[Review] Ashes of Love (2018)
/nulis sambil dengerin ost Ashes of Love yang
Unsullied-Mao Buyi/ BAAAPEEEERRRRRR ㅠ.ㅠ
Baru aja saya kambek ke Kdramaland, baruuu aja saya
hepi-hepi karena (akhirnya) berhasil memberanikan diri untuk nonton ongoing
buanyak drama meskipun genre-nya berat-berat semua, episode 3 Beyond Evil mengandaskan
semuanya—ongoing drama saya ㅜ.ㅜ.
Anxiety saya kambuh setelah nonton ep 3 Beyond Evil, malemnya perasaan udah ga
enak, cemas berlebihan, ga bisa ditinggal sendirian—sampe insomnia parah. Ke trigger.
Udahlah, saya nyerah aja—ongoing drama disimpen dulu. Pengalaman
ngerasain panic attack ga bisa saya
anggap remeh, se-mengerikan itu buat saya ㅠ.ㅠ
Tapi saya tetep pengen nonton. Mikir-mikir
bagusnya nonton apa yah untuk memperbaiki mood? Kepikiran ke drama Cina,
pas banget di temlen lewat tuh pic-nya main couple Ashes of
Love—drama kolosal Cina yang pernah direkomendasiin sama Yuyu dan Ori kapan
tau. Ga tau kenapa satu pic doang itu bikin saya penasaran, padahal bukan
gambar main couple mesra-mesraan loh, atmosfir nya sedih malah—tragis.
Saya coba tengok sinopsisnya dan jumlah
episodenya, EALAAAHHHH 63 episode bangettt /menangis/ kepentok episode yang
bejibunㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Rekor episode terbanyak yang pernah saya nonton
apa yah? Pokoknya saya termasuk penonton yang mikir banget kalo liat jumlah
episode satu drama, suka ga kuat donlotnya. Belum donlot aja udah ngerasa cape
HAHAHAHA. Dengan modal nekat-kalau ga sesuai selera-drop aja gampang, saya pun
mendonlot 6 episode Ashes of Love. Bener-bener ga pake ekspektasi nontonnya,
walaupun udah kenceng banget dikomporin Ori dan Yuyu, saya (sok) selow bae.
DAAAAN....DAN APAKAH YANG TERJADI SETELAHNYA??
GUESS WHAT?!
Baru nonton episode1 aja saya udah langsung nge
klik, maunya lanjut terus terus teruuusss HAHAHAHA. ㅠ.ㅠ
Luar biasa sekali ya saya. 63 episode siap saya jabanin.
Udah ga pake mikir-mikir lagi. Digaskeun, sudah. Saya berhasil membuktikan
bahwa di mana ada niat dan kemauan di situ pasti ada jalan (halah) PWAHAHAHA.
Sebenernya kerjaan lagi padet merayap banget, persiapan akreditasi sekolah, ujian
kelas 12 dan 9—banyak banget. Syukurlah saya nonton maraton Ashes of Love di
akhir pekan. Jumat, Sabtu, Ahad-saya diisi dengan menonton saja. Tadinya mau saya
sambi dengan Boss Koi-nya Mone, tapi ternyata enggak bisa, enggak bisa dijeda
dengan tontonan lain Ashes of Love-nya.
Apa sih yang bikin saya se-suka ini sama Ashes of
Love? Bener-bener yang—wahhh kereen banget iniiii! Yang saya nonton ulang lagi
dan lagi tiap ada kesempatan, yang beberapa scene-nya tetap bisa bikin saya
nangis, nyesek, walau sudah dinonton berulang kali ㅠ.ㅠ.
Dan saya bisa jamin ini bukan hanya semata-mata karena saya kepincut sama
kharisma dan pesonanya Xu Feng, si Dewa Perang itu. Banyak aspek drama ini
menurut saya jadi kunci sukses kepopulerannya saat ditayangkan 2018 silam.
1.
Storyline yang tidak membosankan
Ashes of Love adalah drama yang diangkat dari
novel karya Dian Xian berjudul Heavy Sweetness, Ash-like Frost, dengan
total 63 episode.
63 episode ini mau nyeritain apa sih? Kalo baca
sinopsisnya, gak menggugah, ga menarik perhatian. Hal pertama yang muncul di
kepalsaya ketika membaca jumlah episode Ashes of Love adalah kekhawatiran
jangan-jangan tar ada bagian ngebosenin dari ceritanya. 63 banget ini. Dasarnya
karena saya belum punya pengalaman yang banyak dengan drama kostum Cina jadinya
ya begini. Dan lagi, bicara kualitas cerita, umumnya C-drama sering banget kentang
di tengah jalan. Sulit menemukan C-drama yang bisa konsisten pada plot, pace,
dan character development-nya.
