[Review] Designated Survivor, 60 Days/60일, 지정생존자
Sinopsis
Pada sebuah acara kenegaraan berkaitan
dengan rencana unifikasi Korea Utara dan Korea Selatan, sebuah ledakan besar
terjadi dan menghancurkan Gedung Majelis Nasional. Tidak hanya itu, ledakan
tersebut juga telah turut menewaskan Presiden Korea Selatan saat itu, Yang Jin
Man (Kim Gab Soo) dan hampir seluruh petinggi negara lainnya. Park Moo Jin (Ji
Jin Hee), Menteri Lingkungan, merupakan satu-satunya menteri yang selamat. Ia
tak berada di Gedung Majelis Nasional ketika ledakan terjadi.
Pasca ledakan, terjadi
kekosongan kekuasaan di Blue House. Menurut Konstitusi Republik Korea Pasal 71,
ketika presiden berhalangan hadir dalam tugas kepresidenan karena alasan
tertentu, perdana menteri atau anggota kabinet terpilih akan menjadi presiden
interim, atau pelaksana tugas sementara presiden.
Maka sesuai konstitusi Park Moo
Jin lah yang berhak ditunjuk sebagai Presiden Interim dengan masa kerja 60 hari
sebelum pemilihan umum presiden berikutnya dilaksanakan. Meskipun tak menginginkan
posisi tersebut, demi alasan keamanan negara ia bersedia menerimanya. Selain
berjuang mengembalikan kestabilan negara, dalam masa kerja 60 harinya, Park Moo
Jin juga bekerja keras membongkar dalang di balik ledakan besar yang telah
mengguncang Korea Selatan tersebut.
Mampukah profesor kimia ini
menjalankan tugasnya sebagai Presiden Interim, sedang ia bukanlah seseorang
yang datang dari lingkungan politik?
Drama berjumlah 16 episode yang
ditayangkan di stasiun tivi kabel tvN ini merupakan remake dari serial
televisi Amerika dengan judul yang sama.
Cast and Characters
Ji Jin Hee as Park Moo Jin
“The world might never change. That’s why I won’t change either.”
–Park Moo Jin
Kita tidak pernah tahu apa yang
akan terjadi dengan hidup kita semenit ke depan. Itulah yang terjadi pada Park
Moo Jin. Dalam sekejapan mata rotasi hidupnya berubah total. Tak berselang lama
setelah Presiden Yang Jin Man memecatnya dari posisi Menteri Lingkungan, sebuah
insiden berdarah menimpa kabinet kerja yang dipimpin Presiden Yang—Gedung
Majelis Nasional runtuh akibat ledakan bom. Presiden dan sejumlah petinggi
negara tewas. Park Moo Jin lantas diangkat menjadi presiden sementara Korea Selatan
menggantikan mendiang Yang Jin Man.
Menjadi presiden sebuah negara
yang sedang berada dalam posisi genting bukanlah hal mudah, terlebih bagi Park
Moo Jin. Ia bukan seseorang yang datang dari dunia perpolitikan. Sejak hari
pertama dirinya dikukuhkan sebagai Presiden Sementara, Park Moo Jin sudah
menghadapi banyak pertenyangan dan gesekan, baik dari dalam Blue House sendiri
maupun dari pihak oposisi. Tak sedikit yang meragukan kemampuannya. Dan kita
sama-sama tahu, seringkali deal-deal politik membuat seseorang secara
sadar atau tidak sadar terlepas dari akar jati dirinya yang sesungguhnya,
terlepas dari hal-hal yang menjadikannya manusia beretika. Sepanjang 16 episode
drama ini, Park Moo Jin membuktikan bahwa berada di lingkungan politik tak
mesti harus melunturkan warna asli seseorang.
Saya adalah satu dari sekian
banyak orang yang memiliki pandangan pesimis cenderung sinis terhadap
dunia politik negara kita—tak hanya sekali saya menahan mual saat tak sengaja
menonton berita atau diskusi-diskusi politik di televisi. Disgusting.
Ada kemarahan yang tak teralamatkan. Maka ketika saya menonton Designated
Survivor remake ini, yang paling saya perhatikan adalah perkembangan
karakter Park Moo Jin. Apakah orang baik ini akan mampu mempertahankan
reputasinya sebagai orang baik meski berkecimpung dalam lingkungan yang
kerap membuat orang lupa diri? Saya muak dengan politik yang ditampilkan
televisi, bolehlah sekali-sekali saya mendapatkan penghiburan dari
drama.
Yeah.
I’m glad Park Moo Jin didn’t disappoint me.
