Sumber : themalishow.com |
Assalamu’alaikum,
Haiii—how’s
life? Masih gedugubrak? Sama. HAHAHA.
Saya
balik lagi nih bawa cerita, tapi bukan cerita yang biasa saya bagi. Saya mau
curhat ngalor-ngidul. Sebenernya udah lama pengen nulis soal ini, karena belum
nemu mood-nya ya udah saya tulis aja dulu di dalam kepala saya—kebiasaan deh.
Reminder :
yang nggak sengaja nyasar di sini sabar-sabar bacanya ya….
“Everything in
life is an experiment. The more you experiment with it, the better it gets.
What kids hide and parents don’t know, this is a school.” – School 2013
Sekira
tahun 2013 silam, jaman drakor belum se-gede sekarang pengaruhnya, saya
menonton drama Korea berjudul School 2013. Drama KBS berjumlah 16 episode ini
mengisahkan kehidupan sekolah Go Nam Soon (Lee Jong Suk) dkk di SMA unggulan, Seungri.
School 2013 berhasil memukau saya dengan ceritanya yang mengharu biru. Adalah Jung
In-Jae yang diperankan dengan apik oleh Jang Nara yang membuat saya
berkali-kali menggelengkan kepala, antara takjub dan ga habis pikir dengan
kebulatan tekad dan kesabarannya. In-Jae, sosok guru yang mati-matian berjuang
agar murid di kelas yang diketuai Go Nam Soon tidak dikeluarkan dari sekolah.
Di kelas ini, isinya kebanyakan anak-anak bermasalah, pemalas, pembuat onar—kelas neraka. Lebih kurang seperti
itulah keadaannya. Sebagai penonton, saya suka waswas, khawatir ini anak-anak
mau bikin masalah apa lagi dah. In-Jae melakukan segala macam cara agar anak
asuhnya bisa berubah. Kasian liat bu guru baik hati ini. Effort-nya ga ada
lawan. Saya inget ada adegan In-jae mukul tangan muridnya sambil nahan nangis.
Ya Allah….
“It’s not the
time to let go of the kids’ hands yet.” – Teacher Jung
Dalam
perjalanannya, drama sekolahan yang berhasil melejitkan nama Lee Jong-suk dan
Kim Woo-bin ini menjadi salah satu drama favorite saya di genre-nya—kehidupan
sekolah dan remaja. Dinamika emosi yang dibawa School 2013 sangat mempengaruhi
sudut pandang saya terhadap posisi seorang guru, juga posisi anak-anak yang kerap
dianggap bermasalah di lingkungan sekolah. Saya akui, drama ini secara tidak
sadar telah mendorong pikiran saya untuk mendramatisasi
tentang idealisme seorang guru yang baik dalam kacamata positive. Mengagumkan.
Oya, sebelumnya saya pernah menonton film lain yang juga mengambil tema guru
seperti Teacher’s Diary dan Freedom Writers, tapi efek yang diberikan kepada
saya enggak sebesar apa yang dilakukan School 2013.
“It’s only
pretty if you take a look at it closely. You have to take a look at it for a
long time, to realize that it’s lovely. You, too, are like that.” – Go Nam Soon
School
2013 dan Jung In-jae adalah inspirasi saya. Saya sampe donlot episode
spesialnya saking jatuh cintanya sama drama ini. Semua videonya saya donlot
versi 1080-nya HAHAHA. Jaman itu kan belom ada netpliks dan sebangsanya ya,
nonton masih pake modal donlot di link haram, trus nunggu sub-nya bisa
berhari-hari. Sing sabar gitu.
Penonton drakor era 2010-an ayok angkat kaki eh tangan! Wkwk.
Ngomong-ngomong
soal guru, saya sempat skeptis tentang pilihan menjadi guru. Saya bahkan pernah
bertengkar dengan mama saya karena mama saya maksa-maksa supaya mau integrasi
ke jurusan keguruan ketika saya menginjak semester tiga. Mama saya baru tau
kalo jurusan kuliah saya bukan keguruan (nah lo). Saya keukeuh nggak mau,
dengan keras kepalanya (baca; sombong ehm) saya bilang nggak mau jadi guru.
Bukan apa-apa, saya sadar betul kapasitas saya sebagai manusia bersumbu
pendek—kontrol emosi payah—takutnya malah saya mendzolimi anak orang lain di
posisi sebagai guru. Saya nggak suka berurusan dengan anak-anak. Enggan
terlibat jauh dengan urusan orang lain. Selain itu saya nggak punya kepercayaan
diri itu.
Hingga
beberapa tahun kemudian, saya masuk ke ruang-ruang kelas sebagai tenaga
pengajar honorer, sebagai seorang guru yang sering disebut-sebut sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa (katanya). Saya tidak memiliki pondasi dasar sebagai
guru—disiplin ilmu saya bukan keguruan. Saya nggak punya ilmu-nya. Sambil jalan sambil belajar. Nyemplung aja pokoknya mah. Saya
hanya membawa semangat Jung In-jae dan idealisme-nya bersama saya bahwa saya
bisa menjadi seorang guru yang baik (the
power of nekat)—sungguh sebuah level kepercayaan yang… eng... mengharukan
(jika tak ingin disebut overconfidence).
Optimisme ini nyatanya berujung hati yang jungkir-balik, emosi dibuat
gedebak-gedebuk. Mana mental aslinya ternyata udah rapuh ga jelas (saya
nyadarnya belakangan setelah menjadi guru). Klop dah, babak belur wkwk.
STREESSSSSSSSSSSSS.
