[Review] Flower Of Evil (tvN/2020)
;untuk Amelie
SINOPSIS
Cha Ji-won (Moon Chae-won) dan Baek Hee-sung (Lee Jun-ki) menikmati
kehidupan pernikahan mereka. Kehadiran Baek Eun-ha, puteri semata wayang mereka
semakin melengkapi kesempurnaan kebahagiaan tersebut. Cha Ji-won adalah seorang
detektif, sedangkan Baek Hee-sung membuka sebuah usaha di bidang kerajinan
logam.
Kehidupan keluarga kecil itu terguncang ketika
sebuah insiden yang berhubungan dengan masa lalu Baek Hee-sung terungkap. Cha
Ji-won shock, suaminya yang tampak normal dan penyayang itu ternyata
menyimpan masa lalu kelam dan mengerikan.
Cha Ji-won dilema. Di satu sisi ia terluka dengan
fakta mengejutkan tentang Hee-sung, di sisi lain, ia tidak bisa begitu saja
melenyapkan rasa cintanya yang sedemikian besar pada suaminya.
Jalan manakah yang akan ditempuhnya? Apakah
kebahagiaan dan cinta yang ditampakkan suaminya selama ini hanya kamuflase
belaka?
16 episode drama tvN yang mengusung genre suspense
melodrama ini berhasil menyajikan cerita yang menawan dan tidak terlupakan
bagi viewers-nya.
***
Saya termasuk orang yang terlambat menonton
Flower of Evil, padahal saya excited banget sewaktu keluar berita Lee Jun Ki
dan Moon Chae Won mau main drama bareng lagi setelah Criminal Minds (2017).
Kayaknya sih waktu FOE tayang, karena satu dan lain hal, saya menjauhkan diri
dari tontonan yang punya materi berat.
Di temlen saya, yang nonton FOE semuanya kompak
bilang drama ini keren banget. Spoiler bertebaran tapi syukurnya enggak sampe
ngebongkar secara utuh cerita dramanya, jadi ketika saya (akhirnya) nonton,
efek surprise-nya masih bisa saya rasakan.
Apa sih yang membuat Flower of Evil disukai
penontonnya? Apakah hanya karena chemistry dua pemeran utamanya? Atau
ada hal lain? Materi ceritanya kah? Konflik? Apa?
Menurut hemat saya, materi cerita yang bagus
hanya akan menjadi sebuah drama bagus kalau didukung cara bercerita yang
apik. Sebuah drama memiliki ide cerita yang mungkin biasa—berulang, recycle,
tapi bila pengemasannya melampaui ekspektasi penonton, di situlah poin yang
membedakannya dengan drama lain. Banyak drama yang punya materi bagus tapi
gagal dieksekusi dengan baik, yang ujung-ujungnya malah berakhir antiklimaks.
Flower of Evil hadir memenuhi ekspektasi baik segi penceritaan, penokohan, plot,
maupun alur konflik. Seperti piramida, semakin bertambah jumlah episode semakin
mengerucut konflik. Drama ini memiliki banyak layer atau misteri (?) yang
membuat penontonnya semacam menyimpan keraguan dan was-wasnya sendiri ketika
menonton.
Sudah banyak drama yang mengangkat tema psikopat,
dari yang levelnya soft, sampe yang sifat karakter psikonya semacam mau
nyaingin setan kepala tujuh. Baik yang menggunakan sudut pandang psikopatnya
sendiri, atau si korban, atau orang-orang yang berada di luar lingkaran
tersebut. Flower of Evil mengambil jalur ekstrim—menipu penonton. Dan
ini sukses besar mengaduk-aduk perasaan yang nonton. Mana posternya
mendukung banget untuk kita suujonin Baek Hee-sung.. ㅠ.ㅠ
Plot
twist-nya Flower of Evil suka ngagetin sih. Udah mikir A eh kejadiannya malah
D. Nebaknya gini, yang terjadi beda. Bener-bener apik.
Prolog dramanya yang disimpen di episode pertama sangat
meresahkan. Potensi patah hatinya besar sekali. Dramanya kayak yang... yaaak
yeorobun yang baik hati, tolong tissue-nya disiapin yaaa. YANG BANYAK!! /sambil
masang senyum penuh misteri/
Hayooo, siapa yang was-was sendiri takut Baek
Hee-sung bener-bener jahat?
