[Trivia] Our Beloved Summer
Paragraf seperti apakah yang
cocok untuk membuka postingan ini? Ini bukan semacam first impressions,
mengingat saat saya menulis entri baru ini saya sudah menonton 8 episode Our
Beloved Summer. Lalu mau saya isi apa dong? Let it flow aja ya? Hehe.
Ketika Our Beloved Summer tayang
perdana, keesokan harinya, sebenarnya saya sudah mencoba dua episode pilotnya.
Bukan menonton full, tetapi mengintip saja.
Dari hasil intipan saya, saya tahu
premis drama ini sudah menggoda saya. Namun sayangnya, hingga memasuki pekan
ketiga penayangannya, saya belum juga ketemu
mood yang bagus untuk benar-benar menikmati
Our Beloved Summer, tidak peduli seberapa kencang teriakan fans Our Beloved Summer di temlen twitter. Dramanya saya
simpen dulu. Sayang banget kan drama bagus begini jadi korban mood jelek saya?
Melewati pekan keempat
penayangan, say berjanji akan memulai OBS begitu urusan pekerjaan berhasil saya
kelarkan sebelum akhir pekan. OBS saya masukan ke list tontonan prioritas—The
One and Only, Uncle, dan drama ongoing yang belum saya sentuh bisa menunggu.
Saya harus memulai OBS sebelum episode 16-17 The Red Sleeves tayang—Iyess, soalnya
saya sudah mencium mood nonton yang bakalan ambyar bablas begitu TRS menayangkan
episode terakhirnya, yang
jadi korban udah pasti drama ongoing-an. Suka gitu deh setiap kali drama kesayangan
kelar tayang. ㅠ.ㅠ
Usai menyelesaikan 8 episode Our
Beloved Summer tanpa jurus skip, akhirnya saya paham mengapa banyak sekali
penonton yang dibuat baper sama drama yang tayang di SBS ini. Worth it jadi bahan baper. Ini bukan
drama kaleng-kaleng.
Ngobrolin OBS enaknya saya mulai
dari mana ya? Nah, bingung lagi kan wkwk. Perlu diingat ya, apa yang saya tulis
setelah ini semata hanya menggunakan POV saya sebagai penonton OBS. Pengalaman
apa saja yang saya rasakan saat menonton satu demi satu episode yang sudah
ditayangkan. Kalo enggak setuju bukan salah saya HAHAHAHA.
—Storyline
Kisahnya bermula dari sebuah
rekaman acara dokumenter 10 tahun lalu di tahun 2011 yang tiba-tiba memuncaki
trending topic, isinya tentang bagaimana interaksi sepasang siswa, peringkat
pertama dan terakhir di sebuah SMA. Kook Yeon-su, si peringkat satu, dan Choi
Ung, si penutup peringkat. Dari segi karakter aja, dua orang ini udah bertolak
belakang bagai bagai kutub Utara dan Selatan yang jauhnya mencapai separuh
bagian bumi. Apa yang akan terjadi bila disatuin dalam satu program dokumenter?
Banyak berantemnya udah pasti sih ya. Yang satu disiplin, yang satunya lagi banyakan
ngantuknya, mana matanya si Ung-ie bentukannya kayak orang yang ngantuk mulu.
10 tahun silam, di tahun 2011,
pada syuting terakhir dokumenter tersebut, Ung dan Yeon-su memutuskan
berpacaran dan hubungan berlanjut hingga masa-masa kuliah. Lalu tibalah tahun
kesedihan Yeon-su dan Ung, 2016. Yeon-su memutuskan Ung sepihak. Pengalaman
patah hati itu terus mengikuti Ung, mempengaruhi seluruh bagian dirinya.
Lima tahun kemudian, takdir
membawa kembali Yeon-su dan Ung melalui serangkaian pertemuan tak terduga.
