[Review] Taiwan Drama : MARS
♥
Drama yang
menjadi ajang reuni-an Vic Zhou dan Barbie Hsu setelah demam Meteor Garden—tampaknya
ini menjadi alasan utama mengapa saya begitu excited menonton MARS belasan
tahun silam. Sebagai penonton Meteor Garden dan pendukung garis keras
Lei-Sanchai, saya seneng banget. Drama 21 episode ini disiarkan oleh salah satu
stasiun tivi swasta. Usia saya masih belasan waktu itu. Seingat saya, saya
masih duduk di bangku sekolah setingkat SMP. Saat itu saya tergila-gila dengan
drama Taiwan produksi Comid Ritz ini.
Kecintaan saya
terhadap MARS tidak pernah hilang, tidak terhitung sudah berapa kali saya
menonton ulang. Saya ingat, saat pertama kali bertemu dengan internet di tahun
2008, yang saya cari pertama kali adalah OST dan informasi drama-drama yang
tonton lewat siaran tivi—Winter Sonata, Endless Love, Stairway to Heaven, Sassy
Girl, At The Dolphin Bay, Twins… dan masih banyak lagi, dan Mars termasuk di
antaranya. Waktu itu saya masih kesulitan mencari link donlot untuk dramanya,
aksesnya masih belum leluasa seperti sekarang ini. Oya saya pernah tuh beli dvd
nya di lapak mamang yang suka jualin dvd drama di mall. Cuman ya itu, sub
Indonya bikin batin saya lelah sebagai penonton wkwk. Beberapa tahun kemudian barulah saya berhasil
mengamankan 21 episode MARS di
laptop. Sayangnya, laptop saya rusak, seluruh file hidup saya sejak 2008 ikut terbawa, belum sempat saya selamatkan.
Saya melupakan MARS hingga—kira-kira beberapa
hari jelang puasa kemarin, saya terlibat obrolan
dengan Mbak Ta di Twitter. Saya tidak ingat bagaimana ceritanya obrolan
kami menyentuh topic MARS dan entah
mengapa minat saya untuk menonton MARS menguar kembali. Tidak butuh waktu lama,
saya menyusuri Google untuk mencari link donlot, ternyata masih ada yang
tersedia meskipun kualitas videonya jauh dari HD. Tidak apa-apa, yang penting
sub-nya waras saya oke-okeh aja.
Ya. Saya yang
semula meneguhkan niat nggak mau nyentuh drama selama puasa, mematahkan sendiri
niatnya. Dimulai dengan me-rerun Someday
or One Day, disusul MARS.
Sebenarnya,
saya sudah menyimpan ingin untuk membuat POV atau semacam review suka-suka MARS
di Majimak Sarang, tetapi belum juga bisa saya realisasikan. Rasa-rasanya saya
paham mengapa review yang mengambang di kepala saya, terus-terusan berada di
sana selama bertahun-tahun—pemahaman saya tentang drama ini belum sempurna.
Saya merasa
kali terakhir saya menonton ulang MARS, feeling
yang dibawa dan saya rasakan sangat berbeda bila dibandingkan saat saya
menontonnya 2-3 tahun silam. Kali ini saya merasa mampu memahami setiap emosi
yang dibawa karakternya, terutama tiga karakter utamanya yakni Chen Ling, Han Qi
Luo dan Tongtao. Yang cukup mengejutkan saya, drama berkonten berat ini tidak membuat saya mengalami
panic attack. Syukurlah.
Storyline
Trigger
Warning!!!
Hingga beberapa
waktu lalu saat menonton ulang MARS, saya tidak menyadari bahwa drama ini patut
diberi label TW dengan huruf KAPITAL dan tanda seru yang banyak mengingat apa
yang ia suguhkan jauh dari kesan light. Suici*de,
r*ape, bullying. Jika diingat-ingat lagi, apa yang membuat saya begitu
terpikat pada MARS adalah bagaimana drama ini menawarkan kepada saya mengenai tuturan sisi gelap emosi manusia. Saya di usia belasan, dalam suasana hati yang gelap, berat, dan sunyi, mudah sekali
terpikat pada hal-hal semacam ini. Seolah-olah mereka menjadi pelarian lumbung
emosi saya yang mampat. Dengan mempelajari bermacam-macam karakter dan emosi
yang dibawa manusia, saya seperti
menemukan ketenangan di sana. Apa ya
namanya ini? Saya terbiasa mencandu kesedihan dan kerumitan, yang membuat saya
berkali-kali gagal membebaskan diri.