Park Moo Jin adalah tentang satu
sosok yang semakin sulit kita temukan di hari-hari belakangan ini. Untuk bisa
memahami Park Moo Jin sepenuhnya, maka kita perlu meminggirkan kalkulasi menang
atau dalam kalah setiap pertempuran politik. Sebab sosok berintegritas
dan bertanggung jawab seperti Park Moo Jin tak pernah memasukkan hal semacam
itu dalam kamus hidupnya. Dan karena ini pula, mendiang Presiden Yang Jin Man
memecatnya dari Menteri Lingkungan—ia terlalu berharga untuk dikotori lumpur
hitam politik. Park Moo Jin adalah jenis orang yang akan mengedepankan
kebenaran tak peduli jika nantinya itu akan merugikan dirinya. Pendeknya, Park
Moo Jin tidak akan menghalalkan segala cara demi meloloskan ambisinya—jika saja
ia memiliki itu. Yang paling mengesankan saya dari karakter ini adalah
kejernihannya berpikir dan kemampuannya menganalisa setiap situasi sebelum
mengambil keputusan. Alih-alih memikirkan kemenangan dengan menjatuhkan lawan
politiknya, keputusan yang diambilnya kerap menjadi penengah yang
mengurai kekusutan antara dua-tiga pihak yang terlibat perkara. Ia yang
tak menganggap musuh pihak yang berseberangan dengan dirinya, ia bahkan tak
sungkan bertemu dengan pihak-pihak tersebut jika menyangkut urusan negara dan
bangsanya. Tak jarang pula keputusannya memunculkan riak. Namun sekali lagi, ia
bukanlah tipe orang yang memenangkan pertempuran dengan cara melukai
atau menjatuhkan lawannya.
Satu kalimat dari Sek. Cha
kepada Menteri Oh tepat menggambarkan kebijaksanaan seperti apa yang dimiliki
Presiden Park sebagai presiden.
“Presiden Park adalah seseorang yang mengenal
rasa takut untuk posisi ini (presiden). Itulah alasan aku bisa memercayainya.”
Penting bagi kita memelihara
rasa takut saat memegang sebuah jabatan. Rasa takut itu yang akan menjaga kita
dari melakukan hal-hal di luar kapasitas yang nantinya bisa membuat kita
melakuan abuse of power dan abuse of authority .Tak banyak orang
yang mampu menjaga jarak dari apa-apa yang bisa membuatnya kehilangan
integritas. Park Moo Jin adalah satu dari yang tak banyak itu. Sungguh,
betapa kita rindu dengan orang-orang seperti ini.... sangat rindu. ㅠ.ㅠ
Ji Jin Hee berhasil memerankan
karakter Park Moo Jin yang kharismatik dengan baik. Jika tak salah ingat drama
ahjussi yang saya tonton terakhir kali adalah Blood
(KBS, 2015). Karakternya di drama bertema vampir
itu cukup menyebalkan hingga saya memutuskan men-skip scene-scene
yang ada dia-nyaㅋㅋㅋㅋ.
Heo Jun Ho as Han Joo Seung
“I devoted my life and put my
faith in the people of this nation. They are the ones who betrayed us first.” –Han
Joo Seung.
Kekecewan sanggup mengubah
seseorang menjadi monster.
Karakter Han Joo Seung berangkat
dari niat baik. Ia mencintai negara dan bangsanya. Han Joo Seung mengidamkan
Korea Selatan kelak akan tumbuh menjadi sebuah negara yang kuat dan menjadi
kebanggaan rakyatnya. Pikirnya dengan terpilihnya Yang Jin Man—capres yang
diusungnya dengan sepenuh hati—akan menjadi titik awal impiannya akan sebuah
negara ideal itu. Namun, perjalanan mimpi tersebut menuju kenyataan tak semulus
yang ia kira. Rating terhadap kinerja Presiden Yang terus menurun.
Ketidakpuasaan masyarakat meningkat.
“The people fear and obey those who
reign over or govern them. That’s what I learned through our failures.”
Han Joo Seung menilai, agar bisa
menaklukan masyarakat, maka pucuk pemerintahan haruslah dipegang
seseorang yang memiliki keinginan mengusai yang kuat. Sebuah hasil
pemikiran yang lahir dari rahim kekecewaan yang dalam. Dari karakter Han Joo
Seung, saya belajar bahwa nyatanya tak hanya kekecewaan yang bisa mengubah
seseorang, cinta yang kelewat besar juga. Cintanya yang besar terhadap
negaranya akhirnya berhasil memanipulasinya—niat baiknya menciptakan negara
yang kuat dan menjadi kebanggaan masyarakatnya ia tempuh dengan cara yang
keliru.
Sejujurnya, saya kasihan sama
karakternya Han Joo Seung. Sedih juga—membayangkan sebegitu besarnya ia
memendam kekecewaan terhadap bangsanya sendiri, yang ia cintai bahkan mungkin
melebihi dirinya sendiri.
Mungkin karena kuatnya karakter
antagonis yang diperankan beliau di drama terakhirnya yang saya nonton—Come and Hug Me (MBC,
2018)—saya seketika merasakan bad feeling yang
kuat saat melihat kemunculannya pertama kali di episode pertama drama
ini. I have trust issues with this ahjussi. Dan demi membuktikan
kecurigaan, saya setia mengobservasi karakternya. Seiring berjalannya waktu,
dari episode satu ke episode berikutnya saya mengalami konflik batin. Di satu
sisi saya percaya ada sesuatu dengan karakter Sekretaris Han, namun di
sisi lain saya berharap itu bukan dia. ㅠ.ㅠ
Son Seok Koo as Cha Young Jin
“Aku ingin melihat sekali saja, orang baik
menang.”