Seperti deja vu, Yeon-su dan Ung lagi-lagi terlibat dalam pembuatan acara
dokumenter. Kali ini, dokumenter itu bertujuan menyandingkan masa10 tahun lalu dua
anak muda itu dan masa sekarang. Adakah yang berubah? Sejauh mana pengalaman
hidup telah membawa keduanya? Perasaan yang dipaksa mati tiba-tiba itu, masih
adakah?
OBS mengejutkan saya dengan... well, semua yang ada pada drama ini
mengejutkan saya. Sejauh 8 episode, belum saya temukan satu pun scene yang
membuat saya bosan. Saya dibikin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Setiap
episodenya mengajak saya membuka selapis demi selapis isi pikiran Yeon-su dan
Ung. Saya yang tidak tahu apa-apa dan dipenuhi pikiran yang sifatnya menghakimi (tanpa sadar) di episode
pilot, perlahan—benar-benar perlahan mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi
pada Yeon-su dan Ung. Saya menyesal sudah sok tahu terhadap Kook Yeon-su. Saya
hampir-hampir saya seperti orang kebanyakan di sekitar Yeon-su, yang menganggapnya
sebagai sosok menyebalkan dan angkuh.
—directing & BGM (Background
Music)
Cerita yang sekilas terbaca
membosankan nyatanya enggak sama sekali. OBS bisa saja berakhir membosankan,
memang, tapi cara drama ini bercerita (bagaimana ia dikemas) membuatnya terasa
renyah, fresh, fun, dan perasaan
yang disajikan oleh
karakter utamanya terlalu blak-blakan sedihnya. Saya berani bilang sentuhan directing dan penempatan background
music yang tepat berperan besar dalam membangun mood OBS. Kalo saya bilang sih cara kerjanya mempengaruhi mood penonton tuh
magic banget. Saya enggak tau apakah ini
tepat apa enggak, directing OBS mengingatkan saya pada MV lagu-lagu indie, juga
pada drama-drama tvn sebelum tvn menjadi sebesar sekarang. Periode tvn masih
mencari-cari pasar. Tema dan kemasan dramanya unik-unik.
Kerasa banget feel nostalgianya
OBS ini. Saya jatuh cinta dengan setiap sudut pengambilan gambarnya. Pernah
denger kan soal gambar yang bisa bercerita, OBS kayak gitu. Setiap sudut
pengambilan gambar memiliki warna emosinya sendiri, ada napasnya.
Ketemu BGM yang tepat, sudahlah. Kelar urusan. Mustahil bagi saya untuk gak
suka sama drama ini.
ㅡmonolog
Satu lagi kekuatan yang dimiliki OBS, yang membuat emosi ceritanya tiba dengan baik di hati penontonnya—monolog tokoh-tokohnya, khususnya Ung dan Yeon-su. Tanpa monolog yang mewakili suara hati terdalam Ung dan Yeon-su, barangkali rasa simpati dan empati yang saya miliki untuk mereka tidak akan sedalam ini, atau bahkan mungkin saja saya masih akan setia menghakimi setiap pilihan atau tidakan Yeon-su. Acapkali monolog Ung dan Yeon-su membuat saya terhenyak, menarik napas panjang, dan bikin sedih. Sometimes, its too realistic.
Saya ikut larut dalam setiap potongan pikiran mereka. Ikut ter
potek-potek hatinya. ㅠ.ㅠ
ㅡrealistic
character
Bicara tentang kesan pertama
pada karakter, Kook Yeon-su lah yang pertama kali menarik perhatian saya. Kook
Yeon-su 10 tahun lalu dan Kook Yeon-su 10 tahun kemudian—terlihat perbedaan
yang cukup kontras dan apa ya… terlalu realistis. Saya seperti melihat diri
saya yang sedang mengkilas balik saya sepuluh tahun lalu. Melihat kembali mimpi
dan harapan saya yang sedikitpun tidak mendekati kenyataan sepuluh tahun
kemudian. It hurts. But life must go on.