Nuansa psikologis nya MARS lumayan kuat.
Menonton ulang
MARS, saya menyadari satu hal, bahwa sudut pandang kita terhadap sesuatu, apa
saja itu, sangat dipengaruhi oleh kondisi kita di dalam; hati dan pikiran. Inilah yang saya rasakan usai
menuntaskan 21 episode MARS untuk yang kesekian kali. Banyak insight dari drama
ini yang luput saya sadari ketika menontonnya dulu. Apakah ini menandakan
kondisi mental saya sudah sedikit lebih matang menuju tenang? Semoga.
MARS dirilis
pada tahun 2004, diangkat dari manga terbitan Jepang tahun 1996-2000 berjudul Best Friends (MARS). Apa yang membuat saya salut, isu-isu yang dibawa MARS, belasan
tahun kemudian ternyata telah menjadi isu penting dan mulai ramai dibicarakan orang
saat ini tentang mental health. Barangkali, untuk alasan inilah, meskipun sudah
18 tahun berlalu MARS masih sangat relevan untuk dinonton. Dan untuk alasan
yang sama pula—selain chemistry badainya Vic-Barbie—saya nggak pernah bosen
sama MARS.
MARS
menceritakan kehidupan Chen Ling dan Han Qi Luo, dua orang yang berangkat dari
garis tragedi hidup yang berbeda. Chen
Ling dikenal sebagai sosok troublemaker di kampus yang hobinya selain
balapan adalah gonta-ganti cewek. Tak banyak yang tahu Ling mengalami gangguan
psikologis yang cukup berat pasca insiden bunuh diri saudara kembarnya, Sheng.
Bila terkena trigger, Ling jatuh pingsan dan dalam kondisi gawat bisa terjadi
henti jantung. Ling pernah dirawat di rumah sakit jiwa, dengan bantuan dokter
ia berhasil keluar dan mencoba menjalani hidup normalnya. Namun nun di dalam
dirinya, Ling tidak pernah melepaskan pemikiran bahwa ia tidak seperti orang
normal kebanyakan. Bayang-bayang trauma yang ditinggalkan Sheng, fragmen-fragmen
masa kecilnya bersama sosok ibunya yang samar dan misterius masih terus
memenuhi kepalanya.
Han Qi Luo selalu
terlihat berjarak dengan siapa saja, terutama laki-laki. Di kampus ia tak punya
teman. Ke mana-mana selalu menunduk, kikuk dengn sorot matanya yang was-was.
Ada perasaan tidak aman dan nyaman yang mengikutinya. Qi Luo suka melukis. Selain
ibunya, tak ada yang tahu jika Qi Luo pernah menjadi korban kebejatan ayah
tirinya saat masih di bangku sekolah.
Nah, apa
jadinya bila dua orang ini bertemu? Ling yang berpembawaan semau-gue, dan Qi
Luo yang pendiam—dengan luka dan trauma masing-masing yang dibawa masa lalu… Berawal
dari menanyakan arah sebuah rumah sakit dan sketsa, hubungan keduanya pun dimulai.
Dulu, saya
pernah keliru meromantisasi hubungan
Ling-Qi Luo. Cowok bad boy yang ketemu cewek lemah dan akhirnya berubah karena
cinta. Aw, how romantic! Wait—kok
kayak ada yang salah ya? No. Nggak kayak gitu. Upaya saya meromantisasi membuat
saya luput menangkap esensi hubungan Ling-Qi Luo. Semula saya pun sempat
menimbang-nimbang apakah drama ini membawa red flag dalam hubungan Ling-Qi Luo,
dan setelah menonton lagi, menyimak interksi dan dialog-dialog antara Ling dan
Qi Luo, saya berani bilang TIDAK. Saya tidak menemukan konten red flag dalam
hubungan mereka. Bahkan label bad boy yang diberikan kepada Ling, ia sebagai ke*amin berjalan kata Da Ye, pun tak
bisa serta merta diamini begitu saja.