Demikianlah
cerita singkatnya bagaimana saya melakoni profesi yang sebelumnya tidak masuk
dalam list pekerjaan yang saya inginkan. Saya tidak memandang ini sebagai
pekerjaan yang bisa dilakukan semua orang saking berat-nya.
Setelah
sekian tahun berlalu, bagaimana kabar si introvert cuek yang memiliki riwayat
kontrol emosi yang payah ini setelah menjadi guru? Sudahlah introvert, cuek,
mudah naik emosi pulak. PIYEEEEEEEEE IKI…. Berani-beraninya kau menjadi guru,
Nisanak!
Andai
mengangkat bendera putih tanda menyerah bisa menyelesaikan urusan dengan mudah,
saya sudah melakukannya sejak dulu. JADI GURU ITU CAPEEEEEK. Fisik dan mental.
Nggak keitung sudah berapa kali saya menatap ke atas sambil bilang, “Ya Allah
capek. Saya pengen berhenti. Tolongin saya… Bodo amat sama semangatnya Bu Guru
In-jae! SAYA CAAAPEEEKKK.”
Arah
kamera mana arah kameraaa….
Dan
saya sudah menyusun rencana-rencana baru jika saya akhirnya benar-benar
berhenti mengajar di sekolah.
Tapi
Allah bilang jangan dulu. Coba lagi.
Coba terus…
Ya
sudah, saya jalanin aja lagi. Percaya sama Allah, Allah pasti punya rencana
yang baik untuk saya yekaan? Jalan terus sambil gedugubrak, gak papa, sambil
belajar supaya ga gedugubrak, tapi gedugubrak lagi mentalnya sambil
nangis-nangis (asli, ga bo ong saya), dan di sela-selanya malah kena panic attack (salah satu fase terburuk
hidup yang pernah saya alami) tapi harus bisa nggak kenapa-kenapa, harus maju
terus pantang kabur dari medan juang. CEILEH. Ehm.
Niat
berhenti tinggal niat.
And after so many times of
gedugubrak, tibalah saya pada satu
titik yang membuat saya bergumam, “Aahh,
ini to maksudnya Allah… Allah baik sekali ya?”
Saya
mencintai profesi ini. Ternyata. Saya menikmati keberadaan saya di tengah
anak-anak. Yeah another plot twist of my
life. Wkwk.
Beberapa
pelajaran moral yang saya dapatkan dalam perjalanan sebagai seorang guru, saya
tulis berdasarkan sudut pandang saya tanpa bermaksud sok tahu apalagi sok
menggurui.
#1 Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Bagaimana
rasanya mencintai sesuatu tetapi perasaan itu hanya bisa kamu rayakan seorang
diri? Sedih? Iya. Capek? Jelaaas. Beginilah saya mengibaratkan perasaan saya
sebagai seorang guru. Saya berusaha semampunya untuk memahami kepribadian
seorang anak dari sudut pandang berbeda. Saya tidak menampik, sudut pandang
yang saya gunakan dipengaruhi oleh Jung In-jae. Saya belajar banyak dari beliau
soal bagaimana membangun simpati dan empati terhadap anak didik. Yang luput
dari saya adalah In-jae memiliki kelapangan hati yang tidak terbatas, sedangkan
saya—hati yang udah ga jelas bentukannya ini masih disesaki rupa-rupa sampah
dari keran emosi yang mampet selama belasan tahun. Mana ada itu hati yang
lapang. Fiuh.
Ketika
sebagian anak didik saya tidak berlaku seperti yang saya harapankan, di situlah
emosi saya meledak. Saya gagal mengamini mantra
“anak-anak ini masih berproses… sabar… sabar… sabar…”, APAAAN SABARRRR
HAH?! APA ITU SABAR?! SEJENIS MAKANAN RINGAN KAH?? #CAPSLOCKJEBOLKESEKIANKALI
Sebagai
guru saya selalu berusaha memegang aturan dan terus terang terlalu kaku soal
ini. Jika aturan bilang A, maka itulah yang saya ikuti. Tidak ada ruang
kompromi. Taati aturan yang berlaku atau—lanjutkan sendiri dah. Dan tahu
sendirilah, seperti ada prinsip tak tertulis di kepala sebagian anak didik, bahwa
aturan
dibuat untuk dilanggar. Semakin dilarang semakin gigih dia melanggar.
Ntah apa yang terjadi di dalam batok kepalanya itu. Sengaja kah? Atau semata
karena mental sebodo amat-suka-suka guweh-nya terlalu kental? Atau ada alasan
lain? Sejauh mana pelanggaran bisa diberi toleransi? Patutkah ditoleransi?
Dahlah, cuaapek meladeni pertanyaan-pertanyaan memenuhi kepala saya.
Saya
kesulitan mencari jawaban karena waktu masih berstatus sebagai anak sekolahan
dulu, saya paling takut melanggar aturan. Takut banget. Mendapat cap buruk dari
guru. Menanggung rasa malu-nya itu loh yang bikin nggak kuat.
Bedanya,
anak-anak sekarang, mau melanggar ke-berapa ratus kali pun, si dianya masih
bisa melenggang kangkung kayak nggak terjadi apa-apa. Selow aja. Masih lebar
ketawanya. Teguran dianggap angin lalu. Aturan-aturan sekolah dianggap
debu-debu beterbangan. ASTAGFIRULLAH YA ALLAH PENGEN GEPLAKIN SAYANG ANAKNYA
BOLEH NGGAK? NGGG NGGAK BOLEH YA… YA UDAH.