Sekretaris kepresidenan yang
cerdas, berintegritas, dan relatif bersih. A young king maker who has
a bright and promising future, yang memiliki visi dan misi politik yang
jelas. Menurut saya, Cha Young Jin adalah karakter yang brilliant. Ia
mampu menangkap dan memanfaatkan peluang dalam situasi sulit. Dia orang baik.
Scene ketika
Soo Jung menuduh Sek. Cha hanya peduli pada tingkat kepuasan masyarakat
membuktikan Sek. Cha orang yang mampu bertindak tepat dalam situasi rumit. Soo
Jung panik usai insiden penembakan yang menimpa Presiden Park. Ia bahkan
menuduh Sek. Cha sebagai orang paling diuntungkan situasi tersebut. Tuduhan itu
muncul karena dilihatnya Sek. Cha seperti tak terganggu dengan kritisnya
Presiden Park. Jawaban yang diberikan Sek. Cha kepada Soo Jung bikin saya
pengen ngasih Sek. Cha jempol sebanyak-banyaknya.
“... karena aku tidak mau periode
ketidakhadirannya dikenang sebagai kegagalan.”
Saya mau buka-bukaan di sini.
Pada banyak scene saya kerapkali melupakan Cha Young Jin ini hanyalah
sebuah karakter fiksi, saya ikut larut dalam ekspresi dan gesturnya. Sok
Seok Koo is doing a great job portraying his character. I told you this oppa is
a gem. His acting so raw and detailed. Saya menonton aktingnya di Mother,
dan Suits—dalam setiap perannya—sekecil apapun itu—ia membuat saya percaya
karakter-karakter tersebut adalah dirinya yang sesungguhnya. Son Seok Koo
membuat mereka—karakter-karakter tersebut hidup dengan ciri
khasnya masing-masing.
I think I’ve found my new favorite K-actor. Claps for me,
please... *Menunggu hari di mana Son Seok Koo mendapatkan
peran utamanya*
Do well, oppa!
Lee Joon Hyuk as Oh Young Seok
“Due to ethnic background,
disability, nationality, affiliation, race, religion, and even beliefs, in
every way, people have found a way to discriminate against others. Its how one
can be at a slight advantage in this dog-eat-dog world. Its basic instinct.
Because we are human, we can never openly admit to it, though. No one would dare
say that they support discrimination.”
Darn it.
Se-sebel-sebelnya saya sama karakter satu ini, kalimat yang dilontarkannya
kepada Presiden Park dengan wajah sinis ini berhasil menampar saya. Kita tuh
entah disadari atau enggak, sering melakukan diskriminasi kepada orang lain
dengan menggunakan berbagai macam alasan sebagai tameng. Misalnya nih, kita
sibuk menuntut kebebasan berpakaian namun di saat yang sama kita juga nge-diss
mereka yang memutuskan menutup bagian tubuh karena alasan perintah
agama. Playing victim dan standar ganda masih sering ditemukan dalam
lingkungan masyarakat kita. Kita suka nggak sadar diri.
Oh Young Seok adalah anggota
majelis Periode Satu, ia menjadi satu-satunya korban selamat dari aksi
pengeboman yang mengakibatkan runtuhnya Gedung Majelis Nasional. Skenario
selamatnya Oh Young Seok dari tragedi mengerikan hingga mengantarkan dirinya sebagai
salah satu kandidat terkuat pemilihan presiden di pemilu berikutnya telah
di-desain sedemikian rupa oleh mereka yang berkepentingan. Bagian mengerikan
dari grand design ini adalah upaya memanfaatkan simpati dan kesedihan
masyarakat demi meng-golkan rencana besar mereka, dibantu media,
semuanya tampak natural dan meyakinkan. Maka terbentuklah pendapat bersama yang
padu satu sama lain di kalangan masyarakat. Kita mendukung orang baik—something
like that.
Simpati dan empati tak ubahnya
pisau bermata dua.
Oh Young Seok menerima dirinya
dimanfaatkan pihak tertentu karena ia sendiri memiliki agenda lain—terkait
dendamnya kepada negara dan pemerintah yang pernah membuangnya saat
masih di kesatuannya. Sebenarnya bukan hal baru di drama tentang seorang yang
diabaikan negara saat sedang berada dalam misi. Namun justru karena sering
diulang dengan latar belakang cerita yang bermacam-macam, saya pun jadi
kepikiran sudah berapa banyak kejadian seperti ini terjadi di dunia nyata? Rasanya
hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi.
Seperti halnya apa yang dialami
Han Joo Seung, meski saya tidak setuju dengan pilihan dua orang ini, saya tetap
tidak ingin men-judge perilaku mereka. Tidak ingin memberikan pemahaman
ataupun menyalahkan. Everything happens for reason. Sedih aja mengingat
motif yang melatarbelakanginya.