Ling tidak pernah melakukan tindakan manipulative kepada perempuan.
Semua yang terjadi di atas kesepakatan suka sama suka (bukan berarti saya
benerin kelakuannya ya). Nyebelinnya Ling, dia tau diri kalo dia cakep, punya
pesona dan jadi pujaan ciwi-ciwi. Sigh… Tapi, sekali lagi, menurut saya Ling
bukan tipikal cowok brengsek yang ingin saya paketkan ke kutub Utara. Jika saya
berada di seberang line pemujanya,
saya melihat Ling sebagai pitiful guy. It’s
like he lost his soul. His eyes full of the loneliness, and you can see those
unbearable sadness there. Saya mengasihaninnya tapi tidak berniat berurusan
dengannya HAHA.
Lantas apakah
pada akhirnya Ling berubah karena Qi Luo? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ya
atau tidak, kalimat penjelas yang mengikutinya kemudian meleset jauh dari kesan
meromantisasi a bad boy who meets a good girl. MARS lebih dari sekadar itu. Pada
awal 2000-an di mana drama dengan cowo-cowo tsundere masih menjamur, Ling
muncul tak biasa.
MARS tidak
memberikan pijakan yang paten untuk tokoh-tokohnya, perkara benar atau salah,
hitam atau putih tidak melulu menjadi soal karena sepengamatan saya, drama ini
banyak menawarkan wilayah abu-abu bagi interpretasi kita sebagai penonton.
Mengikuti logika berpikir para tokohnya yang kerapkali terasa intriguing membuat
kita melempar balik pertanyaan. Mempertanyakan argumen-argumen mereka. Karena
inilah saya bisa merasakan orisinalitas karakter MARS. Mereka manusia-manusia
yang berkontemplasi tentang banyak hal, ada pikiran-pikiran yang bertabrakan
dan saling gugat-menggunggat. Dan pada akhirnya kita pun dibuat sadar, kita
sendirilah yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh pilihan keputusan yang
kita ambil terlepas dari besar dan kuatnya arus pengaruh yang datang dari
sekeliling. Asal tidak menyerah, asal tidak sempurna kehilangan kesejatian diri
sendiri, saya pikir kelak kita akan
baik-baik saja. Akhirnya.
Mengenai
wilayah abu-abu MARS, misalnya ucapan Ling kepada Qi Luo tentang Tong Dao di
episode 12. Qi Luo berpikir kekerasan fisik berat dan berkelanjutan yang
dialami Tong Dao telah mengubahnya menjadi sosok mengerikan. Dengan cepat Ling membantah.
Menurutnya Tong Dao bukanlah jenis orang yang akan berubah abnormal setelah
mengalami hal-hal semacam itu.
“He is born like that. Some people are
born pervert. He can’t stand normal folks. So he thinks of some excuses to
persuade himself that the reason he has become like that is because he has been
badly tortured.”
Apakah yang
dikatakan Ling benar adanya? Tanpa insiden pembulian yang membuat jiwa Tong Dao
terguncang, Tong Dao sejak lahir memang telah memiliki karakter mengerikan itu?
Tidak ada jawaban pasti. Saya rasa kita semua bersepakat bahwa tidak ada manusia
yang dilahirkan sebagai monster. Tetapi perlu diingat, bersama kelahiran kita,
turut pula mengikut dua poros kuat yang saling berseberangan; jahat dan baik,
dan tergantung poros mana yang lebih banyak mendapat asupan makanan dalam perjalanan hidup seseorang
Saya selalu merasa bahwa manusia adalah
makhluk yang sulit dibaca dan didefinisikan keutuhannya. Manusia bisa bertindak
manipulative melebihi logika umum, saya percaya ini. Manusia bahkan memiliki
kemampuan mumpuni untuk menipu dirinya sendiri, dan di saat yang sama ia
percaya sedang melakukan hal yang tepat dan benar.
Tidak ada yang
pasti mengenai Tong Dao. MARS seperti sengaja memberi kesempatan kepada
penonton untuk memutuskan sendiri. Yang pasti, drama ini memberi peringatan yang
jelas kepada kita, perundungan baik dalam bentuk fisik dan verbal sangat
mengerikan dan berbahaya outputnya, terutama dari sisi korban perundungan.