Ya. Saya segera dibuat penasaran
dengan backstory kehidupan Yeon-su.
Menonton Our Beloved Summer
memberikan kita banyak pilihan untuk berada di sudut pandang mana atau siapa.
Ung kah? Yeon-su kah? Atau sudut pandang penonton yang merasa paling tahu dan
menganggap segalanya terasa mudah untuk dilakukan?
Pada banyak jalinan hubungan
kasih sayang, mencari siapa yang salah atas gagalnya hubungan adalah sesuatu
yang mudah dilakukan. Mengapa? Karena satu-satunya yang kita anggap paling bisa
diandalkan adalah sudut pandang kita sendiri. Sudut pandang jenis ini sifatnya
sangat subyektif, satu arah, seringnya nyasar entah menyasar apa. Yang mampu kita lihat hanya bagian belakang orang
yang lain. Rentan sekali terjadinya penyalahgunaan
memori atau kenangan.
Sebagai penonton, kita dengan
mudahnya segera nyeletuk problem terbesar yang kemudian menyulitkan hubungan
What If couple adalah kurangnya komunikasi dua arah, Yeon-su yang kurang
membuka diri terhadap Ung, cenderung menyembunyikan bagian dirinya yang kerap
kepayahan menjalani hidup atau Ung yang selalunya terima-terima aja Yeon-su
memberi jarak kasat padanya. Jika saja Yeon-su mau membuka diri, yakin deh Ung
pasti ngerti, Ung nggak akan seperti yang Yeon-su bayangin. Karena Ung baik
banget dan serius sayangnya sama Yeon-su.
Apakah masalahnya sesederhana
itu? Sebatas kurangnya keterbukaan dan komunikasi?
Coba deh pake pov-nya Yeon-su.
Lihat dari mana ia berasal. Susuri kembali bagaimana ia berproses. Jelaslah
kemudian, perkara ini tidak sederhana. Yang mengakar kuat pada diri Yeon-su, yang membuatnya selalu berjarak
dengan hal-hal di luar dirinya. Yeon-su sangat menyayangi Ung, tapi Yeon-su
lebih menyayangi dirinya. Masih ada yang belum selesai di dalam sana.
Ung dan Yeon-su memimpikan masa
depan yang nggak muluk-muluk. Tapi sederhana versi Ung berbeda dengan sederhana
versi Yeon-su. Hidup Yeon-su sudah keras sejak awal. Untuk bisa survive, ia
harus mati-matian menjaga dirinya, menjaga harga dirinya—satu-satunya kemewahan yang ia miliki. Apa yang
ditampakkan Yeon-su ke permukaan bukan karena ia ingin seperti itu, ia tampil
seperti orang yang tak tersentuh, sombong, selfish bla bla bla... semata-mata
ia lakukan untuk melindungi dirinya. Yeon-su tidak punya pilihan. Hari-harinya
ibarat medan tempur yang harus selalu ia menangkan, sebab jika tidak maka
hidupnya yang akan berakhir. Saya menangis melihat Yeon-su menangis sendirian
di kamar mandi sembari membiarkan air keran mengalir. Saya sering seperti itu.
Mengunci diri di kamar dan menangis sendirian tanpa suara meski bukan untuk
urusan patah hati. Di luar? Tidak ada tempat yang bisa menerima kesedihanmu apa
adanya. Begitulah hidup.
Sedangkan Choi Ung? Ung nggak
demen menjalani hidup yang ribet dan berat. Simpel banget. Nggak suka riak.
Ya... bayangin aja perasaannya Yeon-su denger Ung ngomong enteng banget soal
impian masa depannya. Alurnya udah sama, tapi beda jalan. Jalan yang ingin
dipilih Ung yang mulus-mulus aja. Sementara Yeon-su, dia nggak ada pilihan
lain. Satu-satunya jalan yang ia miliki adalah jalanan rusak penuh lubang
sana-sini, yang bikin kendaraan terantuk-antuk, oleng kanan oleng kiri. Meleng dikit ya udah. Ga ada itu santai-santai kayak
di pantai.
