Starring : Yoo Yeon-seok, Chae Soo-bin, Heo Nam-jun, Jang Gyu-ri, Park Jae-Yoon

DISCLAIMER : tulisan ini dibuat untuk mereka yang pernah menonton When The Phone Rings semasa ongoing dan tidak bermaksud sedikit pun untuk mempromosikan drama ini

***

Hi, how’s life?

Semoga segala sesuatunya berjalan baik ya. Sehat-sehat semuanya.


Saya mulai menulis draft review When The Phone Rings ketika drama ini telah menyelesaikan 10 episode dari total 12 episode. Ini pertama kalinya saya melakukan ini—menulis review drama sebelum drama tersebut menyelesaikan masa penayangannya. When The Phone Rings menyelamatkan saya dari drama slump khususnya drama Korea. Ketika kontroversi pecah di penghujung episode 12, bisa ditebak reaksi saya seperti apa. Iya. Patah hati. NYESEK PUOOOLLL. Kemelekatan pada sesuatu memang tidak selalu berakhir baik ya. Apa saya rasaian valid. Udah lamaaaa banget saya nggak ngerasain dugeun-dugeun-nya nungguin tiap episode satu drama. Giliran udah nemu, ending-nya malah nggak enak.


Di hari Ahad itu, mood saya berantakan, lemes, nggak mood ngapa-ngapain. Belum lagi saya membaca komentar-komentar menyakitkan dari mereka yang tidak menonton When The Phone Rings atau yang sempat menonton satu-dua episode drama ini lalu berhenti nonton, timeline X saya dipenuhi komentar-komentar menyakitkan hati. Nggak enak ya ngerasain patah hati campur sakit hati di waktu bersamaan. Saya bisa mengerti mengapa orang-orang bereaksi keras terhadap drama ini, kesalahan yang dilakukan memang fatal, yang tidak bisa saya mengerti adalah sikap mereka yang seketika menajamkan kata-kata kepada penonton yang mengikuti ongoing When The Phone Rings. Cenderung menghujat dan menyalahkan. Kayak mau bilang tuh kan makanya jangan nonton dramanya. LIKE WHAT THE FRUIT??? ARE YOU SERIOUS?? KITA JUGA NGGAK BAKAL NONTON KALAU TAU BAKAL PROBLEMATIC GINI! Coba bayangkan perasaan saya dan penonton lain yang mengikuti drama ini sejak episode pertama, yang jatuh cinta se-cinta cintanya, lalu mendapati drama kesayangannya ternyata menyisipkan materi propaganda dengan dingin jelang dramanya berakhir? Bisa bayangin patah hatinya seperti apa? Nggak bisa ya? Untuk orang-orang yang baru aja menemukan drama yang nge klik setelah sekian lama nggak bisa menikmati satu pun drama Korea… It hurts so much. Apakah kami ini lantas cocok dibilang tidak berempati kepada penderitaan rakyat P L S T N? JUSTRU KARENA SANGAT PEDULI DAN BEREMPATI LAH MAKANYA SAKITNYA GAK KIRA-KIRA. PAHAM GAK??


Tuh kan, dramanya emang problematic.

Huh, untung udah berhenti nonton pas di episode—

Dasar drama jelek!

Dst…


Manusia unik ya? Ga ketebak alur berpikirnya. Reaksi emosinya seperti api, sedikit percikan saja bisa membakar ke segala arah tanpa tebang pilih. Sulit sekali memetakan perasaan. Sulit sekali merasakan simpati kepada orang lain.

Tapi saya memilih diam saja. Saya ambil jeda beberapa waktu dari X sampai situasi mereda.


Dan saya sudah terlanjur menulis review When The Phone Rings, sudah setengah jalan. Bagi saya menulis review bukan pekerjaan mudah. Butuh effort, waktu dan pikiran untuk menulis berlembar-lembar halaman. Patah hati saya bukan dobel lagi ini mah. Saya menimbang-nimbang apakah saya hapus saja draft review When The Phone Rings ini dari laptop? Rasa-rasanya udah nggak ada harapan lagi untuk masuk di Majimak Sarang. Saya tidak ingin dituding mendukung drama yang jelas sekali memainkan isu P*lestina dan Isriwil dengan tidak benar di penghujung episode 12. Hingga detik ini saya masih tak menyangka durasi sekian detik itu berhasil merusak hal-hal baik yang dibawa drama ini. Orang-orang yang belum menonton akan berpikir ini drama buruk yang terang-terangan memainkan isu kemanusian, dan mendukung genosida. Saya bisa mengerti mengapa penonton ongoing merasa dikhianati.


Di sisi lain, saya juga ingin mendapatkan closure. Saya butuh mengucapkan perpisahan kepada drama yang sudah menghidupkan antuasias saya sebagai penonton drama Korea selama enam pekan lamanya. Banyak sekali yang ingin saya bicarakan, hal-hal yang membuat saya jatuh cinta pada dramanya, yang membuat saya excited menunggu episode terbarunya setiap Jum’at dan Sabtu. Seneng aja gitu ada yang ditunggu tiap pekan.


Setelah melalui pertimbangan matang, saya putuskan memposting draft When The Phone Rings di blog Majimak Sarang. Tolong jangan dihakimi yaa.

***

[DRAFT INI DITULIS PADA PENGHUJUNG TAHUN 2024 DAN MELALUI PROSES EDITING SERTA PENAMBAHAN PARAGRAF DI AWAL TAHUN 2025]



Drama MBC yang tayang setiap Jum’at dan Sabtu ini mampu menarik saya keluar dari zona Mainland drama. Entah mengapa saya semakin sulit menikmati tayangan drama Korea khususnya tahun ini (2024). Sampe-sampe Wrapped Twitter saya bilang saya ini buzzer-nya Cdrama wkwk. Saya nggak bisa betah nonton kdrama sampai tamat ga peduli siapa yang main, genre-nya atau ceritanya sebagus apa, paling nonton satu-dua episode habis itu udah, ditinggal, bosenan. Tau-tau hilang minat nonton, ga bisa excited. Kalau mau tau kelanjutan cerita dramanya paling liat update-an di temlen Twitter aja. Sering juga ngebatin kenapa ya saya bisa kayak gini? Bisa menikmati episode-episode drakor tanpa skip tuh udah masuk kejadian langka bagi saya. Serius, ga bermaksud lebay. Tapi ya sudahlah. Emang akan ada masa-masa seperti ini. Era kegilaan dan keemasan saya sebagai penikmat drama Korea sudah lewat. Padahal menonton pernah menjadi safe place saya, semua genre saya jabanin.


Kembali ke topic—When The Phone Rings. Sewaktu saya menonton episode perdana November lalu, tidak ada sedikit pun di benak saya bahwa drama yang mendapuk Yoo Yeon Seok dan Chae Soo Bin sebagai pemeran utamanya ini akan membuat saya betah bahkan membuat saya bela-belain begadang demi nungguin rilis episode terbarunya di Netflix. Sepertinya, tanpa saya sadari When The Phone Rings telah memberikan sesuatu yang saya rindukan dari drama Korea, drama ini memiliki charms nya yang dengan itu bisa membuat saya sebagai penonton sukarela meluangkan waktu bacotin dramanya HAHAHAHA.


Seiring dengan meningkatnya popularitas When The Phone Rings, beberapa kali saya membaca komentar miring yang menyasar drama ini. Tentang cerita yang tidak masuk akal lah—misal jatuh dari tebing tinggi kok keliatan baik-baik aja, acting Chae Soobin yang jelek (YANG BILANG BEGINI SINI BERANTEM YUK SAMA SAYA!!!), terlalu Wattpad code-lah (NAMANYA JUGA ADAPTASI WEB NOVEL BAMBAAAAAAAAANG MASA IYA LU NGAREPIN ADAPTASI NOVEL JADI ADAPTASI REAL LIFE TRUS EMANG MASALAH YA KALAU TERLALU WATTPAD CERITANYA?), sinetron banget, chemistry-nya ga dapet (CHEMISTRY SE-GILA ITU DIBILANG NGGAK DAPET, PLISLAH) en bla bla bla. Sebagai penonton setia When The Phone Rings, saya kesal baca komentar-komentar seperti itu. ASLI, PENGEN TA HIH YANG KOMEN. Tapi saya keinget lagi, namanya selera nonton orang beda-beda ya, bisa aja drama yang menurut saya bagus banget, di mata orang lain biasa aja. Selera orang nggak bisa diatur, yang bisa diatur omongan kita. Harusnya ya.


Ingat, ini hanya drama. Fiksi, dan untuk beberapa alasan, akan ditemui sejumlah adegan tidak masuk akal yang nggak sesuai logika berpikirmu jika dikaitkan dengan kenyataan. Tapi semisalnya, kamu lebih prefer drama masuk akal dan harus sesuai real life, berarti drama ini memang nggak cocok aja buat kamu. Sederhana saja kan? Tinggalkan dan cari tontonan lain yang cocok dengan seleramu itu. Nggak usah buang-buang waktu nulis hate comment dan mengganggu kebahagiaan orang lain. Oh well—kecuali hobimu memang membuat keributan.   


Daripada fokus pada kekurangan When The Phone Rings, setiap hari ada saja fakta baru yang membuat saya semakin menyukai drama ini. Kalau ditanya, ngapain sih nonton drama yang ga masuk akal  begini? Sini saya beritahu tahu alasannya. Um, sepertinya ini akan menjadi sebuah postingan yang panjang sekali…. Semoga saja ada yang betah membacanya. Hehe.


#1 Plot & Storyline


Saya sudah lupa kalau Yoo Yeon Seok dan Chae Soobin akan bermain bersama di When The Phone Rings. Dulu sempet tau mereka bakal kolaborasi di project baru. Eh tau-tau aja di temlen nongol berita dramanya udah tayang wkwk. Saking enggak perhatiannya saya sama drakor. Cuma baca update-an selewatan aja, oh si ini mau main drama sama si itu—gitu-gitu aja.


Mumpung When The Phone Rings ditayangkan di Netflix, meluncur lah saya ke sana, seperti biasa saya mencoba nonton dua episode pilotnya. Sering kejadian, pada drama yang tidak pernah saya sangka-sangka akan membuat saya betah,  ada momen-momen penting pada dua episode pilot yang mengubah total bagaimana saya sebagai penonton memandang drama tersebut dan ini terjadi juga pada When The Phone Rings. Game changer nya di situ—ending episode 2. Adegan ini semakin menguatkan keinginan saya untuk lanjut nonton. Saya ngebatin, drama ini nggak mungkin hanya sekadar cerita istri neror suami demi sebuah perceraian. Noted—saya tidak membaca novel atau webtoonnya. Saya juga tidak memiliki pengetahuan apa pun soal spoiler When The Phone Rings pada saat itu. Saya hanya menonton versi dramanya saja.


Dua episode pilot When The Phone Rings ngasih keyakinan, drama ini memiliki kedalaman cerita dengan detail yang bagus. Struktur ceritanya jelas, fokus utamanya konsisten pada dua tokoh sentralnya. Dua episode pilotnya menangkap perhatian dan minat saya. Dan saya punya feeling bagus soal ini. Ehm. Yang klise-klise nggak selamanya membosankan, ya kan?


When The Phone Rings yang disutradarai Park Sang Woo (The Forbidden Marriage,  My Secret Terius)*PLEASE TANDAIN NAMANYA!!!* berkisah tentang Baek Sa-eon, Juru Bicara Kepresidenan termuda yang terlahir dari keluarga terpandang dalam sejarah perpolitikan Korea. Ia menikahi Hong Hee-joo, putri pemilik sebuah media besar. Tentu saja ini pernikahan yang dilandasi unsur politik dari dua keluarga yang sama-sama mendapatkan benefit dari bergabungnya dua keluarga besar itu.

Akibat kecelakaan yang menimpa Hee-joo saat remaja, ia menderita gangguan bisu selektif. Kecelakaan tersebut juga turut merenggut nyawa adik laki-lakinya dan membuat kakak perempuannya tuli.


Sa-eon dan Hee-joo menjalani tiga tahun pernikahan tanpa cinta. Selama tiga tahun itu pula Sa-eon membiarkan Hee-joo tidak pernah terekspos publik sebagai istrinya. Sikap dinginnya pada Hee-joo membuat perempuan itu sangat menderita dan kesepian.