“Mars, wore shining armor, looks
dignified and was unstoppable. He was a dark hero who helped people overcome
tragedy.”
MARS adalah
tentang tragedy di atas tragedy yang menimpa para tokohnya, serta bagaimana
mereka membebaskan diri kerangkeng trauma yang memberati kaki-kaki mereka.
Character
[Ling] It says that a terrifying king will control
this world and the world will be ruled by Mars. What kind of world do you think
it would be if it was ruled by Mars?
[Qi
Luo] It seems that you are more inclined to
believe that Mars is evil.
[Ling]
It doesn’t matter what I believe in, the
world is all messed up anyway. It’ll collapse sooner or later. I also don’t
believe the future is going to be that great. So why not just come to a flashy
and glorified end, doesn’t sound better?
Dialog di atas
terjadi antara Han Qi Luo dan Chen Ling di episode 2. Dialog ini mencerminkan
betapa berbeda karakter Qi Luo dan Ling. Yang bisa saya katakan adalah, Ling
terdengar terlalu pesimis dan sinis menyikapi hidup di depannya. Ini menjadi
semakin jelas melihat seperti apa ia menjalani hidupnya. Ia tidak punya arah.
Ada sesuatu sedang mati-matian coba dihindarinya dengan bersikap tak acuh
terhadap hidup. Ling seperti berlari di lintasan yang tak berujung.
“… in this world, there are many malicious
people and you can’t do anything about them. It doesn’t matter how hard they
try to pretend. Their malice will be revealed bit by bit and emit a foul
smell.”
Di sisi lain,
Qi Luo yang selalu terlihat berhati-hati dengan orang lain, tampaknya memiliki
kesan yang tidak biasa terhadap Ling. Ia melihat apa yang tak dilihat orang
lain pada sosok Ling. Semoga saya tidak terdengar sedang
meromantisasi—berdasarkan pengalaman, manusia cenderung mudah mengenali luka dan duka yang diderita orang lain karena
ia pernah atau sedang mengalaminya. Apakah ini akan segera disusul simpati atau
empati, ini menjadi soal berikutnya. Kita cepat mengenali wajah kita dengan
jelas bila ada cermin di hadapan kita, seperti itulah kira-kira gambarannya.
Saya menebak itulah yang terjadi pada Qi Luo dan reaksinya terhadap Ling. Qi
Luo menyadari ada sesuatu yang tak biasa pada Ling. Semula, Qi Luo memang tak
nyaman dengan Ling. Ia sudah tahu citranya seperti apa di lingkungan kampus. Ia
melihat sendiri dari jauh Ling kerap terlihat gonta-ganti pasangan di kampus. Penilaian
sepihak itu tak butuh waktu lama untuk tersingkirkan. Citra Ling yang
didengarnya dari mulut ke mulut berbeda dengan apa yang ia rasakan saat
berinteraksi langsung. Apakah Ling tampil ala bad boy, petantang-petenteng
menyebarkan senyum manis penuh pesonanya pada Qi Luo? Nope. Di hadapan Qi Luo,
Ling tidak berusaha memberikan impresi yang bagus. Sedari mula ia tidak punya
maksud apa-apa pada gadis itu. Ling malah terang-terangan ngaku kalo di mata
cewe-cewe dia kayak sebuah brand fashion ternama yang kalo satu cewe dapetin
itu bangganya luar biasa. Ling, menghargai dirinya dengan cara yang keliru.
Sebuah kekeliruan yang dpilih dengan sengaja, memang. Sebab dari semua hal di
dunianya, yang paling ditakuti Ling adalah menghadapi dirinya sendiri.
Dari POV Ling
pun tak jauh berbeda reaksinya terhadap Qi Luo. Meski tidak pernah diakui
secara terang-terangan oleh Ling, saya percaya Ling sudah tahu sejak awal, Qi
Luo dan sorot matanya yang menggunggat itu belum pernah ditemuinya pada gadis
lain. Kepada Ling, Qi Luo mempertanyakan hal-hal yang setengah mampus ingin
dihindari Ling. Apakah Ling terpaksa menghadapi trauma dan
ketakutan-ketakutannya akibat pengaruh Qi Luo yang terjadi secara alamiah
seiring kedekatan mereka yang semakin intim? Apa boleh buat. Toh Ling tidak
bisa selamanya membelakangi masa lalunya.