Ngomong-ngomong, nambah satu lagi
aktor yang terkena imbas gara-gara peran antagonis dari drama
sebelumnya—seriously, I have trust issues with this guy LOL. Tiap nonton
dramanya, perannya pasti jadi orang jahat. Makanya pas dia nongol di drama ini,
saya langsung ilang feeling gitu, udah optimis banget perannya pasti ga beda
jauh dari yang sebelumnya ㅋㅋㅋ
/menunggu hari di mana Lee Joon Hyuk jadi orang baik-baik di drama berikutnya/
Blue House Squad
Kalau ditanya apa favorite
scene saya dari Designated Survivor, saya nggak akan ragu-ragu menjawab;
setiap kali Squad alias staf-nya Presiden Park Moo Jin ngumpul entah dalam
keadaan santai, atau ketika masing-masing ngasih laporan kepada presiden.
Selain Sekretaris Cha, saya
selalu setia menunggu kemunculan Juru Bicara Kepresidenan—Kim Nam Wook. Jubir
Kim dan Sec. Cha memiliki kepribadian yang berbeda tapi cukup kompatibel dalam
beberapa hal. Keduanya memiliki cara yang khas untuk saling memuji—lewat
sindiran misalnya ㅋㅋㅋ Satu hal
yang tak terbantahkan, meski Sec Cha dan Jubir Nam berbeda dalam banyak hal
namun mereka bersepakat; sama-sama menghormati dan menginginkan Park Moo Jin
mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat presiden. Hepi banget ngeliat
mereka bickering mempertahankan pendapat masing-masing, tapi di akhir
semua itu tujuan mereka sebenarnya sama; memikirkan bagaimana menjaga Presiden
Park. Oh iya satu lagi kesamaan mereka, sama-sama menyukai perempuan yang sama.
Cinta segitiga antara Sec Cha, Jubir Nam dan Jung Soo Jung ngegemesin. Jubir
Nam selalu selangkah di belakang Sec Cha dalam mengejar Jung Soo Jung.
Sec Cha blak-blakan ngasih sinyal, sementara Jubir Nam agak smooth, kebanyakan
ngasih kode gitu makanya keduluan mulu HAHAHAHA. But Its cute tho.
my fave tandem |
Peran Lee Moo Saeng sebagai Kim
Nam Wook berhasil menggeser kejengkelan saya yang muncul alamiah akibat
perannya sebelumnya di One Spring Night
(MBC, 2019)—Annoying character yang
bikin saya pengen ngumpat panjang kali lebar setiap kali dia nongol. The
real definition of ENEG.
Saya hampir bersorak sewaktu Kim
Nam Wook maju ke hadapan para wartawan, mengambil alih kekosongan juru bicara
yang tak mampu menangani serangan pertanyaan pencari berita. Setelah resmi
menjabat posisi Jubir, Kim Nam Wook berkali-kali menyelamatkan wajah
Blue House dari serangan publik dan media, berkat Kecepatan dan ketepatannya
mengendalikan situasi. Kalimat-kalimat yang disampaikannya kepada wartawan
terukur, jelas, dan tepat sasaran. Keren. Um, Jubir Kim ini orang yang seneng
dipuji. Makin dipuji makin semangat kerjanya wkwk. Apalagi kalau yang muji Mbak
Soo Jung HAHAHAHA.
Ada juga staf lain yang bikin
sayang dan haru melihat semangat kerja dan ketulusan mereka—Cutie Park
Soo Kyo, Ko Young Mook, An Se Young, Min Hee Kyung. An Se Young pernah membelot
tapi nggak lama, berkat kebijaksanaan Presiden Park ia bisa
menyadari kekeliruannya dan kembali melengkapi Blue House Squad.
Saya bersyukur Presiden Park
dikelilingi orang-orang yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan mereka. Kehadiran
orang-orang ini seolah ingin menegaskan bahwa masih banyak orang baik dalam
lingkungan politik. Di antara silang sengkarut berbagai macam kepentingan atas
nama kelompok dan semacamnya, dunia politik tak melulu melahirkan kepala-kepala
yang diisi ambisi saling menjatuhkan dan mengalahkan. Saya (masih) ingin
memercayai ini.
NIS Squad
Saya menikmati kehadiran Trio
NIS Han Na Kyung, Seo Ji Won dan Jung Han Mo (Kim
Joo Hun). Awalnya saya nggak ngeh kalau yang
memerankan Seo Ji Won itu adalah orang yang sama dari Fiery Priest (SBS, 2019)—si pendeta muda
yang sukses bikin saya ngakak sampe mules gara-gara akting parodinya di drama
itu. Jeon Sung Woo
makin bening euy makanya saya nggak ngenalin /ngeles/. Chemistry-nya dengan Kang Ha Na yang memerankan Han Na Kyung
lumayan strong. Ga ditunjukkan secara terang-terangan sama SW-nimnya,
tapi yang nonton tau banget Seo Ji Won sayang se-sayang sayangnya sama Na
Kyung. Tatapan sembunyi-sembunyinya ke Na Kyung soft banget. Lowkey ngedukung
Seo Ji Won dan Na Kyung hihi.
Saya sungguh-sungguh menaruh
simpati luar biasa pada kisah cintanya Na Kyung dan kekasihnya—Kim Joon Oh.
Sayang sekali ending kisah mereka sesedih itu...