Saya nggak berani mengomentari
pilihan-pilihan hidup Yeon-su dan Ung. Nggak berani juga nyalah-nyalahin Ung
atau Yeon-su perihal berakhir hubungan mereka lima tahun lalu. Karena menurut
saya masalahnya nggak sesimpel cuman
kurang komunkasi aja. Tapiiii, jika Yeon-su dan Ung berani membereskan persoalan komunikasi
ini, maka di situlah akan menjadi awal mula perbaikan hubungan mereka. Jika Ung
dan Yeon-su mulai melihat satu-sama lain dengan sungguh-sungguh. Nggak ada
penghakiman. Menghargai setiap perubahan-perubahan dengan tone positif, Yeon-su
dan Ung mungkin akan menjadi pasangan dengan hubungan kaasih sayang yang sehat. Masalah terletak di dalam diri
masing-masing.
Saya lega syuting dokumenter di tahun 2021 membawa banyak refleksi bagi Yeon-su dan Ung. Keliatan banget Yeon-su dan Ung sudah mulai menemukan satu demi satu masalah yang membuat mereka dekat namun berjarak di masa lalu. Bahwa Ada yang keliru pada bagaimana Ung membentuk imej Yeon-su di mata dan ingatannya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mereka lewati. Pun sebaliknya, bagaimana Yeon-su membaca karakter Ung.
Seperti Ung di episode 7 yang
menyadari bahwa Yeon-su masih menjadi Yeon-su yang dulu, yang tidak bersedia
membagi kesulitan atau kesedihan. Ung keliatan banget kecewanya. Nyes ini hati
liat matanya Ung yang sedih, hampir nangis. Padahal dia sudah berharap Yeon-su
mau bercerita tentang dirinya. Di sini bukan Ung yang melarikan diri, bukan
pilihannya untuk menghindar, melainkan Yeon-su.
Lima tahun setelah putus,
Yeon-su dibuat kaget dengan hal-hal baru yang dilihatnya pada sosok Ung, yang
terasa asing dan belum pernah dilihatnya selama berpacaran dulu. Pertanyaannya,
apakah hal-hal baru tersebut memang baru terbentuk setelah Ung dan dirinya
putus, ataukah di masa lalu Yeon-su sudah sedemikan setia-nya pada imej polos bin pabo-nya Ung? Ung yang mager-an, Ung
yang—tau sendirilah gimana anaknya wkwk—saking setianya, Yeon-su gagal mendeteksi potensi Ung menjadi orang yang
bisa ia andalkan. Sesungguhnya jiwa insekyurnya Yeon-su membentuk lubang yang
besar sekali, yang sanggup menelan semua harapannya untuk bahagia. The saddest part-nya ini.
Karakter Ung dan Yeon-su nih
relatable banget. Manusiawi. Bisa dialami siapa aja. Dan bagaimana setiap orang
bereaksi terhadap persoalan-persoalan yang datang kepadanya pun sudah pasti
berbeda. Nggak ada rumus pastinya.
Saya tidak tahu apakah di akhir
drama ini Ung dan Yeon-su akan kembali bersama atau tidak. Tetapi sepertinya
saya bisa
memastikan posisi saya sebagai penonton, bahwa saya termasuk
golongan penonton yang tidak akan terlalu kecewa bila nantinya Yeon-su dan Ung
memilih berpisah. Karena seiring berjalannya cerita saya mendukung perkembangan
dua karakter ini. Saya berhadap di episode terakhir Yeon-su bisa menemukan
kelegaan, berharap ia mampu mengatasi luka dan perasaan insekyur yang
membuatnya tidak berani terbuka pada orang lain. Saya ingin sekali memeluk
Yeon-su. Mengatakan padanya bahwa ia sudah bekerja dengan sangat keras, bahwa
ada saatnya ia boleh memilih mengambil jeda dan boleh tidak bersikap terlalu
keras pada dirinya sendiri. Bahwa ia boleh memilih untuk tidak berlari sepanjang hidupnya… Tidak
apa-apa… Yeon-su ya… Saya benar-benar ingin memeluk Yeon-su.