Dan kekhawatiran saya enggak terbukti. Nonton
Ashes of Love tuh ga kerasa waktu 1 episode tau-tau udah kelar aja. Part
ngebosenin? Nggak ada. Saya sibuk ketawa, ngakak, baper, nangis, ketawa—dah gitu aja siklusnya, yang
ending-nya saya sedih banget, ga mau Ashes of Love tamat... pengen lanjut
nonton kehidupannya Xu Feng dan Jin Mi. ㅠ.ㅠ
Ashes of Love menceritakan tentang ujian cinta
10.000 tahun yang harus dijalani Xu Feng dan Jin Mi. Ashes of Love dipenuhi
intrik dan tragedi, dibalut dendam, romansa, pengkhianatan, dan kehilangan.
Saat kelahiran Jin Mi, ibunya yang merupakan Dewi
Bunga memberikannya Yun Dan sebuah pil yang membuat Jin Mi tidak bisa
merasakan cinta. Sebelum kematiannya yang tragis Dewi Bunga melihat di masa
depan puterinya akan mengalami ujian cinta yang bisa membahayakan nyawanya
sendiri, sebab itulah ia meninggalkan Yun Dan di tubuh Jin Mi.
Tapi takdir, jika telah digariskan, tidak ada
yang bisa membelokkan atau menahannya agar tidak terjadi.
Jin Mi bertemu Xu Feng (Phoenix) yang
dijuluki Dewa Api, putera dari Raja Langit dan Permaisuri Langit. Garis takdir
mereka yang dipenuhi tragedi pun dimulai.
1st half Ashes of Love banyak
diisi ke-uwu annya Jin Mi dan Xu Feng. Saya nggak bisa menahan kegemasan saya
ngeliat interaksi mereka. Duh, menggemaskan sekaliiii. Xu Feng jatuh cinta
duluan sama Jin Mi, sementara itu Jin Mi-nya belom mudheng, enggak ngeh apa
itu cinta, di jantungnya masih ada Yun Dan—pil penahan rasa cinta itu. Nah ini
yang bikin gemas. Si polos Jin Mi harus meladeni Xu Feng yang tangguh, yang sok
cuek tapi merhatiin diem-diem ADUUUHHHHH XU FEENGGGG-nya manis banget di
periode ini. Saat Jin Mi masih tinggal di istananya Xu Feng ㅠ.ㅠ
Sebenernya wujud aslinya Jin Mi dan Xu Feng sudah
bertolak belakang banget, kayak nggak akan pernah ketemu. Jin Mi, Bunga
Es, dan Xu Feng si Dewa Api. ㅠ.ㅠ
Second half Ashes of Love
tidak lagi berisi keuwu-an, tapi air mata di mana-mana. Nyesek, baper parah
banget.
Run Yu yang merupakan kakak Xu Feng dari ibu yang
berbeda merebut tahta kerajaan langit dari ayahnya. Upaya perebutan tahta
tersebut berhasil mengubah peta cerita Ashes of Love. Di masa lalu, Raja Langit
dan Dewa Air—ayah Jin Mi, telah mengikat janji untuk menjodohkan anak tertua
mereka. Jadi, Jin Mi dan Run Yu itu sudah ditunangkan orang tua mereka
jauh-jauh hari. Kebayang kan konfliknya? Kakak beradik jatuh cinta pada orang
yang sama. Xu Feng bersedia menyerahkan semuanya pada Run Yu, kecuali Jin Mi,
sedangkan Run Yu, ia merebut tahta demi mempertahankan Jin Mi di sisinya
walaupun ia sadar hati Jin Mi hanya untuk Xu Feng.
Ujian 10.000 tahunnya Xu Feng-Jin Mi bener-bener
menguras emosi. Dari yang saling cinta, saling benci, dan upaya mereka untuk
bersatu kembali mengharu biru sekali, ini hati berasa diaduk-aduk, patah hati,
marah, nangisin nasibnnya Xu Feng, aku sampe kesel banget ke Jin Mi, pengen
nyekik abis nonton ending ep 45, dan di sisa episode berikutnya aku gantian
nangis bareng Jin Miㅠ.ㅠ.
Akankah kekuatan cinta Phoenix dan Frost
berhasil menaklukan kutukan ujian cinta 10.000 tahun?
2.
Character Development
Drama yang gagal ngebangun karakter-karakter yang
mengisi cerita akan terasa sangat membosankan, flat. Selain jalan cerita
yang konsisten, dukungan character development pun memegang peranan
penting. Karakter-karakter di Ashes of Love menunjukkan perkembangan yang baik,
sejak drama dimulai hingga selesai, bahkan untuk pemeran pendukungnya juga
keliatan jalan perkembangan karakternya.