Suatu hari, Baek Sa-eon mendapatkan panggilan telepon misterius. Si penelpon memberitahu Sa-eon bahwa ia telah menculik Hee-joo. Hee-joo berhasil menyelamatkan diri dari penculikan yang mengguncang jiwanya itu, namun kejadian tersebut telah mengubah garis hidupnya dan Sa-eon, juga mengubah keseluruhan wajah kehidupan pernikahan mereka. Sejak saat itu, tepat pukul 10 malam, Sa-eon selalu mendapatkan panggilan telepon dari penculik istrinya. Tuntutan utamanya adalah agar Sa-eon menceraikan Hee-joo. Cerita menjadi seru setelah ketahuan kalau Hee-joo lah yang selama ini menelpon Sa-eon dengan menggunakan identitas sebagai 406. Exciting story dimulai. Banyak rahasia-rahasia yang menunggu untuk dibuka—bermula di satu kejadian di masa lalu. Tentang hidup Baek Sa-eon yang tidak pernah mudah itu.


Kalau hanya baca synopsis atau baca-baca komentar orang lain tanpa menonton dramanya, kamu akan menduga ini drama biasa-biasa saja. Sinetron banget lah. Sebagai penonton setia, saya berani bilang When The Phone Rings bukan drama romance thriller yang dibuat ala kadarnya. Nggak seburuk yang orang-orang katakan. Oke lah, cerita seperti ini sudah cukup banyak bertebaran di wattpad. Klise. Materi cerita yang sinetron banget. Male lead-nya yang dingin dan female lead yang terlihat lemah. Liat aja Baek Sa-eon di episode pilotnya yang sejak di menit pertama aja udah keliatan banget kayak domineering male lead yang jadi pujaannya ciwi-ciwi itu—yang ekspresi wajahnya serius mulu, irit senyum, mode angry bird. Tapi tunggu dulu, dengan When The Phone Rings, saya cuma bisa bilang apa yang kamu lihat tidak sesederhana yang kamu bayangkan. Baek Sa-eon di episode pilot itu bukan Baek Sa-eon yang sudah terlanjur kamu bungkus dengan penilaian yang terburu-buru itu. He’s not a jerk. Baek Sa-eon bukan tipikal tokoh utama pria yang demen marah-marah, sensian, sok mendominasi. Alpha male? Um, I don’t think so. Dia hanya manusia biasa yang berusaha pulih dari luka-lukanya dengan cara yang tidak biasa.


Drama ini memiliki banyak layer yang diletakkan pada penokohannya lalu diceritakan melalui mata peristiwa demi peristiwa, dan seiring episode berjalan, penonton dipaksa melihat kembali sudut pandangnya mengenai tokoh-tokoh di drama, sehingga pada akhirnya, bukan hanya tokoh-tokohnya yang mengalami perkembangan karakter, penontonnya juga ikut berubah.


Great storytelling ini didukung dengan sudut pengambilan gambar yang bagus. Camera shots dan angle-nya turut bercerita. Ada muatan emosi yang tersirat. Saya selalu memperhatikan apa-apa saja yang diperlakukan khusus oleh mata kamera. Nggak mungkin asal nge-syut. CMIIW, drama ini menganut cara penulisan show, don’t tell. Cara ini memberikan peluang yang luas kepada penonton untuk membaca apa yang terjadi tanpa diberitahu dengan terang-terangan. Teknik bercerita show don’t tell membuat penonton When The Phone Rings bisa merasakan sensasi kedalaman cerita dan koneksi yang kuat dengan emosi tokoh-tokohnya. Puzzle nya diletakkan di sana-sini, penontonlah yang menyusunnya satu persatu. Yang seperti ini bisa terjadi hanya jika saya sebagai penonton bisa mengenal lekat setiap karakter yang muncul. Kalo tokoh-tokohnya ditulis dengan detail yang bagus, penonton nggak akan kesulitan membaca isi pikiran mereka. Kita ditempatkan sebagai observer—pengamat serba tahu apa yang terjadi tanpa diberitahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.



Hingga di episode 10, plot dan pace When The Phone Rings masih konsisten bagus. Power yang dimiliki drama ini mampu menjaga mood penononton. Ending setiap episode-nya semacam punya daya dobrak yang kuat sekali yang bikin penonton ketagihan dengan rasa penasaran. Nggak sabar, pengen langsung nonton lanjutan episodenya saat itu juga. Tensi konfliknya tidak terlebihan, tidak juga kehilangan arah di tengah jalan. Saya nih udah hapal, setiap episode yang tayang di hari Sabtu ending-nya pasti bikin saya gregetan, ga sabar nunggu Jum’at berikutnya. Setiap epilognya juga selalu bikin nyesssss hati. Jago bener mengacak-acak perasaan penonton. Mungkin karena penonton udah berhasil ditawan di episode pilot, jadi enak gitu mempermainkan emosinya.


Meski dengan materi cerita yang dibilang mainstream itu, When The Phone Rings bisa tampil dengan kemasan yang menggoda, tidak murahan. Drama ini memiliki pondasi cerita yang kuat. Ada satu lagi hal yang membuat saya tidak begitu memedulikan embel-embel makjang yang dilekatkan sebagian orang pada drama ini. Dalam kamus nonton saya, definisi makjang drama adalah cerita opera sabun yang identic dengan cerita yang over hyped dipenuhi nuansa tegang yang kaku dari satu adegan ke adegan lain, serta didominasi kesan dramatis yang kuat. Ini tidak saya temukan pada When The Phone Rings. Tone dan vibes-nya When The Phone Rings berbeda. Flow cerita-nya enak. Mungkinkah karena When The Phone Rings tidak secara blak-blakkan menampilkan polesan balas dendam sebagai unsur utama dramanya sehingga kesan makjang-nya tidak sampai kepada saya? Rata-rata drama yang dilabeli sebagai sinteron makjang oleh penonton drakor adalah drama-drama yang kuat sekali unsur balas dendamnya. Saya bukan penikmat drama makjang yang dipenuhi intrik, cerita yang terlalu complicated acapkali membuat saya malas menonton. Beda cerita, jika sejak awal saya tahu tujuan cerita drama tersebut dibuat, lalu dialurkan dengan tidak membuat belokan-belokan berlebihan, tidak memenuhi adegan dengan dramatisasi berlebihan, I will be seated for sure. Itulah yang terjadi ketika saya bertemu When The Phone Rings. Drama ini tahu ke mana ia akan menuju. Dan tahu mengapa ia harus ke sana. Drama ini tidak memerlukan dramatisasi berlebihan untuk bisa menarik emosi penonton ke dalam ceritanya. Anggaplah benar, dramanya dramatis tapi saya nggak ngerasain itu. Oh iya, ada juga yang bilang dramanya cringe—percayalah, saya orang pertama yang akan dengan segera melepaskan satu drama bila terasa cringe (menggelikan). Saya enggak bakalan kuat nonton, ya karena saya juga memiliki batas toleransi yang rendah pada drama cringe wkwk. Jangankan cerita, baru ngeliat acting actor/aktrisnya yang nggak pas saja bisa bikin saya minggat.


Cara bertutur drama ini menurut saya indah sekali. Tidak terburu-buru. Storytelling dan dialog-dialognya membuat saya mengenal dan bersimpati pada kebanyakan tokohnya. Setidaknya, saya tahu isi kepala mereka tidak peduli mereka mayor atau minor character.


Ceritanya sinetron banget? Maybe. Tapi drama ini bukan tipikal sinetron murahan. Elegan? Yes. Jika kamu focus ada unsur sinetronnya, maka itulah yang akan kamu rasakan sepanjang menonton, namun jika kamu focus pada nilai yang dibawa drama ini, kamu akan menemukan hal-hal menarik yang membuatmu tidak begitu memusingkan unsur sinetronnya. Kebetulan, perhatian saya sudah tersita pada kisah cinta pasutri yang terperangkap dalam genre thriller ini. Udah kena pelet 😂.


Saya tulis beberapa alasan yang membuat When The Phone Rings kurang pas disebut sinetron;

-     💦 Olah konflik cinta segitiga Baek Sa-eon-Hong Hee-joo-Ji Sang-woo. It ended beautifully. Nggak ada drama lebay. Penyelesaiannya sesuai karakter tokoh-tokohnya. Rasional dan logis. Proud. Respek sama Sang-woo sunbae.

- 💦Konfrontasi antara Baek Sa-eon dan Park Do-jae. Pendekatan yang dilakukan terasa sekali sisi manusiawinya. Sekali lagi, no dramatic moment. Pergulatan batin tokohnya terasa gitu loh.


Jadi, jika memang cerita When The Phone Rings dianggap makjang, ala sinetron, ala short drama China versi premium—wes lah. Suka-suka penonton. Saya nggak mau melabeli drama ini seperti itu. Sebagai orang yang agak sulit menikmati sinetron romance ala wattpad (tanpa merasa cringe dan berlebihan), When The Phone Rings bisa membuat saya menikmati setiap episodenya dengan sangat antusias. Saya tidak men-skip satu pun adegan. Slow burn romance-nya dapet, kesan misteriusnya juga dapet.


When The Phone Rings, alurnya sat set. Enggak basa-basi, setiap adegan selalu on point. Dialog-dialognya punya isi—saya membaca setiap karakter melalui dialog-dialog, ini memudahkan saya mengetahui pov-nya. Wrap up sub konfliknya sangat memuaskan. Satu jam per episode tanpa terasa berlalu dengan cepat. Plot-hole udah pasti ada, kebanyakan dari sisi teknis, Tetapi ini tidak merusak keseluruhan mood dan alur cerita. Saya bersyukur cerita When The Phone Rings benar-benar hanya berfokus pada dua tokoh utamanya tanpa menganak-tirikan tokoh-tokoh lain. Bener-bener porsinya pas.


Sedari awal saya tidak menaruh ekspektasi apa-apa pada cerita When The Phone Rings. Ekspektasi itu tumbuh seiring berjalannya episode demi episode drama. Oya, parallel scene-nya juara! Menariknya, meskipun drama ini merupakan hasil adaptasi web novel, tidak lantas membuat penonton yang membaca novelnya tidak lagi merasa excited menunggu kelajutan ceritanya karena sudah bisa ditebak, sebaliknya, yang terjadi, penonton memenuhi medsos dengan bahasan drama ini yang nggak abis-abis. Tebak-tebakannya. Yang nggak baca novelnya juga nggak ketinggalan ramenya. Plot twist-nya sangat layak didiskusikan! Apalagi detail-detail dramanya yang membuat makin respek ke Baek Sa-eon. Ahahaha.

#2 Penokohan



Menurut saya nih, selain membutuhkan plot apik, sebuah drama tidak akan memiliki nyawa yang utuh jika penokohannya tidak hidup. Lalu bagaimana cara menghidupkan karakter tokoh di drama? Berikan tokoh-tokoh tersebut tugas yang jelas; mengapa, dan untuk apa mereka diadakan dalam cerita tersebut. Sederhananya, ketika tokoh-tokoh di drama wabilkhusus tokoh utamanya mampu membuat saya berempati, membangkitkan rasa penasaran saya tentang keberadaan mereka, memberikan saya akses yang leluasa agar terkoneksi dengan emosi-emosi mereka, maka saya menganggap penokohannya hidup. Jika penokohannya hidup, perkembangan karakternya biasanya akan berjalan baik. (Maafkan kesoktahuan saya ini wkwk).


Perkembangan karakter tokoh-tokoh When The Phone Rings berjalan baik. Yang udah nonton sampe episode terbaru (episode 10) pasti bisa ngebedain kesan saat pertama kali bertemu Baek Sa-eon atau Hong Hee-joo dan setelah When The Phone Rings berjalan 10 episode. Prosesnya tuh keliatan. Istilah tak kenal maka kenalan ngena banget. Hanya dengan menonton episode demi episode dramanya, memperhatikan detail-detailnya, barulah kita bisa memahami sudut pandang tokoh-tokoh tersebut secara utuh, satu keadaan yang membuat kita mengingat-ingat lagi episode-episode terdahulu. Setiap tokoh nggak ujug-ujug menjadi tanpa proses. Ini yang saya bilang When The Phone Rings memiliki kedalaman cerita yang dilekatkan pada tokoh-tokoh, dan tokoh-tokoh ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peristiwa-peristiwa hidup yang mereka alami.


Tokoh-tokoh When The Phone Rings sangat detail POV-nya. Motivasi mereka jelas. Saya bisa menemukan alasan di balik tindakan-tindakan mereka, yang membuat kita ber-oh begitu rupanya, yang membuat kita melahirkan simpati, empati juga kekesalan kepada mereka. Saya tuh kalau sudah bersimpati sama tokoh-tokoh drama, udah pasti bakalan suka sama dramanya sih. Ruang emosi yang terkoneksi tuh mahal sekali bagi saya sebagai penonton. Harus ada.

#Pemeran dan Karakter


Ada 4 tokoh utama di When The Phone Rings.


Yoo Yeon-seok sebagai Baek Sa-eon


Hayo ngaku, siapa yang cape liat Baek Sa-eon pasang muka galak di awal-awal episode When The Phone Rings? SAYAAA! Pengen nyolek trus bilang, “Mas, udah Mas, jangan galak-galak dong sama istri solehah-nya. Tar kualat loh.” HAHAHAHA.