Dan Ung.... kalo memang Ung
masih sayang banget sama Yeon-su, Ung harus mulai membaca Yeon-su bukan dari perspektif orang yang jadi korban patah
hati. Sepanjang episode 1-8, saya belum menemukan scene atau monolog di mana Ung mengetahui bagaimana Yeon-su menjalani
hidupnya. Bagaimana Ung memvisualisasikan sifat-sifat Yeon-su masih berdasarkan
efek sebab-akibat perasaan yang berpusat pada diri Ung sendiri. Ada satu sih
scene yang menunjukkan Ung tidak se-bodo amat sama hidup, sewaktu ia dan
Yeon-su membahas masa depan, trus Yeon-su pamit ke kamar kecil lalu Ung merenung
sejenak, mengambil alih laptop Yeon-su dan mulai mengetik cara dapetin
pekerjaan atau duit melalui menggambar di kolom pencarian.
Dalam hal ini saya berada di pihak Yeon-su. Asal Yeon-su bahagia.
Putusnya hubungan Yeon-su dan
Ung telah membawa banyak perubahan pada hidup mereka. Yang meninggalkan dan
yang ditinggalkan sama-sama ga baik-baik aja. Ung misalnya, dia yang dulu
menyukai menggambar sebatas hobi, awal putus, hobi menggambarnya menjadi penolongnya, semacam katarsis nggak sih
jadinya?
Kalo Yeon-su... yang berubah
dari Yeon-su... Yeon-su semakin keras pada
dirinya. Sedih sekali.
Ada beberapa pertanyaan yang
saya tunggu jawabannya di part dua Our Beloved Summer. Antara lain,
perkembangan karakter Ji-ung. Saya ingin melihat perkembangan karakter ini
tidak hanya sekadar observer, saya penasaran dengan ucapan sunbae ke Ji-ung
soal mengapa ia memilih Ji-ung sebagai orang yang bertanggung jawab mengasuh
program dokumenter itu.
Lalu bagaimana progress hubungan
Yeon-su dan Ung. Bukan soal mereka baikan atau enggak, saya ingin melihat
bagaimana drama ini memanfaatkan peluang
rujuk Yeon-su dan Ung untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan dari utang masa lalu. Kalo baikan tapi tetap nggak ada perkembangan pada masalah
utama ya gimana ya. Hehe.
Paruh kedua Our Beloved Summer
menjadi momen penting apakah drama ini masih bisa mempertahankan konsistensi
alur, konflik dan ceritanya seperti di paruh pertama yang sudah bagus sekali
penceritaan dan perkembangan karakternya.
Soal happy ending atau enggak, saya hanya ingin Ung, Yeon-su dan Ji-ung bahagia dan persahabatan mereka semakin kuat. Saya ingin mereka lebih mengenal dan mencintai diri mereka sendiri Itu saja dulu.
Sebuah closure yang menyenangkan untuk 10 tahun mereka yang sudah tertinggal di belakang.
Tabik,
Azz
Yeonsu felt like : "Urusan cinta ga lebih penting dr urusan perut." Ya bener, orang-orang yang hidupnya less privelege dan less financially stabile emang ga bener-bener punya pilihan. Realistis aja, betul, Yeonsu emang ga sepenuhnya salah sama keputusannya dulu hehe
ReplyDeleteMakanya aku lebih condong sayang banget ke Yeonsu, kayak bisa ngerti setiap keputusan yang dia ambil. 😭
DeleteAku cuman pengen liat dia bahagia, menikmati hidupnya, berharap beban yang di bawa ga bikin dia kehilangan cara menikmati hidup. 😭