Park Moo Jin’s Family
Di sisi seorang pria sukses, berdiri
perempuan hebat. Seperti itulah makna kehadiran Choi Kang Yeon bagi Park Moo
Jin.
Transisi karir mendadak yang
dialami suaminya tak lantas membuat Choi Kang Yeon (Kim Gyu Ri) limbung. Sebaliknya, ia hadir
menguatkan suaminya dengan sebesarnya penerimaan dan pengertian, memberinya
bantuan di saat penting, menguatkan hati suaminya di kala urusan-urusan
kenegaraan membuatnya murung. Choi Kang Yeon adalah First Lady kita
semua. Adem banget liatnya. Kisah cinta Pak Presiden dan istrinya romantis
banget deh. Dari situ aja udah ketahuan Pak Presiden memiliki kepribadian yang hangat,
penyayang—tipe family-man.
Hubungan Park Moo Jin dan anak
cowoknya digambarkan dengan realistis. Kenyataannya dalam banyak kasus anak
cowok emang susah deket ama bapaknya. Terharu banget ngeliat Presiden Park keukeuh
melindungi status Si Wan agar tidak terekspos media.
Potret keluarga kecil Presiden
Park memberikan poin tersendiri untuk Park Moo Jin. Bagi keluarganya, ia adalah
sosok dependable dan manusiawi tentunya.
My Two Cents
“I would like to see it too. A
world where people win because they are good.” –Kim Nam Wook
Saya ngikutin Designated
Survivor 60 Days setelah tayang 12 episode. Nggak ada alasan khusus kenapa saya
akhirnya mutusin nonton, waktu itu emang list tontonan yang diseriusin
dikit banget ditambah kondisi kesehatan saya lagi ngedrop parah, sebulanan
aktifitas lebih banyak diabisin di rumah—di kasur tepatnya, saya butuh kesibukan.
Ya udah didonlotlah drama-drama ongoing yang lumayan menarik menurut review sambil
lalu warga twitter di temlen saya. Designated Survivor salah satunya.
Plot episode-nya menarik
perhatian saya. Yang paling bikin penasaran tentu saja Presiden Interim Park
Moo Jin. Menarik mengikuti perubahan mental dan emosi Presiden Park di
awal-awal penunjukkannya sebagai presiden interim. Bagaimana ia menangani
masalah demi masalah yang datang di tengah situasi tidak menentu pasca ledakan
Gedung Majelis Nasional. Selain itu, upaya-upaya untuk menguak siapa dalang di
balik tragedi berdarah yang turut menewaskan presiden kala itu.
Sedari awal, Presiden Park telah
menegaskan bahwa ia tidak akan mengikuti pertarungan pemilihan presiden yang
akan dilangsungkan di akhir kepemimpinannya. Keputusannya menerima mandat
presiden sementara semata karena dorongan tanggung jawabnya sebagai warga
negara. Lalu apa yang kemudian membuat Park Moo Jin mengubah pendiriannya untuk
mencalonkan diri? Ambisikah? Saya yakin sekali bukan itu. Di antara sekian
banyak alasan yang mungkin saja menjadi dasar alasan Presiden Park
mencalonkan diri saya ingin memercayai ini, bahwa Park Moo Jin
menghargai dan ingin melindungi orang-orang yang memercayainya. Ia percaya
dengan bantuan dan dukungan orang-orang baik dan tulus seperti Sek. Cha, ia bisa
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Terlebih lagi ada agenda
paling mendesak yang harus dituntaskan—pengusutan kasus bom Majelis Nasional.
Dikhawatirkan, kasus itu akan diredam bila pihak-pihak yang berada di baliknya
berada di pucuk tertinggi pemerintah. Saat itu kecurigaan sudah mengarah kepada
Menteri Oh.
Park Moo Jin mencalonkan diri
bukan untuk dirinya sendiri. Ambisi berada di puncak tertinggi tidak pernah
masuk dalam kamus hidupnya. Saya nangis nonton scene ketika ia
mengumumkan pencalonan dirinya. Ekspresi kelegaan Sek. Cha di belakang
mengatakan segalanya. ㅠ.ㅠ
Saya bertanya-tanya kepada diri
sendiri, mungkinkah sebuah pemerintahan berjalan baik bila orang-orang di
lingkarannya seperti Park Moo Jin? Bagaimanakah kriteria berpolitik yang baik
itu? Saya mengambil kuliah di MIPA, bukan jurusan politik. Jadi
pandangan-pandangan saya mengenai politik lahir dari apa yang saya lihat dan
dengar—saya tidak terlalu suka membaca buku-buku berat tentang politik. ㅋㅋㅋ
“... bagiku sendiri politik adalah
barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana
kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”
Selama ini saya memiliki
pandangan yang sinis terhadap satu kata itu, implementasinya yang saya lihat dan saya rasakan sendiri di
tengah-tengah masyarakat. Dalam banyak hal, saya setuju dengan apa yang
dikatakan mendiang Gie—aktivis tahun 60-an yang menghembuskan napas terakhirnya
dalam pangkuan sahabatnya di puncak Semeru pada 16 Desember 1969 akibat
keracunan gas beracun.
