[Sinopsis] The Three Musketeers/Samchongsa Episode 1 Part 1
Tahun
1780, Tahun keempat rezim Raja Jongjo
Ibukota Dinasti Qing (China), Yun Kyung
Pada
tahun keempat rezim Raja Jongjo, Yeong Ahm berkunjung ke Yun Kyung sebagai
duta. Saat mengunjungi perpustakaan besar di kota terlarang, tak sengaja ia
menemukan sebuah buku.
Ahm Yeong membaca sampul dalam buku tersebut. “Nama akhirnya Park, dia berasal dari Joseon,” gumamnya seraya menerawang.
Ia lalu membuka lembar demi lembar buku itu dengan antusiasme yang semakin nyata. Di saat itu, seorang rekannya datang menghampirinya dan bertanya apakah ia masih ingin tinggal di perpustakaan. Orang itu menyarankan agar ia segera pulang.
“Apakah kau tahu seorang Jenderal
bernama Park Dal Hyang?” tanyanya.
“Park Dal Hyang?” ulang orang itu.
“Ya, dia seorang Jenderal tinggi yang
hidup di masa Raja Sukjong. Ia juga dekat dengan Putera Mahkota So Yun.”
Sambil mencoba mengingat-ngingat,
rekannya turut membaca buku itu sejenak. “Memoir Park Dal Hyang…” demikian ia
mengeja.
Narasi :
Maka
dimulailah memoir mengenai Park Dal Hyang dari Joseon. Ini ditulis sekitar
seratus tahun yang lalu.
Ahm Yeong kembali ke penginapan, Malam
telah larut, namun ia lebih memilih meeneruskan membaca memoir itu. Rekannya
terbangun. Ditegurnya Ahm Yeong yang masih saja terpaku pada buku itu daripada
istirahat dan tidur.
“Anda belum tidur? Masih membaca buku itu? Itu buku yang Anda pinjam hari ini, bukan?”
“Kau tahu Putera mahkota So Yun, anak
sulung dari Raja Injo dan kakak Sulung dari Raja Sejong?” Ahm Yeong balik
bertanya.
“Ada apa dengannya?”
“Apa jadinya dinasti Joseon seandainya
dia yang menjadi raja? Bukankah banyak hal yang akan berubah? Mungkin saja
dinasti Qing akan sudah diambil alih Joseon 100 tahun lalu. Jika yang menjadi
raja adalah orang yang memiliki visi ke depan.”
“Kenapa tiba-tiba membahas itu? Apakah
ada sesuatu di buku itu?”
Ahm Yeong tidak menjawab.
“Itu hanya mitos,” sambung temannya. “Katanya
tak ada orang yang bernama Park Dal Hyang. Itu hanya fiktif. Kisah fiksi.”
Lantas temannya kembali membaringkan tubuhnya seraya mengingatkan bahwa masih
banyak pekerjaan yang mesti mereka kerjakan besok.
Narasi :
Mungkin
saja ini hanya novel karena namanya tidak tercatat dalam sejarah, tetapi
menurut instingnya (Yeon Ahm), kisah ini bukanlah fiksi.
Waktu seolah mundur ke belakang, ke masa
seratus tahun yang lalu. Di sebuah kamp prajurit yang tengah atau hendak
berperang. Seorang Jenderal berusia tidak muda lagi sedang menyendiri di dalam
tendanya. Malam itu, ia sedang menulis sesuatu semacam catatan.
Pada
kenyataannya, Park Dal Hyang sungguh seorang jenderal. Namun, karena kisahnya
terlalu mengejutkan Ia menggunakan nama samaran. Kita tidak tahu mengapa memoir
Jenderal seorang Joseon bisa berada di Dinasti Qing, tetapi karena kisah ini
ditulis dengan sangat baik, maka selaku generasi baru Joseon Yeon Ahm
memutuskan menuliskannya kembali. Kisah
yang diceritakannya ini adalah legenda dari Ksatria pemberani Park Dal Hyang,
yang nama aslinya tidak dikenal. Namun Ia nyata dan menjalani hidupnya di
Joseon bersama kawan-kawannya.
[Maka bisa dibilang drama ini bercerita
dengan mengambil sudut pandang Yeon Ahm sebagai orang yang sedang menceritakan
kembali perjalanan hidup seorang Park Dal Hyang berdasarkan memoir yang Ia
tinggalkan.]
Episode
Pertama Season 1
“Pertemuan
Pertama”
Tahun 1636, tahun ke 14 Raja Injo.