Hidupnya Baek Sa-eon jauh dari kata bahagia. Lebih cocok nyebut makjang hidupnya Baek Sa-eon ketimbang dramanya sendiri. Lahir di keluarga yang lebih mengutamakan imej, sejak kecil semua serba diatur mulai dari apa yang dia kenakan dan apa yang dia makan. Barangkali, satu-satunya keputusan yang ia ambil atas kemauannya sendiri tanpa dipengaruhi orang lain adalah menikahi Hong Hee-joo.


Melihat lingkungan ia bertumbuh, saya bisa memahami mengapa Baek Sa-eon selalu bersikap dingin pada Hee-joo. Tapi tetap aja ya saya nggak terima dia memperlakukan Hee-joo seperti itu. Ketimbang marah atau tidak suka, saya kasihan dan sedih melihat Baek Sa-eon. Ia memiliki battlefield-nya sendiri yang tidak diketahui siapa pun termasuk Hee-joo. Pada rencana-rencananya, Baek Sa-eon tidak memasukkan Hee-joo, karena ia telah menyiapkan rencana hidup lain yang menurutnya itu baik untuk Hee-joo tanpa mengikutkan diri pada rencana tersebut.


Baek Sa-eon adalah satu-satunya manusia di dunianya Hee-joo yang mengusahakan untuk mengenali setiap inci kehidupan perempuan itu. Yang tidak diketahui Baek Sa-eon, bahwa ia pernah (dan seharusnya masih) menjadi alasan Hee-joo bisa bernapas lega di dunianya yang sunyi. Oh, satu lagi yang tidak diketahui Baek Sa-eon, soal kemampuan berbicara Hee-joo.


Saya tidak tega menyebut Sa-eon sebagai tsundere apalagi red flag—ia hanya belum tahu cara berkomunikasi yang baik dengan pasangan. Ironis nggak sih? Dia ini jubir Kepresidenan, mantan jurnalis perang (kalo ga salah inget), mediator andal,  mantan penyiar televisi juga. Pasti udah khatam komunikasi public, tapi dia malah enggak bisa melakukan komunikasi personal dengan orang paling terdekatnya? Kaku dan gengsinya setinggi harapan orang tua. Besar kemungkinan disebabkan latar belakang kehidupan pribadinya yang terlalu kompleks itu. Liat aja bagaimana kehidupan kedua orang tuanya, lihat juga bagaimana ia dibesarkan di lingkungan yang jauh sekali dari kesan hangat itu. Atau bisa jadi karena ini; Sa-eon menjaga diri agar tidak terluka oleh rasa sayangnya pada Hee-joo? Bukan gengsi yang membuatnya mati-matian berjarak dengan Hong Hee-joo, namun rasa sayangnya yang unlimited itu. Setelah tahu apa yang paling diinginkan Hee-joo, Sa-eon nggak ragu-ragu mengubah haluan. Ia benar-benar ingin memenuhi keinginan Hee-joo. Ketika Sa-eon akhirnya mendapatkan pencerahan dari Pak Kang tentang bagaimana seharusnya pasangan suami-istri berinteraksi, Sa-eon MAU BELAJAR. Orang yang gengsinya gede mana mau ambil inisiatif duluan. Apalagi ini kita lagi ngomongin cowo yang egonya lebih gede dari tubuhnya sendiri. Jadi, saya percaya, Sa-eon bukan gengsi ke Hee-joo tapi takut terluka. Beda loh.


Dasarnya Sa-eon sesayang itu sama Hee-joo. Jarak sejauh apa pun itu akan ia tempuh jika itu yang diinginkan Hee-joo.


Sebelum tahu identitas 406, saya melihat Sa-eon lebih banyak menahan diri untuk tidak menyakiti Hee-joo lewat tindakan maupun kata-kata. Mau marah-marah aja nggak berani. Ia selalu memastikan Hee-joo baik-baik saja. Ia mati-matian menekan perasaannya kepada Hee-joo karena ia tidak bisa menerima kenyataan bila suatu saat rasa sayangnya pada Hee-joo tumbuh subur lalu seiring dengan itu keinginannya untuk menahan Hee-joo di sisinya menjadi sedemikian besar daripada keinginannya membebaskan Hee-joo dari kehidupan menyesakkan yang dijalaninya. Menurutnya masang tembok setinggi Burj Khalifa adalah keputusan terbaik. Sejak awal Sa-eon hanya ingin memberikan cinta yang membebaskan kepada Hee-joo. Seperti yang diungkapkannya kepada Park Do-jae di episode 10—“I was going to self-destruct too. After I get my revenge, once the goal and targets that kept me going were gone, I was going to disappear too.”


Begitulah rencana awalnya, demi balas dendam, dia bersedia menghancurkan dirinya sendiri. Untuk alasan yang sama pula, ia mengingatkan di hari-hari awal pernikahan mereka agar Hee-joo tidak jatuh cinta padanya atau melakukan hal-hal untuk membuatnya jatuh cinta—bagi Baek Sa-eon, Hee-joo tidak pernah masuk dalam rencana besarnya (balas dendam). Baek Sa-eon akan menghilang dari siapa pun yang pernah mengenalnya termasuk Hee-joo.

 Itu sebelum dia tahu perasaannya kepada Hee-joo tidak bertepuk sebelah tangan


Selama tiga tahun pernikahan, Sa-eon selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Hee-joo—kecuali sikap dinginnya itu ya. Tanpa ia ketahui, yang paling dibutuhkan Hee-joo adalah sikap hangatnya. Sa-eon nggak pernah bermaksud mengekang Hee-joo. Ia bahkan memberikan kesempatan Hee-joo bekerja di saat ibu mertuanya menentang itu.


Sewaktu Sa-eon tahu identitas si penelpon gelap—406 itu, saya sudah menyiapkan diri untuk melihat reaksi Sa-eon. Ekspektasi saya Sa-eon bakal marah-marah ke Hee-joo—dia layak marah, pokoknya saya sudah terlanjur mengukur karakter Sa-eon sebagai orang yang nggak akan sungkan mengonfrontasi Hee-joo. Ternyata writer-nim memilih jalur lain yang membuat saya kepengin nangis aja. Pernah nggak sih nonton drama romance, kamu sebenarnya punya tebakan alur yang kamu inginkan dan kamu rasa itu cukup logis tetapi karena sudah terlalu sering menonton drama romance, akhirnya kamu memilih opsi kedua, opsi alur yang biasa diikuti writer-nim karena sisi dramatisnya dan lebih terasa ‘dramanya’. Lalu datanglah When The Phone Rings yang menunjukkan pemeran utamanya benar-benar menggunakan otaknya untuk berpikir bukan menggunakan emosi tidak logisnya itu. Siapa yang menyangka Sa-eon bisa mengetahui identitas 406 dengan hanya mengumpulkan puzzle termasuk panggilan-panggilan telpon tersebut? Bahwa percakapan-percakapan di telpon yang dilakukannya dengan 406 adalah wujud rasa frustasi Hee-joo selama ini, tentang lukanya, tentang kesepiannya, tentang harapan-harapannya, bahwa Hee-joo tidak pernah benar-benar menginginkan perceraian. Masuk plot twist nggak nih? Sat set banget dah. Nggak basa-basi.  Di sini lah titik baliknya Sa-eon. Saya menyukai tokoh green flag. Tetapi saya juga menyukai tokoh yang tau apa itu belajar dari kesalahan. Menurut saya, Sa-eon lebih keliatan sisi manusiawinya sih. He is admirable. Dia tau bagaimana meminta maaf, dan mengoreksi diri. Penampakannya boleh angry bird tapi kelakukannya nggak. He has a warm heart.  Ini salah satu alasan mengapa tokoh ini menarik perhatian saya. Meskipun pembawaannya terkesan angkuh dan mendominasi, tetapi dia nggak superior. Baek Sa-eon bisa memberikan saya alasan mengapa ia perlu diberi kesempatan. Mengapa ia layak disayangi. Sampai di episode 10, karakter Baek Sa-eon masih konsisten bagus, nggak out of character.



Cintanya Baek Sa-eon ke Hee Joo pure sekali. Ini jenis cinta yang berusaha membebaskan tanpa syarat. Makanya kan pada pengen dapet pasangan kayak Baek Sa-eon wkwk. Duit dan kasih sayangnya sama-sama berlimpah ruah HAHAHAHAHA.


Baek Sa-eon adalah karakter yang kompleks dan memiliki banyak layer. Kesan pertama saya terhadap karakter ini nggak jauh dari kesan dingin, intimidatif, terkesan mendominasi, nggak ramah, galak, irit senyum.  Diborong semua ga tuh. Tindakan Baek Sa-eon selalu terukur dan efisien. Sebenarnya secara mental capek banget jadi Baek Sa-eon, selama hidupnya ia harus menghidupi nama orang lain. Tidak mengherankan bila Hee-joo selalu menjadi rumah hangat  tempatnya pulang. Safe place-nya Baek Sa-eon adalah Hong Hee-joo. Seperti pengakuan Sa-eon, kebisingan di sekitarnya seketika menghilang meski hanya sekadar menatap wajah tertidur Hee-joo. Si hopeless romantic.


Saya tidak bisa membayangkan actor lain memerankan Baek Sa-eon. Saya pernah ngetwit, salah casting actor untuk peran Baek Sa-eon bisa berakibat fatal. Karakter Baek Sa-eon yang kaku itu harus diperankan actor yang aktingnya luwes. Saya ingat di episode 1 dan 2 ada adegan Sa-eon menghembuskan napas lega ketika dilihatnya Hee-joo dalam keadaan baik-baik saja. Adegan minor itu feel-nya dapat banget, mikro ekspresi Yoo Yeon-seok mengisyaratkan pesan yang jelas—Baek Sa-eon peduli pada Hong Hee-joo. Itu helaan napas yang mahal banget. Hanya helaan napas tapi bisa memberikan nuansa intens pada alur cerita When The Phone Rings. Kontradiksi ucapan dan reaksi berbeda dari gelagat/kelakuannya itu membuat saya terpancing dan tertarik untuk mengetahui lebih jauh. Bagaimana bisa Yang Terhormat Baek Sa-eon berbohong dengan seberani dengan sepercaya diri itu? Ngakunya nggak ada rasa, tapi istri ilang bentar dari pandangan langsung gelisah.


Yoo Yeon-seok menghidupkan karakter Baek Sa-eon dengan sempurna, ia memberikan tokoh ini kehidupan. Transisi Baek Sa-eon yang dingin di paruh pertama ke Baek Sa-eon yang terang-terangan mencintai Hee-joo di paruh kedua, tidak menghilangkan identitas aslinya. Saking halus transisinya, saya tetap bisa melihat Baek Sa-eon yang sama sebelum dan setelah mengetahui 406 adalah Hee-joo. Karakternya tetap, vibes-nya yang berbeda. Maksud saya, Baek Sa-eon nggak lantas menjadi orang lain setelah mengonfirmasi cintanya kepada Hee-joo. Pembawaanya nggak berubah, masih Baek Sa-eon yang rada kaku itu, tapi perlakuannya ke Hee-joo berubah 360°. Detail karakternya malah semakin bagus. Takaran acting Yoo Yeon Seok untuk Baek Sa-eon nggak berlebihan, nggak lebay dan nggak bikin geli meskipun banyak dialog-dialognya yang berpotensi bikin meringis kalau nggak tepat diksi, intonasi dan ekspresinya. Ia selalu berhasil mengirimkan warna emosi yang akurat kepada penonton. Saya udah khatam banget lah sebagus apa acting Yoo Yeon-seok. Peran Baek Sa-eon semakin mengukuhkan posisinya sebagai actor dengan spectrum acting yang luas. Wajar saja Yoo Yeon-seok mengakui lumayan berat saat syuting drama ini. Naik turun emosinya terlalu terjal, dengan tikungan-tikungan tajam. Pasti capek sekali eksplorasinya.


Masih terbayang-bayang dahsyatnya guncangan emosi yang diterima penonton melihat ketidakberdayaan Baek Sa-eon di akhir episode 10. Itu kalo ga diperankan actor yang jago acting, enggak bakalan dah ada yang ikutan nangisin Hong Hee-joo bareng Baek Sa-eon. Nggak main-main loh simpatinya penonton When The Phone Rings kepada kisah cintanya Sa-eon dan Hee-joo. Mikro ekspresi, tone suara, pengaturan napas, diksi nya Yoo Yeon-seok, udah level suhu semua. Adegan itu berhasil menunjukkan titik kulminasi perasaan Baek Sa-eon kepada Hee-joo. Itulah makna sesungguhnya dari “my wife is my weakness” yang ia lontarkan di awal episode. Siapa sangka sepotong kalimat yang menyakiti Hee-joo itu memang benar adanya. Hong Hee-joo adalah dunianya Baek Sa-eon. Kehilangan Hee-joo meruntuhkan hidup Sa-eon.