Tapi
ya dasar emang anaknya suka terbawa perasaan, apa-apa dipikirin sampe pusing.
Kenapa ya ada sebagian anak yang ga bisa mematuhi aturan? Kenapa ya mereka
demen banget melanggar? Kayaknya tuh kalo ga melanggar bakal meriang itu
sebadan-badan. Kenapa anak-anak males-malesan ngerjain tugas? Kenapa harus ada
anak-anak bebal ini? KENAPA OH KENAPA SAYA HARUS PUSING MIKIRIN ANAK ORANG?
KENAPA? APA UNTUNGNYA BUAT SAYA?
Krik. Krik. Krik. Ada jangkrik lewat.
Wait, kenapa
pula saya harus maksain otak saya mikirin hal-hal yang saya nggak punya
kemampuan untuk mengubahnya? What the hell
is wrong with me?
Lama
saya memikirkan ini, hingga tibalah saya pada satu kesimpulan yang membuat saya
menarik napas panjang nan berat seberat beban hidup. Tidak ada urusan dengan
aturan-aturan, mengapa saya keukeuh mendisiplinkan anak didik agar patuh pada
aturan adalah karena saya menyayangi mereka. Loh kok? Apa hubungannya? Menurut
saya, kualitas seseorang bisa terlihat dari nilai atau prinsip hidup yang ia
pegang, dan disiplin adalah salah satu nilai tersebut. Sebagai guru, tentu saja
saya ingin memberikan usaha terbaik agar mereka bisa menemui versi terbaik diri
mereka. Namun, yang saya tidak sadari adalah ternyata cinta dan kasih sayang
saja tidak cukup. Ada begitu banyak syarat yang mengikutinya kemudian. Hati dan
pikiran saya ini belum cukup terampil untuk menjalaninya. Jangankan mampu
memahamkan pihak lain tentang kasih sayang, menyayangi diri sendiri aja masih
suka gelagapan, bingung.
Bahwa
cinta dan kasih sayang yang membabi buta alias
ngegas bisa menyesatkan, bisa melukai. Saya menyadari bahasa cinta saya sebagai seorang guru kepada muridnya mengalami
kesalahan frekuensi sehingga gagal mengudara
dengan baik, pesan yang ingin
disampaikan pun meleset ntah di ketinggian berapa yang membuat pendengarnya hah
hoh hah hoh. Sinyal buruk—AHAHAHA.
Hasilnya
saya dianggap sebagai guru galak karena tiap hari negor ini-itu ke murid yang
melanggar tentu saja dengan muka sangar aslinya ini muka udah sangar bin jutek sih
kata mama saya). Dahlah, nggak usah ngebayangin betapa ga enaknya menatap wajah
saya yang udah disetel galak ini. Mana saya nggak bisa pura-pura nggak kesal,
nggak bisa pura-pura lemah lembut pas lagi esmosi jiwa. Pengennya gabruk-gabruk
aja.
Mungkinkah
saya-nya yang problematic atau muridnya yang emang minta di-hih banget? Jangan
tanyakan pada rumput yang bergoyang karena dia juga nggak tahu jawabannya wkwk.
Kesimpulan
berikutnya adalah bahwa niat baik tidak selamanya mulus-mulus kayak jalan tol.
Niat baik ada yang bertemu fase gedugubrak yang membuat kita mempertanyakan
kita ini beneran berniat baik atau ada hal lain yang melatarbelakanginya? Tidak
terhitung berapa kali saya menggugat diri sendiri, mencurigai motif kengototan
saya tersebut. Dia yang paling keras mengkritik dirinya sendiri adalah saya.
Masih belum bisa menerapkan don’t be so
hard on yourself dengan baik dan adil nih.
Terlepas
dari aturan-aturan yang terangkum dalam tata tertib sekolah, yang berkelindan
di kepala saya, sebagai manusia setidaknya kita memiliki landasan moral yang
nilai-nilainya tercermin pada sikap dan tingkah laku sehari-hari. Jika hal-hal sepele semacam mengerjakan tugas tepat waktu,
atau menjaga kerapian pakaian saja dengan mudah bisa diabaikan, lantas
bagaimana dengan nilai-nilai lainnya? Bukankah nilai hidup dan pelajaran moral
sudah seharusnya diajarkan sejak dini pada rentang usia tertentu? Bagaimana
jika urusan ini terabaikan? Apa yang akan terjadi kemudian? Silakan bayangkan
sendiri akibatnya.
Udah
muter sana-sini sampe eneg sendiri, akhirnya ya hanya bisa mengelus dada sambil
ngucap mantra “…sabar…sabar… sabar ya, inget,
anak-anak ini masih bertumbuh masih berproses. Sabar…”
Menjadi
guru, saya belajar mengeja kasih sayang dengan terbata-bata, dengan patah hati,
dengan kesedihan, dengan semangat yang setiap hari saya usahakan agar tidak
padam sambil tetap berusaha senantiasa waras
, sehat sentota, jujur, adil dan makmur #halah wkwk.
Setelah
menjadi guru, saya menemukan ternyata ada jenis cinta bertepuk sebelah tangan
yang lain di dunia ini yang level nyeseknya tidak bisa terdeteksi. Karena
ternyata nun jauh di dalam hati, saya mencintai murid-murid saya. Dan selalu
ada optimisme berwujud doa-doa kepada Allah semoga kelak mereka bisa menemukan
satu momentum yang bisa membuat mereka mencintai diri mereka dan bisa membuat
diri mereka berbahagia dengan pilihan-pilihan hidup yang mereka ambil dalam
perjalanannya.