ㅡChen Ling
Hati saya
terbelah. Saya akui, dulu, sisi maskulin yang memancar kuat dari Ling lah yang
membuat saya terpesona. Entah kenapa cowo bad boy itu daya tariknya kuat sekali
di mata anak remaja, termasuk saya. Dan butuh waktu lama dan pemahaman yang
lebih mendalam lagi bagi saya untuk membaca
sosok ini dengan perspektif berbeda.
Sisi maskulinnya Ling tidak ada apa-apanya. Bukan itu yang menjadi daya tarik utama karakter
ini. Lalu apa?
Pertama, saya
mau bilang karakter Ling ini iconic sekali pada jamannya. Vic Zhou berhasil
menghidupkan Ling dengan sempurna. Mikro ekspresinya juga dapet banget. Saya dan
temen saya dulu tuh terobsesi sekali sama Ling. Paling inget, kita pernah
ngikutin cara minum birnya Ling pake botol air mineral HAHAHAHAHA. Kalo 18-19
tahun lalu udah ada medsos, kayaknya tiap hari ga ada kerjaan lain hanya
teriakin Ling di temlen ㅋㅋㅋ
I think Ling is cool. 18 tahun
kemudian, saya masih percaya Ling is cool.
Karakternya likeable, bukan tipikal hot bad boy yang tsundere yang egosentris,
kasar blab la bla. Di mata saya, Ling adalah cowok normal yang kebetulan memiliki rekam jejak masa lalu
tak biasa dan menghabiskan beberapa waktunya untuk merumuskan masa depannya
kembali.
“Everyone lives alone in this world. I
know this. But Ling’s loneliness seems to be lonelier and loneliness.”
Yang saya sukai
dari Ling, setelah mengakui perasaannya pada Qi Luo, dia benar-benar berusaha
membawa dirinya menjadi lebih baik. Ling tidak malu menunjukkan kelemahannya,
ia bukan sosok superior, ketika salah ia tak sungkan meminta maaf. Perlakuannya
pada Qi Luo bagus banget. Ia membagi semua hal-hal paling rahasia mengenai
kehidupannya. Pada Qi Luo, Ling tidak menyembunyikan apa-apa kecuali ada satu
insiden kecil terkait Tong Dao. Character
development-nya Chen Ling ini jempolan lah. Ling is not a flawless character and he knows that, that’s why after
met Qi Luo, he always trying his best to bring the best version of himself.
Yang dalam perjalanannya, Ling mengalami naik-turun emosi yang tidak mudah. Di
titik ia mulai memberanikan diri menemui dirinya
di masa lalu, di saat ia mulai membuka dinding penghalang yang menyumbat
ingatannya pada beberapa kejadian di masa lalu dan menyebabkan keran
kenangannya tumpah ruah, Ling tidak melarikan diri.
“I’ve
never r*ped anyone, and I’m not a girl. So to be honest, I don’t really know
how you feel. But I’m not going to ask you to forget so quickly, because I know
it’s not that easy. That talk about forgetting is a bull. But what I want to
tell you is… no matter what you do, no matter what happens to you, in my heart
you’ll always be the same. You’ll never change. We’ve both started out from
tragedies, and then we met. We instantly picked each other out. We have to walk
hand in hand. Otherwise, we’ll lose the courage to leave our tragedies.” –Ling
Reaksi Ling
usai mengetahui penyebab trauma yang dialami Qi Luo bikin saya makin respek
sama karakter fiksi satu ini. Ling nggak langsung menemui Qi Luo, dia ngambil
jeda berpikir—bukan untuk keputusan putus dari Qi Luo, tapi ia mencari-cari
rumusan kalimat yang tepat, yang tidak akan berpotensi menyakiti gadis itu.
Kedewasaannya nya Ling keliatan banget di sini. Dia tulus. No dramatic moment.
Dan abis itu Ling buktiin ucapannya ga sekadar lip service belaka, dia bekerja
lebih keras lagi untuk satu tujuan; membahagiakan Qi Luo.