Memerankan tokoh yang memiliki karakter kompleks sangat nggak mudah karena spektrumnya luas, nggak boleh monoton. Bisa-bisa nggak dapet feel-nya. Baek Sa-eon adalah karakter yang kompleks itu. Dan kita nggak boleh lupa, When The Phone Rings mengandung unsur romance yang kata orang-orang ala wattpad itu. Tidak banyak drama romance yang pernah saya nonton yang bisa mempertahankan tokohnya agar tetap tinggal di dalam karakternya. Pada kebanyakan drama romance, karakter male lead seringkali kehilangan arah pasca memasuki fase jatuh cinta. Yoo Yeon-seok dengan Baek Sa-eon nya bisa. Tiba-tiba saja saya teringat Seo Jung-hoo, si Healer itu. I think they share the same energy. IMHO.



Yoo Yeon-seok tak hanya menampilkan aura maskulin Baek Sa-eon dengan sempurna, sisi rentannya juga diperlihatkan dengan tetap menjaga agar kekhasan karakter ini tidak tereduksi pada label bucin atau bulol. Saya tidak bisa melabeli Baek Sa-eon sebagai tsundere apalagi red flag. Apakah Baek Sa-eon memiliki sifat dominan? Enggak sih menurut saya. Beberapa kali ia memberi ruang kepada Hee-joo untuk menjadi dirinya sendiri. Itu sih yang saya amati. Jadi saya nggak bisa melihat Baek Sa-eon hanya sebatas karakter tokoh utama pria ala-ala wattpad. Yoo Yeon-seok, dengan kemampuan aktinya yang keren dan memukau itu berusaha memastikan agar penonton berhasil menerima dengan baik macam-macam nuansa emosi Baek Sa-eon dan bersimpati padanya. Saya sudah tiba di titik untuk tidak mengglorifikasi karakter Baek Sa-eon. Sebagai tokoh utama pria, Baek Sa-eon nggak sempurna, tetapi itulah yang membuatnya terlihat lebih manusiawi dan bisa diterima.


Chae Soo-bin sebagai Hong Hee-joo


My precious Han Seo-woo….

TMI : Saya belum bisa move on dari A Piece of Your Mind sejak 2020. Sebegitu jatuh cintanya saya pada Han Seo-woo, tokoh yang diperankan Chae Soo-bin ini sampai-sampai pasca A Piece Your Mind, saya belum juga sanggup menikmati project drama Soobin lainnya (maap). Saya nih punya kebiasaan jelek sebagai penonton drama. Gagal move on pada satu karakter bisa memengaruhi mood nonton saya terhadap actor/aktris yang memerankan karakter tersebut. Sebut saja Ji Changwook dengan Healer-nya, atau Park Bogum dengan Reply 1988-nya. Yang terbaru ya ini, Chae Soobin dengan Han Seo-woo dari A Piece of Your Mind-nya. Kebetulan banget tiga drama yang sebutkan itu memiliki bond yang kuat sekali terhadap hidup saya.


Saya belum pernah lagi menonton drama Chae Soo-bin setelah A Piece of Your Mind. Hingga akhirnya November lalu saya bertemu Hong Hee-joo.


Kesan pertama saya terhadap Hong Hee-joo; she looks so fragile, ringkih, polos, lemah tidak berdaya, mukanya kayak orang terintimidasi—pokoknya kasian aja liatnya. Makin ke sini, makin nambah episode ealaaah ternyata saya kena prank. Sosok female lead yang lemah ini menyembunyikan kekuatannya di balik sorot matanya yang minta banget untuk dikasihani itu.


Usai mengalami kecelakaan yang menewaskan adik laki-lakinya dan membuat kakak perempuannya kehilangan pendengaran,  Hee-joo diminta ibunya untuk berpura-pura bisu agar penderitaannya dianggap setara dengan kehilangan yang dirasakan  ayah sambungnya. Hee-joo pun menurut. Ia menganggap kepatuhan itu sebagai bentuk baktinya kepada ibunya.

Dan demikianlah Hee-joo kehilangan suara dan mimpinya.



Hee-joo bahkan tidak bisa menolak saat ia dipaksa menggantikan Hong In-a, kakak perempuannya, menikahi Baek Sa-eon. Nurut banget anaknya.


Sekilas melihat sosok Hee-joo di episode pilot, kesan lemahnya terasa kuat sekali. Seiring bertambahnya episode demi episode, Hee-joo membuktikan sebaliknya. Ia bukan perempuan lemah. Perhatiin deh, Kalo ngomong sama Sa-eon, Hee-joo nggak sepenuhnya manut-manut aja. Mungkin karena Sa-eon ngasih ruang ke Hee-joo. Kalo nggak setuju dengan omongan Sa-eon, dia akan berargumen juga meski lewat ketikan di hape. Tapi kita nggak membaca itu sebagai pembangkangan. Di lain cerita, untuk hal-hal yang dirasa Sa-eon baik untuk Hee-joo, Hee-joo ga akan membantah. Hee-joo tahu apa yang baik untuk dirinya, hanya saja ia masih memiliki kepercayaan diri yang rendah.


Hee-joo tuh kuat tauk. Buktinya dia nggak segan melawan si penculik. Dia ketakutan, memang, tapi nggak menyerah begitu saja. Nggak keitung berapa kali saya pengen nangis pengen meluk Hee-joo, apalagi waktu dia bilang dia nggak punya siapa-siapa di sisinya—sedih banget ini. Kalau Sa-eon bilang dunianya bising, dunia Hee-joo sebaliknya—sepi. Punya ibu yang doyan menekan anak, yang melihat Hee-joo hanya sebagai alat untuk memuluskan ambisi, Hee-joo punya suami tetapi sejak hari pertama pernikahannya, Baek Sa-eon sudah memanjangkan jarak yang tak terukur di antara mereka. Hee-joo baru bisa sedikit tersenyum jika berada di lingkungan pekerjaannya.


Apa sih yang kita ketahui tentang Hee-joo? Bahwa dia ingin menjadi penyiar, lalu apa lagi? Hanya itu. Tak banyak yang kita ketahui tentang karakter satu ini. Selebihnya kita melihat Hee-joo yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari jaring kesedihan, itu pun lewat penculikan yang nyaris saja membuatnya celaka. Mungkin memang sejak awal, Hee-joo tidak memimpikan yang muluk-muluk untuk hidupnya. Ia hanya ingin membebaskan diri, menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang kesedihan dan luka. Hee-joo ingin memiliki suara untuk dirinya. Hee-joo tidak pernah bisa merasakan bagaimana rasanya disayangi, oleh ibunya, oleh suaminya—yang ditawarkan kepadanya selalu meminta balasan. Di matanya, cinta adalah sebuah transaksi.

Pengen bilang ke Hee-joo, you are so loved, sayang-ku…


Setiap kali melihat mata Hee-joo, khususnya di paruh pertama When The Phone Rings, bawaannya sedih. Patah hati saya untuk Hee-joo begitu kuat di episode satu di adegan penculikan. Pas dia nangis dan teringat ucapan Baek Sa-eon. Terasa sekali sakit hati, kecewa dan perasaan tidak diinginkan itu.


Teduh mata Hee-joo sarat dengan kesedihan. Tapi satu hal yang nggak bisa dipungkiri, benar Hee-joo punya kepercayaan diri yang rendah, jiwa insekyur yang tumbuh subur, merasa nggak layak disayangi, dia percaya nggak bakal ada orang yang bisa tulus sayang sama dia, tapiiiii Hee-joo bukan karakter yang lemah. Salah satu momen terbaiknya adalah ketika dia dengan nada tegas berseru kepada ibunya, “Stop gaslighting, me!”


Jangankan emaknya sendiri, penculik aja nggak bisa ngapa-ngapain kalau Hee-joo sudah marah. Kayaknya Hong Hee-joo nih tipe orang yang kalau udah mutusin sesuatu dia nggak bakal ragu-ragu, dan yang pasti dia bisa membela dirinya sendiri. Mode survival-nya nggak bisa dianggap remeh. Perkembangan karakter Hong Hee-joo bagus sekali. She’s not a weak character.



Nggak cuma sekali saya membaca komentar miring yang menyasar acting Soobin di When The Phone Rings. Bahkan ada yang terang-terangan membandingkan aktingnya sebagai Hee-joo dan karakternya di project terdahulu. Saya nggak tau ya seperti apa orang-orang menggunakan standar soal penilaian jelek-bagusnya acting actor/aktris. Jika seorang actor/aktris berhasil membuat saya menikmati perannya entah antagonis atau protagonist, saya anggap aktingnya bagus.


Saya menonton akting Chae Soobin pertama kali di Cheer Up (2015), di drama anak sekolahan itu Soobin berperan sebagai tokoh antagonis. Aktingnya oke banget di situ. Wajah sepolos Soobin harus memerankan karakter Kwon Soo-ah yang insekyur, memiliki beban mental, dan suka playing victim. Saya nggak bohong, acting Soobin keren banget di situ. Sejak saat itulah, saya punya keyakinan suatu hari nanti karir Soobin akan melesat. Aktingnya natural dan punya detail. Dikasih peran antagonis hayuk, protagonist juga hayuk aja. Dan saya akhirnya benar-benar dibuat jatuh cinta pada Soobin gara-gara perannya sebagai Han Seo-woo di A Piece of Your Mind. Soobin bisa masuk ke dalam karakternya dan hidup sebagai karakter itu di drama. Bahasa tubuh, ekspresi wajah, tone dan diksinya oke. Dia bisa membuat saya merasakan emosi pada setiap kata/kalimat yang dia ucapkan. Saya menyukai intonasinya saat melafalkan dialog. Soobin memiliki kemampuan menciptakan nuansa tertentu sesuai apa maunya adegan. Meskipun saya belum menonton semua project-nya, tapi saya belum pernah kecewa dengan peran-peran yang dia mainkan di drama dan film yang saya nonton.


Untuk perannya sebagai Hee-joo di When The Phone Rings, saya paling nggak bisa terima sewaktu membaca komentar yang bilang ekspresi Soobin gitu-gitu aja. saya kayak yang HAHHHHH??? Gitu-gitu aja gimana nih maksudnya? Itu ekspresinya udah bagus banget loh detailnya. Dia memerankan karakter bisu—level kesulitannya nggak main-main tapi Soobin bisa loh menggambarkan perasaan Hee-joo dengan sangat baik melalui bahasa mata dan garis-garis ekspresi di wajahnya. Acting Soobin membuat saya percaya Hee-joo adalah perempuan lemah, membuat kasihan yang melihatnya. Kalau aktingnya jelek, di semua adegan yang melibatkan Soobin pasti akan membuat saya merasa cringe, kenapa? Karena semua adegan itu butuh kemampuan acting yang detail. Tapi sampai di episode 10, saya belum sekalipun merasakan itu. Sebaliknya, saya betah sebetah-betahnya menonton adegan-adegan yang ada Soobinya (aslinya emang saya nggak pernah pake skip-skip nonton drama ini). Takarannya udah pas. Menurut saya nih, salah satu standar bagus enggaknya acting actor/aktris adalah bisa nggak mereka delivered emosi yang dirasakan karakter yang diperankan itu dengan selamat kepada penonton. Sebagai penonton, saya tau persis ekspresi seperti apa yang saya butuhkan untuk membuat saya percaya “oh, dia lagi sedih. Oh dia lagi marah”, semacam itu. Mudah saja mendeteksi acting actor/aktris bagus apa enggak. Kalau saya lebih memilih menatap ke arah lain ketimbang layar karena apa yang tampil di layar membuat saya meringis geli, itu salah satunya. Nangis-nya Hee-joo bikin cantiknya naik ke level paling tinggi alias CANTIK BANGET. AURANYA ITU LOH. Bisa-bisanya orang nangis malah keliatan makin cantik. Acting dalam nuansa emosional itu sangat nggak mudah. Butuh keahlian untuk bisa mengajak penonton ikut tenggelam kelelep bersamanya. Soobin jago banget banget di semua adegan emosionalnya sebagai Hee-joo. Dia nih sama seperti Yoo Yeon-seok, tau memberi rasa pada dialog-dialognya.



Ada juga yang mengkritik bagaimana bahasa isyarat Soobin sebagai Hee-joo. Lagi-lagi membandingkannya dengan karakter yang diperankan aktris di drama lain. Menurut saya ini sangat tidak bijak dan terlalu kekanakkan. Sebelum melemparkan kritikan ada baiknya mengambil jarak dan melihat karakter-karakter ini dengan utuh, penggunaan SL atau sign language nggak bisa disamakan ke semua karakter. Nggak bisa dinilai dengan kaku. Tergantung karakter itu sendiri. IMHO, Chae Soobin sudah melakukannya dengan sangat baik. Unpopular opinion, saya lebih dahulu jatuh cinta pada Hong Hee-joo daripada Baek Sa-eon. Jatuh cinta ke female lead duluan adalah kelemahan saya. Jarang ada yang saya drop di tengah jalan dramanya.


