi. Dari sudut pandang saya yang sok tau, ada upaya untuk terus melestarikan sejarah yang memuat kebudayaan mereka. Penghargaan itu ada. Melihat betapa sensitifnya masyarakat terhadap konten yang mengacaukan sejarah membuktikan itu. Sumber sejarah dipelihara dengan baik dan terus diceritakan secara berulang. Jika terus berlangsung maka bangsa Korea tidak perlu khawatir generasi di masa depan akan melupakan sejarah dan budayanya sendiri.
Dan dari Raja Jeongjo kita diingatkan kembali pentingnya mengabadikan memori
ke dalam tulisan.
♥
The Red Sleeve ini cocok sekali dengan salah satu judul lagu BTOB,
Beautiful Pain. Indah tapi luka. Dan mari menutup pastingan ini dengan monolog terakhir
Jeongjo dan Selir Uibin.
“If this is a past memory, it is fine. If
it is a dream, it is fine. It does not matter if I am dead. I will always
choose this moment with you and hope this moment to not change. For this moment
to be forever.” –Jeongjo
“So the moment become forever.” –Selir
Uibin.
ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Menonton episode 1-15 The Red Sleeve tidak akan sama lagi rasanya
setelah menuntaskan episode 16-17.
Tabik,
Yang sedang patah hatinya,
Azz
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