Narasi
: Lelaki ini adalah Park Dal Hyang yang masih berusia 22 tahun.
Park Dal Hyang mengakhirkan latihannya.
Seraya tersenyum Ia berteriak kea rah lautan lepas, “selamat tinggal semuanya!
Aku akan ke Hanyang! (Hanyang merupakan ibukota Joseon).
Narasi
: Kisah hidupnya dimulai dari sini. Saat Ia pertama kali meninggalkan kampung
halamannya untuk ujian militer di ibukota, Ayah Dal Hyang tidak memberinya uang
melainkan sepucuk surat untuk perjalanan panjangnya.
Ayah Dal Hyang berkata begitu Dal Hyang
tiba di ibukota, carilah menteri di
distrik itu. Jika Dal Hyang bertemu orang itu maka semuanya akan beres.
“Kau tahu betul kan hubungan seperti apa
yang aku miliki dengannya?” Ayahnya menegakkan badannya, “Aku siapa?” tanyanya.
“Ayah adalah sepupu dari kakak ipar
Menteri Choi!” kata Dal Hyang bangga.
“Hahaha betul-betul…” Ayahnya tertawa
senang sampai terbatuk-batuk, berbeda dengan wajah ibunya yang tertekuk dan
masam melihat lagak suaminya.
“Hubungan kami istimewa sekali, dia
tidak akan menyangkalmu,” lanjut ayahnya. “Kalau kau menunjukkan surat ini, Ia
akan menerimamu dengan tangan terbuka. Jadi, sampai kau lulus tinggalah di
rumahnya, paham?”
Ibunya menyela, “Apa benar begitu?”
Ayah Dal Hyang menggertaknya menyuruhnya
diam.
Dal Hyang kemudian berterima kasih dan
pamit pergi.
Saat Ia menggiring kudanya, hendak
meninggalkan kampung halamannya, ibunya datang menghampirinya membawa sekantong
uang. Awalnya Dal Hyang menolak. Ia mengatakan tidak butuh itu. Ibunya tetap
memaksa, perjalanan yang akan ditempuh Dal Hyang sangat jauh, Dal Hyang pasti
akan membutuhkan uang. Dal Hyang meminta ibunya agar tidak usah khawatir, bila
Ia cepat, dalam sebulan Ia akan tiba di Hanyang dan seperti kata ayahnya Ia
bisa tinggal di menteri Choi.
“Mana bisa kau percaya begitu saja
ucapan ayahmu?” ucap ibunya.
“Lalu harus percaya pada siapa lagi?
Hanya dia yang pernah pergi ke Hanyang.” jawab Dal Hyang *Polos amat nih anak*
Ibunya mengomel pendek. Tampaknya ibu
Dal Hyang sangat tidak bisa mempercayai ucapan suaminya. Dal Hyang akhirnya
pergi diiringi tatapan sedih ibunya serta ayahnya yang belakangan datang
selepas Dal Hyang memacu kudanya.
“Aku tak yakin kuda itu sanggup berjalan
hingga ke Hanyang,” lirih ibu Dal Hyang menangis sedih.
“Kuda itu bahkan bisa sampai ke Ming!”
sambar ayahnya.
Ibu Dal Hyang murka dengan tingkat
kepedean suaminya. “Kau kira masuk akal? Kau tahu berapa usia kuda itu? Seusia
puteramu! Kuda itu hidup selama 22 tahun! Masih ajaib dia bisa hidup! Ming
jidatmu!”
Ayah Dal Hyang pura-pura tidak mendengar
dan malah bergumam bahwa cuaca hari ini bagus.
“Kau sungguh-sungguh pernah ke Hanyang?”
Ayah Dal Hyang terbatuk-batuk kecil
lantas cepat-cepat meninggalkan istrinya yang masih marah.
“Ujian di sini saja dia tidak lulus.
Mana bisa dia ke Hanyang?”
Hahahahahah Dal Hyang sepertinya ditipu
bapaknya sendiri. Kasian kamu naaaaaaaaak…
Sementara itu, Dal Hyang telah jauh
meninggalkan kampung halamannya.
Narasi
: Ia memulai perjalanannya dengan kuda tua yang bisa mati kapan saja serta
surat untuk saudara jauhnya. Ia mempercaya ucapan ayahnya, namun kenyataannya
sangat jauh dari itu…
Dan benar saja, pada jarak yang kesekian
kuda Dal Hyang akhirnya terhempas kelelahan antara hidup dan mati.