Politik adalah lumpur kotor.
Lumpur kotor bisa mengubah seseorang yang bersihㅡsaya seolah-olah ingin menyalahkan lumpur-nya ya?.
Ada alasan mengapa mendiang Gie
mengibaratkan politik seperti lumpur kotor. Salah satunya adalah pergolakan
dunia politik yang terjadi pada pertengahan tahun 60-an. Saya meyakini bahwa
sumbu utama kesinisan Gie terhadap politik adalah kekecewannya terhadap
pemerintah saat itu dalam menangani kesengsaraan rakyat.
Saya menyadari sangat nggak tepat
bila memandang politik hanya satu arah, sejatinya sebuah sistem dibangun
berdasarkan hasil kesepakatan bersama dan bila sistem tersebut justru menjadi racun,
maka yang patut disalahkan adalah orang-orang di dalam lingkaran sistem,
yang bertanggung jawab atas terselenggaranya sistem yang baik khususnya dalam
pemerintahan. Instrumen-instrumennya.
Yang berbahaya pada diri manusia
adalah nafsu. Sebuah petaka besar bila seseorang yang tidak mampu menaklukan
nafsunya sendiri. Dan panggung politik adalah wilayah paling empuk untuk
membangunkan ke-liar-an nafsu tersebut. Lantas apakah dunia politik hanya
diisi orang-orang munafik? Tentu saja tidak, banyak orang baik.
Cuman yang nyampe ke kita lebih banyak yang suka lupa sama janji-janjinya,
dan lupa diri.
Saya sendiri pun tidak bisa menjamin diri saya tidak akan tercemar lumpur semisal suatu saat saya tidak punya pilihan selain terjun ke dalam lumpur tersebut.
Apa yang disajikan panggung
politik tanah air akhir-akhir ini secara sadar kian membuncahkan kesinisan dan
rasa tak percaya saya pada hal-hal terkait satu kata itu—politik. Apatisme saya
tumbuh subur. Panggung politik adalah dunia di mana tak hanya ada hitam dan
putih, atau baik dan buruk semata. Akan selalu ada wilayah abu-abu yang membuat
segalanya menjadi bias dan rentan. Apa yang tampak atau ditampakkan pada kita sesungguhnya
tidak pernah mencerminkan keseluruhan yang terjadi di belakang, kongkalingkong
di sana-sini, konflik kepentingan pribadi, kelompok, atau partai saling tumpang
tindih hingga seringkali kepentingan rakyat diletakkan pada nomor
kesekian—syukur-syukur jika nantinya diingat—karena kenyataannya yang
dibutuhkan dari rakyat hanya suara saat pemilu.dan ironisnya yang
rakyat terima hanya janji-janji muluk. Seperti itulah citra politik di
kepala saya. Jangan sekali-kali memandang dunia politik dengan naif.
Menonton 16 episode remake Designated
Survivor membuat saya perlahan melepaskan kesinisan saya terhadap dunia
politik. Sejenak. Hanya sejenak. Bolehlah saya memimpikan seorang presiden
seperti Park Moo Jin. Dia adalah tipe pemimpin ideal yang saya impikan selama
ini. Seseorang yang memahami betul beban tanggung jawab sebuah jabatan.
Drama ini tidak secara vulgar
menampilkan sisi gelap perpolitikan, sebaliknya, Designated Survivor beberapa
kali menampilkan etika berpolitik yang mapan dari beberapa tokohnya. Meski
tetap saja, konflik kepentingan adalah hidangan wajib pada setiap
pertemuan.
Saya menerima sentuhan pertama
drama ini di ending episode dua—Presiden Park menangis usai mendengar suara
putrinya melalui saluran telepon, Si Jin yang selamat dari runtuhnya gedung
Majelis Nasional. Kelegaan yang teramat dalam dari seorang bapak. Ga kebayang
tekanan yang dihadapi Presiden Park sebelumnya. Di saat ia masih menunggu kabar
kondisi anaknya di rumah sakit, ia masih harus bergelut dengan situasi mencekam
di ruang rapat terkait isu kapal selam Korea Utara yang disinyalir melakukan
penyusupan ke Korea Selatan. Presiden Park harus berjuang meyakinkan
orang-orang di ruangan itu bahwa tidak ada penyusupan melainkan kerusakan
kapal-lah yang menghanyutkan kapal selam Korut hingga masuk ke perairan Korsel.
Saya melihat wajah-wajah yang dipenuhi kepanikan dan ketakutan luar biasa di
ruangan itu, yang saya yakini itu telah diwariskan selama puluhan tahun, dan
turun-temurun. Betapa trauma perang saudara di masa lalu tidak pernah lenyap
meski generasi demi generasi telah berganti. Sedikit saja gesekan bisa memantik
gejolak kedua belah pihak. Kecurigaan cepat sekali merambati dua negara
bersaudara ini. Ironisnya, banyak pihak memanfaatkan kecurigaan tersebut untuk
kepentingan tertentu. Seperti yang diungkapkan Kim Siljang kepada Jenderal Eun
Hee Jung, menggunakan isu perbedaan ideologi masih menjadi jurus terjitu untuk
menyingkirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Perbedaan
ideologis ini pula yang telah menjaga agar Dua-Korea bersaudara tetap
terpisah berpuluh tahun lamanya.