“When you suspect a student once, you’ll keep suspecting him. That’s also a habit." – Park Heung So
Dan
menjadi guru, kita butuh mengenal banyak sekali sudut pandang dalam melihat anak didik dari dekat. Semakin
banyak sudut pandang, semakin luaslah kelapangan hati, semakin pahamlah kita
bahwa setiap anak membawa warna emosi
dan hidupnya masing-masing, dengan sebab-sebab inilah model pendekatan yang
kita pilih mustahil disamakan kepada semua anak. Untuk mampu melakukan ini
semua tentu saja membutuhkan energi dan kesiapan mental (ruang sabarnya harus unlimited) yang tidak main-main.
Pertanyaannya apakah kita sanggup?
#2 Kita Tidak Bisa Mengubah
Orang Lain
Mama
saya yang memiliki pengalaman mengajar lebih dari tigapuluh tahun pernah
berkata kepada saya kurang lebih begini, “kalau sudah ditegur satu kali dan
anaknya tidak mendengar juga, ya sudah biarkan saja. Setidaknya kamu sudah
pernah mengingatkan”, waktu itu saya sedang nanya-nanya beliau tentang
pengalaman menghadapi siswa. Saya ingat, di bulan-bulan itulah gelombang
tekanan luar biasa mendera saya. Tekanan yang diakibatkan oleh alam pikiran
saya sendiri. Saya sedang berusaha mencari jalan keluar dari kemelut batin dan
ini ada hubungannya dengan interaksi saya dengan profesi guru yang saya jalani.
Ibu
Kepala Sekolah saya terdahulu juga pernah ngasih saran agar saya tidak terlalu
baper mengurusi siswa, karena sebesar apapun usaha kita untuk kebaikan siswa,
akan selalu ada anak-anak yang bebalnya bikin istigfar ga abis-abis alias niat
baik kita dianggap angin lalu, ga sempet masuk kuping, lewat begitu aja—ini
kejadiannya ketika kesehatan saya drop se-drop-nya sampe sakit hampir
sebulanan, fisik dan mental ancur-ancuran pasca kena panic attack pertama kali. Beban emosi begitu mempengaruhi fisik
dan mental saya. Urusan dengan diri sendiri saja belum selesai, ini udah berani
nambah urusan orang lain wkwk.
Saya
adalah tipe orang yang bisa mikirin alasan mengapa ini begini ini begitu sampe
puyeng, mikirin alasan-alasan yang melatarbelakangi tindak-tanduk dan ucapan
seseorang dan saya nggak akan berhenti sebelum menemukan kesimpulan yang bisa
diterima akal sehat saya. Orang tuh pulang ke rumah, istirahat kan ya, ga
bawa-bawa urusan dari luar ke ruang private,
lah apaan, saya pernah rebahan, pernah duduk depan jendela, pernah sambil sujud
sambil nangis curhat sama Allah soal kejadian-kejadian yang saya alami sebagai
guru, minta petunjuk, minta dilembutkan hati, minta dikuatkan. Bodo amat dah
mau dibilang baper atau lebay. Kan tempat curhat terbaik tuh emang sama Allah
ya? Yang paling tau niat saya hanya Allah, jadi yang bisa kasih saya solusi ya
Allah saja semata. Apalagi ini berhubungan dengan perkara membolak-balikkan
hati manusia yang kita selaku hamba nggak punya kemampuan itu. Kayaknya kalo
suatu saat ditakdirkan punya pasangan hidup, tiap malam telinga dia bakal
disesaki cerita-cerita dari saya selama satu hari itu. Ya Allah semoga aja bisa
dapet partner yang sabar, tabah dan terima nasib AAMIIN.
HAHAHAHA
KENAPA MALAH JADI CURCOL INI.
Balik
ke topik.
Mental
saya makin jungkir balik gedugubrak awur-awuran setelah menjadi wali kelas.
Tanggung jawab dan beban moralnya semakin gueedeee aja. Pengennya sih teriak
nggak sanggup. Pengen mundur aja tapi ga boleh wkwk. Kudu jalan terus meski
babak belur. Namanya juga hidup ya….
Kenapa
saya nggak coba cuek aja ya? Bodo amat deh anaknya mau masuk jurang kek, mau
kayang kek koprol kek nungging kek mau nyangsang kek, BODO AMAAAAAT. BODO AMAT!
Saya pun mencoba dan ternyata nggak bisa, pemirsah. Yang bikin bingung nih,
saya kan ngakunya cuek ya orangnya, tapi kalo udah masuk lingkungan sekolah,
cuek dan bodo amatnya tiba-tiba aja ngungsi ke Pluto. 404 error. The item can’t be found. HAHAHAHAHA nasib.
Menjadi
guru, tidak lantas membuat kita memiliki kekuatan untuk mengubah anak didik kita
menjadi versi yang kita inginkan, yang menurut kita adalah yang terbaik bagi
mereka belum tentu ditanggapi baik oleh mereka, malah boleh jadi kita dianggap
jahat, galak, sok tau, gila urusan bla bla ba. Siapalah kita ini. Hanya guru. Kita hanya bisa mengusahakan melakukan yang
terbaik, kalaupun usaha kita belum mendapatkan hasil yang baik, pasrahkan saja
sama Allah. Setidaknya saya sudah berusaha. Jika saya tidak mengusahakan yang
terbaik semampu saya, saya tidak ingin, suatu saat anak-anak didik saya melihat
ke belakang, ke dalam memori masa lalunya, kembali ke masa-masa sekolahnya dan
bergumam, “kenapa ya tidak ada guru yang mencoba mengingatkan saya? Kenapa tidak
ada guru yang mencoba merangkul saya?”