Qi Luo once said, “he (Ling) acts
crazily, and it’s difficult for people to identify him. But he has such a clean
face, I can’t sense any trace of malice in it….”
ㅡHan Qi Luo
Sepintas, dari
perawakan dan gerak-gerik serta bahasa tubuhnya, Han Qi Luo terlihat rapuh, lemah.
Hanya dengan mengenalnya lebih dekat, barulah diketahui, sesungguhnya karakter
ini memiliki strong point nya
sendiri. Sama halnya dengan Ling yang membangun mekanisme pertahanan diri
akibat dari trauma yang ditimbulkan oleh tragedy di masa lalu, Qi Luo juga
secara sadar-tidak sadar juga melakukan hal yang sama. Tragedi mengerikan yang
dialaminya membuatnya mau tidak mau harus berjuang seorang diri melindungi
dirinya sendiri. Meski itu tidak memberikannya pilihan kecuali menutup akses
siapa pun untuk masuk ke hidupnya. Efek trauma sebagai korban per**saan ayah
tirinya terus menerus menghantuinya.
Melukis menjadi
satu-satunya katarsis bagi Qi Luo.
Saya mengagumi
Qi Luo, dengan seluruh keberanian yang dimilikinya. Strong point-nya Qi Luo lah
yang berhasil memberikan dorongan kuat kepada Ling untuk berhenti berlari menghindari mimpi buruknya. Qi Luo membantu Ling
menemukan arah yang tepat, lalu di saat yang sama pula ia menjadi lebih berani
memeluk dirinya sendiri.
Aktingnya
Barbie Hsu jempolan. Bagus banget. Sayangnya project beliau yang pernah saya
ikutin cuman MG sama MARS ini doang. Saya dibikin nangis liat akting nangisnya
dia di episode 14 sambil ngomong, “Who’ll
save me?” setelah dikonfrontasi Ling hingga memantik ingatannya pada
tindakan asusila ayah tirinya. Salah satu heartbreaking moment-nya MARS. Juga
ketika Ling sedang menghadapi masa kiritis di episode 21—sedih banget nangisnya
Qi Luo. Sebuah totalitas yang keren sekali menurut saya. Dia ga takut nangis
jelek, malah di mata saya nangisnya cantik ga ada jelek-jeleknya.
“Previously, when you or Sheng cried, I
would risk my life to eliminate the sources that made you two cry. When Qi Luo
cries, but do you know? I just felt helpless and didn’t know what to do. I’m
not kidding. At those time, even I felt like crying.” –Ling
Dan bener. Tiap
Qi Luo nangis, Ling kayak orang bingung. Panik ga tau gimana caranya supaya Qi
Luo berhenti nangis. ㅠ.ㅠ
Qi Luo nih tipe
orang yang suka berkontemplasi dengan dirinya sendiri. Tipe pengamat. A deep thinker. Kalo Ling bawaannya sinis terhadap hidup, Qi Luo
lebih kalem dan berkepala dingin. Sepertinya mereka yang lebih banyak menelan
kesendirian dalam waktunya memiliki pemahaman yang dalam soal banyak hal. Nggak
ngasal ngambil keputusan, apa-apa selalu dipikirkan matang, gag rasa-grusu. Qi
Luo orang seperti itu. Mungkin ini alasan Ling menemukan kenyamanan padanya.
Selain
terobsesi pada cara minumnya Ling, saya dan temen saya pada masanya pernah
ngefans berat sama lipstiknya Qi Luo, terpukau sama rambut sun silk nya yang
bagus banget itu HAHAHAHA. Barbie Hsu sebagai Qi Luo ayuuuuu sekali. Style nya
biasa banget, make up nya minimalis tapi ayuuuuuu. Cakep banget.
ㅡ Tong Dao
Satu-satunya
karakter di MARS yang sulit saya definisikan.
“The real
target Tongdao wants to revenge is the loneliness in his heart.” –Ling
Kapan hidup
Tong Dao mulai berjalan ke arah yang salah? Apakah sejak perundungan berat yang
dialaminya? Atau jauh sebelum itu?