Yoon Chan Kyung, Anggota Dewan
dari partai oposisi, tak berbeda dari politikus lainnya. Selalu memikirkan
langkah atau jalan untuk melesatkan namanya di panggung politik, namun yang
membuat saya salut pada karakter ini adalah ia berkali-kali membuktikan niatnya
untuk paling tidak bermain secara gentle. Misalnya ketika ada peluang
untuk menjatuhkan Presiden Park melalui skandal anaknya Park Si Wan, Anggota
Dewan Yoon menolak mentah-mentah usul dari salah seorang anggota partainya.
”Kita menghabiskan waktu memuji anak-anak
lain, sampai membuat anak-anak kita kesepian. Itulah kebijakan kita sejauh ini.
Jadi, kenapa mau membuat negara ini peduli dengan urusan rumah tangga orang?
Itu bukan Korea yang ingin kupimpin sebagai presiden.” –Yoon Chan Kyung
Anggota Dewan Yoon tidak ingin
bermain dengan cara-cara kotor seperti menggoreng skandal anak Presiden
Park. Kalau saja Anggota Dewan Yoon senang menghalalkan segala cara untuk memantaskan
dirinya di mata publik, ia tak akan ragu-ragu memanfaatkan sekecil apapun
peluang menghancurkan Presiden Park. Di mata lawan politik, Anggota Dewan Yoon
terkenal licik, ia kerap menjatuhkan lawan tanpa mengotori tangannya sendiri.
Namun, saya bisa melihat sisi lain Anggota Dewan Yoon yang tampaknya juga dilihat
oleh Presiden Park. Saat wacana Rancangan Undang-Undang diskriminasi
menguat kembali, secara pribadi Anggota Dewan Yoon mendukung langkah Presiden
Park untuk membahas RUU tersebut. Blue House menilai upaya Anggota Dewan Yoon
tersebut dilatari niat untuk menjatuhkan Presiden Park karena mereka tahu
tindakan Presiden Park akan berimbas pada menurunnya dukungan dari publik,
publik menentang keras upaya-upaya melegalkan pernikahan sejenis—salah satu isi
RUU Diskriminasi. Saya pun sempat sependapat dengan Blue House. Belakangan
ketika terungkap bahwa Anggota Dewan Yoon melakukan itu demi anaknya... rasanya
seperti ada sodokan keras di dada saya.
Selama ini, ketika mendengar
kata oposisi, yang terpampang di benak kita adalah pihak-pihak yang
selalu bertentangan dengan pemerintah—apapun yang dilakukan pemerintah selalu
dikritik dengan berbagai macam dalih. Oposisi adalah musuh pemerintah. Begitu.
Nyatanya tidak selalu seperti itu. Bagi Park Moo Jin, oposisi adalah partner
pemerintah. Mereka pun berhak didengar suaranya. Jika sejak awal saja kita
sudah memosisikan oposisi sebagai musuh pemerintah, terang saja di benak
kita yang tergambar tentang oposis; pihak yang bernafsu menjatuhkan pemerintah.
Padahal bisa saja pendapat mereka justru berguna. Sebagai politikus Anggoda
Dewan Yoon masih memegang teguh prinsip-prinsip politiknya. Sepengamatan saya pemimpin
Partai Opisisi ini memiliki visi misi yang jelas dan terarah. Ia juga memiliki
mimpi-mimpi cemerlang untuk negerinya.
Lihatlah ketulusannya mendoakan
kelancaran operasi Presiden Park yang terkena tembakan dari orang tak dikenal.
Ia menghargai Presiden Park seperti halnya yang dilakukan mendiang Presiden
Yang—dua orang ini bisa melihat nilai pada diri Presiden Park. Orang
yang tidak bisa dibeli, dan tidak bisa dijadikan patung. Presiden Park
nggak akan tiba-tiba nongol dan makan di warung pinggir jalan demi pencitraan
di musim kampanye—ia orang yang memahami betul hal-hal substansial, nggak suka dicitrakan
atau membetuk pencitraan, ia yang akan selalu jadi pembeda di lingkaran
politik. Mengapa? Karena keputusan-keputusan Presiden Park tidak berangkat dari
kalkulasi untung-rugi bagi pihaknya. Ia melihat gambar masalah secara utuh lalu
mengambil keputusan, kadangkala keputusan itu tidak menguntungkan imejnya. Itulah
mengapa keputusannya acapkali bertentangan dengan staf-stafnya di Blue House.
Sikap hangat yang ditunjukkan
Yoon Chan Kyung terhadap Park Moo Jin tak terlepas dari sikap terbuka Park Moo
Jin—ia tak sungkan mengundang pemimpin partai oposisi untuk mendengar dan
meminta pendapat terkait urusan negara. Padahal bisa aja kan para pemimpin
partai oposisi nusuk Presiden Park Park dari belakang. Sayang-nya Presiden
Park orangnya ga gampang suudzon kayak kita...