Di drama ber-genre fantasi ini, tidak ada
karakter yang bener-bener jahat atau baik, mereka tidak digambarkan hitam dan
putih. Setiap tindakan yang diambil selalu jelas motif-nya. Walaupun setting
kehidupan para tokohnya adalah alam langit, alam iblis, dan lain-lain, tapi
penggambaran sifat-sifat karakternya sangat manusia. Filosofi yang mengikuti
drama sangat erat dengan ajaran-ajaran kehidupan manusia. Makanya saya bisa relate
ke dramanya.
Drama ini menganut paham apa yang kamu tanam
itulah yang kamu petik. Setiap karakternya memiliki closure nya
masing-masing. Setiap tindakan mendapat ganjaran. Kita tidak bisa memaksa
memiliki apa-apa yang sejak awal memang tidak diperuntukkan pada kita. Menurut
saya Ashes of Love ini bukan sekadar drama fantasi romance, banyak
ajaran hidup yang bisa diambil dan dipahami. Sisi gelap emosi manusia
banyak diperlihatkan, betapa ambisi dan dendam bisa menghancurkan apa saja.
Adegan favorit saya banyak, wabilkhusus antara Xu
Feng-Jin Mi, tapi satu adegan antara Run Yu dan Xu Feng di ep 63 yang cuman
beberapa detik doang tapi efeknya wahhhhh nangiiiiissss.
Xu Feng manggil Run Yu “kakak”, setelah semua yang telah mereka hadapi, setelah semua kehilangan-kehilangan yang telah tejadi... Run Yu berusaha menahan gejolak kesedihannya. “Take care.” Tanpa balik badan Run Yu membalas panggilan Xu Feng. ㅠ.ㅠ
Supporting roles favorit saya jatuh pada Dewa Bulan dan Puchi.
3.
CGI
ASLIK KEREN BANGET.
Alus banget CGI-nya. Jujur nih, yang bikin saya
terpesona di episode 1 dan bisa ngerasa nyaman nonton adalah CGI Ashes of Love.
Paling suka CGI-nya alam bunga. Dipenuhi warna-warni yang memanjakan mata.
Pilihan warnanya juga bagus banget.
Tiap alam nuansanya beda dan punya ciri khas.
Pokoknya keren! Kagum banget sama CGI-nya, bukan kacangan.
Eh, kostum-kostumnya juga bagus. Temanya sesuai
dengan asal tokohnya. Pemilihan warna kostumnya disesuaikan dengan sifat-sifat
atau pembawaan tokoh-tokohnya.
CGI untuk adegan perang di ep 61 GILAAKKKK.
Dahsyat!!
4.
Dubbing
Sudah jadi hal biasa drama Cina di-dubbing. Tapi saya kadang keganggu banget dengan dubber-nya. Mood ngedrama bisa buyar gara-gara itu. Suka nggak pas aja di kuping. Syukurnya, dubbing di Ashes of Love aman. Ketiga tokoh utamanya pake suara sendiri. Suaranya Xu Feng (Deng Lun) enak banget huhuhuhu.
5.
Akting dan chemistry-nya ciamik!
Main drama fantasi punya tantangan tersendiri.
CGI main banyak, jadi si aktor harus bisa akting seolah-olah ia melihat yang
tidak ada—sisanya biar CGI yang bertindak wkwk. Jadi enggak mudah. Harus bisa
dipercaya banget aktingnya. Nah, di Ashes of Love ini akting pemerannya
kece-kece euy. Ekspresinya kayak beneran. Akting kesakitan dihantam cahaya dll.
Selama syuting pasti keliatan lucu itu, tapi merekaa berhasil menyuguhkan
kualitas akting yang bagus banget. Salut.
Luo Yunxi—wah. Cocok banget dia meranin Run Yu yang keliatan kalem, lemah, tapi sebenernya menyimpan sesuatu. Dari yang soft berubah jadi ganas dan ambisius. COCOK sekali.
Deng Lun dan Yang Zi.... wah... detail ekspresinya
kereeeennnnn. Jadi, ada satu scene Xu Feng menghantam Jin Mi dengan
kekuatannya, scene yang emosional banget. Nun jauh di dalam hatinya Xu
Feng tidak tega, tapi dia harus melakukan itu karena ia kecewa pada Jin Mi. Ya
ampun, tolonglah itu ekspresinya Xu Feng.... kayak yang, please, Jin Mi...
kamu cepet pergi biar aku bisa berhenti nyakitin kamu... Sedih banget
liatnya. Deng Lun aktingnya juaraaaaaㅠ.ㅠ
Bicara chemistry main couple, Yang Zi dan
Deng Lun berhasil menghidupkan karakter Jin Mi dan Xu Feng. Mantap jiwa chemistry-nya.