Saya ngeri
sendiri mendalami cara dan logika berpikirnya Tong Dao yang manipulative. Dia
seneng bisa ketemu lagi dengan Ling, ia menyangka Ling serupa dirinya. Pada
beberapa kesempatan, Ling pernah terguncang
dan terseret arus pemikiran Tong Dao, semacam hendak mengamini bahwa ia dan
Tong Dao memiliki kemiripan—sama-sama abnormal. Ling bisa memahami dan
mengetahui apa yang bernapas di dalam kepala Tong Dao. Jika memakai pemikiran
saya di awal mengenai kecenderungan manusia mengenali kesedihan manusia lain karena ia pernah atau sedang mengalami
kesedihan yang sama, apakah artinya Ling juga pernah berada di fase yang sedang
dihidupi Tong Dao? Jika ya, lantas apa yang membuat Ling memiliki akhir yang
berbeda? Rasanya tidak mudah merumuskan jawabannya. Orang-orang di sekitarnya
yang membawa pengaruh besar. Dan ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri—Ling
tidak pernah benar-benar kehilangan dirinya sendiri. Atau lebih tepatnya, ia
tidak sekali pun menyerah atas hidupnya.
Ling, Tong Dao,
dan Qi Luo memiliki caranya masing-masing untuk melindungi diri. Ling dan Qi
Luo memilih cara yang hampir sama, sedangkan Tong Dao, ia melindungi dirinya
dengan menyalahkan dunia. Dan kesepian di dalam hati manusia, pada titik
tertentu mampu menciptakan pusaran jelaga yang bisa menelan apa saja termasuk
pemiliknya sendiri.
♥
Selain ketiga
karakter di atas, ada beberapa karakter yang cukup menonjol kehadirannya. Qing
Mei yang pernah jadi saingannya Qi Luo. Da Ye, sahabatnya Ling yang juga pernah
naksir Qi Luo. Qing Mei dan Da Ye nih jadi support system-nya Ling-Qi Luo. Bisa
punya temen kayak mereka tuh bener-bener anugerah terindah yang dikasih Tuhan.
Terus ada
bapaknya Ling yang kemunculannya di beberapa episode jelang akhir menjadi kunci
utama proses healing-nya Ling.
Ternyata beliau lah yang menjadi silent protector nya Ling dan Sheng sejak
kecil. ㅠ.ㅠ
Kalo ada
karakter yang saya ga suka karena saya nggak bisa menerima tindakan dan
keputusan yang diambil, maka itu adalah ibunya Qi Luo. Ibunya Qi Luo ngasih
gambaran kenapa banyak korban perkos**n mengalami masa-masa sulit salah satunya
karena orang-orang terdekat mereka tidak memberikan apa yang paling mereka
butuhkan saat itu.
Saya nggak bisa
membenci Tong Dao dan Sachi.
♥
Ending
|Qi
Luo :Do you still believe the world is
going to end? | Ling : That’s inevitable. It’s just a question of when. But, we still have to
go on. Qi Luo, you have to stay with me.|
Dialog di
episode 21 di atas menunjukkan perubahan signifikan pada karakter Ling.
Jawabannya udah nggak sinis lagi. Kedengarannya optimis, bahagia, dan bernada
harapan.
Meskipun
endingnya terkesan diburu-buruin, sepanjang akhirnya bahagia, yowes lah wkwk. Jujur
aja saya inget tuh reaksi saya pas Lucky Strike nongol di akhir disusul scene
menggambarnya Tong Dao—saya pengen nangis, ga rela MARS kelar bubar. Masih
pengen liat kehidupan pernikahannya Ling-Qi Luo. Kirain teh di akhir mereka
bakal punya anak kembar HAHAHAHAHA.
Memperhatikan
dialog-dialog di drama ini, banyak loh isinya yang menyentil realita sosial
tentang hubungan manusia dengan manusia, bagaimana lingkungan memotret dan
memperlakukan seseorang, pun sebaliknya. Dialog-dialognya berisi dan masih relate dengan kehidupan saat ini.