Narasi
: Kudanya pingsan di hari keempat perjalannya.
LOL, jaman Joseon ada juga ya Derek tapi
yang ini versi tradisional dengan manusia sebagai tenaga dorong. Mobil eh kuda
Dal Hyang diletakkan di atas gerobak besar dan didorong sejumlah pria memasuki
sebuah perkampungan.
Narasi
: Perjalanannya tertunda sepuluh hari demi merawat kudanya. Ia tinggal di
Pyungtak selama 20 hari karena cuaca buruk badai yang menutup jalan.
Setelahnya Dal Hyang melanjutkan
perjalanan akan tetapi lagi-lagi Ia dihadang hambatan. Sejumlah petugas memalang
jalan, orang-orang dilarang melintas dikarenakan ada seekor harimau liar yang
sedang bergentayangan dan telah memangsa 4 orang manusia. Park Dal Hyang ngotot
ingin lewat. Ia berargumen jika harimau itu sudah memakan empat manusia, pasti
harimau itu sudah kenyang dan tidak akan menampakkan dirinya. Baru saja Dal
Hyang menyentakkan tali kekang kudanya hendak menerobos blockade, terdengar
auman harimau di kejauhan. Kuda Dal Hyang meringkik dan nyaris menjatuhkan Dal
Hyang.
“Kurasa kudamu lebih pintar daripda
dirimu, masih mau lanjut?” ejek si petugas.
Dal Hyang meringis, Ia terpaksa harus
memutar jalan dan itu berarti akan memakan waktu yang lebih lama untuknya tiba
di Hanyang.
Narasi
: Ia tertunda 5 hari lagi karena harus memutar jalan melewati gunung. Sehingga akhirnya
Ia tiba dua bulan setelah Ia meninggalkan kampung halamannya.
Sehari
sebelum ujian.
Fiiuuuuuh!
Dal Hyang menemukan rumah menteri Choi.
Seorang pelayan yang membukakan pintu untuknya
sedikit terkejut melihat wajah Dal Hyang dekil dan cemong hahahaha
*puk-puk mantan pacar*
Dal Hyang mengenakan dirinya dan asal
tempatnya. Ia dengan percaya diri menyerahkan surat dari ayahnya namun pelayan
itu segera memotong kalimatnya, mengatakan bahwa mentri Choi sedang dalam
perjalanan bisnis, beliau sedang tidak ada di situ.
Betapa terkejutnya Dal Hyang mengetahui
hal itu. Pelayan itu lantas menyuruhnya segera pergi. Dal Hyang menahannya, Ia
meminta agar diizinkan masuk dan tinggal di sana karena besok Ia akan mengikuti
ujian keprajuritan (halah gw gak tau namanya apa, tapi kalau di Indo semacam
test masuk kepolisian lah). Pelayan itu tertawa, di dalam sana ada banyak
peserta yang datang untuk ikut ujian dan sudah tidak ada tempat lagi untuk Dal
Hyang.
Kasihan Dal Hyang, dia mencari-cari
penginapan tapi tak seorangpun menggubrisnya. Posisinya Dal Hyang itu seperti
anak kampung yang datang ke kota dan tidak tahu bahwa situasi kota sangat jauh
berbeda dari kampung halamannya.
I
can feel you, my mantan pacar.
Nahasnya, seseorang
berniat mencuri kantong uang yang diberikan ibunya. Dal Hyang menyadari dan
terjadi aksi rebutan uang koin miliknya belum lagi warga sekitar jalan itu
turut meramaikan. Tangan Dal Hyang terinjak pulak. Kenapa jugaaaaaa itu kantong
uang digantungin di luar, Dal Hyaaaaaaang! (Gemes, acak-acak rambutnya mantan
pacar).
Berbekal sisa uang yang berhasil
diselamatkannya, Dal Hyang tiba di depan sebuah penginapan yang disesaki calon
tamu yang berjejer di gerbang depan. Dal Hyang diam-diam memotong antrian, Ia
bisa lolos masuk. Namun, ujian kesabarannya belum selesai di situ (masih
buanyaaaaak di depan sana menunggunya dengan manis). Sewa kamar di penginapan
itu seharga 10 Nyang, sudah pake diskon loooh itu. Dal Hyang bertanya apakah Ia
bisa meminta semangkok nasi karena Ia belum makan sejak kemarin. Pemilik
penginapan itu meminta 2 Nyang lagi dan ditolak Dal Hyang.