Lalu
dia sibuk menyalahkan entah. Saya tidak ingin menyesal karena tidak melakukan
apa-apa. Di dunia ini, tidak ada yang bisa melunasi dengan tuntas utang-utang penyesalan.
Saya
teringat obrolan saya dan Gita di chat WhatsApp sekira setahun lalu, Gita
memberikan reminder kepada saya, bahwa
guru hanya bisa membersamai dan mengawasi siswa selama jam sekolah, setelah jam
sekolah berakhir, anak-anak ini akan kembali ke lingkungan masing-masing. Tidak
bisa dipungkiri, lingkungan rumah dan pertemanan menyumbang pengaruh yang besar
terhadap proses pertumbuhan seseorang. Dalam perjalanan pulang, tidak ada yang
bisa menjamin anak-anak ini akan mengingat apa yang sudah diajarkan
guru-gurunya di sekolah.
Guru
tidak memiliki kekuatan untuk mengubah murid-muridnya dalam proses yang instan.
Saya mengamini ini. Namun, bukan berarti saya pesimis dan menyerah lalu
berhenti peduli pada anak didik. Bukan seperti itu caranya. Menjadi guru nggak
boleh bersikap bodo amat. Nggak boleh cuek.
Kata
mereka, guru tidak boleh lelah.
Kata
mereka, guru tidak boleh menyerah.
Kata
mereka, guru harus tahan banting.
Harus
bisa menahan diri.
Harus
bisa berjarak dengan diri sendiri.
Menjadi
guru, berarti bersedia menerima beban emosi dan beban moral yang beratnya sulit
ditaksir dengan hitungan-hitungan otak manusia.
Sekarang,
saya tidak lagi terlalu ngoyo dalam menangani siswa-siswa yang problematic atau
bermasalah. Pesan dari mama saya, saya ambil dengan sedikit modifikasi—saya
tidak akan berhenti peduli, tetapi saya juga tidak mungkin mengabaikan
turbulensi emosi yang saya rasakan akibat kepedulian tersebut. Jadi, yang saya
lakukan kemudian adalah menciptakan jarak yang jelas antara diri saya sebagai
guru, sebagai manusia, sebagai satu pribadi yang utuh—berusaha menerapkan sikap
professional sesuai kapasitasnya. Dan ya, akan selalu ada kata cukup untuk
semua urusan.
Hasilnya,
kontrol emosi saya sudah membaik walaupun belum sepenuhnya bisa ditangani
dengan baik. Saya sudah berhenti menyakiti diri dengan hal-hal yang kepadanya
saya tidak memiliki kemampuan untuk mengubah sesuai yang saya inginkan. Memang
benar kata orang, ketika kamu meminta sabar kepada Tuhan, Tuhan tidak akan
serta merta menurunkan sifat sabar secara langsung ke dalam hatimu. Yang
terjadi adalah, Tuhan akan mengajarimu bagaimana
membangun pondasi kesabaran di dalam hatimu melalui ragam kejadian di kehidupan
yang kamu jalani. Kamu di-training
sedemikian rupa sampai kamu paham apa makna sabar sesungguhnya. Dan ini berat
sekali. Serius. Berat. Buktinya sampe sekarang saya belum lulus juga.
Pada
akhirnya menuju ke mana kompas hidup kita, soal pilihan-pilihan hidup kita,
apakah mau menjadi baik atau sebaliknya—menjalani hidup sebagai orang yang
dilabeli sebagai se empunya problematic behavior, seseorang dengan karakter
hidup yang negative—salah satunya terletak pada reaksi atau respon yang kita
berikan terhadap apa-apa saja yang datang kepada kita, bukankah demikian?
Sebagai guru, saya hanya bisa memberitahu arah mana yang kira-kira baik, tetapi
memilih arah mana yang hendak dituju, bukan saya penentunya. Saya tidak punya
kuasa.
Pada
rentang usia tertentu, saya percaya anak-anak remaja sudah bisa membedakan mana
yang baik atau buruk untuk dirinya. Oya, saya mengajar anak-anak pada rentan
usia belasan tahun, usia menuju kedewasaan. Tantangan yang diterima bervariasi.
Gedugubraknya juga variatif wkwk. Yang ngajar di level SMA dengan kondisi
sekolah yang sistemnya belum sepenuhnya stabil pasti paham bangetlah segimana
berat tantangan menghadapi problematic-nya anak-anak pada rentang usia ini.
Kepribadiannya udah terbentuk—baik atau buruk.
Ada
yang bilang sekolah adalah tempat mencetak generasi unggul dari berbagai aspek,
sungguh mulia sekali ya kedengarannya. Namun tak sedikit orang tua yang lupa,
anak-anaknya tidak dilahirkan dan dibesarkan oleh rahim sekolah. Jadi, bukan sepenuhnya tugas sekolah untuk membentuk
pondasi moral anak. Rumah lah yang menjadi ruang
belajar pertama bagi seorang anak. Nilai-nilai dasar sebagai manusia
berakhlak dan beradab dibentuk di sana. Rumah adalah di mana anak-anak menerima
pendidikan karakter pertama dan utamanya. Lalu munculah suara-suara yang timbul
tenggelam yang bilang tidak semua anak beruntung dilahirkan di dalam lingkungan
keluarga yang baik. Banyak anak yang dibiarkan
tumbuh seorang diri. Bertarung sendirian dalam dunia yang
kerap mendatangkan kebingungan. Jika sudah begini, siapakah yang harus
bertanggung jawab atas nasib anak-anak ini?