Nonton drama ini ibarat menaiki roller coaster.
Emosi naik-turun. Bikin baper. Bikin banjiiir. Gregetan ㅠ.ㅠ
Flower of Evil menghidupi genre-nya. Suspense
melodrama. Dua-duanya dapet. Kesan misteriusnya juga hidup banget. Seimbang
sih menurut saya. Keharmonisan keluarga
Cha Ji-won dan Baek Hee-sung yang menjadi latar utama Flower of Evil berhasil
menawan hati yang nonton. Bikin iri, apalagi kalau melihat interaksi
bapak-anak, Baek Hee-sung dan Baek Eun-ha. Demi apaaaa manis banget. Potret
nyata seperti yang orang-orang bilang, ayah adalah cinta pertama anak
perempuannya. Mau dilihat dari sudut pandang mana pun, kasih sayang yang
dicurahkan Baek Hee-sung ke anaknya pure lahir dari hati.
Ini kali kedua saya menonton dramanya Jun-ki jadi
bapak dan punya anak perempuan. Pertama di Two Weeks—enggak kalah
bapernya juga. ㅠ.ㅠ
Setiap kali saya selesai menonton satu drama, selalu
disusul satu kesimpulan utama di kepala saya tentang pesan yang bisa saya ambil
dari drama tersebut. Usai menonton, tampaklah gambar besarnya. Dari Flower of
Evil, sekali lagi saya diingatkan bahwasanya manusia pada satu titik tertentu
mampu mengubah dirinya menjadi makhluk paling manipulatif, terhadap dirinya
sendiri juga pada orang lain. Entah untuk alasan yang mana, kita selalu bisa
menemukan jalan untuk menyenangkan atau memuaskan diri meski itu harus
ditebus dengan mengorbankan orang lain. Dari sudut pandang diri sendiri,
kebenaran menjadi sesuatu yang samar-samar dan ambigu.
Pertanyaan yang pernah menghinggapi saya sewaktu
menonton Come and Hug Me turut pula muncul saat menonton Flower of Evil ini;
apakah sifat psikopat bisa diturunkan kepada anak? Ayah psikopat apakah menjadi
jaminan utama si anak akan mengikuti sang ayah?
Menalar dari sudut pandang saya, tidak ada anak
yang terlahir dengan sifat dan sikap iblis. Saya percaya di dalam tubuh kita
tidak ada itu yang namanya gen psikopat, tidak ada asam amino yang mengkode
kebengisan macam itu. Tetapi jika dikaitkan dengan lingkungan, apakah kelakuan itu bisa menurun? Anak hakekatnya akan mengikuti apa-apa yang diserapnya dari
lingkungan, dan lingkungan paling dekat pertama yang membentuk arah hidupnya
adalah keluarga. Jika ia terbiasa melihat, mendengar, dan mengalami hal-hal
buruk, besar kemungkinan ia akan mengikuti itu. Menjadi orang tua bukanlah
pekerjaan mudah. Tanggung jawabnya berat. Berat sekali. Saya belum
merasakan menjadi orang tua, tapi belajar dari orang tua saya, dari mereka yang
telah menggenapi hidup dengan tanggung jawab itu, saya bisa melihat dengan
sejelas-jelasnya; menjadi orang tua berarti perjalanan menaklukan ego sendiri
dimulai. Its the hardest journey. Sometimes. It can be like that.
Dengan kondisi ayahnya yang luar biasa mengerikan
itu, saya tidak bisa membayangkan kehidupan Baek Hee Sung jika tak ada kakaknya
di sisinya. Kakaknya lah yang selalu menjadi benteng pertahanan pertama bagi
Hee Sung, yang berusaha sekuat hati menetralisir pergolakan batinnya. Sedih
sekali melihat kisah hidup dua kakak-beradik ini ㅠ.ㅠ
Jika tidak bertemu Cha Jiwon, apakah Baek Hee
Sung masih memiliki kesempatan membuktikan ke dirinya sendiri kalau ia memiliki
sifat penyayang dan lemah lembut? Saya bisa merasakan sepanjang episode Flower
of Evil, kita dibawa untuk melihat usaha Baek Hee Sung untuk tampil normal—sesekali
melatih wajah senyumnya di depan cermin, apakah itu menandakan ia sedang
belajar memanipulasi dirinya, Cha Jiwon dan putrinya? Saya meragukan itu. Baek
Hee Sung terlanjur memercayai stigma yang dilekatkan orang kepadanya; ia orang
jahat; ia tidak berhak bahagia. Baek Hee Sung percaya ia palsu—sama palsunya
dengan nama yang ia gunakan. Sebelum menjalin hubungan dan menikah, ia berulang
kali mendorong Cha Jiwon agar tidak menyukainya. Karena ia percaya Cha Jiwon
terlalu baik untuk orang seperti dirinya.