Dal Hyang masuk ke kamarnya dan ternyata
sudah ada dua orang lainnya yang menyewa
kamar itu. Tentu saja Dal Hyang kaget, pemilik penginapan datang menyerahkan
selimutnya. Dal Hyang memprotes satu kamar untuk tiga orang? Pemilik penginapan
itu tertawa mengejek. Beri aku 30 Nyang maka aku akan menyediakanmu satu
ruangan besar untukmu! Katanya.
Saat itulah akhirnya Dal Hyang menyadari
dan berani menyimpulkan bahwa ayahnya hanya membual, Ia tidak pernah datang ke
Hanyang. Tetapi bukan hanya itu yang terjadi di malam pertamanya di Hanyang.
Di sekitar tempat itu, ada sejumlah
orang seperti preman bertingkah mencurigakan. Mereka membawa pemukul berupa
kayu besar dan seorang yang diduga pemimpin gerakan itu membawa secarik kertas
berisi catatan nama.
Dal Hyang beserta kedua rekan sekamarnya
sudah jatuh tertidur saat seorang laki-laki pemimpin gerakan datang membuka
pintu kamar mereka.
“Apa Oh Yun Moo dari Chung Chung-Do ada
di sini?” tanyanya.
“Itu aku,” sahut salah seorang pria.
Dal Hyang ikut terbangun.
“Benar. Ada apa mencariku?”
Orang asing itu memberi kode berupa
suitan kepada rekan-rekannya. Dan datanglah gerombolan orang-orang yang tadi
membawa kayu pentungan ke dalam kamar yang dihuni Dal Hyang serta dua orang
lainnya yang salah satunya menajdi target orang-orang itu.
Dal Hyang masih belum sadar sepenuhnya
ketika penyeroyokan itu terjadi. Oh Yun Moo dipukuli hingga nyaris mati.
Setelah memastikan Oh Yun Moo sekarat, orang-orang suruhan itupun pergi.
“Ada orang yang membayar orang-orang
itu,” cetus salah satu rekan Dal Hyang.
“Kau bicara apa?” sela Dal Hyang.
“Kau tidak dengar? Para bangsawan
membayar orang untuk memukuli siapapun yang berkesempatan lulus ujian agar
mereka gagal. Aku dengar banyak yang dipukuli semalam.”
Dal Hyang menggenggam erat pedangnya.
Kemarahan nampak dimatanya. Ia memutuskan mengejar dan member pelajaran kepada
para preman itu. Dalam pengejarannya preman-preman itu berpencar sehingga
menyulitkan Dal Hyang, saat itulah samar-samar dari kejauhan terdengar derap
kaki kuda yang mendekat kea rah Dal Hyang. Dal Hyang berlari ke arah
suara-suara itu.
Daaaaaaan mereka adalaaaaaaaah…. (Tunggu
setelah pesan-pesan berikut ini :D)
“Maaf, boleh aku pinjam kudanya?”
“Aku harus menangkap orang. Lihat!
Mereka melarikan diri!” teriak Dal Hyang seraya menunjuk ke arah jalan yang
gelap.
Ketiga orang yang kita tahu salah
satunya merupakan putera mahkota Seo Hyun, satu dari tiga Musketeers kita, saling
berpandangan.
“Minta saja pada orang lain, kami harus pergi.”
tolak pria yang paling muda, An Min Seo.
Dal Hyang memohon setengah memaksa. Ia
lalu melompat ke atas kuda pria itu tak peduli kemarahan pemiliknya. Pangeran
Seo Hyun lirik-lirikkan dengan dua rekannya. Dal Hyang berdalih Ia harus
menangkap orang-orang yang telah memukuli para peserta yang akan ujian besok.
Pangeran Seo Hyun bertanya apa yang
dimaksud oleh Dal Hyang.
“Kau tidak tahu? Seseorang menyewa
mereka agar orang-orang yang berbakat gagal. Kami sudah susah payah, tak punya
uang dan dukungan. Tapi kami juga dipukuli! Orang yang sekamar denganku nyaris
mati! Ini bukan terjadi sekali dua kali. Kita harus menghentikan mereka sebelum
mereka melakukan hal yang sama pada yang lain!”
Pangeran Seo Hyun dan dua pria itu
bertukar pandangan membuat Dal Hyang berteriak tak sabar, “kalian tak perlu
membantu, cukup ijinkan aku meminjam kuda ini!”
“Ke mana mereka pergi?” tanya pangeran
Seo Hyun.
Dal Hyang menunjuk arah.
