First Impressions Do You Like Brahms
Cast : Kim Min Jae, Park Eun Bin, Kim Sung Cheol, Park Ji Hyun
Jarang banget saya bisa nge klik dengan satu
drama di episode perdana. Bahkan, seringnya saya butuh 6-8 episode loh untuk
bisa ngeklik dan lebih seringnya lagi, saya drop dramanya setelah mencoba dua
episode pilot HAHAHA. Kalo di episode pilot –nya aja udah jatuh cinta,
bisa ketebak dong kelanjutannya seperti apa? Bisanya sih lanjut jadi B-U-C-I-N
dramanya.
Ketika pihak produksi drama Do You Like Brahms mengumumkan siapa leading
role nya, reaksi saya senang, tentu saja. Dua-duanya saya suka. Park Eun Bin,
dan Kim Min Jae.
Wabilkhusus Kim Min Jae. Saya ingat, saya begitu antusias melihat kemunculannya
sebagai cameo di ending Mr. Sunshine. Apa yah, terkesima campur kangen gitu
liat dia, dalam hati saya membatin... semoga Min Jae lekas menemukan peran utama
yang cocok, yang bisa bikin dia bersinar, karena kemampuan aktingnya. Drama
terakhir Min Jae yang saya ikuti adalah Romantic Dr. Kim 2.
Sebelum Dr. Kim, Min Jae main di Flower Crew tapi saya nggak nonton. Sedangkan
Park Eun Bin, drama terakhirnya yang saya kelarin adalah The Ghost Detective.
Kim Min Jae dan Park Eun Bin—perpaduan aktor dan
aktris yang likeable. Kekuatan akting nggak akan jadi masalah. Yekaaan?
Aman.
Lanjut. Karena saya seriiing banget on off di
Twitter, jadinya ga gitu ngikutin perjalanan Do You Like Brahms, eh tau-tau
udah tayang aja. Saya nggak langsung nonton. Rencana awal, saya baru mau nonton
kalau jumlah episodenya yang tayang udah banyakan. 4-6 episode. Tapiii, saya
tetep merhatiin temlen, ngeliat reaksi teman-teman yang udah nonton. Daaaaan
kebanyakan penonton A Piece of Your Mind
yang udah nonton dua episode pilot nya Do You Like Brahms bilang kalo ini drama
bagus. Mereka merasakan vibe yang mirip. Mirip yaaa, bukan bermaksud
membandingkan. Saya mah kalau orang-orang yang nonton APOYM udah ngomen Do You
Like Brahms bagus, otomatis terpengaruh. Ya udah, rencana awalnya ditinggalin.
Saya pun donlot dua episode Do You Like Brahms yang udah tayang.
Dan nontonlah saya episode 1.
[Spoiler]
Sumpah ya, 10 menit pertama episode satu, emosi saya sudah diaduk-aduk sedemikian
rupa melihat Chae Song-ah (Park Eun Bin) diperlakukan kayak gitu. Karena saya
ngeliat segimana excited nya dia pengen ikut main di orkestra itu. Baper banget
saya, ikutan sedih liat dia akhirnya nyerah dan keluar ruangan setelah sebelumnya
adu argumen sama si bapak siapa sih namanya (sengaja ga mau inget). Ngeselin.
Ngegas banget si bapak. Huhuhu pengen meluk Song-ahã… .ã… .
Nah, ada moment ketika si bapak udah esmosi, trus terdengar bunyi gedebukan dan
denting kasar piano, dan ternyata pelakunya Park Joon-young (Kim Min Jae). Jadi
dia sengaja ngejatuhin buku untuk mengalihkan perhatian si bapak pemarah bin
nyebelin itu. Di situ, nggak tau kenapa saya dibikin jatuh cinta sama Park
Joon-young. Nggak boong, suer!!! Dari moment itu juga, saya haqqul yakin Park
Joon-young bukanlah tipikal pianist sok cool, dan sensitif (kan paling sering karakter pianist digambarin seperti ini di dramaã…¡enggak tau faktanya apakah memang pianist identik seperti itu?). 10 point
pertama untuk Park Joon-young. Hanya dengan melihat cara dia menolong Song-ah
di tengah situasi itu... Well, nggak ada yang tau sih bener nggak nya
dia nolong Song-ah atau cuman ingin agar ribut-ribut itu segera berlalu. Tapi scene
itu udah cukup untuk menarik perhatian saya.
Itulah kesan pertama saya terhadap Do You Like
Brahms, terletak di 10 menit pertama episode perdana yang dipenuhi rupa-rupa
rasa, dan didominasi perasaan sedih.
10 menit pertama yang gak akan saya lupa.
Tears
fell...
The
music he brought to life was so passionate...
What
I had inside me felt so small and shabby.