Keren banget waktu Presiden Park
menemui Jenderal Lee Gwan Mook untuk memintanya menumpas tentara-tentara
yang mencoba melakukan kudeta. Kalau dpikir pake logika kita, Jenderal Lee ga
bakalan mau ngebantuin orang yang udah mempermalukannya dua kali, ga cuma itu,
ia bahkan dicopot dari jabatannya dan dijatuhi tahanan kota (moga ga salah
inget). Langkah Presiden Park cukup berbahaya sebenarnya. Gimana jadinya coba
kalau ternyata Jenderal Lee gabung ke kelompok yang berniat melakukan kudeta?
Presiden Park ngambil resiko, ia yakin kalkulasinya mengenai sikap Jenderal Lee
tidak keliru. Dan lagi, tindakan Presiden Park menemui Jenderal Lee ngebuktiin
kalau dia nggak akan sungkan minta maaf jika memang salah. Presiden Park nggak
sombong, biasanya mah orang yang udah di atas suka ngerasa paling benar,
ga tau gimana caranya minta maaf ke orang-orang di bawah-nya. Ada yang
nangkap ngga sih, ucapan Presiden Park ke Jenderal Lee semacam pesan atau
isyarat gitu? Militer Korea Selatan memiliki rekam jejak kelam di masa lalu,
salah satu sejarah paling berdarah adalah penguasaan kota Gwangju oleh tentara
militer di tahun 80-an, kisahnya pernah diceritakan dalam film A Taxi Driver.
Menangkap latar belakang motif
Oh Young Seok, Lee Gyeong Pyo, dan Kim Siljang dalam melakukan aksi mereka,
apakah itu bisa menjadi satu bukti bahwa negara telah gagal dalam menjalankan
tugasnya melindungi warga negaranya? Sedih mendengar ucapan Han Na Kyung
mengenai tiga orang ini, “These people here
have something in common. They dedicated themselves to Korea in their
respective roles, but they were all abandoned.”
Di akhir cerita kita
bertanya-tanya siapakah VIP sesungguhnya?
Han Na Kyung membantu kita
menyimpulkan.
“... The VIP could refer to anyone who doesn’t
want peace in the Korean Peninsula.”
Demikian.
Ending
Saya puas dengan akhir kisah
Presiden Park. Meski tidak ditunjukkan, kita sudah bisa menebak apa yang akan
terjadi pada pemilihan berikutnya. Reporter Woo Sin Young meramalkan potensi
naiknya Park Moo Jin di pemilihan berikutnya.
Menit-menit drama ini berakhir,
kuartet Blue House menemui Park Moo Jin dan sekali lagi meminta kesediaannya
mencalonkan diri. Trus pas Kim Nam Wook ngeliat Cha Young Jin dan Soo Jung nongol sempet-sempetnya doi nanya, "Ada sesuatu yang terjadi dengan ntu orang berdua ya?" YA ALLAH PENGEN NIMPUK, KE MANA AJEEEE ELUUUU PAAAAKK. YA PANTESAN ELU KALAAHHHHH HHHHHH BABO.
Saya punya banyak sekali moment
haru, lucu dan menggugah dari Designated Survivor, tapi scene satu ini
benar-benar menggambarkan bagaimana Presiden Park menghabiskan 60 hari
waktunya di Blue House. Ia menyalami satu-satu staf-nya, lalu memberikan
penghormatan terakhirnya sebelum meninggalkan Blue House... ㅠ.ㅠ
Rate
★★★★
4/5
Kita sudah banyak menonton drama
bertema politik, dibumbui dengan bermacam-macam konflik. Banyak dari drama itu
membuat kita semakin jijik saja dengan panggung politik. Designated Survivor :
60 Days adalah drama politik yang nggak njelimet, storyline dan plot-nya
cukup rapi, meski ada beberapa pertanyaan tak terjawab tapi tidak
mengurangi pesan penting yang ingin disampaikan kepada viewers.
Saya masih percaya politik
adalah barang-barang kotor, lumpur yang kotor. Namun berkat Designated Survivor
melalui karakter Park Moo Jin dan staf-stafnya, saya tersadar kembali ada kok
orang-orang berintegritas di lingkungan tersebut. Ada. Cuman seringnya
yang terekspos adalah mereka yang telah sukses menyerupai warna lumpur kotor
itu.
Saya merasakan perasaan berbeda
usai menyelesaikan 16 episode drama ini, semacam haru dan harapan membuncah
bersamaan. Oya, melalui berisi keluhan dan harapan warga masyarakat Korea Selatan yang ditunjukkan Kim Nam Wook dan Cha Young Jin itu (sepertinya) memang real, fakta sosial yang tengah melanda orang-orang di sana.
“Politics is an endless human
endeavor to find answers to all the pains given by the Almighty.” –Park Moo Jin
Credit saya untuk Kang Dae Han (Kong Jung Hwan), pengawal presiden
yang setia sampai akhir. Orang paling dekat presiden yang mengetahui seluruh
rahasia presiden. Kang Dae Han memegang teguh aturan pekerjaannya.
Review terbaik yang pernah saya bacaa! Terimakasih untuk ulasannya:)
ReplyDelete