Saya mau berterima kasih kepada Chae Soobin untuk Hong Hee-joo-nya, akhirnya saya bisa move on dari Han Seo-woo—dalam artian positif ya. Han Seo-woo tetap menjadi salah satu comfort character favorit saya sampai kapan pun. Kehadiran Hee-joo menambah alasan saya menyukai Chae Soobin dan aktingnya. Semoga setelah When The Phone Rings tamat, saya sudah bisa menikmati project drama/movie-nya Soobin yang lain ya.


Nun jauh di dalam hati, saya senang banget akhirnya banyak yang tau dan nyadar kalau Soobin itu layak banget dapet spotlight. She deserves!


Heo Nam Jun sebagai Ji Sang Woo


Ini project kedua Huh Nam-jun yang saya nonton. Heo Nam-jun memulai debut drama pertamanya dengan Missing : The Other Side sebagai figuran di episode 4. Saya nggak sadar ada Nam-jun di situ. Ia berturut-turut muncul di sejumlah drama popular seperti Snowdrop, Sweet Home, dan Your Honor. Nam-jun juga turut membintangi When The Stars Gossip yang sedang tayang di tvN.


Akting Nam-jun sebagai Ji Sang-woo di When The Phone Rings sangat memikat. Ji Sang-woo tampil kharismatik, misterius dan rasional. Huh Nam-jun understood the assignment. Dia tau karakter seperti apa yang melekat pada Ji Sang-woo, dengan begitu dia bisa menghidupkan karakter ini dengan warna unik yang memikat. Ji Sang-woo ini menjadi satu dari beberapa tokoh yang dicurigai penonton sebagai partner Baek Sa-eon yang asli. Selain wajahnya yang memang keliatan (maaf) antagonis, penulis Kim Ji-won tampaknya sengaja membuat karakter Sang-woo layak dicurigai dan ini berhasil dikerjakan dengan sangat baik oleh Huh Nam-jun. Kabar baiknya, Sang-woo bukan tipikal second lead menyebalkan. Saya yakin tidak sedikit penonton yang menaruh respek atau bahkan jatuh suka sama karakternya Sang-woo AHAHAHA. Coba angkat tangan.


Good job, Nam-jun ssi. Semoga setelah ini karirnya melesat dan dijauhkan dari skandal ya.   


Jang Gyu-ri sebagai Na You-ri


Jang Gyu-ri merupakan member girlband Fromis_9. Perempuan kelahiran 27 Desember 1997 ini memulai debut dramanya melalui peran Sun-byeol di drama It’s Okay to Not Be Okay. Saya suka sekali peran Gyu-ri di TV Movies O’Pening : Our Beautiful Summer sebagai Choi Yeo-reum (YANG BELUM NONTON HARUS BANGET NONTON INI).


Jang Gyu-ri memerankan karakter You-ri yang lovable, cheerful, agak ceroboh, menggemaskan dan asik. She has good traits. Jauh banget dari tipe pick me girl. Meskipun porsinya tidak banya, namun part-nya You-ri turut memberikan kontribusi pada perkembangan cerita When The Phone Rings. Setiap dia muncul, genrenya seketika berubah cerah ceria.


Setelah menamatkan Our Beautiful Summer, saya searching pemerannya siapa aja, saya kaget ternyata yang memerankan Choi Yeo-rum adalah member girlband. Maafkan, saya udah nggak ngikutin perkembangan girlband Korea. Nggak update. Akting You-ri udah lumayan bagus loh, ga kaku. Tinggal banyakin jam terbang aja di berbagai genre. Saya yakin suatu saat dia akan dapet peran utama di drama.


Supporting Characters




Selain 4 tokoh utama, ada beberapa tokoh yang kehadirannya tidak bisa dianggap sepele di drama ini. Sebut saja si tokoh antagonis utama yang tiap kemunculannya selalu membawa riak horror—Baek Sa-eon asli yang diperankan Park Jae-Yoon. Siapa yang nggak ngeri ngeliat dia nongol? Peran psikopatnya dapet banget. Detailnya gilak. Ga heran, Park Jae-yoon adalah veteran di dunia teater. Ada juga Profesor Shim Kyu-jin (Chu Sang-mi)—ibunya Baek Sa-eon. Aku nggak familiar sama Chu Sang-mi. Tetapi setelah membuka profile-nya di AsianWiki, barulah saya bisa me-recall memori di drama apa saya pernah menonton aktingnya. City Hall! Dia meranin Min Ju-Hwa yang nyebelin itu. Aktris veteran ini bagus banget diksi dan intonasinya. Kharismatik dan memukau.


Selain Ji Sang-woo sunbae, ada lagi satu karakter yang jadi sasaran overthinking-nya penonton. Hong In-A, kakaknya Hee-joo. Garis muka dan perannya di drama sebelumnya terlalu membekas sebagai antagonis, sehingga membuat Han Jae-yi dianggap layak dicurigai oleh penonton. Haduh.


Sebaliknya, ada Park Do-jae (Choi Woo-jin),  yang kemudian terbukti punya motif terselubung malah dikasihani penonton wkwk.  Tapi emang nggak papa sih dikasihani, maksudnya, backstory-nya bisa membuat orang bersimpati. When The Phone Rings adalah drama kedua Choi Woo-jin. Ia memulai debutnya di drama Death’s Game.


Porsi lawak When The Phone Rings dibawakan dengan sangat baik oleh Lim Chul-soo lewat perannya sebagai Kang Young-woo—bawahan Baek Sa-eon. Pak Kang dan Park Do-jae terlibat semacam kompetisi tidak tertulis siapa yang bisa mengambil perhatian Baek Sa-eon wkwk.


Hanya ketika You-ri dan Pak Kang muncul di layar, barulah penonton bisa melemaskan sedikit ketegangan.


Hampir kelupaan, Jurnalis Jang Hyeok-jin Ko Sang-ho), bestie yang sering dizolimi Baek Sa-eon, tetapi selalu yang paling gercep bantuin temen. Wajahnya Ko Sang-ho familiar, udah banyak lalu-lalang di drama juga. Diinget-inget lagi, dia dan Yoo Yeon-seok pernah main bareng di Dr. Romantic. Itu loh yang jadi sunbae nyebelin.

Divisi casting When The Phone Rings solid. Setiap actor memainkan perannya dengan baik, termasuk aktor cilik yang memerankan Baek Sa-eon remaja dan Hong Hee-joo remaja. Mereka adalah Lee Jae-joon dan Shim Yeon-woo.

A Good Romance!


Here it comes my favorite part! Ahahaha.

Mulai dari mana ya?


Saya baca-baca komentar yang mengeluhkan kurangnya part romance di When The Phone Rings. IMHO, drama ini justru berhasil mengeksekusi sisi romantisnya dengan sangat baik, lebih baik dari drama yang secara terang-terangan mengusung genre romance. No noble idiocy— part Argan bukan noble idiocy.


Saya menolak jika ada yang mengidentikkan genre romance dengan banyaknya skinship. Kemistri tidak harus terjalin berdasarkan berapa banyak adegan intimate. Unsur romance yang baik pada sebuah drama mestilah dibangun dengan pondasi yang kuat dari dua tokoh utamanya. Dua tokohnya sama-sama mengupayakan komunikasi yang baik, komunikasi dua arah.



Koneksi itu benar-benar ada di sana. Dan hidup. Build up romance-nya bagus banget. Dari couple yang asing satu sama lain, lalu pelan-pelan saling mengenali dan jatuh cinta bersama-sama. Reaksi kimia romance yang kuat dan membekas kuat, lahir dari dua tokoh yang berhasil menjalin keterikatan emosi melalui pola interaksi yang tidak melulu mengandalkan sentuhan-sentuhan fisik. Sering terjadi, skinship yang intimate di sebuah drama terasa hambar karena tokoh-tokohnya gagal mengeksplor unsur romance. Terkesan monoton. Hal menarik terjadi di When The Phone Rings, kehadiran skinship yang terjadi kemudian justru berhasil menambah eskalasi kemistri tersebut, menggenapkan. Kemistri Chae Soobin dan Yoo Yeon Seok seperti ada magnetnya yang membuat saya percaya bahwa mereka benar-benar jatuh cinta dan saling mencintai sebagai Hong Hee-joo dan Baek Sa-eon. Magic. Efek bom waktunya juga dapet banget. Baek Sa-eon TIGA TAHUN menahan diri!! HAHAHAHAHA. Klimaks emosinya ngena. Bukti kesuksesannya, ya lihat aja penonton menginginkan lebih wkwk. Saya lega drama ini berhasil menghindari pattern mengorbankan diri agar yang dicintainya bahagia yang biasa ditemukan di drama romance. Yang ada, Sa-eon dan Hee-joo saling berlomba menunjukkan cinta siapa yang paling besar tanpa saling meninggalkan.


Suka banget bagian setelah mereka akhirnya saling mengonfirmasi perasaan, mereka mau saling mendengarkan. Saya selalu puas dan terpenuhi ekspektasinya setiap kali Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo saling bereaksi terhadap satu sama lain. Apa yang mereka lakukan sesuai dengan yang saya harapkan terjadi. Gini ya rasanya naskah yang berhasil divisualisasikan dengan sangat baik oleh pelakonnya. ROMANCE-NYA NGGAK BIKIN GELI! NAGIH, IYA.


Kalau orang lain bilang thriller-nya 99,99 persen, dan 1 persennya romance, saya punya pendapat berbeda, When The Phone Rings memiliki unsur romance 70 persen, sisanya thriller. Karena sejak episode pertama, saya melihat sisi romantisnya udah kuat banget. Ditambah eksekusinya yang bagus, maka menjelmalah When The Phone Rings sebagai drama romance berbalut thriller terbaik yang pernah saya nonton.



Kemistri You-ri dan Sang-woo sunbae juga menarik diikuti, tipikal slow-burn romance yang bikin penonton gregetan. Nggak diliatin proses jadiannya eh tau-tau mau nikah. Tapi mereka ini aslik gemesin ya. 😄

Who knows, siapa tau nanti bisa reuni di project lain.


Chemistry-nya Yoo Yeon-seok dan Chae Soo-bin gilak!


Siapa yang sampai detik ini masih terjebak chemistry-nya Yoo Yeon-seok dan Chae Soo-bin di When The Phone Rings? Sini, temenan!


Saya lemah dengan drama romantic yang bikin nyaman. Dan nggak nyangka juga kalau drama romance dibalut thriller ini akan bikin saya gagal move on bahkan sampe ga mood nonton drama lain. Hhhh.


Mengapa saya dengan mudahnya terpikat pada kemistri Sa-eon dan Hee-joo di episode pertama?


Karena hubungan Sa-eon dan Hee-joo nggak dibikin kaku, sparks-nya kuat banget. Ini cerita dua manusia yang asing satu sama lain, lalu memutuskan untuk saling bertemu di tengah. Dua-duanya aktif membuka jalan komunikasi dengan modal saling percaya yang kuat. Nggak ada yang pake prinsip “Dah aku aja nanggung beban, kamu nggak perlu tau apa-apa”—Asli, nggak suka banget trope kayak gini. Udah bukan jamannya lagi. Makin mature usia makin berkembang juga pola pemikiran. Untuk romance ala manusia dewasa, komunikasi itu hal yang mutlak, bukan hanya satu sisi, tetapi dua orang yang terlibat dalam sebuah hubungan mestilah mengamini dengan sebenar-benarnya satu hal ini. Pendeknya, unsur romansa When The Phone Rings rasional dan logis dengan memandang dua tokoh utamanya sebagai pasangan suami istri yang menjalani pernikahan tanpa cinta yang setara selama tiga tahun lamanya.


Panggilan telepon menjadi plot-device yang menggerakkan alur hubungan Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo. Sebuah cara cerdas dan unik untuk membuka keran komunikasi yang mampet wkwk. Hayuk bilang makasih ke Baek Sa-eon asli. Makasih udah nolongin pasutri ini untuk saling menemukan.


“Call me when there’s a corpse.”