Nun
jauh di dalam hati saya, dengan melihat dan mengenali dari mana datangnya anak-anak
ini (lingkungan), saya belajar memahami tetapi tidak memaklumi segala tindak-tanduk
mereka yang salah atau melanggar aturan. Sering sekali juga muncul prasangka
baik di hati saya, they want to change
for a good reason but sadly, they don’t know how to do that.
Sebagai
guru, satu hal yang tidak boleh dilakukan adalah menjatuhkan vonis kepada anak
didiknya bahwa dia tidak akan bisa berubah menjadi lebih baik sampai kapan pun.
Biar bagaimanapun, entah dalam kondisi apapun itu, kita tidak berhak mematikan
proses bertumbuh seseorang.
Tidak
semua anak akan mampu mengingat apa saja materi pelajaran yang kita ajarkan
kepada mereka di ruang-ruang kelas, tetapi saya percaya anak-anak akan
mengingat perlakuan seperti apa yang telah kita berikan kepada mereka semasa ia
bersekolah. Berikan yang terbaik, dan jangan lupa mendoakan. Apakah kita punya
pilihan lain?
#3 The Truth is I’m Problematic
Too
Haha.
Ketawa
sumbang.
Pengalaman
menjadi guru, berinteraksi dengan bermacam-macam karakter siswa membawa saya pada
pengalaman spiritual dan emosional yang luar biasa. Saya tidak mungkin
mengalaminya jika saya tidak menjalani hari-hari saya sebagai guru di dalam
ruang-ruang kelas. Setelah menjadi guru, emosi-emosi gelap yang mengendap di
dalam pikiran saya, yang selama ini tidak saya sadari kehadirannya mulai
menampakkan dirinya masing-masing.
Ekspektasi
: murid belajar dari gurunya.
Realitanya,
saya lah yang belajar banyak dari murid-murid saya. Mereka kayak cermin buat
saya. Saya senang meng-observasi apa-apa yang saya temui dalam hidup saya.
Tidak jarang pada hal-hal inilah saya dengan kesadaran penuh merevisi prinsip
dan sudut pandang yang saya anut selama ini.
Setelah menjadi guru, saya memilih belajar berdamai dengan banyaaak hal dalam hidup saya termasuk mengurai warna emosi saya yang wujudnya seperti benang kusut, rupanya. Ha.
Saya menerima kenyataan bahwa pada diri saya banyak nggak beresnya
terutama mengenai pengelolaan emosi yang payah. Awal-awal mengajar, badan saya
bisa sampe kesemutan dan gemetar hebat karena berusaha menahan emosi. Kepala
saya berdenyut sakit seperti akan meledak saja rasanya. Ngeri sekali kalo
diingat-ingat lagi. Saya datang dari
yang seseorang belum selesai dengan dirinya sendiri.
Sambil
ngajar sambil belajar. Dalam proses inilah sering sekali terjadi gesekan dan
benturan di dalam pikiran dan hati saya. Rasanya tidak nyaman. Sangat tidak
nyaman. Saya berulang kali ingin melarikan
diri, entah dari apa. Mungkin dari bagian diri saya yang lain. Di dalam
kepala saya, saya melihat bagian diri saya yang lain. Seseorang yang berusaha
mencoba mengenali dirinya sendiri.
Saya
perlahan mulai menerima bahwa banyak sekali sikap dan sifat saya yang
problematic, sebagai manusia juga sebagai seorang guru. Apa yang bisa
diperbaiki, saya coba perbaiki. Proses ini masih terus berjalan hingga detik
ini. Saya tidak ingin membiarkan hidup saya menetap di satu titik gelap.
Setelah
menjadi guru, saya belajar menajamkan simpati dan empati.
Saya
belajar bahwa tidak selamanya logika berpikir saya sinkron dengan hati.
Saya
belajar bagaimana caranya melembutkan hati (di mana saya masih mengalami
kesulitan sampai detik ini).
Mama
saya pernah bilang kalau saya ini punya watak yang keras. Dari sini aja sudah kebaca betapa tidak mudahnya medan juang
yang saya pilih—menjadi guru. Masih suka terpeleset dalam jaring-jaring emosi
sendiri.
Kalo
abis marahin siswa, pulang ke rumah pasti saya pikirin. Tadi itu kenapa ya saya
bisa se-marah itu? Ucapan saya pasti udah nyakitin dia. Anaknya trauma ga ya
sama saya? Saya tidak bermaksud bilang kalau seorang guru nggak boleh marah ke
muridnya, yang sering saya koreksi pada diri saya adalah bagaimana cara saya
merespon setiap masalah yang disebabkan kelakuan siswa saya. Pada pertemuan
berikutnya saya meminta maaf. Saya paling tidak suka dikejar-kejar perasaan
bersalah.
Saya
sering sekali bergumam, modal utama seorang guru adalah ruang sabar yang tidak
boleh ada batasnya, tapi apakah kita sanggup? Pertanyaan ini tidak mudah
dijawab sebab belajar menjadi sabar adalah proses seumur hidup sepanjang kita masih
bernapas.
Setelah
menjadi guru, saya semakin hati-hati dengan suara-suara di dalam kepada saya
jika sudah bersinggungan dengan karakter siswa. Sulit sekali menghindari
konflik antara sudut pandang pribadi dan sudut pandang seorang guru di dalam
kepala saya ini. Sudut pandang ini dipengaruhu oleh banyak faktor. Tidak mudah mengawinkannya.
