[Pieces of Me] Labirin
ㅡOcean,
Hoppipolla ♪ㅡ
Ketika serangan panik pertama
menghampiri saya sekira dua tahun lalu, saya benar-benar tidak tahu bahwa
itulah yang disebut orang sebagai serangan panik. Pasca kejadian tersebut,
kondisi kesehatan saya menurun drastis—lebih buruk daripada yang pernah saya
alami ketika kuliah dulu. Ibu yang khawatir melihat kondisi saya lantas memaksa
saya memeriksakan diri ke dokter, kebetulan di daerah saya hanya ada dokter
umum, maka ke sanalah saya. Saya sampaikan semua keluhan yang saya rasakan
kepada dokter. Menurut keterangan dokter, selain Hb saya yang rendah, mendekati
ambang transfusi, tidak ada hal mencurigakan lainnya dari tubuh saya. Bagaimana
dengan kondisi jantung saya yang kerap kehilangan kontrol, berdegub keras dan
pada keadaan tertentu saya merasa napas saya akan berhenti? Dokter tidak berani
mendiagnosis, saya disarankan untuk memeriksa rekam jantung untuk memastikan
kondisi jantung saya.
Sayang sekali untuk bisa
mencapai fasilitas rumah sakit atau laboratorium klinik saya harus keluar
pulau, perjalanan memakan waktu satu hari penuh. Saat itu kondisi saya tidak
memungkinkan menempuh perjalanan jauh.
Setelah beberapa waktu kemudian,
saya akhirnya memeriksakan diri ke laboratorium klinik. Abdomen atas dan bawah,
serta rekam jantung. Hasil rekam jantung saya aman. Lalu bagaimana dengan
keluhan-keluhan yang saya rasakan? Saat itu tidak terpikir untuk konsultasi ke
psikolog atau psikiater. Saya pikir saya akan baik-baik saja.
Saya akan baik-baik saja. Itu
harapan saya.
Pikiran itu tidak bertahan lama.
Saya berkali-kali mengalami serangan panik, hingga di titik saya berpikir—oh
apakah ini cara saya untuk mati?
Saya pernah berharap untuk mati,
dulu. Tidak sekali saja pikiran itu menghampiri saya.
Sejak remaja, saya terbiasa
berusaha memastikan bahwa saya baik-baik saja. Saya harus baik-baik saja. Saya
tidak ingin terlihat rapuh di mata orang-orang. Sehingga yang tampak di luar
adalah saya yang dingin, cuek, galak (kejam) dan tidak terbaca. Saya
tidak ramah.
Sekarang, setelah saya
pikir-pikir lagi, tampaknya itu adalah wujud dari self-mechanism defense yang
dibangun alam bawah sadar saya. Tidak ada yang bisa melindungi diri saya
sendiri jika bukan saya sendiri. Saya berkali-kali dikhianati orang-orang
terdekat saya dan usia saya masih sangat belia saat itu. Saya kerap menangis
sendirian. Saya memosisikan ada Aku yang lain yang menjadi dan hidup di
dalam diri saya. Dia-lah yang sering saya ajak bicara dan bercerita, pada dia
tulisan-tulisan pendek saya tujukan. Saya percaya hanya dia yang mau dan setia mendengarkan saya,
hanya dia yang tidak akan egois menghakimi saya. Dia sebaik itu
kepada saya. Ada satu lagu Simple Plan yang relate sekali dengan saya, judulnya
Astronaut.
Di tengah-tengah situasi itulah,
saya berpikir keras bagaimana agar saya bisa selamat. Saya tidak akan
membiarkan orang-orang melukai hidup saya. saya terbiasa menganalisa detail
keadaan yang saya hadapi, menyusun rencana-rencana dengan cepat, menemukan cara-cara
yang bisa memastikan saya aman dan tidak perlu berurusan lebih jauh dengan
orang-orang yang tidak saya sukai. Saya tidak pernah takut kehilangan
siapa-siapa, dan apa-apa, saya hanya takut kehilangan diri sendiri—jika itu
benar-benar terjadi maka habislah saya.
Bertahun-tahun saya hidup dengan
imej gelap karakter saya. Saya merasa aman.
Lalu datanglah momen di mana
saya ingin berdamai dengan kemarahan, kekecewaan, dengan kesakitan-kesakitan
yang pernah saya alami. Saya ingin memaafkan diri sendiri, memaafkan
pihak-pihak yang telah membuat saya menderita psikis bertahun-tahun, yang
membuat saya nyaris menyaru batu yang keras.
Saya pikir itu mudah. Nyatanya
harus ada yang saya korbankan, harus ada yang saya lepaskan, dan itu tidak lain
adalah satu bagian diri saya yang sudah membersamai saya sejak remaja. Self-mechanism
defense yang melindungi saya selama ini. Saya tidak tahu, tebusannya
bisa semahal itu.
Sekira 5-6 tahun lalu proses itu
dimulai. Saya menyebutnya healing. Saya tidak menyadari ada yang tumbuh
diam-diam, buah dari keinginan berdamai itu. Sebuah kontradiksi yang tidak
pernah masuk dalam kalkulasi saya. Perasaan tidak aman. Orang-orang senang
dengan perubahan yang saya tampakkan—imej gelap tidak lagi menguasai
saya, meskipun jejaknya tidak bisa saya hilangkan sepenuhnya. Saya sudah jauh
lebih ramah, lebih banyak tersenyum, sudah bisa dijangkau. Tetapi, nun jauh di
dalam hati, saya kerap merasa tidak aman dan nyaman. Adakah yang lebih mengerikan
dari itu?