Pangeran Seo Hyun lekas menuju arah yang
ditunjuk Dal Hyang, diikuti oleh pria satunya. Sementara Dal Hyang dan pria
yang lebih mudanya bergegas ke arah lain.
Dugaan Dal Hyang benar. Preman-preman
suruhan itu masih melanjutkan misi penggebukan mereka. Target selanjutnya
adalah Nam Kim Soo dari Namwoon. Sebelum
mereka sempat bergerak, pangeran So Yun dan satu rekannya sudah menghadang
jalan mereka. Pangeran So Yun bertanya siapa yang membayar mereka untuk
melakukan itu semua?
“Kami adalah polisi, sebaiknya kalian
menjawab!” kata rekan pangeran Seo Hyun, Heo Seung Po.
Bukannya menjawab, preman-preman itu
justru berpencar dan melarikan diri.
Setelah berbagi tugas, seluruh
preman-preman itu berhasil diringkus tentunya setelah melewati proses
gedebak-gedebuk terlebih dahulu.
Dal Hyang meringis kesakitan di atas
tubuh salah seorang preman yang tergeletak tak sadarkan diri. Pria yang se-kuda
dengannya bertanya apakah Dal Hyang baik-baik saja? Aku baik-baik saja,
katanya.
“Bagaimana denganmu?”
“Apakah kau sedang mencemaskanku?” Pria
yang lebih muda itu tersenyum maniiiiiiiis (mukanya mirip mantan pacarku yang
laiiin, Park Shi Ho).
Dal Hyang kikuk, “apakah aku tidak boleh
mencemaskanmu?”
(Tunggu sebentar, ini dialog
apaaaaaaaaah hah? Kalo antara laki-perempuan sih gak masalah xD. Ciri-ciri
bromance ini mah).
Proses penangkapan itu berlangsung lancar
di bawah pengawasan langsung Pangeran Seo Hyun. Mereka menyimpulkan itu adalah
ulah Kim Wong Sung karena dua orang puteranya ikut dalam ujian esok hari. Dal
Hyang heran mengapa semuanya bisa diselesaikan dengan cepat. Belum tau diaaa,
siapa yang sedang dihadapinya. Itu pangeran mahkotaaaaaaaa, Dal Hyaaaang!
Pangeran Seo Hyun bertanya apakah Dal
Hyang akan mengikuti ujian itu juga. Dal Hyang mengiyakan. Pangeran Seo Hyun
berkata Dal Hyang tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi, rawat luka-lukanya
dan mendoakan semoga Dal Hyang beruntung dalam ujiannya besok.
“Aku yakin kau lulus,” jamin Pangeran Seo Hyun.
Pangeran So Yun dan dua rekannya
tersenyum penuh makna.
“Kuharap kau lulus dengan nilai tinggi,
besok.” Ucap pangeran So Yun tulus sebelum menarik tali kekang kudanya mengajak
kedua rekannya meninggalkan tempat itu.
Pangeran So Yun dan kedua rekannya
menoleh.
“Meskipun Cuma sebentar, setidaknya kita
perlu berkenalan. Aku Park Dal Hyang dari Gangwon-do! Siapa nama kalian?”
Background
Music : siulan ala Three Musketeers film
“Samchongsa!” jawab pangeran So Yun
setelah terdiam sejenak. Samchongsa dalam bahasa Indonesia, tiga pendekar.
“Apa?” Dal Hyang mengerutkan keningnya.
“Kami biasa dipanggil Tiga pendekar.”
Dal Hyang masih terheran-heran. Ia
mengulang-ulang nama itu. Pangeran So Yun dan dua rekannya meninggalkan Dal
Hyang.
“Sejak kapan kita jadi tiga pendekar?”
“Entahlah…” sahut Pangeran So Yun.
“Apa?”
“Aku hanya asal bicara. Aku tak tahu
kenapa.”
Salah satu rekannya tertawa. Samchongsa,
ia menyukai nama itu.
Narasi
: Ini adalah pertemuan pertama mereka. Layaknya takdir.
Samchongsa tiba di sebuah penginapan.
Mereka akan mengadakan pertemuan dengan mata-mata dari Qing di sana (kalau
mereka sedang bertiga jalan bareng kita sebut saja pake julukan ini biar gak
rempong.) samchongsa yang masih muda, An Min Seo menemukan sepucuk surat ikut
terjatuh sewaktu Ia menambatkan kudanya.
Ia lantas teringat pada Park Dal Hyang yang tadi duduk di belakangnya. Ia membuka dan membaca isi surat itu dan seetika wajahnya berubah tegang.