Saya
tidak tahu apakah ini terdengar berlebihan atau menggelikan, tetapi inilah yang
sesungguhnya benar-benar terjadi pada saya. Ketika menghadapi siswa saya
seperti menghadapi diri saya di masa lalu. Apa-apa yang dulu saya harapkan bisa
saya terima dari guru-guru saya, saya coba berikan kepada mereka. Saya berupaya
mencoba menjadi pendengar yang baik, memberikan ruang yang luas kepada mereka
agar mereka bisa sedikit lebih dekat dan mengenali warna emosi mereka sendiri.
Dari beberapa interaksi dengan siswa, saya percaya bahwa anak-anak ini
sebenarnya hanya butuh ruang aman dan nyaman di mana tidak ada penghakiman di
sana-sini. Banyak dari mereka yang datang dari tempat-tempat yang kepadanya
justru luka pertama mereka dapatkan. Banyak sekali anak-anak yang kebingungan
dengan dirinya sendiri di saat orang-orang dewasa riuh dengan penilaian dan
penghakimannya.
Saya
lebih nyaman ngobrol dengan anak-anak tanpa status saya sebagai guru. Saya bisa
melihat mereka apa adanya tanpa menghakimi lebih jauh.
Psssttt,
tahu nggak apa yang paling membuat saya tidak nyaman saat masih anak-anak dan
remaja dulu? Tatapan dan penilaian orang-orang dewasa atas setiap gerak-gerik
saya. Rasa tidak nyaman yang kemudian melahirkan kebencian. Seolah-olah
keberadaan saya di sekitar mereka adalah kesalahan yang harus segera dienyahkan
dari muka bumi AHAHAHA. Apakah ini semacam overthinking anak abege yang sedang
puber? Who knows? Satu hal yang saya sadari kemudian adalah pola
komunikasi yang keliru-lah yang berhasil menciptakan ketidaknyaman dan trust issue itu. Penilaian sepihak lebih
dulu hadir ketimbang mendengarkan lebih banyak dan melihat lebih dekat. Saya
berjanji kepada diri saya bahwa saya tidak mau menjadi orang dewasa yang
menyebalkan. Karena saya tahu rasanya
sangat nggak nyaman, maka saya berjanji kepada diri sendiri untuk tidak
mengulang hal yang sama kepada orang lain meskipun hasilnya sering terpeleset.
Harapan
saya, saya tidak ingin menjadi guru yang toxic dan problematic di mata
anak-anak. Saya tidak ingin menjadi bagian dari ingatan yang ingin mereka
lenyapkan. Saya tidak ingin anak-anak mengingat saya sebagai seorang guru yang
sok tahu karena saking seringnya saya ngingetin mereka wkwk. Saya suka bilang
ke merah “maaf ya bu
guru cerewet”. Saya benar-benar
berharap kelak anak-anak ini bisa menjadi versi terbaik diri mereka setelah
melewati jalan panjang dan melelahkan karena proses menjadi versi terbaik
adalah perjalanan seumur hidup. Yang terlebih dahulu harus dihadirkan adalah
kesadaran yang utuh bahwa sebagai manusia kita belum baik, masih banyak yang
mesti diubah, diperbaiki, atau dhilangkan. Semoga tidak banyak penyesalan yang
lahir belakangan.
#4 Idealisme vs Realitas
Who’s the Winner?
Sebelum
menjadi guru, saya punya banyak sekali teori tentang bagaimana menjadi seorang
guru yang ideal. Setelah menjadi guru, kita seketika lupa kalau saya ini punya
teori yang bejibun! Nyatanya, di lapangan banyak sekali faktor-faktor yang
membuat saya berkhianat pada
teori-teori tersebut wkwk.
Mudah
sekali merumuskan cara-cara, namun ketika tiba saatnya kita menerapkan, kita
dipertemukan dengan satu kesadaran baru bahwa seringkali hal-hal hanya terlihat
mudah saat kita memberikannya hidup di dalam kepala kita. Pada kenyataannya,
kita tidak cukup siap untuk menjalaninya di dunia nyata.
Idealisme terasa menyenangkan bagi mereka yang
telah selesai dengan urusan di dalam diri mereka. Idealisme adalah sebuah
kesadaran utuh untuk menerima ketidaknyamanan sebagai buah yang lahir kemudian.
Idealisme adalah sebuah usaha keras untuk mencoba bertahan di tengah arus deras
yang diberi nama realitas. Apa yang terjadi di lapangan tidaklah semanis yang kita bayangkan.
Saya
tidak tahu seperti apakah wujud guru yang ideal itu. Apa yang menjadi standar
penilaiannya? Sudut pandangnya diambil dari mana? Dari orang-orang yang berdiri
di luar lingkaran system pendidikan kah? Siapa yang menetapkan? Dari guru-guru
yang bersangkutan kah? Atau dari sudut pandang anak-anak didik yang diasuh?
Atau apakah setiap guru memiliki definisi guru yang ideal di dalam kepala masing-masing?
Saya
tidak tahu.
Yang
saya ketahui, ternyata tidak mudah menjadi guru. Jangan tanya apakah idealisme saya
masih hidup. Saya tidak hanya harus mencoba bekerja keras untuk menyayangi
anak-anak yang bukan anak-anak kandung saya, tetapi di waktu yang sama saya
juga harus mampu menyayangi diri sendiri dengan sepenuh kasih sayang. Karena
saya baru bisa menyayangi mereka apa adanya hanya jika saya sudah berhasil
menyayangi diri saya sendiri. Karena sebelum menjadi guru, kita adalah manusia
yang memiliki rupa-rupa emosi, yang seringkali menjebak dan menjerumuskan.