Saya membuka diri untuk dibaca,
namun upaya saya itu justru melukai diri saya sendiri.
Mungkinkah serangan panik yang
saya alami adalah wujud rasa tidak aman yang telah menetas? Kehilangan sebagian
dirimu yang telah menemani hidupmu sekian lama ternyata bukan perkara
sederhana. Walaupun niatmu melepaskannya cukup baik.
Serangan panik yang saya alami
di awal tahun ini adalah yang terburuk. Efek setelahnya benar-benar mengerikan.
Jika saja waktu saya tidak menuliskan sesuatu di akun Twitter saya, mungkin
saya akan nekat memilih langkah terburuk yang bisa saya ambil. Saya benar-benar
takut. Betapa ingin saya dipeluk seseorang dan mengatakan kepada saya bahwa
semua baik-baik saja. Dan jika pun tidak baik-baik saja, itu bukan salah saya
sepenuhnya. Bahwa saya boleh terlihat lemah, bahwa saya boleh berteriak sekuat
yang saya mau.... bahwa saya memang tidak sekuat yang saya pikirkan. Tidak
apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Tidak akan ada yang menyalahpahami saya...
Saya beruntung memiliki orang-orang
baik di Twitter, yang meskipun mereka tidak mengenal saya secara langsung,
mereka tidak segan-segan menuliskan kata-kata yang hangat-nya sampai ke
hati saya. Saya percaya mereka peduli. Saya ingat, saya menangis sesenggukan
sembari membaca dan membalas pesan dan twit-twit mereka. Sungguh, kekuatan
kata-kata baik bisa sangat mempengaruhi seseorang. Kita tidak pernah tahu
sebesar apa kebaikan-kebaikan yang hidup di dalam kata-kata. Ia, kata-kata
itu, pada situasi tertentu bisa menjadi jalan, jendela, atau pintu bagi
orang lain yang membantunya melihat keluar dari lingkaran gelap situasi yang
dihadapinya. ㅠ.ㅠ
Saya sangat berterima kasih
kepada mereka yang sudah membalas twit saya saat itu.
Saya sadar, saat ini kondisi
saya masih kacau. Saya masih berusaha menata kembali kepribadian saya. Proses
ini membantu saya mengenali diri saya lebih jauh. Banyak sekali sifat-sifat
buruk yang saya miliki dan ini membuat saya—maaf, jijik. Saya mengerikan sekali
sebagai manusia.
Mencoba menghadapi diri sendiri
adalah upaya terbaik yang bisa saya lakukan agar tidak kehilangan saya—sejelek apa
pun kualitas diri yang ada pada saya sekarang ini. I’m trying to be the best
version of myself. To accepting everything, including me in the past years.
Sebab saya hari ini, adalah
hasil perjalanan saya di masa lalu. Saya tidak perlu membuang apa-apa. Saya
hanya perlu menerima, lalu melanjutkan hidup.
Akhir-akhir ini, saya bisa
segera mendeteksi setiap kali sifat jelek saya memunculkan diri—saya tarik
napas panjang, mengingatkan diri berkali-kali.
Serangan panik masih mengintai
saya, ia bisa datang kapan saja, di waktu yang tidak terduga, dan
ini memberikan pengaruh dan perubahan besar terhadap hidup saya. Dulu, saya
menyukai gelap. Sekarang? Gelap membuat saya sesak, was-was, takut berlebihan.
Dulu saya menyukai tontonan bertema berat kecuali horor. Sekarang? Saya sudah
tidak kuat nonton. Pasti ke trigger. Saya jadi takut.
Dulu, saya senang sekali tinggal
seorang diri, saya menyukai kesendirian, saya terbiasa soliter. Pernah, semasa
kuliah, saya tidak pernah keluar kamar kosan selama seminggu. Sekarang?
Kadang-kadang sepi dan hening membuat saya panik. Saya takut dengan
pikiran-pikiran berbahaya yang bisa sekonyong-konyong berhamburan keluar dari
kepala sayaㅠ.ㅠ
Saya tahu suatu saat saya perlu
berkonsultasi pada orang yang ahli.
Di awal usia tigapuluh ini, saya
adalah orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Saya masih berada di
dalam labirin, tetapi saya yakin sekali saya tidak sedang tersesat.
Satu hal yang sadari, tidak
peduli berapa usiamu, struggle dengan diri sendiri pasti dialami banyak orang.
Mungkin, kita hanya mencoba sebisanya tidak menampakkannya di hadapan orang
lain—untuk alasan-alasan yang hanya bisa dipahami oleh kita sendiri.
Ya, dan semoga kita (akan) selalu
baik-baik saja, pada akhirnya. ♥
Azz.
Kak Azz,, aku penggemar blog mu sejak jaman dulu. KUharap kamu selalu sehat dan punya sesorang yang memelukmu dikala berat..
ReplyDeleteThis too shall pass.. laa hawla walla quwatta illa billah..
We love you Kak..
Btw aku jadi melody gara2 kakak.. aku sayang kakak dan blog kakak sebesar sayangku ke Sungjae dan BTOB.. sehat selalu ya Kak.. hiks
ReplyDeleteGa tau mau ngomong apa, terharu sekali baca ini, Ratih. Gomawo, saranghamnidaaaaa ^^
DeleteYeay, sesama Melody. Masih sabar nungguin si adek dan abang kelar wamil yak biar bisa ngumpul bareng lagi :D