Ia lantas teringat pada Park Dal Hyang yang tadi duduk di belakangnya. Ia membuka dan membaca isi surat itu dan seetika wajahnya berubah tegang.
Di dalam penginapan sedang ada pertunjukkan
dan tarian music. Dan tau gak lagu apa yang menjadi pengiringnya? Lagunya
Crayon Pop yang ada lirik, “Jumping! Jumping, everybody!” LOL awalnya aku gak
tau tapi kok ngerasa familiar gitu ya? Setelah pikir lama-lama baru deh inget,
lagu itu pernah dinyanyiin MBLAQ waktu konser di Jepang. Laaaah jadi ke
mana-mana nih kite.
Pangeran So Yun dan samchongsa yang
satunya lagi, Ho Seung Po naik ke lantai dua untuk bertemu tamu mereka dari
Qing. Gara-gara genit, Ho Seung Po ditampar salah seorang gisaeng yang lewat
hahahaha.
Di dalam sebuah kamar di penginapan itu,
satu dari Qing/Cina dan seorang pria dari Joseon telah menunggu kedatangan
Pangeran So Yun. Begitu melihat kemunculan sang pangeran, pria Joseon itu
langsung mengenalkan mata-mata itu.
“Dia datang saat subuh. Sulit baginya
datang diam-diam.”
“Aku ingin dengar tentang perang. Karena
waktu kita tidak banyak.” Kata Pangeran So Yun sambil duduk.
Dari penjelasan mata-mata tersebut,
diketahui bahwa telah terjadi perang besar-besaran oleh Qing. Mongol bahkan
telah jatuh. Dinasti Ming hancur, para jenderal banyak yang melarikan diri. Hal
itu tidak dilaporkan dengan benar di pemerintahan pusat. Bahkan Ming berpikir sebentar lagi seluruh
dinastinya akan jatuh. Artinya, perluasan perang itu lambat laun akan merambat
ke Joseon.
Ho Seung Po sedang asik mengintip orang
yang berjudi saat An Min Seo datang menghampirinya. Seung Po meminta Min Seo
menggantikannya berjaga di depan kamar pertemuan karena Ia ingin sejenak
menikmati keberadaan di penginapan tersebut. Min Seo menahan tangan Seung Po.
“Lihat ini sebentar.” Ucapnya sembari
menyerahkan surat yang ditemukannya.
“Apa ini?” tanya Seung Po.
“Park Dal Hyang menjatuhkan ini.”
“Ini Cuma surat.”
“Isi suratnya bermasalah. Bacalah.”
Seung Po terkejut setelah membaca isi
surat itu. Ini luar biasa, katanya. Min Seo bertanya apa yang harus mereka
lakukan dengan surat itu.
“Di mana dia menginap?” tanya Seung Po.
Tidak usah diragukan, sepertinya dia sudah punya rencana lain di dalam
kepalanya.
Sementara itu, Park Dal Hyang seorang
diri membersihkan lukanya. Ia masih juga penasaran dengan ‘samchongsa’.
Diulanginya berkali-kali kata itu. Ia menyimpulkan samchongsa berarti Pendekar
yang pintar menembak (?). Sewaktu membersihkan bajunya barulah Ia tersadar
surat yang Ia selipkan di balik bajunya telah lenyap. Ia mencari ke mana-mana
namun tidak menemukannya. Dua orang rekan sekamarnya, yang satunya babak belur
dan satunya lagi merawat luka akibat penyeroyokan itu terheran-heran melihat
Dal Hyang kalap mencari cari surat. Bukan surat dari ayahnya namun satu surat
lain yang nampaknya sangat berharga baginya.
Dal Hyang keluar dari kamarnya bermaksud
mencari surat itu di luar, di saat yang sama sebatang anak panah melesat tepat
menancap di tiang dekat Dal Hyang berdiri. Beruntung Ia sempat merunduk dan
tersentuh anak panah itu. Ia melihat sekeliling, terdengar derap kaki kuda
tetapi tak nampak siapun di luar halaman.
“Apa ini?” Dal Hyang menatap batang anak
panah itu sambil bertanya-tanya.
=Bersambung ke part 2=
Komentar :
Aaaaacccckkk baru inget kalo yang jadi An Min Seo ini yang pernah main di The Bridge of The Century sebagai adeknya Lee Hong Ki. Mengenai keseluruhan dramanya akan aku komenin setelah part 2 diposting :D
No comments:
Post a Comment
Haiii, salam kenal ya. 😊