Puncak penderitaan dan patah hatinya Hong Hee-joo dimulai dari sini, sewaktu mendengar nada dingin Sa-eon di seberang telepon—dalam kondisi nyawa terancam. Denger suaminya ngomong begitu, siapa yang tidak meledak emosinya? Siapa yang tidak marah? Selama tiga tahun Hee-joo berharap Sa-eon akan berubah dan mulai melihatnya. Kesalahpahaman dimulai di sini. Hee-joo akhirnya percaya, di mata Sa-eon dia tidak berharga. Belum lagi ditambah ucapan “My wife is my weakness” di scene berikutnya. Dari sudut pandang Hong Hee-joo, ia yang sedari mula hanya dijadikan pengganti Hong In-a, berasa hancur lebur seluruh harapannya. Kayak “GILA YA NGAPAIN GUE BERTAHAN SELAMA INI HANYA UNTUK DIPADANG RENDAH BEGINI??”


Kalau Baek Sa-eon serupa benda, udah habis dia diinjak-injak dan diubah bentuk jadi butiran debu sama Hee-joo. Saking marah dan kecewanya, si penculik jadi nggak ada harganya di mata Hee-joo.

Jadi, wajar aja Hee-joo minta cerai.


Yang bikin saya nggak bisa sepenuhnya kesal pada Baek Sa-eon, ya itu, seperti yang saya bilang di atas, Sa-eon ini ga sejalan ucapan sama tindakan kalau sudah menyangkut perasaannya ke Hee-joo. Penonton tau dia sayang ke Hee-joo. Pusaran emosinya Hee-joo dan Sa-eon inilah yang menarik saya suntuk terlibat di dalamnya. Perkara suami-istri yang lost in translation ini bikin penonton excited HAHAHAHA. Angst-nya menebarkan aroma romance yang kuat banget, apalagi di paruh pertama. UWAW. Sexual tension-nya ga maen-maen ini hihi. Mereka masih asing begini aja udah terasa romance-nya,gimana tar kalau udah hilang asingnya? Nah, yang paling ditunggu penonton adalah olah klimaks konflik Sa-eon dan Hee-joo sebagai pasangan. Tek-tokannya Sa-eon-Hee-joo nge klik banget, nuansa yang tercipta setiap kali mereka berada dalam satu frame menebarkan aura chemistry yang tumpah-tumpah. Mereka bikin penonton nunggu, habis ini ada kejadian apa lagi ya? Dari satu adegan ke adegan lainnya, memuat rasa dan emosi yang membulat, bersambung dengan nada romansa yang kuat. Perjalanan kisah cinta yang utuh ini harus melewati guncangan-guncangan hebat yang kerennya tidak membuat penonton merasa frustasi melainkan dipenuhi harapan. Nah loh.



Mungkin ini ya yang dibilang wattpad code sama penonton? Karena saya bukan pembaca aktif wattpad, saya nebak-nebak aja.


Tau nggak kenapa kisahnya Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo bikin nyaman? Karena dua-duanya menyikapi  dewasa persoalan yang mereka hadapi, mereka oborlin, saling percaya satu sama lain. Sama-sama takut kehilangan satu sama lain. Level bucinnya setara. Tidak ada upaya saling menyalahkan. Penonton dikasih jaminan enggak akan ada hal-hal ekstrim yang akan terjadi karena tindakan bodoh salah satu dari dua orang ini. Satu-satunya yang bikin penonton cemas ya si Baek Sa-eon asli itu wkwk. Dialah momok thriller yang sesungguhnya. 


Btw, saya suka sekali Hong Hee-joo model marah-marah ke Sa-eon versi penelpon gelap. That’s the real Hong Hee-joo. Mode nekat, berani ngungkapin apa yang dia rasain, nggak takut kehilangan apa-apa.


Pasca mengetahui insiden penculikan Hee-joo, yang disusul dengan panggilan telepon misterius terus-menerus, Sa-eon marah karena si penculik seperti sudah sangat mengenal Hee-joo. Bahkan tau posisi tanda lahir Hee-joo, yang Sa-eon sendiri belum tau HAHAHAHA. Wong 3 tahun nggak ngapa-ngapain! Selama ini Sa-eon udah kepedean dia yang paling kenal Hee-joo. Marahnya ini lebih dekat ke cemburu sih. Di sini dia udah mulai terusik, habis itu ditambah kemunculan Sang-woo sunbae, ya makin-makin panic lah si Mas-nya.


Momentum penting yang membuat Hee-joo memikirkan kembali hubungannya dengan Sa-eon saya pikir terjadi di ending ep 3, ketika Sa-eon tiba-tiba muncul menyelamatkan Hee-joo yang panik setelah mengetahui ayahnya diculik. “She’s my wife” nya Baek Sa-eon nggak hanya bikin Hee-joo kaget, saya juga kaget. Hah, beneran nih diakui istri? Untuk pertama kalinya loh ini di depan umum. Nggak hanya sampai di situ, Sa-eon mengagetkan saya dengan reaksinya melihat Hee-joo menangis (ep 4). Mau berapa kali pun saya menonton adegan ini, saya tetap saja merasa sedih. Dimulai saat Sa-eon ngasih sapu tangan ke Hee-joo, lalu menyebutnya jelek saat menangis. Menit setelah dia ngomong begini, raut wajahnya Sa-eon terlihat… SEDIH. Itu kali pertamanya mendengar suara Hee-joo dalam keadaan menangis. Ucapan Sa-eon setelahnya, itulah yang akhirnya membuat saya melihat Sa-eon dengan pandangan yang sepenuhnya berbeda.


I’m not telling you to stop crying. Cry as much as you want.” –Baek Sa-eon


Pas Baek Sa-eon bilang begini ke Hee-joo, saya yang nge-reog. Nggak nyangka! Baek Sa-eon memberikan validasi pada perasaan Hee-joo di waktu yang tepat. Di saat Hee-joo benar-benar membutuhkannya. Ingat nggak sebelum kemunculan Sa-eon, Hee-joo menangis sedih. Ia merasa sendirian.


“Has my life ever been easy? I can’t do anything. No one in this world is on my side.” –Hong Hee-joo


Situasi sulit itu menempatkan Hee-joo pada titik terakhir usahanya untuk bertahan. Satu dorongan kecil saya bisa membuatnya terjatuh dan hancur. Baek Sa-eon memang tidak memberikan pelukan atau semacamnya, tetapi dia memberikan penguatan lewat kata-kata. Menangislah sebanyak yang kamu mau. Yang pernah mengalami berada di posisi kritis seperti Hee-joo pasti paham rasanya. Kadang di saat seperti itu yang kita butuhkan bukan hantaman pertanyaan demi pertanyaan, tetapi kehadiran seseorang, cukup hadir saja, tidak perlu mengatakan apa-apa. Itu yang dilakukan Sa-eon untuk Hee-joo. Tidak ada pertanyaan walaupun ia layak bertanya. Dibiarkannya Hee-joo menangis sepuasnya.


There’s a couple here now. They have lived without being able to open up to each other. Would things have been different if they had been more honest and shown their true feelings? If they try to make an effort now, could they live like any other ordinary couple? Yet again today, like how a mind game is played, the couple merely tries to read each other’s mind. The ironic thing is that their behavior is surprisingly similar.” –Baek Sa-eon


Highlight When The Phone Rings digambarkan dengan sempurna melalui ucapan Baek Sa-eon. Di adegan ini, saya bertanya-tanya Sa-eon kenapa deh kok tiba-tiba blak-blakan begitu? Ada yang berubah dari sikapnya. Sorot matanya ke Hee-joo tidak terlihat ramah. Kecurigaan saya terjawab setelah epilog di episode 4 ini ditayangkan.


“Hee-joo isn’t gloomy. She’s observing her surroundings. She doesn’t lack social skills. In general, people are rude to her first. Also, she didn’t succumb to money. She just loved her mother.

… Hee-joo isn’t supplementary pages. She’s a brand-new language. She repeated the same hand movements thousands of time to become who she is. People don’t know that. So don’t talk about my wife like that.”


Kurang puitis apalagi coba Baek Sa-eon? Dikatakannya Hee-joo itu brand-new language.


Bagaimana Hee-joo memandang dirinya dan bagaimana Hee-joo di mata Sa-eon sangat bertolak belakang. Self-esteem nya Hee-joo terjun bebas. Saya berulangkali mengatakan When The Phone Rings memiliki kedalaman cerita yang bagus sekali, ini salah satu alasan saya—sudut pandang Hee-joo dan Sa-eon diurai dengan sangat baik sehingga kita bisa bersimpati pada keduanya secara berimbang. Sebab akibat dari tindakan, aksi-reaksi yang mereka munculkan bisa sepenuhnya dipahami. Kita tahu lukanya Hee-joo, kita tahu traumanya Sa-eon… kita merasakan apa yang mereka rasakan. Sebagai penonton, kita berinvestasi perasaan dengan sukarela.


Banyak sekali kejadian di ep 4 yang menjadi titik balik hubungan Sa-eon dan Hee-joo, yang puncaknya ditutup epilog powerful—Baek Sa-eon menemukan kelemahan dan rahasia Hee-joo. JUST WOW. Eksekusi adegan yang transisinya bikin merinding itu dipadu akting Yoo Yeon-seok yang parah gilak bagus banget beriringan See The Light-nya Hyunsik—perfect. Ekspektasi saya bahwa Sa-eon bakal marah, dipatahkan detail acting Yoo Yeon-seok. Sorot matanya mengatakan sesuatu yang berbeda. Sa-eon marah tapi bukan marah kepada Hee-joo melainkan kepada dirinya sendiri. Panic attack-nya Hee-joo yang patah hatinya Sa-eon. Tidak mengherankan pada saat wawancara ia memberikan statement mengejutkan yang diterjemahkan sendiri oleh Hee-joo menggunakan sign language. Mengapa Baek Sa-eon tampak sangat emosional saat wawancara berlangsung? Ia terkejut mengetahui fakta Hee-joo menghabiskan waktunya untuk mengobservasi dan mempelajari pidato-pidato Sa-eon sampai-sampai Hee-joo bisa menebak apa yang akan dikatakan Sa-eon, itu dibuktikan dengan keakuratan sign language yang digunakan Hee-joo saat menjadi penerjemah bahasa isyarat Baek Sa-eon. Akhirnya kan kita tau, di adegan ini Sa-eon sudah tahu kalau Hee-joo bisa berbicara. Ada tubrukan perasaan bersalah, marah, kecewa, tidak percaya memenuhi hati Sa-eon. Berasa banget shock-nya Sa-eon. Dia pikir dia udah kenal banget Hee-joo eh ternyata enggak sepenuhnya. Shock-nya double, Hee-joo menghabiskan waktunya untuk mempelajari Sa-eon. Bener-bener deh pasutri satu ini.


Apa yang bikin saya jatuh cinta banget dengan kisah cinta Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo? Itu adalah bagaimana mereka saling jatuh cinta. Pure, poetic, warm. Saya nggak selalu senang dengan kehadiran plot masa kanak-kanak, tapi untuk Sa-eon dan Hee-joo saya terima aja. Kenapa?


“It’s red, like your swollen cheek.”


GIMANA BISA SAYA NGGAK SUKA DENGAN LINE SATU INI?


Mulanya hanya adegan anak cowok menggendong seorang anak perempuan yang lututnya terluka. Ia berhenti sejenak dan melihat ke arah langit yang memerah senja. Warna merah senja mengingatkannya pada pipi merah anak perempuan yang sedang memeluk lehernya. Siapa sangka warna merah senja akan mempertemukan mereka kembali pada suatu ketika di masa depan. Duh, Baek Sa-eon udah bucin sejak dini ya…. Bakat romantisnya bukan kaleng-kaleng. Sebagai pembaca novel romantic, TENTU SAJA SAYA MLEYOT. INI MAH NOVEL BANGET.


Confession nya Sa-eon di Namsan Tower juga bagusssssss bikin meleleh, menyublim, mencair.


“Hong Hee-joo, tell me how to hate you. Tell me how to not love you.”


Sekali lagi eksekusi dan acting Yeon-seok dan Soobin juaraaa. Meleng dikit bisa cringe soalnya. Tapi ini muatan emosinya pas mantap, aktingnya natural. Yang jomblo nonton sambil mukul-mukul bantal, pengen salto jungkir balik. Kasian ya.


Pasutri lain cobaannya : masalah ekonomi, perselingkuhan, ego yang saling beradu.

Saju couple cobaannya : penculikan, jatuh dari tebing, kebakaran, penculikan (lagi), medan perang—cobaannya terlalu ekstrim, taruhannya nyawa. MEMANG BUKAN PASUTRI BIASA. 


Saya nggak yakin apakah saya bisa merasakan efek romansa sebesar ini andai bukan Yoo Yeon-seok dan Chae Soobin yang memerankan Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo. They make it possible. Jika dilihat dari dekat, When The Phone Rings memiliki potensi yang gede untuk jadi drama cringe. UNTUNGNYA, kemungkinan ini ditepis dengan menghadirkan kemistri luar biasa bagusnya dari perpaduan Yoo Yeon-seok dan Chae Soobin. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Oke, dua-duanya sudah terbukti bagus membangun kemistri dengan co-star di project yang lalu. Dua-duanya udah nggak diraguin lagi kekuatan aktingnya. TAPI NGGAK NYANGKA BANGET BANGET KEMISTRI MEREKA DI DRAMA INI AKAN MELEBIH EKSPEKTASI, BAHKAN DI BTS JUGA KELIATAN BAGUSNYA.