Ya, Cha Jiwon lah yang berhasil meyakinkan Hee
Sung bahwa ia berhak dicintai, ia berhak bahagia.
Betapa sudut pandang yang kita lekatkan kepada
orang lain entah sengaja atau tidak, entah atas dasar apa, motif apa, tampaknya
itu memiliki memiliki peluang cukup besar untuk turut berkontribusi pada
pembentukan karakter orang tersebut. Terlebih jika obyeknya adalah anak-anak. Hati-hati.
Dan menonton 16 episode drama yang disutradai Kim
Cheol Kyu (Emergency Couple, Mother, Chicago Typewriter) dan penulis skenario
Yoo Jung Hee (Naked Fireman) ini, sekali lagi, membuat saya mengingat kembali
prinsip sederhana yang masih tetap saya pegang hingga saat ini; bersikap
baiklah pada orang lain. Kebaikan bisa datang dari mana saja, sama halnya
dengan kesadaran. Kita tidak pernah tahu, kata-kata yang baik yang hangat yang
terlepas dari penghakiman bisa memasuki hati orang lain dengan cara tak terduga
dan membuat satu perubahan besar, alangkah melegakannya bila itu berasal dari
kita. Seperti Cha Jiwon kepada Baek Heesung—ketulusannyalah yang telah
menyelamatkan jiwa yang terluka parah itu.
Dunia sudah sedemikian amburadul dan kacau,
janganlah lagi ditambah dengan sikap dan perlakuan buruk kita kepada orang
lain.
Tepuk tangan meriah untuk akting brilian dari Lee
Junki yang gak pernah gagal membuat kita kagum dengan aktingnya, untuk Moon
Chae Won yang berhasil menghidupkan karakter Cha Jiwon dengan sangat baik, lalu
di kecil Jung Seo-yeon—Baek Eun Ha-nya Hee Sung appa yang pinter, imut dan
lucuuu. Gemesin deh kalo dia ngomong sama bapaknya...
Dua supporting role yang mau saya kasih jempol.
Pertama, Kim Moo-jin (Seo Hyun Woo), teman masa remaja Baek Hee Sung yang
selalu setia, banyakan debatnya tapi kita tau dia sayang banget sama Hee Sung,
beneran sayang bukan karena dia mau ngemodusin kakaknya Baek Hee Sung, Doo Hae
Soo (Jang Hee Jin) ㅋㅋㅋ
Supporting role kedua, Choi Jae Sub (Choi Young
Joon), rekan Cha Jiwon di kepolisian. Pak detektif satu ini, meskipun hasratnya
menuntaskan kasus sangat besar, tetapi ketika berhadapan dengan kasus Baek Hee
Sung, ia memilih mundur karena nalurinya (atau kemanusiaannya?) menyuruhnya
demikian.
Daaan scene stealer kita berikan kepada Kim Ji
Hoon, akting psikonya sangat membekas di hati penonton. Btw baru kali ini liat
psikopat ketakutan HAHAHAHAHA.
Casting director drama ini hebat euy bisa
nge-cast aktor-aktor yang meranin masa muda para karakter utama, miriiip banget
aslik!
Oke, mari kita akhiri review singkat yang tidak
mirip review ini dengan satu pesan pengingat dari Hello, Monster kurang lebih
seperti ini, “setiap manusia memiliki dua sisi,
baik dan jahat, siapa yang menang tergantung sisi mana yang kamu beri makan”.
Saya percaya, tidak ada manusia yang terlahir
dengan membawa sifat-sifat buruk di pundaknya.
Rating : 4/5
Highly recommended!
💝💝💝
Sampai jumpa
di review saya yang lain,
Tabik,
Azz
.
.
.
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