Tears
fell.... –Chae Song-ah
Cerita Do You Like Brahms berpusat di kehidupan
dua tokoh utamanya, Chae Song-ah dan Park Joon-young. Chae Song-ah adalah
mahasiswa jurusan musik. Ia sangat menyukai biola. Demi kecintaannya pada
biola, Song Ah mutusin kuliah musik setelah lulus kuliah di jurusan bisnis.
Niat banget. Salut.
Sedangkan Park Joon-young, ia menjadi pianist
sejak remaja. Karirnya sebagai pianist sangat cemerlang. Namun dibalik itu,
Joon-young menyimpan sendiri gejolak emosinya. Joon Young memutuskan kembali ke
Korea saat sedang berada di titik terendah hidup. Joon-young seperti tidak lagi
menikmati permainan musiknya sendiri.
Circle nya Joon-young dan
Song-ah ga ke mana-mana.
Selain diramaikan dua kisah cinta segitiga yang
cukup rumit karena melibatkan persahabatan yang tidak seumur jagung, yang bikin
drama SBS ini begitu bernyawa adalah perpaduan konflik batin Park Joon-young
dan Chae Song-ah. Posisi dimana Park Joon Young berada sekarang, telah menjadi impian Chae
Song-ah selama bertahun-tahun. Yang satu (sedang) kehilangan gairah
bermusiknya, dan memutuskan rehat sejenak, sedang yang satunya lagi, tidak
peduli betapa pun banyaknya rintangan yang dihadapinya, keinginan Chae Song-ah
tampil bermain biola secara resmi di panggung tidak pernah meredup. Interaksi
dua orang ini sangat menarik diikuti. Perlahan, keduanya saling memengaruhi.
Sadar ga sadar.
Saya yakin, di akhir kisahnya nanti, sudut
pandang mereka terhadap pilihan-pilihan hidup yang telah diambil akan direvisi,
dievaluasi, dan akhirnya memengaruhi keputusan-keputusan hidup mereka ke depan.
... Saya ingin melihat Park Joon-young bermain
piano dengan lega. Tanpa beban. Saya benar-benar berharap Park Joon-young akan menyadari
kecintaannya pada piano, pada musik, semata karena ia cinta, cinta yang
bergerak dari hati, bukan sebagai imbalan yang wajib, atau utang terima kasih sepanjang hayat yang ia berikan kepada
orang-orang yang telah menolongnya, kepada orangtuanya yang ia sokong secara
finansial dari penghasilannya sebagai pianist. Saya percaya, Park Joon-Young
bukanlah versi lain dari Brahms yang memilih mencintai dalam senyap. Park Joon-young punya kisahnya sendiri. Ia pun
bisa berbahagia tanpa perlu mengorbankan perasaannya sendiri. Kita sama-sama
menunggu ketika (akhirnya) Park Joon-young memutuskan menjalani hidupnya
sendiri tanpa merasa berhutang kepada orang lain.
... and one day, when someone gives Joon-young a
question, “do you like Brahms?” I wish he will answer that question with “yes.
I like Brahms.”
Lewat Joon-young dan Song-ah, Do You Like Brahms
mau ngajakin kita yang nonton ikut nengokin hati terdalam kita, hidup yang kita
jalani sekarang, apakah ia menjadi bagian dari mimpi-mimpi kita atau ia
adalah bagian dari sedikit banyaknya pilihan yang terpaksa diambil karena
hidup nyatanya tidak mampu menghidupi mimpi-mimpi kita. atau ini:
kita yang akhirnya gagal menghidupkan mimpi-mimpi kita karena berbagai
macam alasan. Tentu, penyesalan akan selalu ada—ia adalah bagian tak
terpisahkan dari hidup. Toh melepaskan satu-dua mimpi tidak berarti hidup kita
kehilangan denyutnya.
How about Joon Young and Song-ah? What will they
do to pursuit their dreams? To protect themselves without sacrifice their own
happiness?
Saya percaya kita pun sendiri pernah berada di
satu titik ketika kita terpaksa atau dipaksa keadaan untuk memilih:
melepaskan apa yang sudah kita perjuangkan atau tetap melanjutkan perjuangan
meski jalan di depan nggak mulus-mulus amat. Banyak batu-batu tajamnya. Memilih
idealis atau realis... di saat omongan orang rame-rame ngerayu kita untuk nyerah
aja.
Sebab itulah kita merasa kisahnya Joon-young dan Song-ah ini relate
banget dengan kehidupan nyata.
Vibe nya Do You Like Brahms ini kalem, healing banget. Meskipun terkesan melo, tapi nggak ngebosenin. Musik latar kawin banget dengan setiap adegan. Gak ada dull moment. Monolog-monolog yang muncul sejauh ini di 4 episode yang udah tayang mampu membangun mood dan membantu kita yang nonton semakin paham pergolakan batinnya Song-ah dan Joon-young.
Episode pilot Do You Like Brahms nggak dipenuhi basa-basi. Di episode satu, sebagai penonton, saya sudah bisa merasakan getaran konflik utama dramanya. Pengenalan karakter-karakternya juga cukup detail. Kita udah bisa membaca arah 'perjalanan' dramanya ke mana.