Kepada
mereka yang demen sekali mengkritisi guru tanpa melihat konteks-nya secara
menyeluruh, ketahuilah di lapangan banyak sekali faktor yang mempengaruhi
terjadinya satu kejadian. Satu kondisi di satu sekolah, tidak sama dengan
sekolah lainnya. Terlebih di Indonesia ini, persebaran kualitas SDM dan
fasilitas pendidikannya belum merata. Di saat kita membincangkan tentang guru
yang ideal, atau idealisme seorang guru, realita di lapangan sibuk tertawa. Utopis sekali rasanya
mengawinkan idealisme dan realitas seorang guru.
Banyak
sekali orang yang merasa paling tahu apa yang harus dilakukan guru. Saya jadi inget
kalimat dari The Alkemis-nya Paulo Ceolho, “Everyone
seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but
none about his or her own.”
Kebanyakan kita kayak gitu ya. Ngerasa udah
paling tau dalam suatu urusan.
Kalo
ada orang di luaran sana yang petantang-petenteng ngomong jadi guru itu mudah,
pengen saya salamin sambil minta jurus atau ilmunya. Soalnya mama saya yang
punya pengamalan ngajar lebih banyak dari usia saya aja nggak pernah saya
dengar beliau bilang jadi guru itu mudah. Sependek ingatan saya, saya belum
pernah mendengar seorang guru mengatakan jadi guru itu mudah. Saya pengen tau
letak mudah-nya di mana. Ya siapa aja bisa jadi guru, tapi yang benar-benar menjadi guru, berapa banyak?
Beban
guru jaman now makin bikin ngos-ngosan antara urusan administrasi yang makin
njelimet dan peningkatan kualitas spiritualnya sebagai guru. Jangan tanyakan gaji-nya. Apalagi tenaga pengajar yang masih
berstatus honorer kayak saya ini AHAHAHA. Belum lagi model jaman sekarang
beranekaragam bentuk dan kelakuannya anak-anal. Kayaknya tiap hari adaaa aja
berita ga enak yang bikin elus-elus dada sambil istigfar dari dunia pendidikan
di negeri ini.
Mengutip
dari berbagai sumber di om Gugel, guru dalam bahasa Sansekerta merupakan
gabungan dua kata yaitu Gu dan Ru. Gu artinya kegelapan dan Ru berarti cahaya.
Dua perpaduan kata ini memiliki arti yang berlawanan, yang kalo digabungin dua
kata ini membentuk sebuah makna bahwa guru adalah seseorang yang mampu membawa
cahaya dalam kegelapan. Berat nggak tuh? BERAT BANGET. Jadi guru bukan hanya
sekadar bisa ngajar atau enggak.
Saya
nih, jangankan menjadi cahaya bagi orang lain, nyalain cahaya untuk diri
sendiri aja masih kelimpungan nyari korek apinya-nya dimana, di warung nggak
ada yang jual wkwk astagfirullah. Eh, ga boleh ketawa lagi serius
astagfirullah. Maap.
Berada di posisi sebagai guru, saya sering menemui situasi yang dilematis, antara idealisme dan realitias. Di tengah-tengahnya logika di dalam kepala saya berteriak frustasi. Akibatnya yang punya badan suka setres sendiri. Cape sendiri. Dasar.
=oOo=
Maka
demikianlah curhatan baper (ga jelas) ini. Saya tidak bermaksud menyinggung
siapa-siapa. Jika ada yang ingin saya singgung maka itu tidak lain adalah diri
saya sendiri.
Saya
tidak tahu apakah saya akan selamanya menjalani profesi ini. Saya hanya tahu,
saya mencintainya dengan segenap hati saya. Saya kesampingkan dulu perkara
administrasi ini-itunya. Meskipun banyak gedugubraknya, tapi sisi lainnya saya
melihat diri saya bertumbuh dan berproses bersama anak-anak. Mental saya
dibikin ancur-ancuran tapi juga di fase ini saya belajar menyembuhkan diri.
Tentu ini tidak terlepas dari campur tangan Allah. Saya pernah bilang ke Ning,
betapa baiknya Allah sama saya. Saya dikasih
jalan untuk mengenali dan memeluk diri saya lebih erat lagi melalui orang
lain, ya salah satunya anak-anak saya ini. Ini pengalaman yang mahal sekali.
Saya
suka ketawa malu kalo inget kengototan saya mendebat mama saya perkara saya
nggak mau jadi guru dulu. Lagi-lagi mama saya benar soal anaknya. Saya mungkin
punya rencana yang menurut saya sudah yang terbaik, tapi Allah-lah yang paling
tau rencana seperti yang baik untuk saya.
Baiklah,
tulisan ini saya akhiri di sini. Nanti kapan-kapan saya sambung lagi. Mungkin
nanti tulisan berikutnya bakal dikasih judul (bukan) curhatan baper jomblowati.
HAHAHAHAHAHA ketawa sampe kutub selatan.
Akhir
kata, salam hormat saya kepada seluruh guru di seluruh penjuru Bumi. Terima
kasih sudah memilih jalan yang sulit ini. Kalian hebat. Semoga berkah jalan
juang kita. Aamiin.
P.s : yang
udah tabah baca sampe akhir, salut. Anda kuat sekali ya. 😂
Tabik,
Yang sedang bertumbuh dan
berposes,
Azz. 💚
Currently
status : ayang-nya Fu Yunshen. /Ditoyor/ 😂