Gimana ya ngomongnya…. Ntah mungkin karena saya udah lama banget nggak menikmati cerita romance di drama, jadi pas nemu yang akhirnya cocok, perasaan seketika meluap-luap. Pada banyak kejadian di drama romance yang saya nonton, saya hanya memfavoritkan beberapa adegan tertentu saja, tapi untuk WTPR saya menyukai semua adegan yang menampilkan Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo. Nggak peduli mereka coba ngobrol doang. Ada sesuatu pada ekspresi atau sorot mata mereka yang membuat saya betah. Kemistrinya terlalu natural. Klop. Saya udah bilang, saya menyukai drama romance, tapi nggak semua tipikal romance bisa membuat saya menikmati apa yang disuguhkan. Nggak semua proses menjadi romance-nya bisa meyakinkan saya. Yoo Yeon-seok dan Chae Soobin, dengan kekuatan acting serta kerjasama mereka sebagai co-star membuat seluruh adegan yang ditampilkan di drama ini terasa nyata nuansa emosinya. Tidak sedikit pun saya temukan situasi awkward di antara mereka. Biasanya nih, pada adegan intimate  saat dua tokoh ngobrol, akan ada sedikiiit saja gelagat yang menunjukkan oh iya, mereka lagi acting—dengan Yoo Yeon-seok dan Chae Soobin, itu NGGAK ADA SAMA SEKALI. Boro-boro mikir gitu, yang ada penontonnya sibuk baper wkwk. Mereka bikin saya lupa kalo mereka lagi acting.


Saya merasa mereka setara dalam semua hal sebagai pelakon. Usaha maksimal untuk menampilkan yang terbaik. Yang seperti ini mustahil bisa terjadi bila tidak ada kerjasama dan ruang pengertian yang luas satu sama lain. Yoo Yeon-seok dan Chae Soobin membawa profesionalisme mereka ke level mencengangkan. Saya tahu mereka adalah orang-orang yang bekerja keras, mereka adalah orang-orang yang menyukai acting. Tapi acting mereka sebagai couple di drama ini benar-benar on another level. Jika membaca wawancara mereka setelah When The Phone Rings tamat, tidak mengherankan mereka bisa menghadirkan kemistri yang solid sebagai Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo. Yoo Yeon-seok dan Chae Soobin memiliki pemahaman yang sangat mendalam mengenai peran yang akan mereka mainkan, ini memudahkan mereka untuk terlibat aktif mendiskusikan apa-apa saja yang bisa mereka lakukan agar visualisasi naskahnya terwujud sesuai yang diharapkan. Mengingat age gap yang jauh (10 tahun), posisi senior-junior yang melekati, saya ngerasa emejing melihat betapa nge-bland nya Yoo Yeon-sook dan Chae Soobin sebagai team-mate. Smooth and natural. Selamanya akan berterima kasih kepada. Saya bisa menikmati romance lagi setelah sekian lama. Pure romance.


Pure romance? Yakin? Di drama yang terang-terangan bilang genre nya thriller romance ini?

IYESSSS. Thriller-nya mah kedok doang biar proses pedekate pasutri ini terasa exciting-nya, agak lain memang dibandingkan cerita romansa manusia lainnya wkwk.


Sejak episode 1 sampai episode 12, bahasan utama drama ini didominasi perjalanan hubungan Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo. Interaksi di antara mereka memuat unsur romansa; gesture, air muka, perubahan-perubahan emosi yang terjadi pada prosesnya… bener-bener cuma fokus ke mereka aja dari asing menjadi saling. Nggak ada orang ketiga, nggak ada salah paham yang biasa terjadi di drama romantic lain. Trus, yang mereka lakuin di drama juga bukan sesuatu yang ikonik, yang biasa diadakan pada drama romance. Justru yang banyak ditampilkan hal-hal yang sifatnya domestic, private layaknya pasangan suami istri lainnya kayak pillow talk, ngobrol tukar pikiran, pelukan.


Sejak awal kan permasalahan utama Sa-eon dan Hee-joo adalah komunikasi. Bagaimana jalannya hingga akhirnya mereka bisa membangun komunikasi, When The Phone Rings menangkapnya dengan tepat. Komunikasi yang baik bisa tumbuh hanya jika dua pihak yang terlibat mau bersama-sama mengusahakannya. Usaha yang setara. Itu. Semoga yang nonton A Piece of Your Mind bisa memahami apa yang saya maksud.


ANGKAT TOPI UNTUK CHAE SOOBIN YANG BISA MENGIMBANGI YOO YEON-SEOK DALAM SEGALA HAL DI WHEN THE PHONE RINGS. EHM. HAHAHAHAHAHA. YTTA.


E N D I N G


Unpopular opinion, maybe….

***

Kekhawatiran ending-nya bakal antiklimaks dan ga jelas adalah yang paling sering muncul di kepala setiap kali saya menemukan drama bagus (menurut kamus nonton saya). Setelah menonton episode 10 When The Phone Rings, dengan klimaks emosi yang luar biasa bagusnya itu, pertanyaan ini kembali muncul di kepala saya. Bisakah drama ini menyelesaikan ceritanya dengan baik seperti saat ia dimulai pertama kali? Salah satu ukuran sebuah drama diakhiri dengan baik versi saya adalah ketika ia berhasil bersetia pada premis yang sudah dibangunnya dengan baik. Sering terjadi pada drama romance, drama kehilangan nyawa, sparks, atau apalah sebutannya itu tepat di saat dua tokoh utamanya saling jatuh cinta. Pattern lain yang kerap membuat saya bosan adalah cetakan jadian-patah hati-balikan-yang seriiiing banget dipake di drama. Muatan romance pada cerita bisa on/off tergantung cara mengeksekusinya.


When The Phone Rings tidak menggunakan cetakan plot yang umum digunakan pada drama romance. Gimana sih, klise tapi nyampenya ke saya nggak berasa klise-nya. Saya nggak ngitung pelarian Baek Sa-eon ke Argan sebagai hal yang klise terjadi di drama romantic. Kenapa? It’s reasonable. Alasannya masuk akal.

Perpaduan romance dan thriller yang dibawa drama ini diselesaikan dengan baik.

Jadi, apakah saya puas dengan ending When The Phone Rings? IYA. PUAS BANGET.


Alasan pertama, everyone gets the closure they deserve. Setiap orang mendapatkan akhir/penutup layak dan sesuai dengan premis karakter tokohnya. Protagonis dan antagonis.


Drama yang dimulai dengan tone yang dingin, dengan tensi yang membuat tegang, cemas dan was-was ini diakhiri dengan nuansa hangat yang melingkupi seluruh elemen ceritanya. Ada yang bilang penyelesaian akhirnya terkesan terburu-buru, boleh jadi demikian. Meskipun tidak bisa terlepas sepenuhnya dari kesan buru-buru, When The Phone Rings berusaha semampunya agar tetap adil kepada tokoh-tokohnya termasuk kepada minor characters . Untuk drama 12 episode, alur dan plotnya cukup rapi dan konsisten dengan tetap menjaga tensi cerita.


“I’m going to forget everything from the past. If I keep dwelling on the past, I’ll be unhappy in the present.” –Hong Hee-joo


Seperti ada sesuatu yang terlepas begitu saja dari hati saya ketika mendengar Hee-joo mengatakan kalimat ini kepada In-a. Hee-joo akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu, ia merasa tidak akan mampu merasakan kebahagiaan yang utuh bila terus-menerus melekatkan diri kepada masa lalu. Hee-joo memutuskan untuk bahagia. Bukankah ini yang kita tunggu-tunggu? Kebahagiaan Hee-joo. Mengatakan lupakan saja apa yang terjadi di masa lalu kepada orang yang sudah dibuat babak belur oleh masa lalu adalah sesuatu yang mudah bagi kita, tapi tidak bagi yang mengalaminya. Untuk bisa berdamai, mestilah harus ada jalan yang dilalui. Hee-joo sudah melaluinya dan ia tidak sendirian. Ada Sa-eon di sisinya. Kalimat Hee-joo berikutnya, akhirnya bisa membuat saya benar-benar menghembuskan napas lega—Hee-joo telah sempurna menjadi Hee-joo yang mengenal dan menerima dirinya sendiri.


“Eonni, I’m happy. And now, I don’t doubt my happiness anymore. Because I’m someone who truly deserves it, and he helped me believe that.”


Dua kalimat penting. I don’t doubt my happiness anymore dan because I’m someone who truly deserves itdua kalimat yang mengandung kepercayaan diri yang tinggi ini hanya bisa diucapkan seseorang yang telah berhasil melewati bagian terberat dari proses mengenali diri sendiri. Nggak sekadar omong doang tapi Hee-joo sungguh mewujudkannya. Karakter seperti Hee-joo, hanya butuh satu orang yang benar-benar mengenalnya untuk menyalakan tombol berani di hatinya. Semua sudah ada di sana di dalam hatinya. Hee-joo adalah anak yang ceria, keadaan yang membuatnya melepas keceriaannya. Sejak pertama kali bertemu, Sa-eon selalu berada di sisi Hee-joo sebagai orang yang terus menerus nge-push supaya Hee-joo tidak memandang rendah dirinya (kemampuan yang dimilikinya).


“Underestimating yourself is a bad habit.” –Baek Sa-eon


Hee-joo pernah menjadi orang yang meragukan kebahagiaannya sendiri. Ia bahkan mengalami mimpi buruk setelah ia dan Sa-eon saling mengonfirmasi perasaan. Kayak ada setan keparat di dalam sana yang berulang kali mengingatkan bahwa ia tidak berhak bahagia (setelah kecelakaan yang merenggut nyawa adiknya). Sebesar itu trauma membunuh kepercayaan diri Hee-joo.


Ketika seseorang bertemu orang yang tepat di waktu yang tepat, meskipun situasinya tidak tepat, akan selalu ada jalan atau cara untuk membuat segalanya membaik. Hee-joo dan Sa-eon adalah dua orang itu. Kenapa? Karena dua orang ini mau bersama-sama mengusahakannya.

Hee-joo layak menjalani kebahagiaannya. Ia benar-benar layak dan berhak.


Kedua, When The Phone Rings dominan thriller ketimbang romance-nya? Saya mungkin termasuk satu dari sedikit penonton yang merasa unsur romance di drama ini sangatlah kuat, tidak kalah dari thriller-nya. Tapi kan nggak banyak adegan romance-nya? Yakin nih? Atau barangkali, pemahaman romance yang hidup di kepala saya sedikit berbeda sehingga saya melihat When The Phone Rings dengan cara yang sedikit berbeda pula. Saya adalah penonton yang fokus pada kualitas daripada kuantitas jika menyangkut romance. Di mata saya, duduk ngobrol berdua aja bisa meresonansikan vibes romantic yang bikin saya senyum-senyum gaje bila konteks obrolannya diisi dialog-dialog mendalam.


Setiap kali Hee-joo dan Sa-eon terlibat obrolan berdua, poin kedekatan hati mereka nambah seribu. Oleh sebab itu, ketika kemudian keduanya terlibat intimate scene jatohnya nggak kayak kaku atau terpaksa diadakan karena mengikuti pattern romance, tapi emang udah seharusnya begitu. Sebut saja adegan ehm di Namsan Tower. Build up menuju adegan itu BAGUS BANGET TOLONG. Saya nih pas nonton itu rasa-rasanya merinding, emosinya dapet banget ya ampoooon. Rasa-nya bikin meleleh hati. Pengen teriak. DUH NGERTI NGGAK SIH GIMANA RASANYA. Fokusnya bukan ke nafsu tapi emosinya, rasanya. Semua adegan ehm-nya (you know what I mean) Sa-eon dan Hee-joo kelewatan naturalnya. Saking naturalnya nih, nggak ada tuh adegan yang nggak bikin baper HAHAHAHAHA. Bodo amat dah mau khayalan kek kenyataan kek. Penonton udah terlanjur jadi bucin.


What if game yang dimainkan di drama ini nggak sekadar memenuhi plot sebagai upaya mempermainkan emosi penonton. Ini kan cocok banget sama narasinya Sa-eon di episode 4—tentang sepasang suami istri yang hidup berdampingan namun tidak saling mengenal. Bagimana jika mereka memutuskan saling terbuka satu sama lain, saling mengusahakan apa yang harus diusahakan sebagai dua orang yang telah memutuskan untuk hidup bersama? Andai sedari awal Sa-eon mau jujur soal perasaannya kepada Hee-joo dan tidak melihatnya sebagai tawanan yang akan ia lepaskan kelak di suatu hari, ceritanya sudah pasti berbeda. Yang what if-what if  itu ga akan hidup hanya di alam khayalnya Hee-joo. Marahin Sa-eon gih!