“If you walk in
the light, dressed like a good person, acting like a good person, than everyone
thinks you are a good person. When the day comes that you accidentally let the
truth slip, everyone thinks it was a fluke and jumps to give you another
chance.” –Ling
Saya nggak baca
komik aslinya jadi saya nggak tau seberapa besar perubahan cerita versi Taiwan
ini. Beberapa tahun lalu saya yang baru tau MARS ada rilis doramanya langsung
nonton dong. Ya dasar bucin versi Taiwannya kuat banget, saya malah sibuk banding-bandingin.
Tentu saja ini jatohnya sangat tidak sopan. ㅡ.ㅡ
Tak jadi soal
versi mana yang lebih mendekati keaslian komiknya, saya menikmati MARS versi Taiwan dan
pesan yang ingin disampaikan drama ini. That’s
enough.
Ada satu ucapan
Ling yang membuat saya kepikiran sampai lama sekali saat terakhir kali saya
menonton ulang. Padahal dulu tuh biasa aja, tapi ga tau kenapa pas terakhir ini
impact nya ke saya kuat sekali.
“The idiot… only lived for 17 years and
already made a conclusion about life.” –Ling
Ling ngomong
begini usai membaca surat terakhir yang ditinggalkan Sheng. Makna ucapan Ling
ini dalam sekali. Sarat sesal dan sedih. Menurutnya, Sheng terlalu cepat menyimpulkan
soal hidup, baru 17 tahun… dan Sheng memilih menyerah.
Saya berpikir
banyak soal hidup saya sendiri (kayaknya saya nggak pernah brenti mikirin idup deh wkwk). Akhir-akhir ini, mendengarkan lagu-lagu berisi
lirik yang menyiratkan depresi dan kesepian tidak lagi membuat saya merasakan
kesedihan yang misterius. Saya sadar dan tahu persis telah banyak yang berubah
dari cara saya memandang diri saya sendiri dan apa-apa yang ada di sekitar
saya. Mungkin saya sudah berubah sedikit lebih dewasa dari sebelumnya. Jika pun
saya menangis, bukan semata karena saya menangisi kesedihan dan kesepian yang
pernah mengikat saya begitu lamanya, saya menangisi kelegaan yang saya rasakan.
Saya bersyukur saya tidak pernah benar-benar menyerah. Saya sering ingin
menyerah, tetapi saya takut. Saya takut mati membawa kesedihan bersama saya.
…. Kita harus
terus berusaha keras untuk hidup bagaimana pun caranya. Sesakit dan sebesar apa
pun lubang yang diberikan kepada kita, kita harus terus berusaha untuk tidak
menyerah sampai suatu saat kita (akhirnya) mendapatkan jawaban mengapa kita
tidak boleh menyerah begitu saja. Kesimpulan soal hidup, serahkan saja pada
hidup itu sendiri. Sebab, kesimpulan kita tentang hidup ini mungkin saja bias.
Sebab tidak
pernah ada rumusan yang pasti soal hidup. Dan tidak ada yang bisa memberikan kita
pelukan paling hangat selain diri kita sendiri. Di saat kita mulai bisa memeluk
diri sendiri, di saat itu pula sudut pandang kita terhadap semua hal di depan
mata perlahan berubah.
MARS menjadi
drama pertama yang memasukan ide bagaimana
mengamati manusia dan emosinya ke dalam kepala saya, belasan tahun silam. Tak
disangka belasan tahun kemudian, drama ini masih juga berhasil menjadi bagian
kontemplasi saya tetapi dengan sudut pandang baru. MARS dibuka dan ditutup
dengan sketsa Qi Luo. Skesta di episode 1 berjudul Mother and Son, sketsa di
episode 21 dikasih judul Father and Son. Dua-duanya menyiratkan isi dramanya.
MARS
mengingatkan, bahwa ternyata saya tidak jalan di tempat, meski prosesnya sulit,
rumit, dan melelahkan, saya terus bertumbuh sebagai manusia, juga sebagai diri
saya sendiri. Kayaknya saya ga bakal bosen-bosennya nontonin ulang MARS. Kapan-kapan
saya akan balik lagi untuk rewatch kalo nemu momennya.
Oya, saya yakin
Ling berubah bukan semata-mata hanya karena Qi Luo. Tapi bila dikatakan ada
andilnya Qi Luo—jelas. Bersama Qi Luo, Ling menemukan momennya.
Please take care of yourself.
Tabik,
Azz.
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