Ini kali pertama aku nonton aktingnya Yang Zi dan
Deng Lun. Bagus banget. Perkembangan emosi-nya detail. Jin Mi di awal-awal
episode terlihat polos, lucu, menggemaskan, memasuki paruh kedua, senyum Jin Mi
hilang berganti muram dan kesedihan yang tiada berkesudahan. Pun dengan Xu
Feng. Xu Feng semasa di kerajaan langit dan Xu Feng di alam iblis sangat jauh
berbeda, garis-garis emosi di wajah dan matanya memiliki perbedaan yang besar.
Apa coba namanya ini kalau bukan karena kekuatan akting yang bagus? Dah lah, Xu
Feng memang dilahirkan untuk diperankan oleh Deng Lun.
Interaksinya Deng Lun dan Yang Zi di bts-bts nya
gokil dan lucu. Bisa banget ya mereka, di belakang ngakak-ngakak, tapi di drama
bikin kita yang nonton percaya kalo mereka bener-bener saling cinta saling
sayang. Susah sih udah temenan lama dari jaman jebot, makanya chemistry-nya
bagus banget.
Akting nangisnya Yang Zi.... ㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
6.
Musik
Selain CGI, musik yang menjadi latar Ashes of
Love cukup besar pengaruhnya dalam membangun mood saya menonton drama ini. BGM
dan OST yang mengisi Ashes of Love menyatu dengan dramanya, dan turut
memberikan nuansa-nuansa emosional yang semakin menguatkan point of view setiap
adegannya.
OST favorit saya adalah Heaven and Earth, dan Unsullied.
♥
Sebelum nonton Ashes of Love, saya termasuk tipe
penonton yang mikir banget kalo nemu drama yang punya jumlah episode bejibun,
saya termasuk penikmat Cdrama yang selalu ragu-ragu nonton kalo direkomendasiin
drama kostum, tapi setelah nonton Ashes of Love, mood saya terhadap genre satu
ini berubah total. Untuk drama kostum, fantasi atau sejarah, Ashes of Love
adalah standar saya. Kalau bagusnya kayak Ashes of Love, berapa pun jumlah
episodenya akan saya nonton.
Tidak pernah terpikirkan saya akan se-enjoy ini menonton
drama kostum Cina.
Ashes of Love dirilis tahun 2018, dan saya
menonton di tahun 2021 ini. Tidak ada kata terlambat untuk drama bagus, iya
kan?
Tau ga sih, sambil nonton Ashes of Love, saya
teringat masa kecil. Saya ingat Bibi Lung dan Yoko—iconic character yang
menemani masa kecil kita, anak-anak gen 90. Saya juga teringat, dulu sering
main pendekar-pendekar dengan teman sebaya, meniru drama-drama Cina, pake
selendang-selendang juga HAHAHAHAHA.
Saya menutup short review (yang nggak mirip)
review ini dengan satu kutipan yang saya ambil dari satu adegan di Ashes of
Love, satu kutipan yang terus menghantui saya.
“Have you ever loved me?”
“Never.”
Ashes of Love adalah drama fantasi dengan paket lengka. Cerita yang solid, penokohan yang kuat, plot dan konflik yang berkembang dinamis, CGI yang rapi dan alus banget, disertai OST yang keren. Oh, dan tentu saja akting para aktor dan aktris-nya yang juga solid. Saya tidak menyesal menghabiskan akhir pekan saya menonton drama ini. 👏👏👏👏
Anyway, Its happy ending. 💗😍
On going 2x juga nonton ini, emang sekeren itu dramanya :")
ReplyDeleteSalah satu drama china terfavorit❤️, kalo mimin suka yg model ashes of love gini saya rekomendasiin salah satu drama china xiaxia terbaik taun ini min judulnya "ancient love poetry" wajib banget buat mimin tonton, saya harap mimin juga akan buat Review ttg drama ini
ReplyDeleteHaiiii, nanti kalo aku ada waktu lowong, dan mood nge drama kostum aku akan nyoba nonton Ancient Love Poetry yak! Makasih rekomendasinya ^^
DeleteBaiklah
ReplyDeleteaku nonton iniii tengkyuuu reviewnyaaaa
Mmg sebagus itu siiih.. s.d. skrg th 2022 baca review ini, sy masih suka tuh liat di youtube potongan2 drama ashes of love.. kangen deng lun bsa ber akting lgi... hiks
ReplyDelete