Pasutri mana sih yang nggak ada ujian hidupnya? Namun jika komunikasi yang mampet itu dipelihara dalam waktu lama, keasingan lambat laun membentangkan jarak, hingga pada akhirnya yang terlanjur jauh itu akan mencari jalan tenangnya masing-masing.


Ujian pernikahannya Hee-joo-Sa-eon terlalu ekstrim dibanding pasangan lainnya. Selain komunikasi, genre hidup mereka terlalu makjang sampe harus berurusan sama orang gila. Syukurlah, yang mati di akhir bukan romance tapi thriller-nya. Penonton tumpengan di Argan. Eh.


Ketiga, adegan di Argan terkesan maksa?

Well, kalo nggak ada pertemuan di Argan, nggak bakalan ada adegan lejen yang bikin penonton live streaming ep 12 nge-reog mleyot tengah malem. Iya, penonton itu saya. Tapi memang harus diakui, part Argan seharusnya bisa di-eksekusi dengan lebih baik. Kalau ada yang terasa antiklimaks dari drama ini, sudah pasti adegan penculikan di Argan itu. Ini juga diakui penulis skenarionya kan? Alasan waktu yang mepet dan lokasi syuting membuat penulis skenarionya harus muter otak gimana caranya mengeksekusi adegan ini dengan menyesuaikan situasi yang ada. Harusnya syuting di luar negeri, cuman karena ini drama UMKM jadinya ya begitulah.


Salah satu best part yang menurut saya tidak banyak disadari orang adalah intimate scenes yang memunculkan Sa-eon dan Hee-joo semuanya dibikin private, bener-bener cuma ada mereka berdua doang, oh iya, termasuk fase berantem-nya mereka. Pernah dengar omongan urusan suami istri nggak boleh dibawa keluar atau diumbar ke khalayak umum? Sepertinya Sa-eon dan Hee-joo menganut paham ini. Sampe-sampe se-negara dibikin shock pas tau Hong Hee-joo adalah istri sah-nya Baek Sa-eon wkwk. Yuk belajar sama couple ini, jangan suka ngumbar private things nya suami istri di medsos, jangan dikit-dikit dimasukan ke base hehe.


Saya menyukai ending drama ini. Baek Sa-eon dan Hong Hee-joo telah menjadi versi terbaik diri masing-masing. Mereka berhasil memeluk bahagia setelah melewati gonjang-ganjing hidup yang tidak biasa.


Kita dikasih liat sedikit gambaran kehidupan normal mereka sebagai pasangan suami istri. Suka banget 10 aturan pasutri ini yang ditempel di kulkas :

1.      💗 Nggak boleh tidur di ruangan terpisah

2.      💗 Saling ngasih morning kiss saat bagung tidur

3.      💗 Nggak boleh saling memunggugi sampai salah satu dari mereka sudah benar-benar tertidur

4.     💗 Jalan kaki bareng tiap hari

5.      💗 Nggak boleh saling marah atau jengkel.

6.      💗 Kalo ada masalah harus dibicarakan baik-baik.

7.      💗 Harus sering mengekspresikan perasaan sayang dan cinta. 

8.      💗 Saling memberikan pujian satu sama lain meskipun hanya untuk hal-hal kecil/sederhana

9.      💗 Harus saling menghargai satu sama lain

1    💗 Dalam sehari harus ada makan bareng, meskipun hanya sekali

 Aturan yang bikin hati hangat.


Ini tuh bikin saya bisa ngebayangin seperti apa kehidupan Baek Sa-eon dan Hee-joo (atau udah saatnya manggil mantan jubir ini sebagai Baek Yoo-Yeon?). Rumah mereka akan selalu dipenuhi kehangatan. Kalau Baek Yoo-Yeon lagi ada dinas luar, Hee-joo akan sabar menunggu. Trus kalau suaminya lagi kambuh isengnya, jam 10 malem Hee-joo bisa tiba-tiba dapet panggilan telepon wkwk.  Sesekali akan ada waktu Baek Yoo-yeon dimarahin istrinya. Gini ya rasanya kalau cintanya setara. Huhuhu kangen mereka akutu.


Epilog di akhir episode 12 merupakan highlight cerita When The Phone Rings.

💕💕💕

“There’s a couple here now.

The two have lived without being able to open up to each other.

Would things have been different if they had been more honest and shown true feelings?

If they try to make an effort now, could they live like any other ordinary couple?

There’s a couple here now.

They don’t hide their true feelings and are honest with each other.

They have promised to make an effort to be happy together.”  

***


Selain yang sudah saya bahas di atas, saya juga mau ngasih apresiasi ke tim style dan make up drama ini khususnya tim Hee-joo. Transisi make up Hee-joo pada paruh pertama dan kedua terlihat jelas sekali, ini cocok dengan perkembangan karakter Hee-joo. Style kostum-nya Hee-joo juga oke banget. Pas sama karakternya yang sederhana, nggak demen barang-barang glowing.


Saya mau ngasih bintang lima untuk divisi OST dan BGM When The Rings. Penempatan BGM di semua adegan selalu cocok dan mengena. Kalau cerita, acting, directing, dan BGM udah nge-bland, udah nggak ada lawan lagi sih.


Banyak yang bilang ini drama UMKM karena melihat betapa kurangnya pihak MBC melakukan promosi yang entah apa alasannya. Kepopuleran When The Phone Rings bisa diraih karena omongan dari mulut ke mulut dan kekuatan media social. Yoo Yeon-seok sampe harus promo mandiri ke SBS, ke Youtube-nya Na PD juga ckckck. Faktor tayang di Netflix juga ngebantu banget, ini memudahkan penonton internasional untuk akses nonton.


Kalau disuruh memilih  adegan favorit di When The Phone Rings, saya memilih ini—SULIT BANGET MILIHNYA :



“I’ve never been more curious about a man before. Forget about getting arrested, 406. I promise, I’m going to catch you.” –Baek Sa-eon, ep1.

Edyaaaaan, aktingnya Yoo Yeon-seok. Saya yakin banyak yang udah ngerasa hooked di momen itu. Adegan ini membuat yang nonton merasakan keseruannya. Akan ke mana kah pasutri yang saling terror-meneror ini?


“There’s a couple here….” –Baek Sa-eon, ep 4

Curhat terselubung-nya Baek Sa-eon ini adalah gambaran mengenai kehidupan rumah tangganya dan Hee-joo. Dari narasi ini terbaca, Baek Sa-eon menyadari kesalahannya, ia tahu apa yang menghalangi hubungan mereka. Ini menjadi titik balik hubungan mereka.


“If there’s one thing I can say truthfully about myself, it’s that I’m married, and I have a wife—“ –Baek Sa-eon, ep 10.

Fenomenal. Adegannya, aktingnya.

Gara-gara adegan ini, satu dunia turun tangan bantu Baek Sa-eon nyariin Hee-joo wkwk. Joke aside, situasi pada adegan ini datang seperti karma kepada Baek Sa-eon. Ia tidak pernah menyangka, beratnya sebuah ucapan bisa sedemikian menghancurkan. My wife is my weakness.


Eh, kok adegan favorit Baek Sa-eon semua. Neng Hee-joo nggak ada nih? Hee-joo memukau saya di semua adegan, khususnya saat ia harus ber-akting emosional. Saya nggak tau gimana bilangnya, bahkan acting terbangun dari mimpi buruk pun keliatan kayak nggak acting, reaksi kagetnya itu loh, natural. Kalau saya masih nemu juga ada yang jatuhin Soobin bilang aktingnya jelek di When The Phone Rings, saya doain harinya berasa Senin terus. Semua pasti sepakat, Soobin acting tidur keliatan damai sekali mukanya.


Ngomongin adegan favorit drama ini, sebenarnya saya punya banyak sekali. Semua adegan yang ada main cp nya nggak ada yang nggak berkesan. Tapi saya yakin sekali, semua penonton setuju, adegan di dekat mobil, di malam setelah Hee-joo diselamatkan Sa-eon dari aksi penculikan di Argan, adalah salah satu adegan favorit sepanjang masa untuk kategori romance K-drama. Eksekusi adegannya mantap gila. Banyak adegan sejenis di drama lain, ketika tokoh utama pria dan wanita saling konfrontasi begitu yang ditutup dengan adegan ehm, tapi baru sekali ini (sependek ingatan saya) ada yang bisa memenuhi bahkan melampaui ekspektasi saya. Saya udah ngebatin, harus ada momen Hee-joo marahin Sa-eon, ternyata kejadian dan nggak ngecewain hasilnya. Untuk adegan ini, saya mau ngasih tepuk tangan ke Chae Soobin. Excellent.


Hal lainnya, saya nggak tau ya penonton lain, sexual tension yang memenuhi paruh pertama When The Phone Rings, perlahan mengendur, dan tidak lagi terasa saat drama ini memasuki paruh keduanya, digantikan perasaan hangat, dengan sentuhan sedikit melo. Bahkan adegan skinship-nya Sa-eon dan Hee-joo bisa-bisanya nggak berasa aura sensualnya. Unik nggak sih? Nggak bermaksud sok suci atau bohong, tapi beneran iniiii, saya bukan tipikal penonton yang nungguin fase maen skinship ML dan FL di drama. Sering juga saya nge skip bagian itu karena NGGAK NYAMAN NONTONNYA HAHAHAHAHA. When The Phone Rings mecahin rekor karena berhasil bikin saya nggak nge skip part itu. Kenapa coba? Karena adegannya nggak menjual napsu. Mon map kalau saya salah.


When The Phone Rings bukanlah drama yang kehadirannya siap saya antisipasi namun malah berakhir menjadi drama kesayangan. Jujur, saya masih belum move on sampai sekarang. Gara-gara drama ini saya nggak bisa menikmati drama genre romance lainnya.


[KONTROVERSI]


Pihak drama When The Phone Rings—MBC, director, penulis, Bon Factory sebagai rumah produksi memegang tanggung jawab penuh atas kekacauan yang terjadi di ep 12 drama ini. Jika ada yang perlu dimintai tanggung jawab, kepada mereka lah seharusnya kemarahan kita ditujukkan, BUKAN KEPADA AKTOR.


Siapa yang salah siapa yang kena hate?


Entah sub Netflix yang keliru atau memang sudah benar, adalah kesalahan memasukkan dua nama itu ke dalam drama. Masih banyak pilihan nama atau situasi lain yang cocok dengan pekerjaan Baek Sa-eon, tetapi tim produksinya memilih dua nama itu.


Patut diingat, mengenai kesadaran tentang G n s d di P L S T N *)disensor karena pihak pemilik rumah tempat blog saya ngekost sangat sensitive—di Korea Selatan masih sangat rendah dibanding negara kita. Tidak mengherankan memlihat riwayat hubungannya dengan Paman Sam. Mau bilang kurang edukasi juga nggak mungkin ya, mereka aja memilih untuk menulikan telinga. Makanya jangan heran kenapa pihak MBC adem ayem aja saat kita di sini berteriak marah saat menonton ep 12. Yang paling berisik emang kita-kita aja. Karena kita sadar banget betapa pentingnya isu ini saat ini.


Saya bersyukur kita masih memiliki nurani dan memilih lantang bersuara.

INI PESAN KE MBC DAN TIM PRODUKSI WHEN THE PHONE RINGS

Boikot dramanya, silakan. Boikot rumah produksinya juga silakan, sekalian tandain sutradara dan penulisnya, jangan nonton project mendatang mereka. Tapi ngirim komentar kebencian kepada Chae Soobin dan Yoo Yeon-seok padahal mereka nggak ada sangkut pautnya dengan adegan kontroversial tersebut, itu terdengar sangat tidak tepat.


MBC dan pihak produksi lah yang paling patut disalahkan. Semoga kita senantiasa bijak dalam ber-media social ya.

***


Ini ucapan perpisahan saya untuk When The Phone Rings. Untuk pertama dan semoga terakhir kalinya saya jatuh cinta dan dibikin patah hati oleh satu drama. Bukan karena cerita dramanya yang mengecewakan, tetapi faktor X yang bikin buyar bubar semuanya.

Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik ya. Jangan neror pasangan pake silent treatment agar nggak ada drama what if di antara kalian.

💞

Tabik,

Azz

 

Review When The Phone Rings

by on 1/30/2025 10:40:00 AM
  Starring : Yoo Yeon-seok, Chae Soo-bin, Heo Nam-jun, Jang Gyu-ri, Park Jae-Yoon DISCLAIMER : tulisan ini dibuat untuk mereka yang pern...