Jempol untuk pa sutradara, directing-nya
ciamik. Pinter banget maenin perasaan yang nonton. Ga keitung berapa kali saya (tanpa
sadar) menahan napas ketika nonton, entah karena terlalu terbawa perasaan atau
saya kelewat serius menikmati (SAMA AJA KALEEE AZZ). Kejadian kayak gini paling
sering terjadi kalau Song Ah dan Joon Young berada dalam satu frame. Mulai
dari yang bikin saya mesem-mesem, senyam-senyum sendiri, sampe histeris gemas
yang terpaksa disalurkan melalui bekapan bantal di wajah HAHAHAHA naseeeeb nge
fangirling sendirian di rumah.
Chemistry nya Chae Song-ah dan
Park Joon-young memang se-BADAI itu. Chemistry yang lahir tanpa skinship. Pure
hanya dari ngobrol-ngobrol. Awkward-nya mereka tuh jatohnya tetep
bikin hati jumpalitan bahagia. Slow burn relationship ã… .ã…
Moment uwu drama ini paling banyak disponsori
Park Joon-young. Heran aja sih, mas-nya kan belom pernah pacaran yah, tapi kok pergerakannya
alus bener? Smooth. Tau-tau tar Song-ah nya jatuh cintrooong lageee.
Sikapnya ke Chae Song-ah terlihat natural. Mulai dari minta nomor hp, sampe
ngajakin makan malem. CIEE yang nggak sadar sedang modusin anak perempuan
orang. CIIIIEEEEEE HAHAHAHA.
Pernah mikir, apa sih yang bikin Park Joon-young bisa se-nyaman itu sama Chae Song-ah? Yang bikin dia lancar jaya cerita apa aja, tanpa ragu-ragu. Iya, ntah sadar ntah ga sadar, Park Joon-young udah mulai membuka satu-satu lapisan tersembunyi perasaannya. Hal-hal yang selama ini hanya ia simpan sendiri, ia ceritakan pada Song-ah. Kepada Song-ah, Joon-young tidak merasa perlu menjadi Joon-young yang dikagumi dan diidolakan banyak orang. Mungkin, karena hanya kepada Song-ah, Joon-young tidak melihat sorot mata mengikat. Mungkin, Song-ah satu-satunya orang bisa jujur padanya. Ga ada penghakiman.
Dan seringnya, kenyamanan tidak akan lahir jika tidak ada rasa aman. So....
Melalui penuturan Park Joon-young kepada Chae Song-ah tentang hal-hal paling rahasia yang belum pernah diceritakannya kepada orang lain, saya sedikit banyaknya bisa membayangkan betapa sepi-nya kehidupannyaã…¡dan tidak menutup kemungkinan apa yang dialami Park Joon-young, memang benar-benar menimpa dan terjadi pada orang-orang yang se-profesi dengannya. Apa yah... ini yang paling bikin saya tersentuh, melalui sudut pandang Park Joon-young, di balik kemegahan dan gegap gempita panggung yang membesarkannya, ada ruang hening yang rahasia, yang siap menelannya kapan saja.
Saya tidak tahu, apakah saya harus senang atau
sedih melihat Park Joon-young seperti itu, namun yang pasti saya sangat bersyukur
sosok Park Joon-Young tidak digambarkan dengan berlebihan, tidak ada pemujaan
berlebihan pada tokoh utama yang kerap kali membuatnya kehilangan
momentum untuk pengembangan karakter di pertengahan cerita, dan menjadikannya
tidak berbeda jauh dengan karakter lead male drama romantis/melo yang
sudah pernah ada.
Doa saya, semoga Do You Like Brahms tetap terjaga
pace nya hingga akhir, semoga drama ini tetap mampu menawan kita dengan
perkembangan ceritanya sampai dramanya tamat. Tidak antiklimaks. LETS PRAYYYYYY HARD!!
dari ig akhirnya kesini ��. Suka bgt ama first impression tentang dylb krn persis sama ama yg aku pikirin tentang drama ini. dari 10 menit pertama uda suka krn karakter mreka berdua karakter2 secondlead didrama lain dan disatuin disatu drama jd ga akan oleng ama 2nd lead syndrome terutama park joon young, karakternya beda bgt ama lead male yg biasanya ditemuin didrama lain. karakternya yg lembut, baiknya itu bener2 baik, introvert dan kalemnya itu bikin gemes. Dan bener perhatiannya itu smooth bgt ke songah bikin cewe jd salah paham. Mungkin klo ga jd pianist joonyoung bakalan jd buaya darat deh ����. Ditunggu POV final tentang drama do you like brahms? ��������
ReplyDeleteHahahahaha Joon-young emang berbakat jadi buaya darat.
DeleteMbak Alfendaaa, annyeoong! ^^
Gomawo udah mampir di sini. Btw, POV nya Brahms udah di post loooh hihi